Renata baru saja akan pulang ke rumah. Hari ini ia mendapat gaji pertamanya dari hasil kerja paruh waktu. Ia sangat senang sekali. Renata sudah berjanji akan membelikan Ibu sesuatu yang bisa dinikmati berdua. Sesuatu yang manis dan ada sedikit asamnya. Aha! Strawberry Cheesecake. Ibu suka sekali kue ini. Sekali makan bisa dua potong kue sekaligus.
"Tolong bungkus ini ya, Mbak." kata Renata. Ia membayangkan raut wajah Ibu ketika ia pulang membawa pulang. Sudah bisa ditebak, Ibu pasti akan marah karena Renata menghabiskan uang untuk membeli yang tidak perlu. Tapi itulah uniknya Ibu. Selalu marah ketika Renata membelikan sesuatu dan malah menyuruhnya untuk menabung. Padahal, Renata hanya ingin menikmati hasil keringatnya bersama Ibunya. Walau ia tahu, ujung-ujungnya Ibu pasti akan tetap memakan kue ini.
Renata tertawa geli sendiri membayangkan raut wajah Ibu. Renata menaruh box kue dengan sangat hati-hati agar tidak rusak. Ia menyalakan motor lalu mulai memutar gas motor dengan perlahan.
Jalanan hari ini terasa lancar. Ia tidak perlu tergesa-gesa. Renata menghentikan motornya di persimpangan lampu merah. Saat ia menunggu lampunya menjadi hijau, ia melihat mobil yang meluncur dengan cepat melalui jalur persimpangan yang lain.
Renata hanya bisa menggeleng melihat ulah pengemudi itu. Saat tiba di kompleks rumahnya, Renata melihat kerumunan orang yang ramai. Seolah-olah sesuatu baru saja terjadi. Renata penasaran. Ia melihat dan meninggikan kakinya untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia tidak bisa melihatnya. Ia mencoba untuk lebih maju dan menerobos kerumunan orang.
Dan ternyata, kerumunan orang-orang sedang berkumpul di rumah Renata. Seorang ibu yang melihat Renata baru pulang kerja, menghampiri Renata sambil sesekali mengeluarkan air mata.
Renata jelas sangat bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ada apa, Bu? Kenapa?" tanya Renata cemas sekali.
"Yang kuat, Nak, Ibu sangat takut, Nak, melihatnya. Yang sabar ya, Nak." Ibu itu mengusap punggung Renata agar ia siap melihat apa yang terjadi.
Renata melewati kerumunan orang yang berkumpul di rumah Renata. Banyak sekali yang bilang bahwa Renata harus sabar menghadapi cobaan ini.
Setelah berhasil melewati kerumunan orang banyak, Renata histeris. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat barusan.
"Ibu, Ibu!! Ibu kenapa, Bu?! Ibu bangun, Bu!" Renata terlalu emosi dan menangis sejadi-jadinya. Ia berteriak tidak karuan. Tetapi beberapa tetangganya menahan tubuh Renata agar tidak jatuh dan tumbang.
Ya, keadaan Kinanti, Ibu Renata, sangat memprihatinkan. Kinanti terbujur kaku, lemas tidak berdaya. Leher Kinanti berwarna biru dan ada beberapa noda darah di bajunya. Tim dokter forensik mengambil beberapa foto TKP dan Kinanti dengan sangat detil.
"Ambil semua sampel yang ada di rumah ini dan akan kita uji." kata seorang dokter forensik.
Renata yang melihat tim forensik berada dirumahnya, ia langsung bergidik ngeri.
"Om, om! Om mau apain Ibu saya Om? Om janga lakukan apa-apa, Om!" Renata tidak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasa sesak, kesal dan pusing.
"Kita harus mencari tahu apa penyebab kematian Ibumu." dokter itu terlihat sangat tegas dan Renata terdiam ketika dokter forensik melakukan tugasnya.
"Datanglah ke kantor besok. Saat ini kamu masih merasa emosi." Dokter forensik itu menyodorkan kartu namanya pada Renata.
"Jangan lakukan apa-apa pada Ibu saya! Jangan lakukan apapun!!" teriak Renata histeris. Tetapi dokter itu tidak menanggapi Renata yang histeris.
"Renata, tenanglah. Kepolisian dan jaksa sudah tiba disini." kata seseorang menenangkan Renata. Renata menengok ke belakang, dimana suara sirine itu berasal. Mobil patroli polisi dan mobil van hitam. Keluarlah beberapa jaksa dari mobil van hitam.
Rumah Renata telah diberi garis kuning polisi dan tak ada satupun yang bisa masuk kecuali jaksa. Tim forensik sudah selesai mengambil sampel yang ada di rumah Renata. Tapi, saat ini Renata masih sangat emosi. Ia tidak stabil. Dan sangat lemas.
Pandangan Renata tiba-tiba menjadi gelap. Ia tidak bisa melihat apapun. Dan, BRUKK!!
"RENATA! RENATA!" teriak orang-orang yang berada di depan rumahnya. Renata sayup-sayup mendengar suara orang-orang memanggilnya. Tapi Renata kali ini terlalu lemah. Ia sangat shock melihat keadaan Ibunya tidak bernyawa dengan keadaan yang sangat mengerikan.
Renata merasa tubuhnya ringan. Ada yang berusaha mengangkat Renata dan membawanya ke salah satu rumah warga setempat, agar Renata merasa tenang.
***
Aroma minyak kayu putih tercium samar-samar di hidung Renata. Kepalanya sangat berat untuk digerakkan. Renata perlahan membuka matanya walau kepalanya masih terasa sangat pusing.
Semakin lama, Renata bisa mencium aroma minyak kayu putih itu. Wanginya semakin tajam dan pusingnya mereda.
"Sudah bangun?" tanya seorang laki-laki yang memberikan minyak kayu putih pada Renata.
"Evano?" gumam Renata. Walau sudah bisa membuka matanya, Renata masih merasa lemas. Ia mencoba memperbaiki posisinya untuk duduk.
"Aku lihat kamu histeris. Tapi keadaan ramai dan kamu terlihat nggak stabil. Jadi kubawa kamu kesini." kata Evano menjelaskan.
Renata terdiam. Ia tidak tahu harus bicara apa. Evano yang sudah mengenal dekat dengan Renata, merasa sedih dengan apa yang Renata alami hari ini.
Renata menunduk. Ia memijat-mijat kepalanya yang masih terasa pusing.
"Aku shock, Van." jawab Renata.
"Iya, aku tahu, Ren. Sudahlah. Sekarang sudah ada polisi dan jaksa. Biarkan mereka yang menanganinya."
"Aku tidak percaya pada mereka." ucap Renata.
"Kamu harus percaya pada mereka agar kasus Tante Kinan bisa selesai." jawab Evano masih berusaha menenangkan Renata.
"Bukan itu, Van. Aku yakin kasus ini akan ditutup sebagai bunuh diri." kata Renata.
"Kenapa kamu berpikir begitu?" Evano semakin bingung.
"Aku hanya berasumsi. Aku akan tahu kalau aku sudah bisa masuk rumahku." jawab Renata yakin.
"Rumahmu di segel polisi. Tinggallah disini dulu. Sementara. Selagi polisi mencari, kamu bisa menenangkan pikiranmu."
Belum sempat Renata menjawab ucapan Evano, Ibu Evano datang membawakan makanan untuk Renata.
"Kamu sudah bangun, Rena? Makanlah ini dulu. Kamu harus punya tenaga." Ibu Evano terlihat sudah agak tua dan ramah.
"Terima kasih, Tante." ucap Renata lemas.
"Tante buatkan teh ini untuk kamu."
"Iya, Tante. Nanti Rena minum."
"Minumlah sekarang, walau hanya sedikit." Evano mengambilkan teh untuk Renata agar ia sedikit punya tenaga. Perlahan, Renata merasa tenang. Ia mencoba mencicipi sedikit agar mempunyai tenaga.
****
Halo, follow aku ya untuk update cerita terbaru. Jangan lupa like novel aku ini :)
Renata menyandarkan kepalanya di dinding dekat jendela. Pemandangan yang terlihat hanyalah rumah komplek dan polisi yang wara-wiri. Renata masih belum dapat melakukan apapun. Ia masih shock dan Evano memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya sementara. Renata tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
***
Mahendra, adalah seorang jaksa yang dikenal dengan kegigihannya. Ia juga dikenal sebagai pengusut kasus hingga ke akar. Hari ini dia berada di TKP dimana seorang wanita berusia empat puluhan diduga tewas bunuh diri. Mahendra memperhatikan kondisi jasad Kinanti yang terbujur di lantai rumahnya.
Kinanti memiliki sayatan di pergelangan tangan dan memercikkan darah sehingga noda darahnya mengenai bajunya. Sayatan itu terlihat seperti Kinanti memiliki dua sayatan. Mahendra juga mendapat informasi dari tim forensik, ketika disemprotkan cairan luminol, darah hanya terlihat di sekitar tubuh korban dan sedikit darah di dekat dapur.
Saat ini Mahendra tidak dapat menyimpulkan apapun. Karena masih belum memiliki hasil yang pasti mengenai kasus ini.
"Tidak ada kah suami dan anak dari Ibu Kinanti?" tanya Mahendra pada detektif yang berada.
"Suaminya dikabarkan belum pulang beberapa hari ini menurut kesaksian para tetangga. Tapi anaknya, Renata, sedang menenangkan diri karena shock melihat kondisi Ibunya." jelas salah satu detektif.
"Bawa jenazah ini ke forensik dan saya akan menemui anaknya." ucap Mahendra.
"Dimana anaknya sekarang?"
****
Pintu kamar tamu yang Renata tempati diketuk dan Evano segera membuka pintunya. Tatapan mata Renata terlihat kosong. Ia seperti tidak tahu apa yang harus ia perbuat.
"Ren, ada yang ingin menemuimu." kata Evano.
Renata tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Evano.
"Ada jaksa kesini. Temuilah, Ren. Siapa tahu ada sesuatu."
Renata beranjak dari tempat tidurnya dan segera merapikan bajunya yang terlihat berantakan. Renata keluar dan duduk tepat di hadapan Mahendra.
"Iya, Pak."
"Nona Renata. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan meninggalnya Ibu Kinanti." Mahendra mengatakannya dengan tegas seolah tidak ada keraguan dalam nada bicaranya. Renata menatapnya dengan sedikit tajam.
"Nona Renata, dimana Anda berada pukul 13.15 sampai 15.15 siang ini?" tanya Mahendra.
"Saya pergi ke toko kue. Membeli kue untuk Ibu karena Ibu suka kue. Mungkin sekarang kue yang saya beli masih di motor." jawab Renata.
Mahendra terdiam sebentar dan menengok ke arah belakang dimana ada beberapa polisi. Mahendra memintanya untuk mengecek motor Renata yang masih ada kue, seperti kata Renata.
"Apakah Anda tahu beberapa orang yang sekiranya berhubungan dengan Ibu Anda belakangan ini?" tanya Mahendra.
"Saya tidak tahu." jawab Renata.
Beberapa saat kemudian, polisi kembali membawa sekotak kue yang memang masih di gantung di motor.
"Mungkin saya masih sedikit shock, Pak. Tapi saya ingat betul siapa yang suka adu mulut dengan Ibu saya."
"Siapa?"
"Ayah saya. Tapi saya tidak tahu dimana ia tinggal dan juga nomor hapenya."
"Lalu bagaimana kamu bisa yakin itu Ayahmu?"
"Ayah datang kerumah sesekali walau dalam keadaan mabuk. Saya tahu persis."
Mahendra terlihat semakin bingung. Ia tahu ini bukan hanya sekedar kasus bunuh diri biasa. Renata sejak awal bertemu dengan Mahendra sama sekali tidak menunjukkan kesedihan yang seharusnya terlihat di wajah Renata.
"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi. Saya masih sangat shock. Saya harap Bapak bisa menemukan sesuatu dari kasus Ibu saya." ucap Renata.
Tapi yang Mahendra sadari adalah tatapan mata Renata yang begitu kosong. Mahendra memakluminya, mungkin karena ia masih sangat shock dan melihat Ibunya terbujur di lantai rumahnya.
***
Renata kembali lagi ke kamarnya. Evano mungkin benar bahwa Renata masih benar-benar shock. Saat ditanyai oleh jaksa tadi ia tidak melihat air mata ataupun kesedihan di wajah Renata.
"Maaf, Pak. Mungkin Renata masih shock. Ia sangat dekat dengan ibunya. Dan kehilangan Ibunya saat ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih." kata Evano.
"Apa kau pemilik rumah ini?" tanya Mahendra.
"Iya betul."
Mahendra mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Evano.
"Hubungi saya jika Nona Renata tahu sesuatu mengenai kasus ini."
"Baik, Pak."
Mahendra dan beberapa polisi lainnya pergi meninggalkan rumah Evano. Evano meletakkan kartu nama jaksa itu di meja bukunya dan melihat Renata sekali lagi. Renata masih sama. Menatap kosong ke arah jendela.
"Ini kartu nama jaksa itu. Kalau ada sesuatu yang kamu ketahui, hubungilah." kata Evano meletakkan kartu nama itu di dekat tangan Renata.
Renata tidak bereaksi apapun. Ia hanya melirik kartu nama itu. Mahendra.
***
"Tutup kasus ini." kata Kepala Jaksa pada Mahendra di ruang kerjanya.
"Tapi, Pak..." Mahendra masih bersikeras untuk mengusut kasus Kinanti.
"Sudah terbukti, korban melakukan bunuh diri dirumahnya. Apalagi yang kau butuhkan?" tanya Kepala Jaksa yakin dengan penyelidikan hari ini.
"Saya masih belum yakin, Pak. Tim forensik belum memberikan hasil pada kami mengenai pemeriksaannya." sergah Mahendra.
"Begitukah? Sampai berapa hari bahwa kau yakin kalau ini hanyalah kasus bunuh diri biasa?" tanya Kepala Jaksa memastikan Mahendra.
"Maaf, Pak. Saya harus menyusuri kasus ini lebih dalam. Tapi jika..."
Kepala Jaksa langsung memotong ucapan Mahendra.
"Lima hari. Kamu saya beri waktu lima hari menyelesaikan kasus ini. Jika tidak ada bukti yang lebih mendalam, kasus ini saya tutup sebagai kasus bunuh diri biasa. Kau sanggup?"
"Baik. Terima kasih, Pak!" Mahendra langsung menunduk memberi hormat pada atasannya dan pergi meninggalkan ruang Kepala Jaksa.
Mahendra segera kembali ke ruang kerjanya. Sekretaris dan detektif yang biasa menangani kasus sebagai satu tim dengan Mahendra, disibukkan dengan beberapa kasus yang harus ditinjau.
"Ibu Liliana, Pak Nugraha, kita punya waktu lima hari untuk menyelesaikan kasus Ibu Kinanti. Jika lewat dari lima hari, Pak Kepala akan menutupnya sebagai kasus bunuh diri biasa." jelas Mahendra kepada para staffnya.
"Baik, Pak."
"Ibu Liliana, tolong cek panggilan telpon dan pesan milik Ibu Kinanti. Pak Nugraha saya minta tolong cek CCTV terdekat yang ada di komplek rumahnya."
"Baik, Pak."
Mereka bekerja sama, berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada Kinanti. Mahendra yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Renata. Wajah Renata yang ia temui kemarin terlihat sangat gelap dan hampa.
Mahendra merasakan keganjilan pada tatapan mata Renata. Tapi, pelaku selalu kembali ke TKP. Mahendra akan mengecek ulang TKP besok pagi.
***
Pagi sekali, Renata datang ke rumahnya yang sudah di garis polisi. Ia menatap nanar rumah yang kosong itu. Rumah yang selalu ia tinggali dengan hangat dan canda tawa bersama Ibunya, kini sudah sirna. Harapan satu-satunya Renata selama hidupnya sudah tidak ada. Renata hanya bisa menatap foto bingkai yang selalu Ibu bersihkan. Foto bingkai di meja penuh dengan foto dirinya bersama Ibu.
Hampir tidak ada foto Ayah. Ya. Ayah sudah pergi beberapa tahun lalu bersama seorang wanita yang terobsesi dengannya. Walaupun Ayah sesekali kembali pada Ibu, lantas hal itu tidak pernah membuat Renata bahagia. Ayah yang mempunyai tempramen tinggi selalu Renata hindari.
Renata mulai menangis ketika ia melihat garis putih yang melingkar di lantai. Disinilah Ibu terbujur lemas tidak berdaya. Ia selalu mengingat senyum Ibu dengan hatinya yang rapuh, semakin lama senyum Ibu semakin membuat Renata sakit. Renata menepuk-nepuk dadanya dengan keras. Ia mencoba menghilangkan sesak didada.
Dimana ia tidak akan pernah melihat senyum Ibu lagi untuk selamanya. Ia berteriak dalam kepiluan. Hati yang baru saja rapuh, kini menjadi hampa karena kehilangan.
Hari penyelidikan ke 1
Renata mendatangi dokter forensik yang kemarin memintanya datang ke Layanan Forensik Nasional. Ia berjalan menyusuri lorong gedung. Hampir tidak ada ruang tertutup. Ruang kerja disana terlihat seperti ruang kaca yang bisa dilihat oleh siapapun ketika ada yang bekerja. Renata melewati ruang lab, karena ruangan itu kaca, Renata bisa mengamatinya dari luar ketika seorang petugas melakukan uji coba terhadap sebuah sampel.
"Cari siapa?" tanya seseorang mengenakan jas putih.
Renata menoleh dengan kaget.
"Maaf, saya kesini atas permintaan dokter ini." Renata menyodorkan sebuah kartu nama dengan logo LFN dipojok kiri atas. Orang itu melihat kartu nama yang Renata bawa.
"Dokter Azri? Dia sedang ada di ruangannya. Saya antar."
Renata mengikuti langkah orang yang memakai jas putih itu untuk menuju ruangan Dokter Azri. Entah bagaimana ia harus memanggil namanya. Tapi kantor LFN ini tampak sepi. Jauh dari kata ramai.
Orang berjas putih itu membuka ruangan Dokter Azri. Terlihat Dokter Azri sedang tidur dan wajahnya ditutupi oleh sebuah buku.
"Hari ini dia jadwal autopsinya sedikit. Karena ada satu jasad yang belum diautopsi dan dia belum mendapat persetujuan walinya." katanya.
"Mungkin karena ada jadwal senggang dia bisa tidur." tambahnya.
"Memang sehebat apa Dokter Azri untuk mengautopsi?" Renata menjadi sedikit penasaran.
"Dia disebut dokter gila. Autopsi yang dijalaninya selalu berlangsung lama. Dia juga sangat teliti dalam setiap autopsinya."
Renata mengangguk. Dan orang itu masuk ke ruangan Dokter Azri, membangunkannya.
"Dokter Azri, ada yang datang mau menemuimu." panggilnya dengan mengetuk mejanya.
Sesaat Dokter Azri terbangun.
"Oh ya siapa?" Dokter Azri sedikit kaget dan bangun dari tidurnya dengan terburu-buru. a
"Katanya kemarin kau menyuruhnya datang?"
Dokter Azri meletakkan bukunya dan bangun dari duduknya.
"Oh kau yang kemarin itu. Masuklah dan duduk." Dokter Azri mempersilakan Renata masuk dan orang berjas putih tadi keluar dari ruangan Dokter Azri.
Renata duduk di ruang Dokter Azri. Ruangannya tampak terlihat banyak buku dan file kertas yang menumpuk dan dipenuhi dengan buku tentang kedokteran forensik.
"Siapa namamu?" tanya Dokter Azri mulai duduk di hadapan Renata.
"Renata, Dok."
"Jadi begini Renata. Saya tidak bisa langsung menyimpulkan penyebab kematian Ibumu hanya melihat dari jasadnya saja. Dengan kata lain saya harus membedahnya." Dokter Azri mengatakannya dengan blak-blakan membuat Renata sedikit protes dengan perkataannya.
"Kenapa Dokter bicara begitu? Saya kan bilang jangan diapa-apakan Ibu saya!" Renata protes pada Dokter Azri ini.
"Saya memang belum ngapain-ngapain. Tapi dari jasad Ibumu, terdapat lilitan di lehernya di depan dan belakang leher.yang artinya jauh dari kata bunuh diri jika Ibumu bunuh diri dengan kain yang terikat. Dan juga sayatan di tangan kiri Ibumu terdapat dua sayatan di dekat urat nadinya. Tapi saya belum bisa memeriksa lebih lanjut seberapa dalam sayatan itu. Apakah hanya menutupi motif pembunuhan atau Ibumu benar-benar putus asa melakukannya."
Renata terdiam mendengar penjelasan Dokter Azri. Ia bergidik ngeri dengan apa yang ia dengar sejauh ini. Tetapi Renata mencoba mengendalikan emosinya.
"Lalu, apa yang Dokter lakukan jika Dokter mengautopsinya?"
"Saya bisa menemukam hal lain dari dalam tubuh Ibumu." kata Dokter Azri.
"Maksud Dokter?"
"Jasad yang sudah mati memang tidak bisa bicara. Tapi, apa yang ada dalam tubuh Ibumu ketika kubedah nanti, mungkin kenyataannya bisa berbicara lain." jawab Dokter Azri sangat santai bicara dengan Renata. Sepertinya Dokter Azri sering menghadapi kasus seperti ini.
Renata memainkan jemarinya. Ia bingung harus menjawab apa.
"Apakah Ayahmu tidak ada? Apakah aku harus bicara dengan Ayahmu?" tanya Dokter Azri. Tapi Renata langsung bereaksi.
"Jangan libatkan Ayahku. Tolong, lakukan saja apa yang terbaik untuk Ibuku."
Dokter Azri sedikit terkejut dengan jawaban Renata tapi ia harus menghargai keputusan Renata tanpa banyak bertanya.
"Baiklah, saya akan melakukan autopsinya." jawab Dokter Azri.
Renata terlihat gelisah. Tapi ia pun juga penasaran dengan perkataan Dokter Azri. Mengapa ada lilitan di sekitar lehernya jika Ibunya bunuh diri dengan kain yang terikat? Hal ini sangat mengganggu Renata.
***
Mahendra baru saja sampai di lokasi TKP. Rumah yang digaris polisi itu tampak sepi dan sunyi. Ketika ia memeriksa ulang TKP, ia selalu berkata dalam hati bahwa tidak boleh merusak TKP. Mahendra menyusuri ruang tamu. Ia memeriksa mulai dari meja di ruang tamu dan membuka lacinya. Ia juga mencari-cari sesuatu di belakang sofa. Ia tidak menemukan apapun.
Lalu ia menyusuri ruang kamar yang terletak di ujung lorong. Ada dua kamar. Kamar pertama yang Mahendra masuki adalah kamar yang rapi dengan beberapa piala dan piagam yang ada di meja belajar dan dinding. Ia meyakini kamar itu adalah kamar anaknya. Renata. Foto Renata yang terbingkai rapi diatas meja memancarkan aura bahagia bersama Ibunya.
Mahendra kemudian memasuki kamar kedua. Kamar itu tertata sangat sederhana dengan tidak terlalu banyak barang. Meja riasnya tidak penuh dengan berbagai perawatan wajah. Dan lagi-lagi Mahendra menemukan foto berbingkai Kinanti bersama anaknya, Renata. Hanya berdua.
Jika Mahendra perhatikan, dirumah ini hanya terlihat foto Kinanti dan Renata. Tidak ada satupun foto suaminya. Tapi Mahendra menemukan satu foto keluarga dimana ada Kinanti, Renata dan seorang pria setengah baya di ruang tengah. Foto itu terletak di dinding dan dicetak dengan ukuran yang agak besar.
Mahendra kembali menyusuri dapur dan kamar mandi di rumah itu. Ia juga memeriksa pisau dapur yang sekiranya digunakan Kinanti untuk menyayat pergelangan tangannya. Tapi ia yakin, pisaunya sudah disita oleh LFN.
Ketika ia membuka laci bufet yang ada di dapur, ia menemukan sebuah buku di lacinya. Mahendra memeriksa buku itu. Buku yang berisi anggaran rumah tangga serta ada rincian uang yang diterima olehnya setiap bulan. Apakah uang itu berasal dari suaminya?
Mahendra membawa buku itu untuk diperiksa lebih lanjut.
****
Renata melihat jasad Kinanti dibaringkan di ruang autopsi khusus. Lampu besar diatasnya dengan kedua orang asisten yang mendampinginya.
Renata sangat pilu melihat jasad Kinanti akan dibedah oleh dokter forensik. Itu berarti ia harus rela jika organ-organ Kinanti dikeluarkan dari tubuhnya.
"Hari ini, hari Selasa tanggal 12 Maret pukul 10.46, autopsi jasad Kinanti Waluyo, akan dimulai."
Renata cemas melihat semua yang terjadi walaupun Dokter Azri belum membedah tubuh Kinanti. Renata sudah merasa sangat gemetar. Ia hanya seorang diri. Tidak ada satu orangpun yang bisa menguatkannya saat ini. Renata benar-benar menyaksikan pembedahan tubuh Ibunya dengan mata kepala sendiri.
***
PLAKK!!
Seorang pria paruh baya sekitar usia enam puluhan awal menampar wajah wanita yang berusia sekitar empat puluhan dengan sangat keras.
"Apa yang kau lakukan? Kau mengambil perhiasan Kinanti tanpa sepengetahuanku? Apa aku memberimu uang sangat kurang sampai kamu ngambil barang-barang Kinanti?"
Wanita itu memegangi pipinya yang merah. Ia menatap tajam lelaki itu.
"Aku ingin menjadi istrimu seutuhnya! Aku akan melakukan apapun untuk membuat Kinanti terpuruk!"
"Kau gila, Nina! Kau terobsesi apa sih sampai saat ini? Kinanti itu sudah mati! Apa yang mau kamu lakukan lagi?"
"Baguslah kalau dia mati. Tidak akan ada lagi saingan dalam hidupku. Dia memang saingan terbesar yang memang harus hancur!!" balas Nina dengan egoisnya.
"Aku menikahimu dan meninggalkan anak istriku. Itu masih belum membuatmu puas. Kamu benar-benar gila, Nina!!"
Lelaki itu meninggalkan Nina di ruang tamu dan memasuki kamarnya. Ia benar-benar kesal dengan tingkah laku Nina yang semakin sulit dimengerti.
"Candra! Candraaa!!"
Nina semakin emosi karena Candra, suaminya, dengan seenaknya memukulnya seperti itu. Disisi lain, Nina sangat sesak ketika harus bahagia ketika tahu Kinanti sudah meninggal. Entah bagaimana ia mengekspresikan perasaannya. Ia hanya bisa memandangi perhiasan Kinanti yang kini berada di tangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!