...☘Pagi tak berdosa dalam dekapannya,...
...remuk redam perasaannya bagaikan jelaga ☘...
Semilir angin menyapu dedaunan, tampak duduk bersandar sebuah pohon yang rindang. Beralas rerumputan hijau, dengan santai membaca sebuah buku inspirasi.
Sosok itu begitu tampan, kulit kekungingan begitu cerah dan bersih. Manik mata terlihat hitam dan sedikit kecoklatan. Alis mata yang tebal dan bulu mata yang cukup lentik. Lengkungan dagu yang manis, bibir tebal kemerahan dan hidung yang mancung. Rambutnya dengan gaya koreanan, yang tertata rapi, serta berpenampilan modis.
Lingga Mahatma, pria berusia 27 tahun dan dia adalah CEO perusahaan Mahatma Corporation. Anak ke dua dari pengusaha ternama di negeri ini. Pengusaha hebat dan sangat sukses. Tidak hanya dalam satu bidang yang digeluti, bahkan ada banyak perusahaan dari sektor industri, pabrik kosmetik, pabrik herbal, serta ada juga dari sektor pertanian dan perkebunan.
Lingga sendiri tidak memiliki banyak kegiatan. Kecuali, bekerja dan hanya sekedar bersantai. Berbeda dengan para saudaranya, yang memiliki banyak hobby dan kegiatan.
Lingga anak nomor dua dari 3 bersaudara, kakaknya perempuan bernama Limar Mahatma usianya sudah menginjak 30 tahun, terkenal dingin dan perfeksionis.
Yang nomor tiga ada adiknya Lingga, dia anak laki-laki berumur 22 tahun. Dan saat ini, masih kuliah di luar negeri dan dia juga sangat pandai, tapi terkenal sangat arogan dan keras kepala. Dia adalah Langit Mahatma.
Kalau dari nama-namanya saja sudah terbaca seperti orang jawa, bisa jadi mereka ini adalah keturunan ningrat atau darah biru.
Seperti saat ini, Lingga Mahatma tampak duduk bersantai di bawah pohon angsana, dan hanya menatap fokus ke sebuah buku.
"Bos Lingga, ada telfon." Ucap seorang lelaki berumur 25 tahun, dan dia adalah asisten pribadi Lingga Mahatma.
Lingga menandai buku bacaannya, yang berjudul suami idaman. Lalu mengambil handphone dari tangan asistennya.
"Hallo,... Hemss, tumben telfon?" Suara Lingga terdengar datar, bahkan wajahnya tampak biasa saja.
Asisten pribadinya, masih berdiri saja, dia hanya menatap Lingga dan berfikir dengan tanya. Siapa yang telfon itu? Terdengar suara gadis. Tidak biasanya bos ditelfon seorang gadis.
Lingga yang awalnya duduk bersandar, perlahan berdiri dan mengambil jasnya, lalu mengibaskan dengan pelan.
"Aku akan kesana. Kamu, tunggu disitu. Jangan kemana-mana." Ucap Lingga.
Mata itu berubah tajam, menoleh ke arah sang asisten, dengan tatapan yang sangat dingin.
"Dito, kamu tahu siapa yang telfon barusan?" Tanya Lingga, dengan tatapan yang dingin dan suaranya itu membuat sang asisten terpaku saja.
Dito Gunawan, nama sang asisten pribadi Lingga. Dito hanya menggeleng, mengambil ponsel itu dari tangan bosnya.
"Dia istriku. Kamu simpan nomornya, tulis saja istri bos atau nyonya besar." Ucap Lingga dengan senyuman kejam, dan itu yang ada dalam pikiran Dito.
Bos yang kejam dan dingin, tidak ada keramahan dan kata-katanya itu menyengat telinga, dia juga kaku.
Ponselnya saja, tidak pernah dia kantongi. Tapi sekali Dito terlambat memberikannya. Tatapannya tidak dingin, tapi meledek Dito dengan umpatan seolah manis, tapi sangat pahit bagi Dito.
Lingga menenteng jas ditangan kanannya. Berjalan dengan menawan, karena memang Lingga sosok yang menawan, dan sangat menarik. Dito juga berjalan mengikutinya dari belakang, Dito mencoba menyimpan nomor ponsel itu. Tapi ponsel itu berbunyi lagi.
"Bos, nyonya besar telfon lagi." Ucap Dito, dan tangan itu cukup gemetar, sudah dua tahun bekerja dengan Lingga, tapi kalau untuk urusan pribadi Lingga, Dito lebih cemas dan jantungnya berdebar kencang, seolah dia sedang berlari maraton.
Lingga menghentikan langkah kakinya, dan mangambil ponselnya dari tangan Dito, lalu mengangkat panggilan dari istrinya.
"Baiklah. Hati-hati, lekaslah pulang." Ujar Lingga dengan datar.
"Aku akan pulang malam." Ucap Lingga, dan tidak lama panggilan itu terputus.
Lingga cukup menyungging bibir, dan menarik tinggi ke sebelah kanan, tampak lesungan pipinya. Tapi lagi-lagi Dito menjadi khawatir.
"Dito, siapkan rapat." Ucap Lingga, yang cukup simple, dan tajam. Hanya itu saja, dengan kaku dan tidak ada ramah-ramahnya.
Dito dengan segera menghubungi orang kantor.
Vallezia Varrez atau yang dikenal Vava adalah Nyonya Lingga dan menantu baru di keluarga Mahatma.
...Flashback...
...Jerman, dua minggu yang lalu....
"Kamu!" Sentak Vava dengan rasa tidak karuan.
Vava menatap lekat wajah pria itu, pria yang tidak dikenalnya, tapi pernah bermasalah dengannya. Bahkan hal itu membuat Vava sempat bingung dah sangat tidak karuan.
"Sayang, kamu sudah pulang." Ujar Vanesa, yang ada di dapur dan mendengar suara nyaring Vava.
Evan yang baru masuk ke dalam apartemen juga bingung, ada pria tampan yang duduk, dan hanya menunduk saja.
"Ngapain kamu kesini?" Tanya Vava, dengan rasa tidak senang.
Pria itu adalah Lingga Mahatma, dia masih saja diam dan enggan berkata.
"Sayang, ayo duduk dulu. Enggak sopan kamu bertanya begitu, ayo duduk sini. Evan ayo duduk dan kenalan dulu sama Lingga." Ucap Vanesa, yang berusaha meredam sikap Vava.
Vanesa sudah lebih dulu tahu, ternyata Lingga adalah ayah dari anak yang di kandung Vava.
Vava sudah mengandung dua bulan, tapi yang lainnya tidak memberitahu Vava soal itu. Bahkan Angga sendiri sudah menyelidiki hal itu, Vava bahkan juga sudah mengatakan kepada Evan, tidak ada hubungan intim dengan siapapun.
"Ngapain kamu kesini?" Tanya Vava.
"Sayang, kamu harus tenang. Bicara yang sopan." Ujar Vanesa.
"Mama, dia itu_" Vava tidak bisa melanjutkan perkataannya, cukup gelagapan, tidak bisa mengakatakannya di hadapan Evan.
"Kenapa kamu tidak melanjutkannya?" Suarw itu begitu pelan, bahkan tatapan mata Lingga, yang seolah menampar wajah Vava.
Evan sudah membaca gelagat yang ada, pasti pria ini yang menghamili adiknya, bukan Jonathan. Bahkan Nicholas yang saat itu tahu Vava hamil, dan itu bukan anak Jonathan, Nicholas ingin sekali langsung menikahi Vava, dan tidak peduli itu anak siapa. Karena saat itu, Vava masih terbaring lemah, hanya Nicholas, Angga dan Jonathan yang tahu. Setelah Britney dan lainnya datang, mereka masih belum memberitahu Vava.
"Saya Lingga Mahatma." Ucapnya, saat Evan mengajaknya berkenalan.
"Saya Evan Fahreza, Abangnya Vava." Balas Evan, dan Lingga cukup tersenyum.
Vanesa dengan pelan berkata "Sayang, kamu tahu masalah kamu dengan Lingga. Kenapa kamu tidak cerita sama Mama atau Papa?"
Vava dengan geram, tapi itu juga hanya sebuah kesalahan. Pertemuan yang membawa mala petaka di malam pesta perayaan.
Dua bulan yang lalu, Vava merayakan pesta kelulusan, dengan beberapa teman kuliahnya. Tenyata ada yang memasukan obat liar ke minuman Vava.
Saat itu, Vava yang seperti orang lingung berjalan melewati koridor hotel, yang ada di Prancis.
"Mama malam itu Vava_" Vava tidak bisa lagi menjelaskan secara detail, karena memang dirinya tidak sadar.
Lingga sudah menceritakan semuanya kepada Vanesa, bahkan sebelum bertemu Vanesa. Lingga lebih dulu menemui Angga Saputra.
"Sayang, semua sudah berlalu. Lingga datang untuk bertanggung jawab." Ucap Vanesa, yang memeluk putri semata wayangnya. Vava sudah larut dalam pelukan sang Mama.
Saat itu Vava dengan ucapan bahasa daerahnya, mengumpat pria yang menabraknya di koridor Hotel XX yang ada di Paris. Setelah mendengar hal itu, Lingga cukup tersenyum dan ingin sekali membantu Vava mengantarnya pulang. Tapi tidak ada ponsel ataupun surat petunjuknya, siapa nama gadis itu dan dimana rumahnya.
Saat itu Vava, selalu mengatakan nama Jo Jo, bahkan Vava ingin sekali menerkam pria yang ada dihadapannya. Lingga yang tidak bisa tersenyum ramah, saat melihat kegilaan Vava dia bisa tersenyum manis.
"Mama mana mungkin Vava hamil, itu hanya kesalahan, nggak mungkin Vava bisa hamil." Ujar Vava yang masih saja mengelak malam itu.
"Sayang, Lingga sudah menjelaskan semuanya." Ucap Vanesa dengan rasa gelisah.
Jantung sang Mama juga bergetar hebat, dia mengingat saat masa mudanya dulu. Rasa kekhawatiran saat sang putri semata wayangnya berkuliah di luar negeri, dan berpacaran dengan Jonathan. Pikiran Vanesa sudah tidak karuan. Walaupun Angga menenemani Vava, dan terus menasehati putri semata wayangnya, tetap saja ada hal yang tidak diketahui Papa dan Mamanya.
"Mama, Vava beneran nggak ngelakuin hal itu. Mama harus percaya sama Vava." Ucap Vava, dengan terus menyatakan kalau dirinya tidak bersalah.
"Mama percaya sama kamu sayang." Balas Vanesa, dan menciumi wajah Vava yang sudah basah dengan deraian air mata.
Vanesa yang saat ini berada di kamar Vava, dan Lingga berbicara dengan Evan. Lingga juga sudah berusaha untuk menahan dirinya, tapi entah kenapa Vava yang menggodanya, dan hasrat kelakiannya juga bisa keluar begitu saja.
Padahal Lingga sangat terkenal dingin, bila berhadapan dengan gadis manapun, tapi kenapa dengan Vava, dirinya bisa lupa diri dan bermain semalaman.
"Mama, Vava tidak hamil, Mama harus percaya Vava." Ucap Vava, yang masih saja mengelak dan cukup histeris.
Lingga dan Evan juga mendengar tangisan Vava. Perlahan Evan meninggalkan Lingga di ruang tamu, dan berjalan ke kamar Vava.
"Vava..." Panggil Evan dengan suara pelan, dan mengelus rambut Vava.
"Bang Evan, Mama nggak percaya sama Vava. Mama juga bilang kalau Vava sudah hamil, apa Bang Evan juga sama seperti Mama??" Teriak Vava dengan tangisnya.
Evan sangat tahu adiknya dan perlahan mendekati Vava, lalu berkata "Bang Evan percaya sama Vava. Bang Evan selalu percaya sama Vava."
Evan selalu berusaha bijaksana untuk masalah adiknya. Evan masih mendekati Vava, yang tidak tenang. Perlahan tangannya meraih badan sang adik, dan memeluknya erat.
"Sayang, ada hal lain yang harus kamu pikirkan. Vava, Bang Evan sangat percaya sama kamu, jadi Abang mohon, kamu yang tenang. Sudah, jangan menangis lagi." Ucap Evan dengan berkaca-kaca.
Angga sebagai sang Papa yang berjanji untuk menjaga putrinya, dia juga sudah tertegun di rumahnya. Sang istri dengan sabar menemaninya, meredam kegelisahan hati dan pikiran suaminya.
Ternyata bukan Jonathan, bahkan Angga sempat menampar Jo Jo waktu di rumah sakit. Karena Jonathan juga mengelak, dia tidak melakukan hal itu terhadap Vava.
"Bang Evan percaya sama Vava kan? Kalau Vava tidak berniat seperti itu." Tanya Vava, yang masih menangis dalam dekapan Evan.
"Iya, Abang percaya sama Vava. Itu hanya kesalahan. Abang tidak menyalahkan Vava." Ucap Evan, dengan pelan untuk meredam perasaan Vava.
"Pasti Papa dan Kak Britney juga kecewa sama Vava. Pasti mereka tidak suka, Vava yang begini." Ucap Vava dengan sendu, karena selalu berjanji untuk menjaga dirinya. Setiap pergi kemanapun, Angga dan Britney selalu menelfon dan terus mengingatkan Vava, agar dia selalu ingat untuk menjaga dirinya.
"Papa kamu dan Britney juga percaya sama Vava. Britney tidak akan memarahi kamu. Papa kamu juga tidak akan kecewa sama kamu." Ucap Evan, dan Vanesa juga masih menangis di sebelah Vava.
"Papa pasti kecewa sama Vava." Ucap Vava dan menangis lebih tersedu-sedu, mengingat akan kasih sayang Papanya. Angga sendiri bahkan tidak pernah memarahi putrinya, dan selalu menuruti apa saja permintaan putrinya.
"Kamu percaya sama Papa kamu?" Tanya Evan dengan pelan, dan tangannya masih mengelus rambut Vava.
Vava mendongak menatap Evan "Vava percaya sama Papa. Papa tidak pernah marah sama Vava."
Kelopak mata Vava yang sipit itu sudah terlihat sembab, Evan mengambilkan tisue, dan mengusap air mata Vava.
"Sudah, jangan menangis terus. Kamu harus bicara sama Lingga." Ucap Evan.
Tadi Vanesa baru mengatakan tentang dirinya yang sudah berbadan dua. Vava dengan perasaan yang runtuh, dan seperti ingin berlari dari kenyataan, dengan cepat pergi meninggalkan ruang tamu.
Evan tadinya juga ingin sekali memaki Lingga, saat tahu pria itu adalah Lingga, tapi sorot mata Vanesa, seolah melarang Evan untuk tidak bertindak lebih. Bagaimanapun Lingga adalah ayah dari calon keponakannya. Saat ini yang terpenting, perasaan Adiknya.
Satu jam kemudian.
"Tante, saya akan segera menikahi Vava. Kedua orang tua saya baru ada acara di Jogja, nanti setelah saya pulang ke Jakarta, saya akan segera menyiapkan semuanya. Saya hanya ingin meminta restu dari keluarga Vava, dan juga saya ingin meminta dokumen Vava, agar segera bisa diajukan di catatan sipil." Ucap Lingga.
Vanesa dan Evan yang ada di ruang tamu, sudah berbicara santai dengan Lingga Mahatma. Evan masih tidak habis fikir, Lingga dari keluarga yang bermartabat dan berpendidikan. Tapi bagaimana bisa, Lingga berbuat seperti itu terhadap adiknya.
"Tante hanya ingin satu hal dari kamu Lingga." Vanesa menatap Lingga dengan sendu, dan penuh harap.
"Iya Tante, silahkan. Apa yang Tante minta dari saya?" Tanya Lingga dengan berwibawa, dan dia sangat berkharimsa. Tidak menunjukan aura negatif, atau sosok pemuda bangsat. Lingga benar-benar sangat gentleman.
"Tante hanya meminta kamu, agar selalu menjaga Vava secara lahir dan batin. Tante hanya seorang Mama, yang tidak mengerti perasaan putrinya, tapi Tante juga sorang wanita. Jadi Tante mohon sama kamu, setelah kalian menikah nanti, tolong jaga Vava dengan baik, dan jangan sakiti hati anak Tante." Ucap Vanesa dengan air mata yang mengalir lembut.
Evan juga tidak bisa berkata apapun. Lingga juga tahu hal itu, walaupun dia tidak mengerti tentang wanita. Tapi Lingga juga bisa memikirkan hal itu.
"Iya Tante, saya akan menjaga putri Tante dengan baik. Saya berjanji, tidak akan menyakiti putri Tante, baik itu secara fisik, ataupun perasaannya." Ucap Lingga dengan jelas dan sangat elegan.
Evan melihat jelas, Lingga bukan sosok pria bejat dan songong. Bahkan cara bicaranya lebih tenang dan tidak seperti Jonathan, ketika Evan bertanya tentang hubungan dengan Vava. Gaya Jonathan yang sok hebat itu, membuat Evan juga tidak suka.
...VISUAL PANGGIL AKU MAS! SEASON 2....
Untuk para pembaca setia, terima kasih banyak.
Semoga kalian masih setia dengan Mas Pras, dan juga para tokoh lainnya.
Ini sebuah karya, yang tercipta dari haluan othor saja. Bila ada kata-kata yang tidak berkenan, harap abaikan saja.
Tulisan ini, hanya lanjutan dari "PANGGIL AKU MAS! Season 1." Nanti kalau ada pembaca baru, tolong baca dulu di cerita yang season 1.
Bila tidak suka, tolong tidak usah membacanya, karena tulisan ini dilanjutan, untuk para pembaca setia dari cerita "PANGGIL AKU MAS!"
🤗😘
Loppe loppe seabrek pembacaku 🤗😘
...☘Tak ada kata terlambat,...
...bila masih bisa dihadapi☘...
Masih dalam cerita lanjutan dalam bab satu. Baca baik-baik, agar tidak bingung menyikapinya.
Jerman di malam itu begitu sunyi, gadis itu duduk di depan cermin. Menatap wajah dirinya dengan penuh luka, rasa hatinya sudah remuk, tak ada lagi cinta, yang ada hanya kepahitan tentang dirinya sendiri.
"Aku hamil? Aku sudah hamil."
Vava yang terus mengelak, tentang apa yang sudah terjadi. Dia belum bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Kakak sudah tahu, kenapa Kak Britney diam saja? Tidak memberitahu keadaan Vava. Kenapa Kakak berbohong sama Vava? Kenapa Bang Evan juga baru cerita setelah bertemu pria itu? Mama juga, terus Papa kenapa hanya diam?? Seolah-olah nggak ada yang terjadi sama Vava."
Batin Vava dengan sedih, semua sudah menutupi dari dirinya, bahkan dokter dan suster juga tidak ada yang mengatakan kepada Vava. Yang saat itu terbaring lemah, bahkan tekanan darahnya sangat rendah.
"Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah."
Tegasnya dan menangis lagi, dengan tatapan runtuh, air mata itu terjatuh. Sirna sudah harapan cinta Vava, untuk masa depannya. Hal yang tidak bisa diterima, dengan hati dan pikirannya.
"Lingga? Lingga?! Pria itu bernama Lingga?"
Batin Vava seolah mempertanyakan sosok pria itu. Malam itu, pagi itu. Vava sudah berusaha untuk melupakannya, pagi dengan rasa kelam, bagiakan racun yang bisa membunuh Vava. Tapi dirinya tidak mengingat apapun, kecuali sosok yang memeluknya erat, ketika terbangun dari tidurnya.
Bahkan Vava masih mengenakan gaun hitamnya, seolah tidak ada hal negatif dari dirinya. Tapi memang benar, malam itu Vava dalam dekapan Lingga Mahatma.
"Baik, baiklah!! Aku akan menjaga anakku. Tapi aku tidak ingin menikah dengan Lingga Mahatma."
Vava yang tidak bisa menahan dirinya, sebuah malam yang tadinya bersenda gurau, dengan canda tawa bersama teman-temannya. Tapi pagi tak berdosa itu, Vava mulai berubah perasaan. Rasanya sudah hancur, dan itu tidak akan pernah menyelamatkan dirinya.
Banyak alasan yang tidak diungkapkan, Jonathan tidak tahu akan hal itu. Tapi dia memang mendua, dan itu kesempatan Vava untuk mengatakan pisah, cinta untuk Jo Jo berakhir sudah. Hanya rasa berdosa yang menemani dirinya.
"Aku harus pergi." lirihnya, yang masih memandang buruk masalahnya.
Jerman, tengah malam begitu sunyi. Sekarang, Vava yang berjalan ke luar apartemen. Langkah kaki yang pelan, dan melewati koridor. Tidak ada seorangpun yang berjalan di malam itu, kecuali Vava.
Udara yang dingin, membuat Vava bersedekap, mantel yang ia pakai sudah tebal, tapi rasa dingin itu masih menusuk tulang Vava.
"Kenapa dingin sekali?" Keluhnya, dan masih berjalan.
Sebuah taxi ia hentikan, dan mulai menaiki taxi itu.
Jerman, jam 01.23. Dini hari. Vava dengan gelisah, melihat ke arah ponsel dan mematikannya.
"Mama, Papa, maafin Vava." Gumamnya dengan hati yang meronta, dilema dan rasanya ingin sekali pergi jauh, meninggalkan semua keluarganya.
Kota Munich yang menawan di malam hari, sangat menyilaukan mata. Vava yang bersandar pada kaca jendela taxi itu, dan pandangannya fokus ke sisi kiri.
Sebuah gereja yang dia lewati, Vava yang masih gelisah, kembali mengingat akan kebesaran Tuhan Yang Esa.
"Tuhan, maafin Vava."
Suara hati itu, dengan tulus dan ari mata jernih itu kembali mengalir, butiran setiap tetesan air mata itu, tertuang jutaan rasa.
"Kamu hidup dalam diriku, aku akan berusaha mengayangimu."
Batin Vava dan mulai memegang perut ratanya. Vava sangat kurus dan perutnya masih rata.
Di saat Jerman masih gelap, dan yang di Jakarta sudah riuh.
Ada Maeva yang duduk di sofa, dia tinggal di rumah Mamah Sarah dan Abah Ferdi. Mereka sudah tahu tentang kondisi Vava.
"Mamah, harusnya Tante Vanesa itu dulu kesana menemani Vava. Pasti nggak akan ada kejadian seperti itu." Ucap Maeva, yang memangku buah hatinya.
"Tetap saja sayang, itu katanya Vava ada pesta, terus dikerjain temannya, lalu bertemu pemuda itu. Vava ditanyain sama pemuda itu, Vava cuma bilangnya Jo Jo. Terus identitas Vava nggak ada, akhirnya diajak ke kamarnya, karena pemuda itu tahu, kalau Vava sama-sama dari Indonesia. Ya mungkin terjadilah kejadian di malam itu. Mama juga nggak mau terlalu menyalahkan Vanesa sama Angga. Tapi kata Abang kamu, pemuda itu sudah datang ke Jerman. Ternyata dia juga tinggal di Jakarta." Balas Mamah Sarah, yang menyuapi cucunya. Anaknya Maeva baru berumur 8 bulan. Susternya sedang mandi, duduk di atas pangkuan sang Mama, dan disuapi Omanya.
"Aneh banget, memangnya pemuda itu sengaja, apa gimana sih? Di Jerman bisa ketemunya orang Jakarta lagi, si Jonathan juga anak Menteng." Ucap Maeva yang selalu menggerutu saja.
Sudah punya anak, tapi dia tidak berubah. Sepertinya tambah bawel, seperti tetangga Britney.
"Entahlah, Mamah nggak tahu. Yang jelas, Mamah bersyukur, Vava tidak sampai sakit. Kata Abang kamu, Vava udah mulai mengerti keadaannya yang sekarang." Ucap Mamah Sarah, dan masih menatap cucunya tampannya, anaknya Maeva juga laki-laki, jadi cucu Mamah Sarah yang perempuan baru Alishba saja.
Maeva mengelap bibir imut bayinya dan mengangkatnya, senyuman bayi tampan itu sangat menggemaskan, ketika sang Mama memandanginya dengan candaan.
"Cilukba.. Arvez,, Cilukba..." Suara Maeva, dengan gemas dan banyinya tertawa.
Mamah Sarah yang pergi menaruh mangkok, dan membuatkan susu untuk Arvez.
Arvezio Ardiwiguna adalah nama buah hati Maeva dan suami keduanya.
Maeva sudah menikah lagi, dengan pemuda yang manis dan dikenalnya dengan tidak sengaja. Maeva dulunya yang dipinang oleh anak dari keluarga Husein, hanya mampu bertahan sekitar satu tahun. Dengan pernikahan pertamanya Maeva tidak memiliki anak dan setelah bercerai, Maeva kembali bebas.
Dulunya merasa menang dari Britney akan dirinya yang tinggal di apartemen, dan tidak akan tinggal dengan mertuanya. Tidak tahunya, Rehan tetap harus tinggal di kediaman keluarga besar Husein, dan Maeva sangat tidak nyaman, terlalu sakit hati dan sering cekcok, akhirnya Maeva meminta Rehan, untuk mengakhiri ikatan pernikahannya.
"Uh... Sayangnya Mama. Mam Mam Mamma." Ucap Maeva yang gemas, perlahan bibir imut itu menirukan Maeva yang menyebut kata Mama. Belum bisa bicara, tapi suara bayi itu seolah sudah bisa menyebut mam mam.
"Sayangnya Papa. Papa mau kerja dulu." Ucapnya yang sangat menggemaskan.
"Papa, yang di cun cuma Arvez. Mamanya belum cun cun." Ucap gemas Maeva, saat sang suami hanya menciumi pipi gemas putranya.
"Emms, emang Mamanya udah mandi?" Tanyanya dengan menggoda.
Maeva menatap suaminya dan berkata, "Mamanya belum mandi. Tapi Mamanya Arvez selalu cantik."
"Ya udah, Papa ke kantor dulu. Nanti di omelin kalau terlambat, soalnya Bu Bos udah mulai ke kantor lagi." Ucapnya dengan santai.
Maeva yang masih menatap suaminya bertanya "Memangnya Britney sudah pulang? Bukannya dia di Jerman sama Bang Evan dan Tante Vanesa?"
"Iya, dia sudah pulang. Minggu pagi sudah sampai di Jakarta. Tapi aku juga belum ketemu sama dia." Jawabnya yang menatap wajah istrinya.
Sosok berwibawa yang sudah memakai jas warna abu-abu tua, dan menenteng sebuah tas laptop, mendekati keluarga kecil yang sedang gemas bercanda dengan bayinya.
"Aksa, kamu nyetir mobilnya Abah aja ya. Abah rada pusing." Ucap Abah Ferdi, dan Maeva mulai menatap Abahnya.
Suami Maeva Fahrani adalah Aksa Ardiwiraguna.
Sungguh tidak disangka, setelah lama melajang setelah berpisah, Maeva yang waktu itu sedang nonton di bioskop. Bisa bertemu dengan Aksa.
Duduk bersebelahan dan sama-sama jomblo. Akhirnya, setelah selesai nonton film, mereka malah saling bertanya tentang pribadi masing-masing.
Ketika pertemuan keluarga besar di Pondok Indah. Maeva mengajak Aksa Ardiwiguna, Pras dan Britney tampak terkaget melihatnya. Tapi Vava malah tertawa tiada henti, karena Vava selalu menganggap Aksa sudah seperti Abang.
Semenjak tabrakan pagi itu, Aksa dan Vava sangat akrab, karena Aksa juga mengganggap Vava seperti adiknya. Sangat lucu, dan Vava juga langsung setuju kalau Maeva bisa menikah dengan Aksa. Dan itu sekitar 2 tahun yang lalu, tapi Vava tidak bisa menghadiri acara pernikahan Maeva dan Aksa.
"Kalau Abah pusing, mendingan istirahat aja di rumah. Nggak usah kerja dulu, lagian Britney sudah pulang. Biar wakil direktur aja yang kerja." Ujar Maeva.
"Tetap Abah harus kerja. Ini ada ketemu klien penting." Ucap Abahnya dan mulai mengangkat cucunya dari gendongan Maeva.
"Arvez, Opa berangkat kerja dulu. Arvez sayang sama Mama, sama Oma, dan suster Rini dulu. Opa nanti cepat pulang." Ucap Ferdi
Karena anak Maeva itu sangat dekat dengan Opa Ferdi. Begitu juga Ferdi sebagai kakeknya, yang menyayangi cucunya. Dari bayi baru lahir, Arvez cenderung anteng bila di gendong Opanya. Apalagi kalau sedang rewel di malam hari, bila di gendong Opanya langsung diam dari tangisnya.
...Di rumah Pras dan Britney....
"Papa, Alishba mau sama Papa." Pinta gadis kecil dengan suara yang gemas.
Pras yang masih duduk dan menikmati sarapan paginya, menatap putri kecilnya lalu berkata "Iya, nanti Papa yang antar Alishba ke sekolah, terus nanti sore, Mama yang jemput Alishba. Soalnya nanti Papa pulang malam lagi." Ucap Pras.
Gadis kecil itu mulai cemberut. Selama satu minggu lebih hanya bersama Papanya. Sekarang, Papanya mulai sibuk kerja.
"Papa, jam berapa pulangnya?" Tanya Alishba, yang masih memanyunkan bibir imutnya.
"Jam 8 malam sayang, kamu nanti malam bobok dulu aja kalau sudah ngantuk. Papa nanti masih banyak pekerjaan." Ujar Pras yang tersenyum, dan mulai mengangkat cangkir kopi dengan kanannya.
Britney yang sudah cantik dan sangat menawan. Berjalan mendekati suami juga anaknya, senyuman manis tersirat di wajah cantiknya.
"Alishba sayang, kamu kenapa?" Tanya Britney, yang mulai duduk di sebelah anaknya dan mengelus rambut putri kecilnya.
Alishba yang menoleh dan mendongak ke wajah sang Mama berkata, "Papa mau pulang malam. Alishba jadi sedih. Papa sibuk lagi, Alishba mau sama Papa."
Pras tersenyum manis dan sangat menyentuh hatinya. Sang putri kecil itu, sudah mulai sendu, bahkan mengatakan, kalau dia ingin bersama Papanya.
"Sayang, Papa kerja dulu. Besok Papa pulangnya lebih cepat. Minggu lalu Papa udah libur satu minggu. Jadi Papa banyak pekerjaan, sama seperti waktu Alishba ijin sekolah, waktu itu Alishba ikut Mama ke Bali. Terus Bu guru, kasih tugas banyak buat Alishba, jadi Papa juga seperti itu. Tugas Papa sekarang banyak sekali." Jelas Britney, dan Alishba begitu memperhatikan Britney. Alihsba sangat fokus menyimak, apa yang Britney jelaskan.
Alishba mulai menatap sang Papa, tadi Pras hanya menunduk saja. Akhirnya kedua wajah itu bertemu.
"Papa, siapa yang memberikan tugas banyak ke Papa? Apa Papa juga punya guru seperti Alishba?" Tanya Alishba.
"Iya sayang, ada Pak Bos. Pak Bosnya Papa itu, sangat disiplin, jadi Papa harus mengerjakan tugas Papa tepat waktu." Ucap Pras dengan gaya yang tidak pernah berubah. Tengilnya itu nggak ilang-ilang, dan semakin seperti anak muda.
"Siapa Pak Bos itu Papa? Alishba mau kenal, Papa sama Mama juga kenal ibu gurunya Alishba." Tanya Alishba yang masih polos.
Anak-anak memang selalu penarasan, satu ucapan kata yang salah, pasti akan menjadi pertanyaan, lagi dan lagi. Pertanyaan itu tidak akan ada ujungnya, dan rasa penasaran itu semakin tinggi.
Britney dengan tersenyum berkata "Alishba, sudah sayang. Ayo buruan makannya, nanti kita bisa terlambat ke sekolah."
Britney yang sudah sarapan, dan mulai minum teh hangat. Masih tersenyum gemas, saat sang Putri kecilnya begitu menggemaskan.
Alishba cukup aktif dalam segala hal, bahkan banyak sekali pertanyaan yang dia ajukan, ketika sedang berkumpul dengan Papa dan Mama.
"Sayang, Papa mau siap-siap. Nanti Papa tunggu di mobil." Ucap Pras yang berdiri dan mengelus rambut Alishba, lalu bergegas pergi meninggalkan meja makan itu.
Alishba masih cemberut, Britney mulai menyeka bibir imut Alishba, yang terkena bekas susu vanila.
"Mama, Alishba mau ambil tas." Ucapnya, lalu beranjak dari tempat duduknya.
Britney hanya menggeleng saja. Butuh penyusaian baru untuk Alishba, padahal hanya satu minggu Alishba bersama Papanya.
Kenapa hal itu membuat Alishba jadi terbiasa. Mungkin Pras terlalu sibuk bekerja, jadinya sang anak butuh waktu berdua, ternyata satu minggu itu, cukup membekas dalam hati anaknya.
"Mas, anak kita sedih. Nanti Mas pulang sore saja." Ucap Britney, dan merapikan kerah kemeja yang dikenakan suaminya.
"Sayang, aku tahu. Nanti aku usahakan, agar bisa menjemput Alishba. Aku pagi ini juga ke RM, apa kita berangkat bereng aja?"
"Iya, Mas bawa mobil lama aja. Mobilnya Rendy biar di rumah. Nanti Mas masukan ke garasi." Ucap Britney, yang masih memegang dada suaminya dan wajah itu sangat dekat.
"Baiklah, ayo kita berangkat. Nanti Abah nungguin kita." Ucap Pras dan tidak lupa mengecup bibir istrinya.
"Emss. Iya Mas, aku ambil blazer dulu." Balas Britney dan pergi.
Pras lalu keluar dari kamar itu dan sangat tengil. Mulai mengeluarkan mobil istrinya dari dalam garasi, Alishba yang menuruni tangga, sudah menggendong tas merahnya.
"Sayang, semua sudah dibawa?"
Britney, lalu mengecek ulang semua yang ada dalam tas dan juga bekal Alishba.
"Mama, Alishba berangkat dulu ke sekolah." Ucap Alishba, dan mulai mencium tangan Mamanya.
Britney menatap putri kecilnya dan berkata, "Sayang, kita berangkatnya bareng. Mama sama Papa, mau antar Alishba ke sekolah. Nanti sore Mama sama Papa juga jemput Alishba."
"Mama beneran? Mama nggak bohong?" Tanya Alishba dengan penasaran dan suaranya sangat unyu.
"Beneran sayang, Papa sama Mama, nanti sore jemput Alishba, terus beli es krim." Jawab Britney, dan Alishba mulai memeluk sang Mama.
Mereka berdua sudah berjalan menuju mobil, Pras dengan cepat mengunci rumah, dan masih saja tidak ada pembantu di rumah itu. Karena segala sesuatunya, masih dengan kompak dikerjakan berdua.
"Papa, let's go." Teriak Alishba.
"Okey Baby." Suara Pras yang sangat nyaring, dan tersenyum tengil, sang istri menoleh ke arah anaknya yang sangat senang, dan tidak henti tersenyum gemas.
Mobil itu mulai melaju dengan cepat dan Alishba sangat senang. Papa dan Mama akan mengantar ke sekolah. Sudah lama sekali kedua orang tuanya tidak mengantar ke sekolah, biasanya Pras dan Britney bergantian, saat mengatur waktu khusus untuk anaknya.
"Mama, Alishba senang sekali." Suara itu begitu imut.
Saat ini mereka sudah ada di halaman sekolah Alishba. Yayasan swasta dan tidak hanya TK. Di sekolah itu, seperti tempat penitipan anak usia dini. Belajar, bermain dan banyak teman untuk Alishba.
"Benarkah?" Tanya Britney dengan gemas.
"Iya Mama. Alishba senang." Suaranya sangat menggemaskan.
Britney dan Pras tersnyum melihat anaknya yang sangat senang.
"Papa mau berangkat ke kantor. Alishba sekolah dulu, nurut sama bu guru. Nanti sore Papa sama Mama akan jemput Alishba." Ucap Pras, yang gemas dan Alishba masih dalam dekapannya.
Alishba mulai masuk ke dalam ruangannya. Pras mulai melepaskan tangannya, saat mengantar ke pintu masuk, dan Britney masih berbincang saat menyapa guru-guru Alishba.
...Selamat sekolah Alishba 😍😘...
Semoga kalian suka dengan cerita dalam bab ini.
Terima kasih untuk Like, Komentar dan Vote dari kalian semua. 🤗😘
...☘Beri kesempatan sekali saja,...
...untuk menghapus kenangan lama☘...
Masih berlanjut masalah Vava, tolong simak baik-baik saat membacanya, agar mudah memahaminya.
München pukul 6 dini hari. Duduk bersandar di sebuah kursi taman. Langit masih tampak biru gelap, karena mentari disana belum terbit, dan menyinari kota itu.
Gadis bermata sipit tampak memandangi gereja St. Ludwig München. Vava masih dalam dilema hatinya.
"Kamu masih disini." Ucap Lingga, dengan suara pelan dan cukup mengagetkan Vava yang dari tadi hanya diam.
Vava yang menoleh ke arah Lingga Mahatma, dan bertanya "Bagaimana kamu bisa tahu, kalau aku ada disini?"
"Aku sudah lama menyuruh orang, untuk selalu mengawasimu." Jawabnya, perlahan mulai duduk di sebalah Vava kanan Vava.
"Jadi kamu menyuruh orang. Pasti kamu sudah tahu semua tentang aku." Ujar Vava, dengan rasa tidak senang.
Lingga membawa mantel bulu tebal ditangan kirinya, mulai menyelimutkan pada sebagian badan Vava.
"Kamu sangat keras kepala." Ucap Lingga, yang tidak basa basi.
Vava yang menoleh dan merapikan mantel bulu itu, lalu berkata "Bahkan kamu sudah tahu, kalau aku keras kepala."
Mereka dalam diam, Lingga tidak banyak bicara. Sebenarnya Lingga bukan tipe pria yang mudah perhatian. Tapi saat ini, gadis yang ada di sebelah dia, sudah mengandung anaknya. Dan itu menang darah dagingnya. Jadi Lingga Mahatma harus memperhatikan anaknya, yang ada dalam kandungan Vava.
"Kamu kenapa kesini?" Tanya Vava, yang mulai bicara, cukup canggung dan tidak nyaman, dengan suasana hening.
"Aku baru bangun tidur, dan mendapat kabar. Kalau ada gadis yang duduk sendirian." Jawab Lingga.
"Semenjak kapan kamu mengawasi aku?" Tanya Vava.
"Mulai dari saat kita di Paris. Aku merasa tidak tenang." Ucap Lingga dengan suara yang pelan dan mulai menatap Vava.
"Jadi kamu tahu aku hamil, lalu kamu ke Jerman? Iya, begitu?? Terus kenapa baru datang?" Tanya Vava dengan tidak senang. Ingin sekali meneriaki pria itu, tapi dirinya juga sangat merasa bersalah.
Lingga dengan tatapan mata yang aneh, ada senyuman tipis di wajah tampannya, lalu berkata "Aku tahu ketika kamu pingsan, dan aku langsung kesini. Tapi aku menunggu waktu yang tepat, agar kamu pulih dan mampu menahan kondisi kamu. Aku tahu kamu punya pacar dan aku tahu ada sahabat kamu, yang sangat menyukai kamu. Tapi aku tidak peduli, saat ini hanya bayiku yang paling penting. Aku akan menikahi kamu secepatnya." Ucap Lingga dengan jelas.
"Menikah, sangat mudah kamu mengatakannya. Kalau aku tidak mau bagaimana?" Vava dengan tatapan yang sangat tajam, suara Vava yang terdengar jelas dan cukup percaya diri.
"Aku akan mengambil anakku, setelah kamu melahirkannya. Pastinya, aku yang akan memenangkannya." Balas Lingga, dengan angkuh dan menyombongkan dirinya.
Vava semakin jengkel, rasanya tidak ingin kalah. Tapi dirinya memang bersalah, baru saja dirinya menyeseli perbuatannya, dan mulai merima apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Baik, kita akan menikah. Tapi dengan satu syarat." Ucap Vava, dengan suaranya yang begitu serius.
Lingga menghela nafasnya, dan mulai berdiri dari kursi taman itu, lalu dia bertanya "Syarat apa yang kamu minta dari aku?"
"Aku mau cinta. Hatiku tidak ada cinta. Hatiku terluka karena cinta. Bisakah kamu, memberikan hatiku ini sebuah cinta??"
Lingga menyeryitkan dahi, dan kedua tangannya masuk ke dalam saku mantel hitamnya.
"Cinta? Aku tidak bisa memberikan cinta. Aku sendiri juga tidak tahu, apa itu sebuah cinta. Yang aku tahu, cinta hanya akan menyakiti saja, kamu sudah terluka, bagaimana aku memberi luka lagi kepadamu." Ucap Lingga.
Vava sangat tidak percaya, omong kosong apa yang pria itu ucapkan kepada Vava. Cinta, mana mungkin dia tidak tahu apa itu cinta dan hanya akan menyakiti hatinya saja.
"Aku Lingga Mahatma, usiaku 27 tahun. Aku anak ke dua dari 3 bersaudara. Ayahku pengusaha yang cukup sukses, Bundaku hanya seorang ibu biasa, dan Ayahku punya dua istri. Semenjak Ayahku menikah lagi. Aku hanya tinggal sendiri. Bundaku dan kedua saudaraku, masih tinggal dengan Ayahku, dan istri kedua Ayahku. Jadi, apa aku harus tahu apa itu cinta. Itulah keluargaku, mereka semua juga tinggal di Jakarta. Kamu tahu, aku tidak akan mengenalkan diriku dihadapan orang lain. Kamu sudah mengandung anakku, jadi kamu harus tahu tentang aku." Jelas Lingga, yang tidak basa basi.
Vava cukup diam, dan hanya memandangi sosok Lingga Mahatma.
"Tapi aku mau cinta. Aku tidak mau, hatiku jadi mati rasa." Ucap Vava.
"Aku akan memberi kamu cinta. Tapi aku masih tidak tahu, bagaimana caranya aku memberikan kamu cinta." Ucap Lingga dengan kesungguhan.
Vava menunduk dan mengelus perutnya dengan pelan, perasaannya masih aneh. Lingga menoleh ke arah Vava, dan mengerti perasaan Vava, yang saat ini masih mencerca apa yang telah terjadi.
"Aku akan pulang ke Jakarta, dan menyiapkan semuanya. Aku mohon sama kamu, agar menerima aku, dan demi bayi yang ada dalam kandunganmu." Ucap Lingga, yang berdiri dan menatap jauh gereja St. Ludwig München.
"Apa kamu ingin menikah di gereja? Disini? Atau di Jakarta?" Tanya Lingga, dan masih menatap gereja itu.
Vava yang tadinya menunduk dan menoleh ke arah Lingga Mahatma. Lalu berkata "Aku ingin menikah di Jakarta. Disana ada Kakekku, aku ingin Kakekku menyaksikan pernikahanku."
Mengingat sang Kakek sudah lanjut usia, dan hanya duduk di kursi roda, Vava tidak mungkin meminta Kakeknya untuk datang ke Jerman. Bagaimanapun, sosok orang tua yang dikenal Vava selain Abah Ferdi dan Evan, dan sangat menyayanginya adalah Kakek Restu.
"Baiklah, aku akan mengurusnya." Ucap Lingga, yang tampak biasa saja.
Mereka berdua menganut keyakinan yang sama, Lingga Mahatma juga setiap minggu ke gereja.
Lingga dengan menawan dan mendekati Vava, lalu berkata "Ayo pulang, sudah pagi. Mama kamu pasti sudah bingung mencari kamu."
Vava yang masih sendu lalu berkata "Iya."
Lingga menerima mantel bulu yang diberikan Vava, dan mereka berdua berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
"Panggil aku Mas Lingga." Ucap Lingga.
Vava menoleh dan berkata "Kenapa harus Mas? Aku tidak terbiasa."
"Mulai sekarang kamu harus membiasakannya. Eyangku tidak suka gadis yang membangkang, jadi bersikaplah sopan, bila bertemu dengan Eyangku. Kalau untuk Ayah dan Bundaku, kamu tidak perlu takut padanya. Aku harap, kamu bisa dewasa."
Berjalan beringingan dan mereka berdua cukup serasi. Walaupun rasanya masih aneh, dan Vava masih tidak menyukai hal ini.
"Ada Mbak Limar yang akan membantumu nanti, dia belum menikah, sepertinya kamu sama arogannya." Ucap Lingga.
Tidak ada salahnya bila memberitahu Vava, tentang keluarga besar Mahatma.
"Mbak Limar?" Tanya Vava.
"Iya, dia Kakakku, dia sangat keras kepala, tapi dia perfeksionis. Dia pilih-pilih, bahkan sangat detail. Makanya sampai sekarang dia belum menikah. Dia yang membantu aku, untuk meyakinkan Eyang. Di keluarga Eyang Dewi, tidak ada yang menikah mendahului Kakaknya. Mbak Limar juga kekeh belum ingin menikah. Karena aku sudah bersalah, jadi Mbak Limar membujuk Eyang Dewi. Sebelum aku kesini, hanya Mbak Limar dan Eyang yang tahu. Kalau Ayahku, aku tidak peduli." Jelas Lingga.
"Eyang? Nenek kamu?" Tanya Vava.
"Hemms, dia nenekku. Eyang kakung sudah tiada, hanya Eyang putri yang masih ada. Kalau Bunda tidak ada siapa-siapa kecuali Budhe. Soalnya dari kecil Bunda sudah ditinggal kedua orang tuanya. Tapi kamu tidak perlu takut. Eyang juga biasa saja, cuma dia tidak suka sama gadis yang tidak punya sopan santun. Entahlah, aku juga tidak mengerti. Setiap Mbak Limar bicara dengan keras, Eyang juga tidak suka."
"Iya, aku mengerti, kamu sepertinya dari keluarga yang menjujung tata krama dan sopan santun. Ucap Vava.
"Tidak juga, cuma Eyang saja yang masih disiplin, buktinya Ayahku menikah lagi, jadi dia tidak ada tata krama, Eyang juga tidak peduli, hanya aku yang diperhatikan Eyang." Ucap Lingga yang cukup biasa saja.
Vava mulai tersenyum "Jadi aku nanti kalau di depan Eyang kamu, harus menjaga tata krama."
"Benar, jadi kamu harus sopan sama aku. Kamu harus panggil aku Mas Lingga." Ucap Lingga.
"Mas, Mas, sangat kuno."
"Kenapa?"
"Aneh aja, aku tidak terbiasa."
"Aku keturunan jawa tulen. Eyang tidak suka bila ada yang memanggilku Abang, Kakak atau apalah. Entah, adikku juga panggil aku Mas. Adikku juga kuliah di sini."
"Adik kamu?"
"Iya, namanya Langit. Tapi sama juga keras kepala, lebih sulit diatur. Dia kuliah seperti jalan-jalan keliling Eropa. Nanti aku kenalin, mungkin kalian akan akrab."
"Emss. Mobil kamu dimana?" Tanya Vava.
"Aku tadi naik taxi." Jawab Lingga.
Tidak lama, ada mobil tiga mobil yang melaju, mendekat ke arah Lingga dan Vava.
Mobil sport merah dan dua Mobil sedan hitam yang begitu berkelas. Mobil itu berhenti tepat di hadapan Lingga, dan dia hanya menyernyitkan dahi.
Vava tampak menoleh ke arah Lingga, dan bertanya "Kenapa kamu berhenti? Ayo jalan."
"Kita sudah di jemput, untuk apa naik taxi."
Vava yang belum mengerti. Terlihat ada beberapa orang yang mengawal pemuda tampan. Gayanya yang bak aktor hollywood dan di kawal beberapa bodyguard profesional. Sangat menakjubkan, dia adalah Langit Mahatma.
"Mas Lingga. Aku datang." Ucapnya, dan sangat menggemaskan saat berhadapan dengan Lingga.
Lingga terdiam dan menggeleng saja, benar saja duitnya selalu habis, apa yang telah dia perbuat, bodyguard, mobil berkelas, apartemen mewah.
"Mas Lingga, aku tahu kamu disini. Bahkan aku tahu kamu akan segera menikah. Apa dia Mbak baruku?" Suara Langit begitu datar, dan sangat tidak menyenangkan.
"Mbak kenalin, aku Langit Mahatma, aku adiknya Mas Lingga, aku sangat tampan, aku tidak suka diatur, aku baru berusia 22 tahun. Aku juga suka berjalan-jalan dan menghabiskan duit Mas Lingga dan juga Mbak Limar. Tapi sepertinya, jatah dari Mas Lingga untuk aku akan berkurang, biasanya orang yang sudah menikah, akan lupa sama adiknya sendiri." Ucap Langit yang memperkenalkan dirinya, dengan sok asyik. Tapi memang itu sikapnya Langit.
Vava menoleh ke Lingga dan bertanya "Dia adik kamu?"
Lingga hanya mengangguk, dan tampak biasa saja. Tidak melihatkan ekpresi bahagia ataupun tidak senang. Sangat datar dan sorot matanya tampak dingin.
"Aku Vallezia Varrez. Panggil aja Vava." Ucap Vava, dan mulai menjabat tangan Langit. Karena dari tadi, Langit sudah menjulurkan tangannya, untuk berkenalan dengan calon kakak iparnya.
Langit tampak tersenyum setengah saja, gaya dia selalu menawan, bahkan dia sama seperti Vava, yang mementingkan keagungan dirinya, bila di hadapan orang lain.
"Mas, kamu tidak suka aku yang menjemput kamu? Aku sudah bersusah payah memanggil pengawal kebanggaanku. Aku tahu kamu pergi, dengan segera aku menyusulmu kesini." Ucap Langit dengan pelan, di hadapan Lingga.
"Iya, aku senang adikku cukup perhatian. Tapi jangan meminta uang dariku lagi, untuk membayar mereka semua." Bisik Lingga.
Langit tidak berhenti disitu saja, dia tampak menoleh ke arah Vava dan bertanya " Mas Lingga, jadi benar dia istrimu? Kamu sudah memikirkan apa yang akan terjadi, bila dia masuk ke dalam keluarga Mahatma?"
"Aku sudah memberitahunya, bahkan kamu akan menjadi Om, Om Langit Mahatma." Ucap Lingga.
Langit tampak terkejut dan memandang Vava begitu lekat. Apa kakaknya tidak salah, bisa menghamili gadis biasa, apalagi tidak tampak sexy. Kalau cantik saja, rasanya tidak mungkin sampai hamil. Pasti ada kesalahan dalam otak kakaknya.
"Mas Lingga serius??" Tanya Langit, yang hanya tahu kalau kakaknya itu akan segera menikah, tapi dia tidak tahu, apa yang sudah terjadi dengan calon kakak iparnya.
Lingga mendekat dan berkata "Aku serius, kamu harus bersikap baik sama Vava, atau kamu akan menderita tanpa uang dariku."
Langit yang begitu menawan, mulai mendekati Vava, dan dia berkata "Mbak Vava, kulo nyuwun pangapunten."
(Mbak Vava, aku minta maaf.)
Vava dengan bingung, tapi sedikit tahu kalimat bahasa jawa itu, lalu berkata "Iya, tidak apa-apa. Aku juga sama seperti kamu."
"Aku asli Jogja Mba Vava." Ucap Langit.
Lingga hanya mengangguk saja, dan mendekati Vava.
"Eyang kakung dan Eyang putri, asli dari Jogja, bahkan kita bertiga, sering ke Jogja. Aku juga lahirnya di Jogja." Ucap Langit, dan mulai dengan gaya sok akrab.
Vava hanya memandang aneh sosok Langit, yang sepertinya berbeda dari Lingga. Vava berkata "Iya, aku juga keturunan dari Surabaya dan Surakarta. Tapi aku lahir dan besar di Jakarta."
Sesama dari keturunan jawa, tapi bertemu di Jerman. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya, Vava sudah mulai menerima Lingga, dan mereka mulai mengenalkan diri mereka. Saling mengenalkan tentang keluarga mereka yang memang begitu adanya, tanpa ada yang ditutupi dari keduanya.
Lingga yang sudah mengenal Angga dan Vanesa, tapi belum mengenal keluarga Vava yang lainnya.
"Mba Vava, kita akan mengantar Mbak Vava sampai di rumah." Ucap Langit yang terlihat menawan dengan senyuman manisnya dan mungkin hanya terpaksa saja.
Vava dengan tersenyum mengangguk, dan mulai berjalan menuju mobil sedan yang mewah.
Dalam perjalan menuju ke apartemen, Vava terlihat sangat gelisah, Lingga yang duduk di sebelah kiri menoleh ke arah Vava, tampak memperhatikan Vava.
"Vava kamu kenapa?" Tanya Lingga, dengan suara pelan.
"Aku cuma pusing." Jawab Vava.
Sebenarnya Vava dua minggu ini, sudah merasa sering pusing, bahkan sebelum dirinya pingsan, dan di larikan ke rumah sakit saat itu. Vava sudah sering merasa pusing.
"Kamu perlu ke dokter, kamu sudah pucat." Suara Lingga terdengar khawatir.
Vava tampak menahan sesuatu, sepertinya dia sudah menahan rasa pusingnya.
"Aku hanya pusing biasa." Ucap Vava.
Lingga meminta dengan sopir mobil itu untuk cepat melaju, agar segera sampai di apartemen. Setelah sampai di apartemen itu, Vava berjalan dengan pelan, dan Lingga masih memperhatikan Vava. Langit juga tampak mengukuti mereka berdua yang berjalan di depannya.
"Aku baik-baik saja." Lirih Vava.
Tadi Lingga sangat tidak tahan, saat melihat cara berjalan Vava yang seperti orang lemah. Akhirnya Vava dalam gendongan tangan Lingga.
"Mas, Mbak Vava kenapa?" Tanya Langit dengan cemas.
Vava sangat terlihat pucat dan matanya mulai terpejam dalam dekapan Lingga Mahatma.
_____________________
Terima kasih untuk kalian yang selalu setia, dan ini hanya sepenggal cerita awalan "PANGGIL AKU MAS! Season 2.
Semoga kalian suka cerita bab ini. 🤗😘
Hallo pembaca setia Mas Pras, salam kenal dari saya pria tampan tapi bukan idaman.
Mas Lingga 🙏🤗.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!