NovelToon NovelToon

Cinta Itu Bernama Kita

Reuni

Aku menatap lurus jauh di sana sejalan dengan pikiranku yang melayang entah kemana.

Entah mengapa aku merasa kesepian di tempat seramai ini padahal keadaan di sekelilingku sangat riuh dengan suara tawa dan bahagia.

Sudah beberapa tahun lamanya sejak kelulusan sekolah. Dan tepat hari ini semua berkumpul kembali.

Bahagiakah aku dengan acara yang di labeli dengan kata reuni ini?

Tidak juga.

Bukannya aku anti sosial, bahkan dulunya aku punya banyak teman, hanya saja aku tidak pernah tertarik untuk datang ke acara seperti ini. Karena ujung-ujungnya mereka hanya tertarik dengan status sosial yang telah mereka raih saat ini.

Kuteguk minuman yang baru saja kuambil dari meja di ujung sana. Air yang begitu sejuk perlahan masuk ke dalam tenggorokan. Rasa hausku pun perlahan menghilang.

Kulirik jam yang ada di ponselku, aku mulai bosan dan jenuh. Lalu terpikirkan olehku untuk segera pergi diam-diam dari tempat ini. Lagi pula sudah terlalu lama aku menunggu dan aku berpikir kalau orang itu juga tidak akan datang.

Baru saja aku melangkahkan kakiku sebentar, namun harus kuhentikan niatku untuk pergi karena sosok yang menjadi alasanku ada di sini datang menghampiriku. Ia berlari kecil dengan senyumannya yang begitu khas yang masih kuingat hingga sekarang.

“ Yuna,” sapanya kemudian memelukku. Terlihat ia sangat bahagia bertemu denganku dan aku pun turut bahagia karena bertemu dengannya lagi. “ Maaf, aku terlambat.''

'' Aku pikir kau tidak akan datang," ucapku.

“ Mana mungkin aku tidak datang, bukankah kita sudah berjanji akan bertemu.”

Ya, perjanjian yang kami buat saat mendapatkan kabar reuni ini. Dua minggu sebelum hari H kami sudah saling mengirim pesan untuk bertemu di tempat ini.

Sebenarnya datang ke acara ini saja sudah berat untukku kalau bukan karena Hanum, sahabatku. Masalah terbesarku apalagi kalau bukan dana yang harusku keluarkan.

Aku bukanlah orang yang mempunyai uang lebih untuk dihamburkan, namun karena Hanum dan terlebih aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini, jadilah mau tak mau aku merelakannya juga. Lagi pula aku dan Hanum sudah berteman sejak kecil. Keluarga kami pun saling mengenal. Jadi tak masalah untukku untuk berkorban sedikit. Karena Hanum pun tak ubahnya seperti sahabat rasa saudara bagiku.

“ Oh ya, perkenalkan ini calon suamiku, namanya Reza,” ucapnya memperkenalkan calonnya itu.

Aku pun tersenyum padanya sambil memperkenalkan diriku dan ia pun melakukan hal yang sama padaku.

“ Waktu aku tunangan kau tidak datang kan, jadi saat aku menikah nanti, kau harus menjadi bridesmaid ku. Tidak boleh menolak, lagi pula keluargaku juga merindukanmu. Mereka sering menanyakanmu, apalagi Bunda, dia kangen karena tidak punya teman cerita lagi."

Memang di saat hari pertunangannya, aku tidak bisa hadir karena jarak dan kesibukanku. Sejak tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk bekerja di luar kota. Bukan pekerjaan yang hebat namun cukup untuk menghidupi kehidupan kami.

Aku bekerja di sebuah perusahaan kecil sebagai karyawan, memang gajinya tidak terlalu besar namun hanya pekerjaan itu yang bisa aku lakukan pada saat itu karena kebutuhan yang tidak bisa lagi di tunda.

Kehidupan yang amat sangat berbalik 180 derajat, memaksaku bekerja apa pun asalkan halal. Apalagi kebutuhan adikku yang sudah masuk perguruan tinggi yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

" Yuna, kenapa diam saja? Kau akan datang, kan?" tanyanya penuh harapan akan kehadiranku.

" Tentu saja." Pada akhirnya aku memenuhi permintaannya itu. Tidak mungkin aku menolak di saat aku benar-benar tidak punya alasan seperti dulu.

Hanum pun langsung senang mendengar jawaban dariku. Ia tersenyum lebar sambil memegang tanganku.

...********...

Dari ujung sana terdengar suara seorang MC yang langsung mengalihkan keintiman pembicaraan kami. Aku, Hanum dan Reza mendekati tempat acara yang sebentar lagi akan di mulai itu.

Suara riuh mulai menggema. Semua larut dalam acara temu kangen yang cukup meriah ini.

Aku mencoba untuk menikmati setiap detail acara, paling tidak uang yang sudah aku keluarkan tidak sia-sia. Begitulah menurutku.

Terdengar egois ya.

Ya begitulah aku memaknai setiap lembar uang yang aku dapat dan keluarkan. Aku memahami bagaimana susahnya mencari nafkah bahkan hanya sekedar untuk makan.

...********...

Acara selesai sebelum jam 12 malam.

Rasanya dingin angin malam mulai menusuk tulangku. Entah bagaimana caranya aku akan sampai ke rumah, pastinya angkutan umum dan bus sudah susah di cari di jam-jam seperti ini.

Aku mengambil ponselku bermaksud untuk memesan angkutan online sebagai pilihan terakhir yang harus aku lakukan. Namun Hanum yang begitu melihatku, langsung menyuruhku untuk pulang bersamanya.

Awalnya tentu saja aku menolak karena aku tidak enak dengan Reza, takutnya ia malah terbebani untuk mengantarkanku.

Namun, Hanum terus memaksaku.

“ Ayolah Yuna, tidak perlu segan seperti itu,” ucap Reza padaku.

Hanum pun langsung meraih tanganku agar aku mau pulang bersamanya.

Tingkahnya ini malah membuatku jadi serba salah.

“ Yuna.” Hanum mulai merengek dan aku pun menyerah.

“ Baiklah, Hanum. Maaf ya sudah merepotkan kalian.”

“ Tidak sama sekali.” Hanum meyakinkanku kalau mereka malah senang.

Aku masuk ke dalam mobil mewah itu. Rasanya nyaman sekali tidak seperti di bus atau pun angkutan umum yang sering aku naiki.

Jalanan pun begitu lengang, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Mungkin karena besok bukanlah hari libur, jadi penghuni kota ini sudah terlelap dengan mimpi indahnya.

Di perjalanan, ada saja yang kami ceritakan, mulai dari masa sekolah hingga keadaan sekarang. Di selingi canda tawa mengingat waktu sekolah dulu.

Bertemu dengan Hanum lagi membuatku bahagia dan melupakan sedikit kehidupan yang pahit ini.

...********...

Akhirnya aku pun sampai di rumah. Perjalanan yang panjang ini terasa sangat pendek karena kesenangan yang kami rasakan.

Aku pun turun dari mobil itu setelah mengucapkan terima kasih pada Hanum dan Reza.

“ Lain kali aku mampir ya,” ujar Hanum.

“ Oke,” jawabku.

Hanum pun melambaikan tangannya saat mobil perlahan melaju. Aku masih berdiri memandang mobil itu hingga hilang di ujung jalan.

Akhirnya aku bisa beristirahat, melepaskan lelah sedari pagi.

Kubuka tasku dan kucari kunci rumah.

Kubuka pintu lalu kututup saat aku memasuki kediamanku. Aku langsung membaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Rumah ini terasa luas untukku yang hanya tinggal seorang diri di sini.

Rumah yang menjadi satu-satunya aset yang tersisa dari orang tuaku. Tempat bernaung dari hujan dan panas.

Kupandangi poto keluarga yang tergantung di dinding. Poto yang paling membahagiakan pada saat aku lulus kuliah.

Ibuku sudah meninggal 5 tahun yang lalu sedangkan Ayahku sedang berada di tempat yang tak seharusnya. Aku mempunyai seorang adik laki-laki yang kini tinggal di asrama. Dia adalah saudaraku satu-satunya.

Entah kapan kami bisa berkumpul kembali seperti dulu, hanya Tuhan yang tahu.

Walaupun kami jarang mengirim kabar, namun kasih sayang itu tidak akan pernah pudar.

Aku pun memejamkan mataku dan berharap akan bermimpi yang indah dan terbangun dengan kenyataan yang bahagia. Semoga.

Hari yang Baru

Hari ini pertama kali aku memasuki dunia kerja yang baru. Manajer tempatku bekerja dulu membuka sebuah kafe dan menawarkan pekerjaan itu padaku.

Setelah aku keluar dari pekerjaan dan kembali ke kota ini, Manajer menghubungiku setelahnya. Ia mengatakan kalau membutuhkan seorang pegawai karena pegawai yang lama telah mengundurkan diri dengan alasan telah mendapatkan pekerjaan yang lain.

Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. Dan tanpa berpikir panjang aku langsung menerima pekerjaan yang telah di tawarkan oleh Manajer.

Aku menatap diriku di cermin, melihat dari atas hingga ke bawah, memastikan apakah aku sudah terlihat rapi atau tidak. Aku berpikir, hari pertamaku harus terlihat sempurna.

Dengan kepercayaan diri yang meningkat, aku melangkahkan kakiku dari rumah. Aku menatap langit pagi yang masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Aku memang sengaja berangkat lebih awal untuk menghindari kemacetan. Tidak lucu juga kan pertama kali kerja harus mendapatkan teguran apalagi dari orang yang aku hormati.

Aku berjalan menyusuri jalanan yang masih terlihat sunyi, hanya beberapa orang yang sudah keluar untuk beraktivitas.

Tak perlu waktu lama, bus yang akan membawaku ke sana sudah terlihat. Aku segera menaiki bus yang terlihat sepi itu.

Aku mengambil earphone dari dalam tasku. Lalu menaruhnya di kedua telingaku. Ku seteli sebuah lagu untuk menemani perjalananku ini. Sejenak lagu ini membawaku ke sebuah kenangan yang dulu pernah aku lewati. Teringat akan kehangatan keluarga yang sudah terpecah ini.

Aku menghapus air mata yang tiba-tiba menetes. Untung saja tidak banyak orang di dalam sini, jadi tidak ada yang menyadari kesedihanku ini.

...*****...

Sampailah aku di tempat tujuanku. Dari pemberhentian bus ini, aku harus melanjutkan perjalananku sedikit dengan berjalan kaki. Tidak terlalu jauh, anggap saja olahraga di pagi hari. Lagi pula aku juga sudah terbiasa dengan aktivitas seperti ini.

Green Hill Cafe, itulah nama tempatku bekerja. Tempatnya lumayan besar. Dengan dinding berwarna putih dan coklat. Kafe ini lebih menonjolkan kopi dan cake nya walaupun ada menu lain yang bisa dinikmati.

Saat aku tiba, terlihat sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu kafe. Seorang wanita keluar dari mobil itu. Aku segera menghampirinya begitu tahu siapa yang turun dari mobil tersebut.

“ Manajer Mei,” sapaku setengah berlari. Manajer Mei langsung menoleh dan tersenyum padaku.

“ Yuna.’’

“ Apa kabar Manajer?’’

“ Baik,’’ jawabnya. “ Cepat sekali kamu sampai, Yuna?”

“ Ia manajer, saya takut terlambat. Lagi pula ini pertama kali saya bekerja, tidak mungkin saya meninggalkan kesan yang tidak baik.”

“ Kau ini tidak pernah berubah.”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“ Ya sudah kalau begitu bantu saya ya.”

“ Siap Manajer”.

Aku mengikutinya mengambil beberapa barang di dalam mobilnya. Memang saat ini hanya aku dan manajer Mei yang sudah sampai di tempat ini. Pegawai lain belum menampakkan batang hidungnya karena memang jam masuk kerja sekitar pukul 10.00, sedangkan sekarang masih pukul 08.00. Kalau tidak ada manajer mungkin aku akan menunggu lebih lama hingga kebosanan.

“ Yuna.’’ Aku langsung menyahut begitu manajer memanggilku. “ Duduklah di sini,” pintanya. Aku pun menghampirinya dan duduk di hadapannya. “ Kau sudah sarapan?”

“ Sudah manajer.”

“ Baguslah. Melihatmu semangat seperti ini jadi teringat waktu kita masih bekerja di sana. Untung saja kita masih berjodoh dan bisa bertemu kembali di sini.”

“ Iya, manajer, saya juga senang bisa melihat manajer lagi. Waktu manajer keluar, saya jadi kehilangan karena tidak ada lagi sosok yang bisa saya ajak bertukar pikiran, memberikan saran maupun nasehat.”

“ Tapi sekarang kita sudah bertemu, kan?”

“ Iya”.

“ Yuna, Apa kau sudah menemui Ayahmu?”

“ Sudah manajer. Kemarin saya menemui Ayah. Walaupun Ayah terlihat baik-baik saja, tapi saya tahu Ayah tidak sebaik yang terlihat.”

“ Doa, kan saja yang terbaik untuk Ayahmu. Hanya dia satu-satunya orang tua yang kau punya, jangan di sia-siakan. Terlepas apa yang sudah menimpa keluarga kalian, tapi kau tahu kan kalau Ayahmu tidak seperti itu.”

“ Iya, doa yang terbaik selalu saya sematkan untuk Ayah dan keluarga. Apa pun pandangan orang, di hati kami Ayah bukanlah orang seperti itu. Walaupun kenyataan sekarang ini tidak bisa di hapus, namun hidup tetaplah harus berjalan.”

“ Kau benar. Tetaplah kuat, jadilah Yuna yang tegar. Oke.”

“ Siap manajer. Saya akan selalu ingat itu.”

Tidak salah mengagumi sosoknya ini. Gaya bicaranya yang halus dan lembut, membuat siapa saja akan betah bila bersama dengannya. Bahkan di saat aku kesusahan manajerlah yang selalu memberiku semangat, ia seperti seorang ibu buatku.

Aku menatap jam yang menempel di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Satu per satu pegawai yang ada di sini sudah mulai berdatangan. Mereka menyapa manajer Mei yang duduk bersamaku. Ada dua wanita dan empat pria yang bekerja di sini.

Setelah mereka berganti pakaian, manajer menyuruh mereka untuk berkumpul. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk memperkenalkanku. Jantungku mulai berdegup, ada rasa was-was yang tiba-tiba datang menghampiri. Ada rasa apakah mereka akan menerimaku dengan baik atau tidak. Pikiran seperti itu kerap muncul saat aku memasuki tempat baru.

“ Selamat pagi semua, “ sapa manajer Mei.

“ Pagi Bu,” jawab mereka serentak.

“ Saya mengumpulkan kalian di sini untuk memperkenalkan pegawai baru kita. Namanya Yuna. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik di sini,” ujarnya memperkenalkanku. “ Ayo Yuna perkenalkan dirimu.”

“ Iya manajer,” jawabku, “ hai, semua. Saya Yuna. Saya pegawai baru di sini, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik dan mohon pengarahannya.”

“ Hai Yuna.” Mereka pun tersenyum dan menyambutku dengan baik.

“ Baiklah Yuna, nanti kau bisa minta bantuan dengan teman-temanmu di sini. Dan untuk kalian, tolong bantu Yuna agar ia bisa memahami bagaimana pekerjaan di sini.”

“ Siap Bu.”

“ Kalau begitu saya tinggal ya, kalian bisa mulai bekerja.”

Manajer pun pergi. Tinggallah aku dan teman-teman baruku di sini. Mereka mendekatiku dan memperkenalkan diri. Ada Adam, Herman, Ruli, Jodi, Widya dan Tia.

...****...

“ Yuna, nanti akan aku bantu apa-apa saja yang harus kau kerjakan di sini,” ujar Widya ramah padaku. Ia terlihat antusias denganku.

“ Terima kasih Widya, mohon bantuannya, ya,” balasku. Ia pun mengangguk tersenyum.

Tapi, aku merasakan hawa yang tidak enak juga. Sepasang mata yang menatapku dari atas hingga ke bawah. Satu orang yang terlihat tidak ramah dengan kedatanganku. Wanita berambut panjang bernama Tia ini bersikap lain dari kelima temanku yang lain. Tatapan matanya memandangku membuatku risih, namun aku berusaha untuk bersikap biasa dan tak terlalu menghiraukannya. Syukur-syukur itu hanya perasaanku saja. Namun, sepertinya tidak, ia memang terlihat seperti itu.

Permulaan yang tidak mudah untuk di jalani. Tapi, inilah hidup, ada yang menerimamu dengan hangat dan ada pula sebaliknya. Tergantung bagaimana kita menghadapinya.

Teman Kerja

Hari pertama bekerja, aku sudah disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang diberikan padaku. Mulai dari membersihkan meja, mencuci piring hingga membuang sampah. Bagiku tidak masalah, lagi pula pekerjaan ini sudah seperti pekerjaan biasa buatku walaupun dengan frekuensi yang berbeda.

Ditambah aku ini masih anak baru, jadi menuruti apa kata mereka adalah keharusan ku saat ini. Seperti hukum alam, anak baru mengikuti yang senior. Selama itu baik, bagiku tidak masalah.

Tapi ada sedikit kejanggalan, aku agak sedikit risih dengan temanku yang bernama Tia ini. Awalnya aku pikir hanya perasaanku saja, ia terlihat tidak bersahabat denganku, tapi ternyata jelas sudah sikapnya padaku yang benar-benar menunjukkan ketidaksukaannya. Apa yang menjadi alasannya, aku juga tidak tahu. Aku merasa tidak berbuat salah padanya karena bertemu saja baru sekarang, bagaimana aku bisa membuatnya tidak senang padaku.

“ Yuna, apa kaulelah?” tanya Widya mendekatiku. Aku hanya tersenyum kecil. Ia sepertinya khawatir padaku karena melihatku sedang memijit kakiku. “ Kakimu pasti sakit karena mondar-mandir sedari tadi.”

“ Tidak apa-apa, Wid. Namanya juga kerja,” ujarku menenangkannya.

“ Seharusnya Tia tidak memperlakukanmu seperti ini, dia malah santai, kamunya yang kerja ekstra. Ini namanya bukan mengajari tapi mengerjai. Dia memang keterlaluan.”

Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Widya itu. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, aku seperti orang yang sedang dikerjai oleh senior. Belum selesai pekerjaan yang satu, sudah diberikan pekerjaan yang lainnya. Padahal kalau dipikir-pikir, aku ini bisa saja lebih tua dari dia.

“ Apa Tia memang seperti itu orangnya? Maksudku, aku merasa dia terlihat tidak senang denganku.”

“ Dia memang begitu, mungkin dia merasa kau sebagai saingannya.”

“ Saingan? Maksudnya? Aku kan hanya anak baru di sini, apa yang membuat dia merasa tersaingi.”

“ Karena kau itu cantik, Yuna.”

Sontak aku kaget dengan jawaban Widya itu. Aku tidak tahu kalau ada yang merasa aku saingi, apalagi dengan kata cantik karena pada dasarnya aku merasa aku tidak secantik itu. Bukannya aku tidak percaya diri, tapi memang begitulah kenyataannya untukku.

“ Kau bercanda Wid.”

“ Aku tidak bercanda, memang seperti itu. Tia itu bisa dikatakan populer di antara cowok-cowok disini. Melihat kedatangan mu dan sambutan mereka yang hangat, membuatnya tidak senang.”

“ Tapi itu hal yang wajar, kan?”

“ Itu menurut orang normal seperti kita, tapi Tia sudah di luar normal,” ujarnya sedikit tertawa. “ Dia itu suka di puji.”

“ Oh, begitu. Berarti aku harus lebih hati-hati.”

“ Bersikap biasa saja, malah nanti yang lain jadi tidak enak.”

Aku mengangguk saja. Sebagai orang yang lebih mengenal keadaan sekitar lebih lama, ucapan Widya menjadi acuan ku dalam menentukan sikap. Bukan berarti aku bersikap tidak wajar, hanya saja lebih berhati-hati dalam berkelakuan, begitulah menurutku.

Aku bersama Widya menghabiskan makan siang masing-masing yang sudah tersedia di meja. Kami harus bergantian istirahat hanya untuk sekedar makan maupun menunaikan ibadah. Setelah selesai dengan istirahat yang hanya setengah jam itu, kami bergegas membantu yang lain. Mereka yang akan istirahat, bergegas ke belakang untuk menikmati istirahat yang sangat berharga itu.

Kami berdua melanjutkan pekerjaan bersama dengan teman yang sudah beristirahat terlebih dahulu. Semakin sore pengunjung semakin ramai berdatangan. Mungkin karena besok sudah memasuki weekend, jadi kebanyakan orang-orang meluangkan waktunya lebih dibandingkan hari biasanya.

“ Yuna.” Terdengar suara khas seorang pria menyebut namaku. Aku bergegas menoleh dan sesaat terpaku melihat sosok yang menyebut namaku itu.

“ Martin,” ucapku. Aku pun spontan menghampirinya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. “ Bagaimana kabarmu?”

“ Aku baik,” jawabnya tersenyum. “ Aku langsung kesini saat tahu kau bekerja di kafe ini.”

“ Apa manajer yang memberitahumu?”

“ Masih saja memanggil Mama dengan manajer, padahal sudah tidak bekerja di sana lagi.”

“ Lalu aku harus memanggil apa?” Martin tampak berpikir. “ Tidak ada ide, kan? Sekali manajer tetap manajer.”

Martin tertawa mendengar ucapan ku.

Martin memang anak dari Manajer Mei. Aku mengenalnya saat manajer mengadakan pesta kecil di rumahnya. Dia memang sangat ramah pada semua orang, tak pelak orang sangat menyukainya. Aku juga tidak ingat bagaimana aku bisa menjadi dekat dengannya, setahuku hanya mengalir begitu saja.

“ Yuna.” Widya memanggilku. Aku pun menyahut panggilannya itu.

“ Maaf Martin, aku harus kembali bekerja,” ujarku berpamitan. Ia pun memaklumi dengan keadaanku yang sedang sibuk dengan pekerjaanku ini.

“ Oke. Mulai sekarang kita juga akan saling sering bertemu.”

Aku mengernyitkan dahiku. Mencoba mencerna ucapannya barusan. Setahuku Manajer Mei lah menjalankan bisnis ini, tapi mengapa ia mengatakan kalau kami akan sering bertemu.

“ Kaukenal dengan Pak Martin, Yuna?” tanya Widya heran karena melihat aku dan Martin bicara dengan akrabnya tadi.

“ Iya, bukankah Martin anaknya Manajer...ah maksudku Ibu Mei?”

“ Iya, Pak Martin memang anaknya Ibu Mei, tapi aku tidak tahu kalau kau juga kenal dengannya.”

“ Oh itu karena aku memang sudah mengenalnya lama. Bisa dikatakan kami memang berteman.”

“ Jadi kauberteman dengan Bos?” Aku mulai bingung dengan ucapannya itu. “ Pak Martin itu yang punya kafe ini, Ibu Mei membantu mengelolanya saja.”

“ Ha? Benarkah?” Aku sama sekali tidak tahu tentang masalah ini. Pantas saja tadi Martin bilang kalau kami akan sering bertemu. “ Aku pikir Ibu Mei menjalankan kafe ini.”

“ Awalnya memang Ibu Mei, tapi berjalannya waktu Pak Martin lah yang menjalankan kafe ini.”

“ Begitu ya.”

“ Tapi, apa benar hubungan kalian hanya berteman?” Widya mencoba mengorek cerita lain dari pertemananku dan Martin. “ Apa...“ Sebelum Widya mengatakan hal yang tidak-tidak aku pun langsung memotong perkataannya.

“ Kau ini jangan mulai menggali gosip yang tidak ada, Wid,” seruku sedikit tertawa.

“ Ah, kau ini. Kalau benar juga tidak apa-apa,” ujarnya.

“ Tidak ada yang seperti itu. Sudah ayo kerja lagi.”

“ Iya.” Widya menyunggingkan senyuman padaku. Senyuman yang penuh dengan arti dibaliknya.

...****...

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Setelah beres membersihkan tempat ini, aku dan teman-teman yang lain bergegas pulang. Aku yang memang pulang dengan kendaraan umum, berpamitan duluan karena takut akan ketinggalan bis. Aku berjalan perlahan di tengah gelapnya malam. Hanya lampu jalan yang menerangi langkahku ini.

Aku mendekap jaketku karena udara malam ini terasa sangat dingin. Mungkin akan turun hujan, pikirku. Aku semakin mempercepat langkahku agar tak sampai kehujanan saat tiba di rumah.

Aku menepi saat sebuah mobil melaju mendekatiku. Aku jadi bingung dengan mobil yang tiba-tiba berhenti ini. Entah siapa pemilik mobil berwarna putih ini. Perlahan kaca berwarna hitam itu turun, terlihatlah siapa pemilik mobil yang berhenti di dekatku ini.

“ Naiklah,” ujar Martin menyuruhku naik ke dalam mobilnya.

“ Tidak, aku naik bus saja,” tolakku karena tak enak merepotkannya.

“ Hari semakin gelap, udara juga semakin dingin, sepertinya akan turun hujan. Aku akan mengantarkanmu sampai ke rumah .”

Aku menimbang penawarannya itu. Memang benar apa yang dikatakannya, kalau saja hujan turun dan aku belum sampai di rumah, pasti aku akan basah kuyup.

“ Yuna...”

“ Maaf sudah merepotkanmu,” ujar ku tak enak. Martin hanya tersenyum padaku.

Mobil itu pun melaju setelah aku masuk ke dalamnya. Perjalanan kali ini di temani sebuah lagu yang begitu syahdu. Bibirku tanpa di komandoi mengikuti alunan musik yang sedang di putar ini.

“ Kausuka dengan lagu ini?” tanya Martin karena aku terlihat sangat menikmati lagu ini.

“ Um, aku menyukainya,” jawabku tersenyum. “ Oh ya, boleh aku bertanya sesuatu?”

“ Tentu.”

“ Maksud dari ucapanmu kalau kita akan sering bertemu itu apa karena kaupemilik kafe itu?”

“ Siapa yang mengatakannya padamu?”

“ Widya, dia salah satu pegawai di sana.”

“ Kalau begitu tidak salah.”

“ Ha?”

“ Aku sebenarnya sudah menolak, bahkan aku punya rencana untuk kembali ke Kanada, tapi Mama memohon padaku untuk tetap tinggal dan memintaku untuk mengelola kafe itu. Lalu aku bisa apa? Aku takut kalau terjadi apa-apa sama Mama sejak ia pernah kecelakaan waktu itu.”

“ Manajer pernah kecelakaan?”

“ Iya, kecelakaan kecil. Untung saja Mama tidak apa-apa, dari situ aku tidak bisa lagi meninggalkannya.”

“ Jadi begitu.”

“ Ya, tapi aku harap kau tidak segan padaku karena hal itu. Bersikap seperti biasanya saja.”

“ Mana bisa seperti itu, pasti akan sedikit berbeda.”

“ Paling tidak jangan terlalu berbeda.”

“ Kau ini.”

Martin tersenyum padaku.

Hujan rintik-rintik mulai jatuh membasahi bumi. Aku menoleh ke samping, melihat rintik hujan yang membekas di jendela mobil. Seketika pikiranku melayang jauh entah kemana. Aku memang suka melihat hujan yang turun dari atas sana, membawaku menyelami kenangan yang datang menghampiriku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!