Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan bertemu kembali dengan kakakku. Sudah tiga tahun lamanya aku tak bertemu dengan James. Nama lengkapnya James Wilson, seorang mantan detektif kepolisian.
Izinkan aku untuk menceritakan tentang diriku. Perkenalkan, namaku Agatha Blinda. Rekan sekaligus kembaran James Wilson. Dan saat ini, aku sedang berpijak di tempat di mana wanita yang menjabat sebagai ibu kami dilahirkan. Sebuah negara tropis yang menjadi tempat pertemuan kami, aku dan James.
Aku dapat melihat James sedang menuju kemari dari arah timur. Seulas senyum terukir di wajahnya yang khas. Matanya berwarna gelap, hidungnya mancung, tubuhnya begitu jangkung dan berisi. Benar-benar mirip dengan mendiang Ayah kami.
“Welcome To Indonesia,” ucap James dengan aksen Inggris yang kental. Dia menjemputku dengan mobil Ferrari keluaran terbaru, tingkahnya seperti jutawan saja. Langkahnya yang cepat menuntunku untuk mengikutinya.
“Jadi, bagaimana pendapatmu tentang Indonesia?” tanya James ketika mobil yang kami tumpangi melaju.
Aku mengangkat bahu. “Hangat,” jawabku singkat.
Saudaraku itu tertawa terbahak setelah mendengar jawaban dariku. “Yah, kau benar. Kota metropolitan ini sedang dilanda musim kemarau, jadi agak hangat,” ucapnya kalem.
Aih, aku jadi merindukan suasana London yang dingin.
Meskipun terlihat sangat membosankan.
“Nah, Agatha. Bagaimana menurutmu?” tanya James ketika kami sampai di apartemennya. Ia menunjukkan lembaran kasus- kasus yang akan ditanganinya.
“Tak ada yang menarik!” James kembali terbahak dengan jawabanku. Sepertinya ia memang senang sekali tertawa saat ini. “Ya, terlihat membosankan!” lanjutnya sambil menyodorkan secarik kertas padaku, “Aku yakin kau akan tertarik dengan kertas berwarna biru itu!”
Kuraih kertas berkualitas bagus itu. James benar! Aku tertarik dengan tulisan di kertas itu. Membuatku mengingat masa lalu. “Mau mengunjungi tempat Nona Violet Agustina?” tawar James yang membuatku bergidik ngeri. Saudaraku hanya terbahak melihat betapa lucunya ekspresiku saat ini.
“Tidak, terima kasih. Lain kali saja kita mengunjungi Nona Violet. Lebih baik kita menjenguk Tuan Alberth yang terhormat!”
Kulihat James menyeringai mendengar pernyataanku yang terakhir. “Ambil topi dan jaketmu! Aku melihat semangat yang membara di matamu,” ujarnya dengan mulut yang menghisap kokain.
Biar kuberitahu, aku ini seorang penulis yang cukup terkenal.
Banyak perusahaan surat kabar dan majalah yang menawariku untuk menjadi penulis di tempat mereka. Saat ini aku rutin menulis di penerbit bernama LT News. Ada beberapa cerita yang kupublikasikan mengenai petualangan James dan diriku sebagai detektif, kecuali kasus yang menyangkut masalah penting tak kupublikasikan.
Di samping itu, aku juga seorang dokter dan psikiater.
Ternyata kerjaanku sebagai psikiater menyeretku ke dalam kasus Tuan Alberth Davidson. Pria tua yang menjabat sebagai dosen di Universitas Luxess. Kasus itu terjadi sekitar 4 tahun yang lalu. Namun, masih membekas di pikiranku.
Aku dan James berkunjung ke rumah bibi Alesa di Indonesia.
Saat itu tahun 2013, James masih bekerja sebagai detektif kepolisian di London sebelum memutuskan untuk jadi detektif swasta pada tahun 2015. Waktu itu hujan turun cukup deras. Aku menerima pasien di tempat praktikku di Indonesia. Pasien itu seorang pria tua, usianya kira-kira 50 tahun. Matanya cekung, pipinya kurus, dan wajahnya begitu pucat. Seakan ia baru mengalami kejadian yang sangat mengerikan. Di sampingnya berdiri pemuda yang tampan. Namun, wajahnya tak kalah pucat.
“Silakan duduk!” titahku setelah membiarkan mereka berdiri mematung.
“Tolong kami Nyonya!” teriak pria tua itu mencengkeram kemejaku dengan kuat. Aku berusaha menenangkannya. Namun, pria itu semakin gila saja. Aku sudah terbiasa mendapat pasien yang jiwanya sedang terguncang. Jadi, aku memaklumi hal itu.
“Maafkan atas ketidaksopanan majikan saya ini,” kata pemuda itu dengan sopan. Ternyata pria tua itu majikannya. Aku menatap keduanya dengan kasihan. Keadaan mereka sangat tragis. Pakaian kotor dan wajah yang ditimpa ketakutan.
“Kami sedang dilanda masalah besar Tuan. Namun, tuanku sepertinya lebih menderita daripada diriku,” kata pemuda itu lagi. “Alberth Davidson, nama pria tua di sampingku. Seorang dosen di sebuah universitas ternama di negri ini. Viktor, begitu orang memanggilku.”
“Biar ku tebak. Anda adalah anak Tuan Alberth,” selaku sambil tersenyum. Pemuda bernama Viktor itu nampak terkejut. “Kebohongan saat Anda saat mengatakan jika Tuan Alberth majikan Anda terlihat jelas. Serta sorot mata Anda yang memancarkan kecemasan. Seorang pelayan tentu takkan begitu cemas pada majikannya. Pancaran itu hanya bisa terlihat dari keluarganya saja. Anda tentu bukan adik Tuan Alberth. Usia Anda terlalu muda untuk jadi seorang adik. Sebenarnya banyak hal yang belum aku katakan. Akan membuang waktu jika aku menjelaskannya.”
Pemuda tampan itu terpana dengan penjelasanku. “Cukup hebat!" teriaknya memuji.
“Itu belum seberapa dibandingkan James, kakakku! James lebih pintar mengenai sebuah kesimpulan.” Aku keberatan dengan pujiannya yang berlebihan itu.
“Hubungan adik-kakak yang aneh” komentar
Viktor.
“Tentu saja! Kami ini sudah melewatkan masa-masa yang
sulit. Sebagai pakar kriminal sekaligus detektif kepolisian di Inggris."
Mata Tuan Alberth dan Viktor berbinar senang. Mereka seperti baru saja mendapatkan harta karun di tengah kemiskinan.
“Senang sekali bisa bertemu dengan Anda! Mungkin Anda dapat meringankan beban kami,” teriak Tuan Alberth.
"Memang sudah tugasku membantu pasien," jawabku tersenyum sambil menulis beberapa resep obat tidur.
"Bukan itu maksudku saya, Nona," sambar Tuan Alberth cepat, "Ini tentang masalah yang membuat saya stress."
Aku berhenti mancatat resep dan menatap Tuan Alberth dengan serius. “Aku tak yakin dapat membantu masalah Anda. Karena aku sudah lama tidak terlibat masalah serius. Tapi Anda bisa datang ke rumahku, datanglah nanti malam dan coba ceritakan masalah Anda." Kutulis alamat apartemen James. Karena tak mungkin jika aku menerima tamu di rumah bibi. Itu rasanya tidak sopan.
“Pasti! Kami akan datang nanti malam. Senang rasanya jika Anda dapat membantu!”
Tuan Alberth dan Viktor menghilang di balik pintu berwarna coklat tua. Tak tega rasanya jika aku membiarkan mereka tersiksa begitu. Entah masalah apa yang bisa membuat mereka tertekan. Aku banyak menerima pasien dan kasus seperti ini sudah tak aneh. Hanya saja entah kenapa aku merasa masalah Tuan Alberth tidak sesederhana yang dipikirkan.
Mungkin ada cerita menarik di baliknya. Aku mengangkat bahu bingung. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku menghubungi James. "Akan ada tamu nanti malam. Aku tahu kita sudah tak terlibat dengan apapun. Tapi mungkin ada sesuatu yang bisa menarik perhatianmu," kataku langsung pada intinya.
"Baiklah, Agatha. Aku menantikan kedatangan tamu kita. Ceritakan detailnya nanti saat kau pulang kerja."
"Tentu. Aku akan memberimu penjelasan dan kau yang memutuskan membantu mereka atau tidak." Kalimat itu menjadi penutup percakapanku dan James.
James terlihat lebih semangat daripada sebelumnya. Dia membukakan pintu agar tamunya bisa masuk.
Terlihat seorang pria tua dan pemuda dengan wajah pucat.
Huh, keluarga yang benar-benar tertimpa kengerian pikirku. Tuan Alberth tampak lebih baik daripada sebelumnya. Begitu pun anaknya, Viktor. Namun, lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa mereka tak tidur dengan nyenyak sejak kemarin-kemarin.
“Silakan duduk Tuan Alberth dan Tuan Viktor!” sambut James sambil memiringkan badannya supaya para tamu bisa masuk.
Viktor segera duduk di hadapanku. Sementara Tuan Alberth tampak memikirkan sesuatu. Sepertinya ia masih ragu untuk menceritakan masalahnya.
“Kami bisa dipercaya.” James yang baru duduk angkat bicara.
Tuan Alberth berakhir dengan duduk di hadapan kami. Meskipun wajahnya masih penuh keraguan. “Anda pasti sudah mendengar tentang pembunuhan Sarach Pailouw,” ucapnya setengah berbisik.
“Ya, aku membaca beritanya tiga kali di surat kabar.
Melihatnya di televisi lima kali. Dan dua kali mendengar dari radio.” James menjawab sambil menunjukkan senyum tipis.
“Ternyata berita ini sudah menyebar ke pelosok negeri. Huh, membuat masalahnya parah saja!” keluh Viktor dengan wajah lesu. “Kemarin saya mencari nama Anda di mesin pencarian. Ternyata yang dikatakan Nona Agatha memang benar. Anda seorang pakar kriminal dan detektif di Inggris. Saya harap Anda bisa membantu memecahkan masalah yang sedang saya hadapi,” lanjutnya penuh harap.
James hanya mengangguk mendengar ucapan tersebut. Sesekali ia melirik ke arahku dan menatapku dengan tatapan aneh. Seakan aku ini sudah mencemarkan reputasi yang selalu dibangggakannya itu. “Saya akan berusaha semampunya,” ucapnya lalu mulai mengeluarkan sebuah buku kecil lengkap dengan alat tulis.
Wajah Viktor terlihat senang. “Setidaknya masih ada jalan keluar,” tuturnya penuh harap.
“Sebaiknya Anda ceritakan masalah Anda,” saran James yang mulai jengkel karena tak kunjung mendapat penjelasan.
Tuan Alberth menarik napas panjang sebelum menceritakan masalah yang melandanya. “Mungkin Anda sudah mendengar tentang saya dari berita. Saya seorang dosen bahasa Jepang di universitas ternama di negeri ini. Universitas Luxess. Saya mempunyai mahasiswi cerdas bernama Sarach Pailouw. Dia berasal dari Inggris,"
“Sudah saya bilang sebelumnya, Sarach adalah mahasiswi cerdas. Dia mendapat beasiswa di Oxford. Kembali ke negara tropis ini untuk menulis artikel tentang kebudayaan di Indonesia. Baru empat hari ia berada di sini. Namun, nasib buruk menimpanya. Petugas perpustakaan menemukannya mati dalam kondisi mengenaskan. Kau pasti sudah tahu mengenai hal itu.”
James mengangguk penuh pengertian. Dari awal ia memang tertarik dengan kasus ini. Terutama garis tipis di leher korban yang mirip bekas jeratan tali. “Jam berapa petugas itu menemukan korban?” tanyanya yang sudah siap mencatat hal penting.
“Sekitar pukul sepuluh malam. Karena kebetulan saat itu perpustakaan memang mau tutup. Mungkin malam itu adalah malam yang tak bisa dilupakan Rico, petugas perpustakaan. Ia berteriak saking terkejutnya. Dan itu membangunkan semua penghuni asrama, termasuk saya dan Viktor. Karena gugup dan takut, saya segera menelepon polisi. Saya begitu kaget karena kejadian itu. Bagaimana tidak? Mahasiswi yang tergolong cerdas tewas begitu saja. Reputasi universitas pun menjadi taruhan. Saya tak peduli kalaupun saya dipecat. Namun, reputasi universitas yang telah membesarkan nama saya itu bisa hancur.
“Polisi pun tak bisa melakukan apa-apa. Penyelidikan sudah dilakukan dengan besar-besaran. Namun, tak menghasilkan apa-apa. Malah membuat reputasi universitas semakin terancam. Polisi angkat tangan dengan kasus ini. Pembunuhan itu sepertinya sudah direncanakan dengan sangat baik. Pembunuhnya pun seperti sudah terbiasa. Saking frustrasinya, polisi menangkap Rico sebagai tersangka. Mereka benar-benar sudah kewalahan. Maka dari itu, saya meminta pada Anda untuk menangani kasus ini. Saya akan sangat bersyukur jika Anda berkenan untuk membantu.”
Penjelasan panjang itu diakhiri dengan permohonan Tuan Alberth. James mengerutkan dahinya. Telunjuknya yang panjang itu menempel di pelipisnya. Ia berdiri tanpa mengucapkan apapun. Mondar-mandir selama sepuluh menit lamanya.
“Apakah korban memakai sepatu saat itu?” tanya James.
“Ya. Sepatunya berwarna biru muda. Dengan merk sepatu ternama di Inggris!” jawab Viktor.
James tersenyum. Sepertinya ia sudah menduga bagaimana kejadian itu terjadi. “Sepatunya memiliki hak?” Dia kembali bertanya.
Tamu kami terlihat berpikir keras. Sepertinya mereka bingung dengan pertanyaan James yang keluar jalur. Aku pun juga begitu. Entah beberapa kalinya saudaraku itu membuatku bingung.
“Aku tidak yakin. Tapi, kurasa iya. Haknya tak terlalu tinggi,” jawab Viktor ragu.
“Aku rasa kalian perlu beristirahat. Aku akan menemui kalian di universitas besok pagi.”
Tamu kami tampak tak puas dengan tanggapan saudaraku. Tapi, melihat kejujuran di mata James, mereka akhirnya bersedia pulang.
“Kau sudah menemukan jawabannya?” tanyaku setelah tamu kami pergi keluar.
James mengangkat bahunya dan duduk di kursi goyang dekat televisi. Semalaman ia tak membicarakan soal kasus Sarach Pailouw. Saudaraku itu hanya menghabiskan waktunya dengan duduk dan meminum kopi. Tiba-tiba ia berdiri dari tempat duduknya sambil berteriak. “Hollaaa! Lihatlah apa yang ditemukan tamu kita!” teriaknya sambil menunjukkan pesan singkat yang dikirim Tuan Alberth.
Hanya huruf-huruf yang disusun dalam satu baris. Namun, James terlihat bahagia.
___ OE DJ J TJ ___
James menyalin tulisan itu di buku catatannya. “Apa pendapatmu?” tanyanya melirikku yang duduk di sofa. Jujur saja aku tak tahu apa arti dari pesan itu. “Tuan Alberth menemukan secarik kertas di buku korban,” lanjutnya ketika aku tak menjawab.
“Huh, sepertinya Tuan Alberth sedang kumat. Mustahil korban menulis surat kematiannya lalu diselipkan di bukunya. Bukankah Sarach tewas karena ditembak?” Aku menyangkal ucapan James.
“Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi, bisa saja korban sempat menulis surat kematiannya.” James tersenyum misterius. Sepertinya ia tahu sesuatu yang aku tidak tahu.
“Itu mustahil, James! Aku sudah mendengar berita hari ini. Korban ditembak tepat di jantung. Polisi yakin jika pembunuh itu seorang penembak yang terampil. Itu berarti satu hal, pelaku pembunuhan yang menulis surat kematian itu. Sengaja dibuat agar pihak kepolisian terkecoh!” Aku tetap bersikukuh pada pendapatku.
James terbahak mendengar pernyataanku. “Well, ku rasa kau itu keras kepala seperti ibu,” komentarnya.
“Kalau begitu, katakan apa arti dari tulisan itu?” tanyaku kesal.
“Aku tidak tahu pasti. Maka dari itu, aku harus melihat surat kematiannya secara langsung. Kita juga akan melakukan penyelidikan di perpustakaan itu,” jawab James enteng.
Aku hanya menghela napas. Pikiran saudaraku itu benar- benar tidak bisa ditebak. James kembali mempelajari surat kematian yang disalinnya itu. Dan aku hanya memainkan biola sambil menikmati suasana ibukota di malam hari. Mengingat kembali waktu yang telah aku habiskan bersama James ketika menyelidiki beberapa kasus.
Sungguh mendebarkan ketika kami dihadapkan pada kasus yang sulit. Itu memang menyenangkan saat berhasil mengungkap kebenaran, tetapi bahaya yang ditanggung juga setara dengan rasa senangnya. Karena bahaya itulah aku mengundurkan diri menjadi detektif dan tak kusangka James juga memilih pensiun.
Pagi ini aku dan James berangkat ke tempat kejadian dengan menaiki kereta api. Sebenarnya aku sudah memesan taksi. Namun, saudaraku itu keras kepala, ia bersikeras berangkat ke sana dengan kereta api. “Begini kan enaknya. Sudah lama aku tak menaiki kereta api. Benar-benar hari yang indah,” ujarnya menatap ke luar jendela.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Cuaca pagi ini begitu buruk, ibukota diguyur hujan semalaman. Dan pagi ini puncaknya, hujan turun dengan cepat dan deras, disusul suara gemuruh dari langit.
Jangan lupakan kilatan cahaya bermuatan listrik yang sewaktu- waktu dapat menyambar jendela di kereta api.
Rel kereta berdecit saat kami tiba di stasiun. James bangkit dari duduknya. “Nah, Agatha. Penjara sedang menunggu dua orang yang akan singgah di hatinya,” ujarnya tersenyum aneh.
Aku angkat tangan jika saudaraku sudah bicara dengan kata- kata konotasi. Ia berusaha keluar dari gerbong yang kami tumpangi. Orang-orang berdesakan menuju pintu keluar. Mengingatkanku saat menaiki kereta di Negeri Sakura, Jepang.
“Universitas Luxess hanya berjarak 500 M. Bagaimana jika kita jalan kaki saja?” tawar James.
“Ya. Olahraga baik untuk kesehatan,” jawabku. Kami berhenti di tepi jalan saat kendaraan melesat dengan cepat di jalanan.
Menanti cahaya merah di lampu lalu lintas.
James memperhatikan wanita yang nekat menyeberang di saat suasana tidak mendukung. Wanita itu terlihat bersolek ria dan tak peka dengan lingkungan sekitarnya. Banyak pengendara yang rem mendadak dan membunyikan klakson. Sadar akan ulahnya, wanita itu mempercepat langkahnya. Ia sampai tepat di samping kami. Wajahnya sangat pucat. Mungkin kaget karena kejadian tadi.
“Huh, dunia makin kacau saja!” komentarku. James hanya mengangkat bahunya dan menarik tanganku untuk menyeberang.
Kedatangan kami di universitas disambut baik oleh pihak kepolisian. Terutama tamu yang sempat berkunjung ke apartemen kami tadi malam.
“Kami menyimpan sepatu korban seperti yang Anda minta.
Dan ini surat kematian yang ditulis korban.” Tuan Alberth menyerahkan sepasang sepatu berwarna biru muda dan secarik kertas lecek. James berusaha memecahkan teka-teki rusaknya sepatu Sarach Pailouw. Entah informasi apa yang akan didapatnya dengan memperhatikan kerusakan di hak sepatu itu.
“Viktor mengatakan padaku, jika Sarach dipercaya oleh perdana mentri untuk menyerahkan dokumen penting ke kedutaan Rusia. Kurasa dokumen itu otak di balik kejadian ini. Pelaku mungkin mengincar dokumen itu dari awal. Dan mengira jika kertas penting itu ada dalam hak sepatu korban,” jelas James.
Aku terlonjak mendengarnya. Bukan aku saja yang merasa terkejut, sepertinya klien kami lebih terkejut mendengarnya.
“Kurasa itu tidak mungkin. Hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Kami juga baru mengetahuinya setelah membaca buku harian korban,” bantah Viktor.
“Itu hanya kemungkinan saja. Belum tentu benar. Mari kita lihat apa yang bisa kita dapat melalui kertas lecek ini,” ucap James meraih surat kematian yang sudah lecek itu. Matanya berbinar saat melihat kata terakhir di surat itu. “Kenapa kau tak memberi tahu jika ada inisial di akhir surat ini?” tanyanya agak kesal.
Tuan Alberth tersenyum tipis. “Seperti yang kau lihat. Itu hanya kata yang tak penting, kepolisian juga sudah memastikan hal itu. S.P sudah jelas itu inisial korban,” jawabnya. James berdecak senang mendengar jawaban Tuan Alberth.
___ OE DJ J TJ S.P ___
Seperti itu bunyi suratnya. Tak ada bedanya meskipun ada kata S.P. Sudah jelas itu inisial korban.
“Well, sudut pandang kita memang berbeda!” ucap James bangkit dari duduknya. Menghisap kokain dan mondar-mandir seperti kemarin malam. Tingkah saudaraku itu makin aneh saja. James mengeluarkan bubuk kopi dari saku kemejanya.
“Kasus ini membuatku bingung. Kopi mungkin bisa meringankan pikiranku.” James terus mengoceh dan tak sengaja menumpahkan bubuk kopi itu ke lantai. Namun, terkesan disengaja.
“Biar kubersihkan,” tawarku. Tapi, James menolaknya. Ia bahkan menyuruh klien kami agar membiarkan noda itu di lantai hingga pagi tiba.
“Kurasa penyelidikan kami sampai di sini saja. Jaga kesehatan kalian!" ucap James.
Klien kami langsung berdiri. Tuan Alberth memasang ekspresi kesal di wajahnya yang pucat. “Anda tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana nasib universitas ini?” tanya Tuan Alberth marah.
“Itu bukan urusanku. Aku akan kembali kesini besok pagi.
Ayo Agatha! Sebaiknya kita minum coklat panas di pagi yang dingin ini,” balas James menyeretku keluar dari perpustakaan.
Selama perjalanan pulang, James hanya sibuk dengan korannya.
Aku beberapa kali memancingnya agar menyinggung soal kasus Sarach Pailouw. Namun, James bisa menghindar dengan cerdik. “Agatha, tolong kirim pesan pada Tuan Alberth. Pinta padanya untuk menyebutkan teman korban yang berinisial S,” pintanya sambil melipat koran.
“Apa kau mengira jika inisial di surat kematian itu ditunjukan untuk pelaku? Dan kau mengira teman korban yang melakukan pembunuhan itu?” tanyaku penasaran.
“Tidak juga. Hanya membuat korban sekarat,” jawab James enteng.
“Sandy Risma Heriadi, Saralee Cavali, Suwandi Priutomo, Sasha Poernama, Sheila Nicolas.” Aku membacakan pesan dari Tuan Alberth.
James menyimpan telunjuknya di dagu. Aktivitas yang di lakukannya ketika berpikir. “Ah! Tak terasa kita sudah sampai di apartemen!” serunya dengan senyum misterius.
“Kau patut mencurigai Sasha Poernama. Apa kau tidak mengira jika pesan itu mengacu padanya? Misalnya OE. Itu sangat jelas, James!” seruku tiba-tiba.
“Lalu DJ, J dan TJ itu apa maksud dan tujuannya?” tanya James.
“Itu hanya kata yang tidak penting. Korban menulisnya agar pelaku tidak curiga dengan surat yang ditulisnya,” jawabku masuk akal.
James terkekeh mendengarnya. “Pertama kau bersikukuh jika korban tak mungkin menulis surat kematian. Lalu tiba-tiba kau menuduh orang dengan fakta yang tak masuk akal,” sindirnya terkekeh geli sedangkan aku langsung mendengus sebal.
Besoknya, pagi-pagi sekali James mengajakku ke universitas Luxess. Ia terlihat sangat bersemangat. Dan aku tak tega membiarkannya melakukan penyelidikan sendirian. “Hah, aku tak sabar mengetahui siapa pelakunya!” Dia bergumam saat berusaha membuka pintu perpustakaan. Ia mendapatkan kunci duplikat dari klien kami.
James mengeluarkan kaca pembesarnya. Membungkukkan badannya ketika berjalan. Ia mengarahkan kaca pembesar itu pada noda di lantai yang kemarin ia buat. Aku terkejut saat saudaraku tiba-tiba berteriak senang.
“Dapat! Sepatu berkualitas bagus dengan merk John's dan ukurannya 45. Hanya ada satu toko dengan merek sepatu itu di kota ini!” teriak James. Ia berjalan dengan sangat cepat hingga aku kewalahan. Kami menaiki taksi untuk sampai di tempat yang James maksud.
Sebuah bangunan sederhana dengan tulisan John's di jendelanya, oke nama merek sepatunya kusamarkan saja. Aku menunggu James yang sedang mengobrol dengan pemilik toko sepatu itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!