🌹VOTE🌹
"Darimana kamu?"
"Maaf, Bu, saya habis makan siang."
"Makan siang kok lama banget! Kamu itu OB, harusnya nyadar diri dong. Lihat! Kasihan pegawai lain nunggu kamu!"
Perempuan berusia 19 tahun itu menunduk, mendapatkan amukan dari karyawan tetap di perusahaan ini. "Maaf, Bu."
"Maaf, maaf, dasar gak tau diri. Kamu tahu kan tim saya sebentar lagi mau presentasi di depan direktur perusahaan ini?"
"Maaf, Bu, maaf sekali."
"Sana beli kopi, jangan gara-gara kamu, tim saya menjadi rusak."
Wanita gemuk berusia seperempat abad itu menaruh uang kertas di atas meja dengan cara dipukulkan. Membuat Lily mendesah gelisah. Mengambilnya dan keluar dari gedung pencakar langit yang didominasi kaca itu.
Satu bulan Lily bekerja di sini, sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari Fernandez Corp, yaitu perusahaan yang membangun real estate dan menciptakan tempat-tempat wisata.
Hari ini menjadi hari tersibuk bagi Lily, pasalnya direktur utama akan datang. Selama satu bulan lamanya Lily bekerja di sini, dia belum pernah melihat lift khusus direktur utama dipakai.
Membeli kopi di sebuah caffe di pinggir gedung, Lily segera berlari membawa dua keranjang kopi ke ruangan rapat di lantai lima. Lantai perusahaan mencapai 25 tingkat, dan ini semua milik Fernandez Corp yang terbagi menjadi beberapa divisi. Tempat Lily bekerja adalah gedung pusat dari seluruh perusahaan Fernandez Corp.
"Ya Tuhan…." Lily menatap dari luar ruangan, sepertinya rapat sudah dimulai.
Terdengar kekehan dari seseorang yang sedang menyapu di pinggir ruangan. "Kau akan mendapat masalah karena telat."
"Apa yang harus aku lakukan?"
Temannya sesama OB itu mengedikan bahu. "Masuk saja, kau mau dia bertambah marah karena tidak memberikan groupnya kopi dan membuat mereka bertambh mengantuk?"
Perempuan berkacamata itu menarik napasnya dalam, dia masuk setelah mengetuk. Lily menunduk enggan mendapatkan tatapan tajam dari atasannya, dia memberikan satu per satu kopi.
Hingga saat Lily hendak menyimpan kopi di meja terakhir, seseorang itu menolaknya dengan cara mengangkat tangannya.
"Air putih saja."
"Ba--baik."
Pikiran Lily tidak bisa lepas dari pria yang diyakininya sebagai direktur utama perusahaan ini. Bagaimana pria itu terlihat berwibawa, dengan ketampanannya yang sempurna. Wajah latin melekat di sana, dengan dadanya yang bidang dibalut jas.
Sampai ketika direkturnya mengatakan, "Kamu pikir saya siapa? Beraninya kamu menggunakan gelas plastik untuk orang seperti saya. Lain kali, jika ingin mengagumi saya, tetap fokus pada pekerjaan kamu."
Lily menelan ludahnya kasar dan bergumam tanpa suara, "Sangat arogan."
***
Lama perempuan itu menunduk mendapatkan amarah dari karyawan di sana. Setelah selesai dimarahi, Lily kembali ke bagian belakang untuk mengambil peralatan kebersihan.
"Lily!"
"Ya?" Dia menengok pada wanita sesama OB yang tentu saja lebih tua dan jabatannya lebih tinggi.
"Bersihkan ruang direktur."
"Ruang direktur? Di lantai 25? Kenapa harus saya, Bu?"
"Kamu mau berdebat?"
Lily menggeleng, dia segera membawa peralatan pembersih itu. Pelayan kebersihan memiliki liftnya khusus, tapi lebih sempit dan berada di bagian belakang.
Manik Lily terpaku saat dia melihat lantai lima. Sepanjangnya adalah lorong berwarna putih. Keheningan melanda, tidak seperti lanti lainnya. Begitu bersih seolah dibersihkan tenaga profesional. Membuat Lily bertanya-tanya apa gunanya dia datang.
Melangkah di sebuah lorong, sampai dia melihat wanita diluar ruangan yang diyakini Lily adalah ruangan direktur di sini.
"Maaf, Bu, saya disuruh un--"
"Masuk ke dalam, Tuan David sudah menunggu."
"Baik."
"Tunggu."
"Ya?" Lily membalikan badannya.
"Jangan bawa itu, tinggalkan di sini."
"Tapi saya diperintahkan untuk membersihkan ruangan ini."
"Tinggalkan itu."
Lily melakukannya saat mendapatkan tatapan tajam dari sekretaris yang sangat cantik itu. Dia meninggalkan peralatan kebersihannya. Lily mengetuk sebelum masuk ke dalam.
Dia bingung akan melakukan apa, apalagi di sana ada direkturnya yang sedang duduk di kursi kebesarannya sambil membac sebuah dokumen. Lily melihat nama direkturnya yang bertuliskan di atas kayu, David Fernandez, disertai gelarnya yang begitu banyak.
Lily diam, bingung akan melakukan apa.
"Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"
"Dikontrak kerja kamu tertulis kamu tidak akan protes jika dipindah tugaskan."
Lily mengangguk.
"Kamu akan dipindah tugaskan."
"Baik, Tuan."
"Tapi bukan sebagai cleaning service lagi."
Lily diam, dia bertanya-tanya apa pekerjaan yang akan dia lakukan jika bukan itu. Karena kenyataannya pendidikan terakhirnya hanya sekolah menengah.
"Mohon maaf, Tuan, tapi saya tidak bisa melakukan apapun selain ini."
"Tinggi badan kamu 149 cm, itu sempurna."
"Ya?"
"Kamu dipindah tugaskan menjadi istri saya, besok kita akan ke gereja untuk mengesahkan pernikahan kita."
"Maaf, Tuan?
"Saya maafkan, jangan ulangi lagi."
🌹🌹🌹
To be Continue...............
🌹VOTE🌹
Tinggal di sebuah kontrakan kecil, Lily sudah terbiasa hidup sebatang kara. Sejak kecil orangtuanya meninggal, tinggal di panti dan baru bisa pergi saat ini. Dulu Lily membantu anak lain di gereja, sayangnya kurangnya tempat terpaksa membuat yang sudah dewasa harus pergi dan menjahit sendiri hidup mereka.
Lily teringat perkataan David, pria itu berkata, "Ini alamat yang harus kamu datangi besok, untuk gaun dan riasan semuanya tersedia di sana. Datang sebelum pukul 10 pagi, menggerti?"
Lily menggeleng saat perkataan David terngiang di kepalanya.
"Aku harus harus tidur cepat."
Lily terdiam sesaat, dia menghela napas dan memegang perutnya. "Tapi aku lapar."
Lily keluar dari kontrakan, melewati gang menuju tukang bakso. "Baksonya doang ya, Bu. Jangan pake bawang. Dibungkus."
"Siap."
Sambil menunggu, Lily duduk di bangku. Saat itu, ada mobil lewat dengan cepat, membuat genangan air yang ada di depan bangku menciprati air.
"Aduuuuhhhh!"
Pengendara itu berhenti, dia memundurkan mobil dan menurunkan kaca.
"Tuan David?"
"Ngapain kamu di sana?"
"Ya?" Lily kikuk. "Beli Bakso, Tuan."
"Jangan lupa besok. Makan baksonya jangan banyak-banyak, nanti saya malu bawa-bawa kamu kalau kamu gendut."
"Apa, Tuan?"
Tidak ada jawaban, David pergi begitu saja. Membuat Lily menggelengkan kepalanya merasa pusing. Hatinya menggumamkan kalau pria itu sedikit kurang waras.
"Ini baksonya."
"Makasih."
Lily segera pergi dari sana. Dan saat sampai di kontrakan, ada 20 panggilan tidak terjawab di ponselnya dari atasannya di bagian kebersihan.
Lily dengan cepat menghubunginya kembali. "Iya, Bu? Maaf saya baru megang hape."
"Kamu itu giman sih? Seharunya kamu itu stand by. Sekarang kamu giliran lembur, ada banyak karyawan yang masih bekerja di lantai 10, mereka membuat gedung kotor. Saya mau besok semuanya rapi kembali!"
Telpon langsung terputus. Lily menghela napas, dia bergegas pergi ke sana. Dan benar saja, lantai itu kotor dengan sisa makanan dimana-mana. Masih ada yang bekerja di sana, yang membuat Lily harus menunggu agar mereka pulang.
Selama itu, Lily beristirahat di lantai pertama bagian belakang, tempat para pembersih beristirahat.
Tepatnya pukul 2 dini hari, baru mereka pulang. Dan hanya Lily dan security yang ada di sini. Seorang OB baru selalu dipersulit dengan tugas seperti ini.
"Astaga, lautan sampah," gumam Lily mulai membersihkan.
****
"Lily! Bangun!" Teriak seorang mengguncang tubuh Lily.
Segera dia membuka matanya, keningnya berkerut mendapati seseorang yang dikenalnya. "Bu Ratna?"
Yang tidak lain adalah petugas cleaning service yang sudah lama di perusahaan ini. "Ada apa, Bu?"
"Ada apa, ada apa, kamu itu bukanya kerja malah tidur!"
"Astaga!" Lily membuka matanya seketika, dia melihat ke sana ke mari dan segera bergegas menuju lantai yang harus dia bersihkan.
Namun, wanita di sampingnya menghentikan. "Saya sudah bereskan kekacauan kamu itu, kamu itu tidak bisa saya andalkan yah!"
"Maaf, Bu," ucap Lily menunduk. "Saya tidak sengaja."
"Tau gak! Gara-gara kamu saya sering menerima banyak keluhan dari pegawai di sini. Kamu itu bikin saya repot."
Lily tetap diam.
"Kalau kamu bikin keributan sekali lagi, saya akan pecat kamu. Ngerti?"
Lily mengangguk mengerti.
"Sekarang saya mau kamu bersihkan kaca di lantai 12."
"Baik, Bu."
Mengambil semua peralatannya, Lily pergi ke lantai yang dimaksud. Dia membersihkan banyak kaca, khusunya di bagian kantin.
Sampai jam makan siang pun, semuanya belum selesai. Lily membersihkan seorang diri, hukuman dari perusahaan yang cukup ketat.
Dia menarik napasnya dalam, Lily sangat lapar.
"Hei!"
"Maaf, Bu, saya tidak sengaja," ucap Lily saat ember yang disampingnya tumpah dan mengenai sepatu dua orang perempuan muda. "Maaf."
"Menyingkir!" Salah satunya menendangkan kaki enggan disentuh Lily. "Ini semua salah kamu!"
"Maaf, Bu, mari saya bersihkan."
"Udah, Lin, jangan dipermasalahkan," ujar salah satu temannya dengan name tag Mery.
Linda menggeleng, wajah juteknya menunjuk Lily kesal. "Kamu itu kerja yang bener, cuma OB aja kok ga bener. Mau saya bilangin sama atasan kamu?!"
"Jangan, Bu, maaf, saya akan bersihkan sepatu ibu."
"Ini sepatu mahal, perawatannya beda ya. Dasar bodoh."
"Lin udah kamu diliatin yang lain."
"Bodo amat, ak--"
"Lily."
Linda menghentikan langkahnya saat seorang pria datang dan memanggil nama OB di depannya. Seketika kedua orang perempuan itu menunduk, apalagi petinggi perusahaan lain yang juga kebingungan berada di belakang David.
"Mau apa Presdir ke kantin karyawan?"
"Kenapa dia mendekati OB itu?"
Itulah yang dibisikan para petinggi saham di belakang David.
Apalagi saat David berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya bersama Lily. "Kenapa kamu masih di sini? Bukankah saya bilang pergi ke gereja untuk pernikahan kita?"
Sontak saja semua orang yang ada di sekitar mereka membuka mulutnya tidak percaya.
"Menikah?" Tanya Linda tanpa suara sambil menatap Mery. "Mereka akan menikah?"
"Tuan… itu…." Lily malah merasa kasihan pada David, melihat yang lain berbisik tentangnya. "Anu…."
"Anu Anu, anu apaan?"
"Ba-- Akkhh!" Lily menjerit saat David tiba-tiba menggendongnya ala bridal dan melewati para petinggi perusahaan, yang segera mereka ikuti ke mana sang Presdir pergi.
Sementara karyawan lain tidak percaya melihat apa yang mereka lihat, seorang CEO perusahaan menggendong wanita pembersih yang kumal dan berkacamata, dengan diikuti oleh para petinggi saham.
Lily malu, dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher David. "Tuan, turunkan saya…," gumamnya.
Apalagi saat mereka berada di lobi, bahkan ada karyawan yang pingsan karena iri.
Sebelum keluar dari pintu, David berbalik menatap para petinggi perusahaan lain.
"Pergilah bekerja, saya harus menikah."
Salah satu pria tua tertawa. "Anda akan menikah, Tuan ? Kenapa tidak mengundang kami?"
"Kamu pikir saya bercanda?"
Mereka langsung menunduk diam, dan membiarkan David pergi meninggalkan tanda tanya besar. Mereka semua mendengarnya, David akan melangsungkan pernikahan bersama perempuan yang ada di gendongannya.
Sang supir membukakan pintu untuk majikannya. "Silahkan, Tuan."
"Lepaskan pelukannya."
Lily segera melakukannya, dia membiarkan David mendudukannya di kursi dalam mobil. Pria itu menunduk, menatap manik Lily yang bertanya-tanya. "Kamu bau, duduklah di belakang sendiri."
"Y-ya?"
"Kamu belum mandi bukan? Benar-benar bau."
🌹🌹🌹
to be continue....
🌹VOTE🌹
"Tuan David, dimana pengantinmu?"
"Ini dia," ucap David menurunkan Lily dari gendongannya. "Dia agak bau, mandikan dan dandani dengan sangat cantik. Dia harus siap di gereja sebelum pukul 3 siang."
"Baik, Tuan."
Dan saat David hendak pergi, Lily menaha tangannya. "Tuan bercanda 'kan? Kita tidak bisa menikah."
"Saya pindah tugaskan kamu."
"Tapi, Tuan Sa--"
"Dan berhenti memanggil saya Tuan, panggil saya David. Dan menurutlah pada wanita itu, dia akan membuatmu tidak bau lagi." David melepaskan paksa tangan Lily dan pergi dari ruangan itu.
Meninggalkan Lily dengan seorang wanita yang diyakini Lily bukan wanita tulen. Nada bicaranya memperlihatkan semuanya. Saat Lily berbalik, wanita itu berdecak.
"Hallo, namaku Marilyn. Aku yang akan mendandanimu. Sekarang mandi," ucapnya menunjuk pintu di sebelah kiri.
Lily menarik napas, dia masuk ke ruangan itu. Dan alangkah terkejutnya dia saat di dalam sana ada 10 orang perempuan yang siap melayaninya, mereka menundukan badan dan berkata bersamaan, "Selamat datang, Nona, kami siap melayani anda."
"Astaga," gumam Lily merasa sesak.
Dan dia mengikuti alurnya, membiarkan mereka membatu membersihkannya. Lily duduk dalam bathun dengan balutan baju tipis, tubuhnya di gosok. Setiap bagian tubuhnya dibersihkan oleh satu orang.
"Aku memakai sabun lagi?"
"Ini sabun ke lima yang akan mengharumkan tubuhmu, Nona."
Menarik napasny lagi, Lily membiarkannya. Sampai satu jam lebih dia mandi, selanjutnya didandani.
"Sekarang, Nona… aku yang akan mengambil alih tugas mendandanimu," ucap Marilyn mendudukan Lily secara paksa di kursi rias.
"Selamat akan pernikahanmu."
Lily lebih banyak diam, dia tidak ingin memperburuk keadaan. Memendam semuanya sendiri adalah hal yang biasa bagi Lily, dia ingin melihat sampai sejauh mana David akan melakukannya. Menarik napas, dan meredakan semua kekesalannya.
"Tolong jangan jauhkan kacamataku."
"Apa buram?"
Lily mengangguk.
"Astaga," gumam Marilyn berdecak kesal, dia menelpon seseorang.
Dan yang Lily dengar, dia memesan softleens untuk mata Lily.
"Karena kau cukup imut, aku akan memberikan sentuhan flaawless yang bagus."
Lily tetap diam.
Beberapa menit dia dirias sambil mendengarkan lagu rock n roll yang diputar Marilyn. Tidak lupa wanita itu juga ikut berjoget dan membuat kepalanya terkantuk meja.
"Kau baik-baik saja?"
"Aku baik," ucapnya terlihat pening dan mulai menata rambut Lily kembali.
"Jangan tidur," ucap Marilyn memperingati. "Ini, mainkan ponselmu agar kau tidak mengantuk."
Lily melakukannya, dia mengktifkan ponsel jadulnya. Seketika ada banyak panggilan tidak terjawab, dengan ratusan pesan yang menanyakan kebenaran dirinya bersama CEO perusahaan.
"Astaga, ini akan membuatku lelah."
"Tidak perlu membalas pesan mereka, kau akan menjadi Nyonya Fernandez sekarang."
Lily mengadah menatap Marilyn dengan jidatnya yang memerah. Tidak mengatakan apapun, Lily lebih banyak memedam semuanya sendirian.
"Kenapa? Aku tahu banyak pertanyaan di otakmu, tanyakan saja."
Lily menggeleng.
"Kau seharusnya lebih tegas, Nona. Kau akan menjadi Nyonya Fernandez, pemilik real estate terbesar di Asia."
🌹🌹🌹
Suara gelak tawa terdengar di sebuah apartemen, David hanya banyak diam sambil meneguk alkohol.
"Itulah alasannya kau harus banyak berlatih, David. Kau kalah taruhan hingga harus menikah dengan perempuan pendek," ucap Sebastian memakan anggur, matanya menatap David yang menatap keluar jendela.
"Selamat, akhirnya kau menikah dengan perempuan pendek," ucap temannya yang lain menambahkan, dia bernama Luke. "Bukankah kau membencinya?"
Sebastian dan Luke kembali tertawa, suara memenuhi apartemen milik David. Sebastian kembali bertanya, "Akan kau simpan di mana wanita itu?"
"Namanya Lily, Bas," ucap Luke menyerahkan file milik Lily.
"Wow, dia lulusan sekolah menengah dari panti asuhan dan tidak memiliki orangtua. Tidak bisa bahasa Inggris, tidak memiliki kemampuan khusus."
"Dia bisa menyapu," ucap Luke menambahkan.
David tetap diam dan meneguk alkohol dalam gelas, enggan mendengarkan ocehan kedua temannya yang bertaruh dengannya bulan lalu.
Sebuah permainan balapan kuda, David biasanya menang. Namun, karena dirinya tidak dalam keadaan vit, maka dia kalah dari kedua temannya. Dan hukuman bagi yang kalah adalah menerima perintah dari dua orang yang menang.
Luke meminta David menikah, dan Sebastian menambahkan rinciannya. Dia ingin David menikah dengan wanita yang pas dalam balutan gaun pernikahan kecil yang Sebastian beli di pasar bekas.
David adalah orang yang bertanggung jawab atas ucapannya, dia juga orang yang egois dan menjunjung tinggi harga dirinya. Yang mana membuat David enggan menolak tantangan dari kedua sahabatnya itu.
Dan karena itu, pilihan jatuh pada Lily.
"Apa kau memberitahu kerabatmu yang ada di Amerika, David?"
"No." Akhirnya pria itu bersuara.
"Mereka pasti akan mendengar desas desus itu."
"Mereka takkan peduli," ucap David mengisi kembali gelas dengan alkohol, salah satu tangannya masuk ke dalam saku. "Kau tahu apapun yang terjadi padaku mereka tidak peduli."
"Lalu apa yang akan kau lalukan dengan istrimu nanti?"
"Aku akan menempatkannya di rumah Oma."
Oma yang David maksud adalah neneknya dari pihak ayah. Merupakan asli orang Indonesia yang membuat David juga lumayan betah di negara ini, apalagi bisnisnya berkembang pesat.
"Tidak akan membawanya ke apartemen?"
David menggeleng. "Dia bisa menjadi pembersih di rumah Oma."
Seketika kedua temannya kembali tertawa kuat. "Sahammu akan turun."
"Tidak akan, mereka tidak akan berani. Menikahi wanita sepertinya tidak berpengaruh apapun."
Sebastian menatap jam di tangannya. "Ayolah, dia pasti sudah sampai di gereja. Aku yakin Lily dan Marilyn menunggu di sana."
Tanpa berkata apapun lagi, tiga pria berjas itu mengendarai mobil mereka masing-masing menuju ke gereja.
Sebastian dan Luke menuju ke dalam, sementara David menuju ruangan di mana Lily dan Marilyn berada di sana.
"Tuan David….." Marilyn membungkuk dan meninggalkan perempuan berbalut gaun perak dengan hiasan di kepalanya.
Untuk sesaat David terkesima dengan perubahan drastis Lily. Wajahnya yang datar mendekat pada perempuan yang duduk sambil memegang bunga.
"Tuan, sa--" ucapannya terhenti saat David mengerutkan kening tidak suka. Lily menarik napasnya dalam. "Bisa kau jelaskan semua ini? Kenapa aku harus menikah denganmu, David?"
David suka saat Lily menurutinya, dia juga merasa kini bicara dengan manusia daripada para penjilat uang yang memuja dirinya. "Aku memindah tugas dirimu menjadi seorang istri."
"Ini tidak masuk akal."
"Masuk akal, lihat di sini." David menyerahkan surat kontrak. "Kau akan menerima jika dipindahkan tugas menjadi apapun, dan jika melanggarnya, kau akan dikenakan denda sebesar 1 millyar untuk setiap harinya sampai batas waktu kontrak."
Mulut Lily terbuka. "Sa… satu millyar?"
Maka jumlahnya sampai kontrak berakhir yaitu ratusan trilliun.
"Jadi… masih menolak di pindah tugaskan?"
Lily menggeleng.
"Bagus." David mengulurkan tangannya. "Ayo menikah."
**🌹🌹🌹
To be continue**....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!