Seorang wanita cantik nan anggun terlihat baru saja keluar dari pintu bandara. Berkulit putih bersih dengan bentuk tubuh proporsional tinggi semampai. Pada hidungnya yang berdiri tegak, bertengger kacamata gaya berbentuk bulat lebar. Sementara tubuh rampingnya dibalut coat berwarna beige, tampak kontras dengan tas birkin berwarna biru elektrik berbahan kulit crocodile yang disampirkan pada lengan kanannya.
Tipe wanita sempurna yang berjalan dengan gaya angkuh bak seorang model profesional.
Rachel Sasmita Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Rachel Langdon, merupakan seorang desainer muda yang hasil rancangannya banyak diminati oleh beberapa aktris luar negeri.
Jadi, tidak mengherankan kalau penampilan nya selalu terlihat menakjubkan dan dipenuhi oleh barang-barang branded dari ujung kaki hingga ke atas kepala. Kemana pun ia berjalan semua mata pasti akan tertuju kepadanya, mengagumi setiap inchi yang ada pada dirinya.
Begitu pun saat ini, wanita itu melenggang bebas seakan sudah terbiasa ditatap oleh orang banyak. Bahkan ada beberapa orang yang diam-diam memotretnya.
Akan tetapi sekalipun tak pernah ia pedulikan. Baginya itu hanyalah bentuk rasa kagum orang-orang kepadanya. Dan dianggapnya hanyalah sebagai butiran debu yang sama sekali tidak butuh diperhatikan.
Jadwal nya yang telah disusun jauh-jauh hari tiba-tiba berantakan. Kemarin tiba-tiba Daddy nya menelpon dan menyuruh nya untuk pulang secepatnya ke Indonesia, entah ada masalah mendesak apa yang mengharuskannya segera pulang. Padahal jadwalnya ke depan akan begitu sibuk karena akan hadir dan berpartisipasi dalam event London fashion week.
"Mana, sih?" gerutunya kesal. Memutar pandangan mencari sosok pria paruh yang merupakan supir keluarga dari banyaknya orang yang berlalu lalang. Sampai kemudian bola matanya terjatuh pada seorang pria yang seperti berjalan ke arahnya.
"Permisi, Nona," sapa pemuda tampan, berkulit putih bersih, dengan postur tubuh tinggi sekitar 180cm, menggunakan kemeja putih berbalut coat berwarna beige yang hampir senada dengan coat yang ia kenakan.
"You call me??" Rachel bertanya sambil membuka kaca mata hitam yang bertengger pada hidung.
"Oh, hai," balasnya, terlihat kikuk sambil mengatur yang sedikit ngos-ngosan. Sepertinya ia habis berlari. "Oh, iya. Tadi kita satu pesawat dari London."
Rachel menautkan kedua alis tak mengerti.
"Sepertinya tujuan kita selanjutnya sama," ujarnya masih mengatur nafas. Entah dia habis berlari dari mana. Walau terlihat tampan, tapi sikapnya langsung membuat siapa pun wanita langsung ilfil.
"Apa maksudmu?" Rachel semakin mengernyitkan kening.
"Seperti yang kubilang tadi, sepertinya tujuan kita sama. Jadi kalau Nona berkenan, kita berangkat bersama di mobilku atau kalau memungkinkan aku yang ikut di mobil Nona. Bagaimana?" tawarnya sambil memamerkan lengkungan senyum. Terlihat seperti pria mesum yang menggoda targetnya.
Rachel memindai pria itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dengan tatapan tajamnya kemudian bergidik ngeri dan jijik sekaligus.
Ia tahu betul watak pria macam ini, pria yang berusaha menggoda wanita-wanita cantik hanya untuk sebagai teman kencan semalam. Dipikirnya ia wanita murahan yang bisa diajak one night stand? Oh, No! sepertinya kali ini ia salah target.
"Sorry, sepertinya kamu salah orang. Aku bukan tipe yang anda cari!" Rachel berseru disertai tatapan mematikan lalu, memakai memasang kaca mata kembali dan beranjak pergi.
Pria itu kelabakan dan spontan mengejar. "No-Nona, aduh. Maksud saya bukan seperti itu. Nona sepertinya salah paham!" ujar Pria itu seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku coat.
"Kalau begitu apa bisa kita ...."
Belum selesai pria itu berbicara, Rachel berbalik, mengernyitkan dahinya, memberikan tatapan mematikan menandakan dia merasa terganggu sebelum kemudian berbalik kembali dan mempercepat langkah.
"No-Nona! Tunggu sebentar," teriak pria itu memanggil.
Namun Rachel sama sekali tak merespons. Terus berjalan cepat sampai akhirnya berpapasan dengan orang yang sejak tadi dicarinya.
"Selamat datang kembali nona Rachel," sapa Pak Maman sembari membungkukkan badan.
"Dari mana saja? Apa Daddy tidak memberitahu jadwal kedatanganku?"
"Maaf, Nona. Tadi saya salah masuk terminal keberangkatan," kilah pria paruh baya tersebut.
Rachel hanya memutar bola mata jengah dan melanjutkan langkah mengikuti sang sopir.
"Oh, iya. Yang tadi itu teman, Nona?" lanjutnya, tapi begitu mendapat tatapan tajam dari sang nona Pak Maman pun langsung mengubah pembicaraan. "Maksud bapak, barang bawaan nona cuma segini?" tanyanya lagi sambil membukakan pintu mobil.
"Aku cuma sebentar kok disini Pak Maman, klo urusan sm Daddy udah beres aku harus kembali lagi," ujar Rachel, buru-buru naik ke mobil dan merilekskan tubuh.
Mobil pun melaju dengan santai melewati jalan raya yang hingar bingar dengan keramaian dan suara bising kendaraan. Pukul 18.00, memang adalah waktu-waktu padat nya kendaraan sebab di jam segini merupakan waktu pulangnya pekerja kantoran.
Langit pun sudah mulai berubah warna. Menunjukkan warna kemerahan di saat senja.
wanita itu memejamkan mata, berusaha menolak kebisingan yang menyusup ke telinga nya.
Sejujurnya ia merasa berat menginjakkan kaki kembali ke Indonesia. Ada sebuah kejadian dari 10 tahun yang lalu yang membuatnya trauma, sehingga ia harus melarikan diri dan menetap di London, Inggris. Kejadian yang merubah dirinya menjadi sosok wanita rapuh sekaligus dingin. Sosok wanita yang tidak ingin mengenal apa namanya cinta.
Hanya saja, perintah dari ayahnya yang tiba-tiba memintanya harus segera pulang membuatnya bertanya-tanya.
Usianya sudah menginjak 28 Tahun tapi baru kali ini ia merasakan amarah Daddy nya yang tidak biasa saat menelepon kemarin.
Rachel merupakan putri sulung dari pasangan Prof. Wijaya Langdon dan Ny. Amitha Langdon. Memiliki seorang adik laki-laki bernama Bryan Putra Wijaya yang saat ini masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA tingkat akhir.
Kejadian buruk yang menimpanya selepas lulus sekolah menengah, memaksa Rachel akhirnya memilih melanjutkan kuliah ke Inggris. Tepatnya di London College of Fashion tempat pencetak desainer dunia dan menetap di rumah nenek dari pihak ayahnya, hingga akhirnya berkarir menjadi seorang Desainer muda sampai sekarang ini.
Setiap dua kali sebulan ayah dan ibu maupun adik semata wayangnya rutin berkunjung ke London, tapi tidak pernah sekalipun ia dipaksa untuk kembali ke Indonesia. Entah ada masalah penting apa di keluarganya hingga Pak Wijaya yang selama ini lembut padanya tiba-tiba meledak-ledak tidak jelas.
"Non, Rachel. Kita sudah sampai."
Suara Pak Maman memecah lamunan Rachel. Tanpa sadar ternyata ia sudah ada dihalaman mansion sendiri.
Dengan cepat wanita itu merapikan diri, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah megah nan mewah. Sekilas bak Istana, bernuansa Eropa klasik dengan pilar-pilar tinggi menjulang serta dinding berlapiskan granit berkualitas tinggi.
Di ruang tamu depan sudah terduduk Wijaya Langdon lelaki peranakan Inggris, diapit oleh Amitha Langdon wanita paruh baya yang kecantikannya masih 11-12 dengan Rachel. Terlihat ekspresi keduanya yang terlihat tegang dan sangat serius.
Rachel yang merasa tidak berbuat kesalahan sama sekali, tentu saja bersikap seperti biasa-biasa saja. Bersikap manja seolah tidak terjadi apa-apa, karena memang baginya tidak ada masalah sama sekali.
"Good Evening Mom, Dad," sapanya seray menghampiri dan memeluk Wijaya dan Amitha secara bergantian.
"Ada masalah apa sih Dad? Mom? Apa tidak bisa di bicarain di telepon saja?" tanyanya manja, sambil menyampirkan rambut ke samping dengan gerakan yang sangat elegan
Namun, ekspresi kedua orang tuanya bergeming. Tampak serius disertai guratan emosi di wajah.
"Duduk!" perintah sang Ayah.
Rachel mengerutkan kening tak mengerti.
"Daddy, bilang duduk!" bentak orang tua itu.
Rachel tersentak kaget. Wajahnya seketika pias melihat aura gelap pada wajah ayahnya itu. Walupun ia terkenal sebagai wanita yang angkuh dan dingin, hingga dijuluki sebagai Snow Queen tapi ia tetap menjadi anak kucing yang tidak berdaya dihadapan sang Ayah.
"Whats wrong, Dad? Mom?" tanyanya menuntut penjelasan. Kakinya melangkah perlahan menuju sofa yang berhadapan dengan kedua orang tuanya saat ini dan memposisikan dirinya duduk sesuai instruksi Wijaya.
"Sayang, semingguan ini kamu nginap di mana? bukan di rumah Granny?" tanya Amitha mencoba mencairkan suasana.
"Di Hotel, Granny tahu kok! Belakangan ini aku sibuk mom. Aku kan lg ada photoshoot!! Emangnya kenapa mom?? "
"Apa betul di hotel Alister? kamu ..." Belum selesai pertanyaan Amitha, Wijaya langsung menyela.
"Siapa laki-laki itu?" Wijaya bertanya dengan suara yang berat dan lantang, terdengar mengintimidasi.
"What? Laki-laki? Laki-laki apa? Siapa? Tunggu dulu, ini ada apa?" Rachel bertanya balik, keningnya mengerut dalam dengan bingung. Sementara kedua matanya menatap tajam Wijaya dan Amitha secara bergantian.
Wijaya kemudian membuka sebuah map cokelat dan mengeluarkan beberapa foto. Rachel segera mengambil foto-foto itu, dan langsung terperanjat setengah memekik ketika melihat dirinya berada di dalam foto tersebut.
Di foto tersebut terlihat dirinya yang setengah bugil bersama dengan seorang pria. Wajah pria itu tidak nampak, hanya punggung nya yang terlihat. Berbeda dengan dirinya yang menampakkan wajahnya dengan jelas, begitupun tampilan foto-foto yang lain.
"A-apa ini?" tanyanya terheran-heran. Jelas-jelas ia tidak pernah melakukan perbuatan itu, bahkan tidak ada ingatan apapun tentang kejadian tersebut.
"Ini yang kamu bilang dengan pemotretan?" Wijaya memalingkan wajah lalu memijit pelan pelipis.
Sejenak Rachel terdiam mengamati ekspresi Wijaya. Ada kekecewaan besar yang tampak di sorot mata laki-laki paruh baya itu.
"Dad, Mom. Demi tuhan, aku tidak pernah melakukan ini. Sumpah! Sepertinya ini ada yang salah. A-aku ... Aku harus di periksa kebenarannya dulu!"
"Tapi di foto jelas-jelas kamu, sayang! Bagaimana bisa kamu bilang itu bukan kamu?" Amitha menatap nanar putrinya.
"Mommy, aku ... aku gak mungkin berbuat ini. Jelas-jelas aku tidak melakukannya. Masa tidak percaya sama anak sendiri. Mommy tau 'kan aku orang yang seperti apa? Hal yang seperti itu bahkan sangat aku benci, jadi tidak mungkin aku melakukannya."
"Kamar itu jelas-jelas dipesan atas namamu, Rachel Langdon, dan wajahmu begitu jelas di foto itu, bagaimana kamu menjelaskan hal itu?" Wijaya kembali menuntut penjelasan. "Untungnya Hotel itu milik kenalan daddy, jadi daddy bisa langsung mencari informasi. Dengan cepat daddy bisa menemukan pria di foto tersebut. Beruntungnya lagi pria yang bersamamu itu mau bertanggung jawab. Jika tidak, aku tidak tahu akan berbuat apa dengan kejadian ini."
"Tu-tunggu dulu. Be-bertanggung jawab apa? Apa maksud, Daddy? Laki-laki yang mana?"
Rachel terperangah. Ia termangu terpaku. Benar-benar bingung dengan keadaan yang terjadi saat ini. Otaknya sama sekali tidak dapat menelaah maksud pembicaraan saat ini.
"Ya, seperti yang kamu dengar barusan. Laki-laki itu akan bertanggung jawab."
"DAD!" teriaknya tak terkma. "A-aku ... aku gak hamil kok, Dad. Jadi, apa yang perlu di pertanggung jawabkan?"
Belum selesai keterkejutan Rachel, tiba-tiba sebuah mobil Porsche hitam masuk ke halaman rumahnya, dan berhenti tepat di depan teras selasar yang berhadapan langsung dengan pintu utama yang terbuka lebar.
Dari mobil itu turun seorang pria tampan, berkulit putih, menggunakan kemeja putih, dibalut longcoat berwarna beige. Dengan percaya melangkahkan kaki berjalan hingga berada tepat di tengah-tengah mereka.
"Malam, Paman, Bibi!" sapanya tanpa merasa asing sama sekali kepada Wijaya dan Amitha.
Rachel tersentak melihatnya. Bola matanya hampir saja melompat keluar.
"Kamu?" Rachel memekik sambil menunjuk ke arah pria itu saat mengenali rupanya. Pria menjengkelkan dan mesum yang dijumpainya saat di bandara tadi yang tidak dia gubris sama sekali.
"Hai Rachel," sapanya ramah. "Tadi 'kan aku sudah bilang mungkin tujuan kita sama, tapi nona Rachel tidak mau mendengarkan penjelasanku dan main pergi begitu saja."
"Hah? Me-memangnya kamu siapa?" Rachel sedikit terperanjat kaget melihat pria aneh itu seolah-olah mengenal dirinya.
Apa ini? batin Rachel menjerit, ia seperti kehabisan kata-kata, Bingung!
Tanpa Rachel sadari pria aneh itu kini telah duduk disampingnya, di sofa yang sama dengan yang ia duduki saat ini.
Dan tanpa basa-basi Wijaya pun langsung ke inti permasalahan
"Hm, apa betul laki-laki di foto ini kamu?" Wijaya menyodorkan sebuah foto yang memalukan untuk dilihat ke pemuda tersebut.
"Yah, itu saya paman. Foto itu asli. Saya memang sedang bersama Rachel malam itu. Dan saya akan bertanggung jawab!" ucapnya tanpa keraguan sama sekali
Mata Rachel langsung membelalak, Kedua matanya melebar sempurna dengan mulut yang menganga mendengar ucapan pria aneh tersebut.
"Saya akan menikahi Rachel Sasmita Wijaya," ulang pemuda itu lagi.
Rachel langsung merosot lemah dengan nyawa yang seakan terbang entah ke mana.
* * *
"Saya akan menikahi Rachel Sasmita Wijaya."
Pria itu mengulangi perkataan lagi dengan penekanan yang lebih dalam.
"What? Are you crazy?" Rachel membulatkan mata dengan penuh geraman. Menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan yang begitu kental.
Akan tetapi, berbeda dengan reaksi yang orang tuanya lakukan.
"Baik lamaran mu saya terima, hubungi orang tuamu dan kita urus pernikahan kalian dengan secepat mungkin." Wijaya kembali berucap lantang tanpa keraguan.
Rachel membelalak. Jantungnya bergemuruh hebat dengan tubuh yang langsung terguncang. Seolah kilat baru saja menyambar dirinya. Sama sekali tak mengerti dengan kegilaan yang terjadi. Jika tujuannya untuk memberikan efek kejutan, tentunya sudah berhasil. Karena saat ini dirinya benar-benar terkejut luar biasa.
"Tunggu! tunggu dulu! Apa maksudnya ini? Menikah? Siapa dengan siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan kamu dengannya."
"Me? With him?" Rachel melototkan mata pada pria yang saat ini duduk tenang di sofa. Bahkan dengan santainya mengumbar senyum tipis penuh percaya diri. "Oh, NO!" tolaknya lantang.
"Tak ada penolakan. Kalian harus menikah sebelum foto-foto ini tersebar dan merusak reputasi Daddy di kampus!"
"Dad!" teriak Rachel dengan frustrasi. "Aku ini bukan kucing yang dinikahkan begitu saja dengan mudahnya. Lagi pula, Daddy dan mommy juga belum mengetahui asal usul laki-laki ini. Latar belakang keluarganya, bibit, bebet, dan bobot. Aku tidak mungkin menikah begitu saja dengan laki-laki asing!" seru Rachel. Menunjukkan penolakan luar biasa.
"Rachel, kamu pikir Daddy sebodoh itu? Daddy tidak mungkin menikah kamu dengan orang yang tidak benar. Daddy sudah mencari tahu seluruh informasi tentang dirinya sampai ke akar-akar sebelum memutuskan hal ini."
"But, dad ... I never do that." Rachel memekik. Sorot mata bulatnya menyiratkan permohonan teramat sangat. "Dan pria ini ... Aku benar-benar tidak mengenalinya. Bahkan aku baru melihat wajahnya saat di bandara tadi. Entah dia orang gila dari mana, yang pastinya ini semua hanya akal-akalannya saja!"
"Sayang, jangan sembarangan mengatai orang seperti itu!" Seru Amitha.
"Tapi ini memang benar, Mom. Bagaimana pun ini semua tidak masuk akal!"
Rachel mencengkeram kepala dengan kedua tangan. Kepalanya benar-benar terasa hampir meledak. Ia membisu sekian detik lamanya lalu, terburu-buru meraih tas tangan yang tergeletak di atas meja.
"Rachel, mau kemana sayang?" tanya Amitha.
"Aku harus mencari tahu asal usul foto itu juga pria ini!"
"Stop! kembali duduk. Kamu belum boleh pergi ke mana-mana," tahan Wijaya.
"Tapi, Dad ...."
"Daddy bilang duduk, ya, duduk!"
"Aku tak bisa menerima ini, Dad. Aku harus mencari tahu. Bisa saja 'kan dia mengatur semua ini untuk menipu kita?"
"Jangan mengada-ada, foto itu sendiri sudah menjadi bukti kesalahanmu, dan kamu harus bertanggung jawab untuk itu, titik!"
Rachel terpaku di tempat. Ia mengatupkan kedua bibir rapat-rapat dan termangu, tapi hatinya bergemuruh hebat di dalam sana. Bola matanya sampai berkilat-kilat penuh amarah, menunjukkan sikap permusuhan luar biasa pada laki-laki yang masih saja duduk tenang tanpa rasa bersalah.
Menarik napas panjang, Rachel pun kembali berkata. "Kalau begitu berikan waktu untuk aku dan dia bicara empat mata," pintanya.
"Okey, no problem. Kalian berdua memang perlu berdiskusi dan saling mengenal sebelum menikah. Tapi sebelum itu berikan paspormu Rachel?"
"Pasporku? Buat apa?" tanya Rachel dengan heran.
"Yah, untuk jaga-jaga. Mungkin saja kamu akan kabur setelahnya."
"Astaga, Dad. Segitu tak percayanya Daddy padaku?"
"Daddy itu sangat mengenalmu, Rachel. Kamu punya seribu cara untuk bisa kabur dari rencana itu. Dan Daddy sama sekali tidak menginginkan hal itu," tukas Wijaya.
Rachel langsung merogoh tas tangan kesayangannya, mengeluarkan paspor dan langsung menyerahkannya pada Wijaya. Kemudian bergegas keluar bersama dengan pria aneh nan misterius yang bahkan namanya saja tidak ia ketahui.
* * *
Sedan hitam kini melaju dengan santai, alunan musik saxophone milik Kenny G mengalun lembut dari celah-celah audio mobil.
Kini Rachel sudah terduduk diam di atas mobil milik pria itu. Pandangannya lurus ke depan mengamati aspal yang mereka lewati. Sementara otaknya berfikir keras menyusun rentetan pertanyaan untuk pria di sampingnya.
"Aku tidak menyangka kamu berani keluar berdua dengan orang asing sepertiku," tanya pria itu tiba-tiba dan berhasil memecah keheningan.
Rachel mengembuskan napas panjang, memutar bola mata lalu, membalas perkataan pria itu dengan malas. "Kamu sendiri sadar kalau kamu itu orang asing untukku. Kenapa malah nekat mau menikah denganku?"
Pria itu tidak segera menjawab pertanyaan Rachel, dia hanya melirik sekilas dan tersenyum tipis, kemudian kembali membisu. Hanya helaan napas panjangnya yang terdengar beberapa kali.
Hal itu mengundang rasa penasaran Rachel, hingga membuat wanita itu refleks melirik ke arah pria tersebut.
Pria dengan struktur rahang yang tegas. Hidung tinggi bak perosotan, serta alis tebal yang berbaris dengan teratur. Jelas pria itu orang asing bagi Rachel, tapi entah mengapa terasa sedikit familier. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Entahlah, Rachel sama sekali tidak mengingat di mana pastinya. Dan tak ingin repot-repot untuk sekedar mengingatnya.
"Masih menuntut jawabannya?" tanya pria itu lagi. Menyentak Rachel dari keterpakuan menatap wajahnya.
"Doesn't every question need an answer?"
Rachel bertanya balik disertai kepala yang ikut menoleh ke samping. Bersamaan dengan pria itu yang juga menoleh ke arah Rachel. Membuat keduanya secara tak langsung saling bertatapan.
Tatapan mata Rachel menyiratkan sejuta rasa penasaran, tapi pria yang menatap dengan sangat lekat itu malah memberikan tatapan yang sangat sulit untuk dijabarkan selama sekian detik dan lekas mengalihkan perhatian kembali ke jalan di depan sana.
"Hmm ... Aku akan menjawab semua rasa penasaranmu itu, tapi sebelum itu ...."
Pria itu kembali tersenyum tipis lalu melirik jam tangan mahal yang melingkar pada pergelangan tangan. "Kau tidak lapar? sekarang sudah jam delapan malam dan aku belum makan apa-apa sejak terakhir kali di pesawat tadi. Sepertinya kamu juga begitu. Bagaimana kalau kita bicara sambil dinner?"
Rachel berfikir sejenak, ia melirik jam di pergelangan tangannya yang memang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.
"Okey, up to you," jawabnya malas.
Pria itu menyeringai tipis dan segera memutar kemudi berbelok ke kawasan kuliner. Berhenti tepat didepan Restoran seafood khas Indonesia.
Tanpa menunggu aba-aba dari pria itu, Rachel langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran dengan langkah anggun. Meninggalkan pria yang datang bersamanya jauh berjalan di belakang.
Restoran bergaya rustic dengan nuansa tradisional itu tidak begitu ramai, mungkin karena sudah lewat dari waktu jam makan malam. Hanya ada beberapa pasang keluarga yang terlihat, sehingga mereka bebas memilih tempat dengan pemandangan alam terbuka. Suara gemericik air dari kolam ikan terdengar jelas dari tempat mereka berdua yang kini sudah duduk saling berhadapan.
"Mau makan apa?" tanya pria itu, sambil membuka-buka buku menu.
"Aku tidak lapar."
"Di sini tidak ada menu tidak lapar."
"Aku bilang, aku tidak lapar!" Rachel memberi penekanan dalam perkataan.
"Bagaimana kalau pesan yang sama denganku?"
Dengan kesal, Rachel menyambar buku menu di tangan pria itu. "Kamu tidak dengar aku bilang apa?"
"Memangnya kamu bilang apa? Dari tadi kamu belum menyebutkan makanan apa yang kamu mau."
Pria itu menatap Rachel dengan kedua alis yang terangkat menunggu jawaban.
Rachel membuang napas kasar. Ia cukup lelah untuk meladeni kekonyolan pria itu, dan memilih menyerah.
"Pesankan Orange juice saja. Hanya itu. No other!"
Senyum pria itu terkembang. Ia menaikkan tangan memanggil seorang waiters dan dengan lincahnya memesan cukup banyak menu.
Diam-diam Rachel mengamatinya dengan seksama. Cahaya lampu yang sedikit dibuat remang, membuat pantulan cahaya itu memantul pada sebagian sisi wajahnya. Membuatnya terlihat sangat tampan tapi juga sedikit misterius.
"Aku tampan, ya?" tanya pria itu tiba-tiba, membuyarkan lamunan Rachel.
Rachel jadi gelagapan ketahuan mengagumi wajah tampan itu. Iris mata berwarna coklat muda berpadu hijau keemasan yang bening menatap Rachel dengan lembut, membuat wanita itu tiba-tiba canggung menerima tatapannya. Sebelum akhirnya Rachel tersadar akan tujuan sebelumnya.
"So, who are you? Apa tujuanmu melakukan hal ini? aku tahu jelas kalau itu bukan kamu. Terlihat jelas kalau postur tubuhmu dari belakang berbeda dengan pria yang ada dalam foto itu. Aku bukan orang bodoh yang tidak bisa membedakannya, dan jelas juga kamu tidak sebodoh itu sampai mau bertanggung jawab atas hal yang tidak kamu lakukan. Lagi pula aku ini baik-baik saja, i'm not pregnant. Jadi, beri penjelasan padaku sekarang juga."
"Namaku Mahavir Alister." Pria itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan kanan ke depan.
Rachel sedikit ragu tapi akhirnya ia menyambut tangan itu dan menjabatnya sekilas.
"Kalau kukatakan aku adalah dewa penolongmu, apa kamu percaya?" lanjut pria bernama Mahavir itu.
Rachel menaikkan satu alis, pertanda heran dengan perkataan pria itu.
"Tak usah menatap seolah aku adalah seorang penjahat kelas kakap. Aku tidak seburuk itu."
Rachel mendengkus dan memutar bola mata. "Tak ada orang jahat yang mau mengaku kalau dia buruk."
Pria bernama Mahavir itu langsung terkekeh dan geleng-geleng kepala. "Aku tahu, kok, kamu tidak melakukan hal memalukan di foto tersebut. Pria di foto itu juga memang benar bukan aku, tapi wanitanya memang benar dirimu."
"Kamu!"
"Dengarkan dulu sampai selesai. Jangan menyela perkataanku."
Rachel sekali lagi mendengkus. "Baiklah, lanjutkan."
"Tanpa kamu sadari, hari itu kamu menjadi salah satu korban dari kelompok yang merupakan sindikat penipuan dan pemerasan yang sering melancarkan aksinya di hotel-hotel besar. Akan panjang kalau aku menceritakannya sekarang, akan lebih baik pula kalau kamu tidak mengetahui kronologi kejadian hari itu."
Rachel menautkan kedua alis tak mengerti.
"Lalu, apa hubungannya dengan kamu yang mau menikah denganku?"
"Karena foto-fotomu yang terlanjur tersebar. Walau pun kamu memang tidak melakukan apa pun, tapi foto-foto itu sudah terlanjur tersebar di dunia maya dan ikut menyeret namaku."
"Kenapa namamu bisa terseret?" tanyanya semakin tidak mengerti.
"Karena aku mengaku jika kita sepasang suami istri yang baru menikah."
"APA?!" Bola mata Rachel membulat penuh.
"Calm down. Dengar dulu penjelasanku."
"Penjelasan seperti apa?"
"Sebagai pemilik hotel tempat kejadian tersebut, aku harus menjaga keamanan dan kepercayaan para tamu. Kalau mereka mengetahui hotel milikku kebobolan sindikat penipu, bisa langsung jatuh di mata orang-orang."
"Dengan cara mengorbankanku?"
"Justru aku ikut membantumu. Dengan pengakuanku, nama besarmu tidak ikut tercoreng. Dengan kata lain kita saling membantu jika menikah."
Rachel mengernyitkan dahi. Kedua tangannya disilangkan ke depan dada dan sedikit memajukan wajah ke depan. Seakan menantang pria dihadapannya. "Kenapa kamu harus repot-repot membantuku?"
"Karena namaku sudah dibawa-bawa kedalam masalah ini," ujar Mahavir, ikut memajukan wajah ke depan hingga jaraknya lebih dekat ke wajah Rachel.
"Tapi 'kan kita masih bisa mencari jalan keluar yang lain!" Rachel tak mau kalah.
"Sepertinya cuma ada satu jalan keluar." Pria itu bersikeras.
"Tapi tidak juga dengan menikah!"
"Mau tidak mau, kita harus melakukannya." Mahavir berucap dengan tegas.
"Tapi sayang sekali, aku sama sekali tidak mau menikah!" seru Rachel, dia memberikan tatapan tajam dan dingin ke Mahavir.
"Itu hal yang tidak bisa kamu putuskan seorang diri," ujar Mahavir, memundurkan wajah dan tubuh ke belakang hingga bersandar ke kursi lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Menunjukkan gesture tubuh yang sama kuatnya dengan wanita angkuh di depan sana.
Emosi Rachel mulai naik ke ubun-ubun, dengan kesalnya dia bangkit dari duduk dan memukul meja dengan keras, membuat orang-orang sontak melihat ke arahnya.
"I'ts my life. Ini kehidupanku, kuputuskan sendiri. Tak ada orang lain yang bisa mengaturku seenaknya!" teriak Rachel.
Mahavir masih terduduk dengan santai sambil menguljm senyum tipis.
"Apa sampai saat ini kau belum membuka media sosialmu? Apa kamu sesibuk itu hingga tidak mendengar satupun berita tentang dirimu? Aku yakin rumor dirimu dengan diriku saat ini sudah panas diperbincangkan di jagat dunia maya."
"Ma-maksudmu?"
"Duduklah dulu, dan coba nyalakan ponselmu. Kamu akan mendapatkan jawabannya."
Rachel akhirnya duduk kembali, buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas dan mengaktifkannya.
Ting ... ting ... ting ...
Serentetan bunyi pesan masuk. Rachel membuka salah satu akun sosial media, dan ternyata benar.
Rumor tentang dirinya membanjiri halaman depan akun gosip yang tidak bertanggung jawab.
Rachel memperbesar foto postingan terakhir, dan sukses membuatnya terperanjat. Tangan kirinya bergerak membekap mulut sendiri yang sempat ternganga saking terkejutnya.
"Inikan Foto di bandara tadi? tapi ... Kamu
..?" Rachel terkejut bukan main tatkala melihat begitu banyak postingan yang memuat potret dirinya dengan pria dihadapannya itu.
"Kamu tidak sadar bukan kalau sudah menjadi incaran para netizen? Karena itulah tadi aku mengambil inisiatif untuk mendekatimu, agar mereka bisa menangkap foto bersama kita dan benar-benar percaya jika kita berdua memang benar-benar sepasang pengantin baru.
Rachel yang terperangah mendengar cerita itu, hanya bisa terus menscroll laman berita di ponsel. Dan semakin terkesiap kala melihat banyak foto-foto lainnya yang memuat dirinya bersama dengan pria itu dalam satu frame. Entah itu di sengaja atau tidak, yang jelasnya, orang-orang akan berpikir mereka memang memiliki hubungan.
Rachel bergidik ngeri melihat laki-laki itu.
"You stalked me?"
"Don't worry, aku sudah bilang aku bukan orang jahat. Aku ini penggemar fanatikmu, Yang sejak dulu sudah terpikat padamu."
Bola mata cokelat Rachel bergulir menelisik pria di hadapannya dengan saksama.
"Who are you? Siapa kamu sebenarnya?"
"Apa setelah mengenaliku, kamu akan bisa menerimaku?"
"Tergantung siapa dirimu!"
"Okey. Aku adalah anak tunggal dari keluarga Alister. You know Alister?"
"Apa salah satu keluarga berpengaruh di London?"
Mahavir tersenyum tipis. "Ayahku adalah James Alister pemilik dari Alister Corporation"
Rachel memicingkan mata mencoba mengingat nama Alister yang cukup sering didengarnya. Sepertinya dia pernah melihat profil James Alister di salah satu majalah bisnis.
"Apa dia pemilik jaringan Hotel terbesar di Eropa dan Asia?" Ujar Rachel memastikan.
Pria itu hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan ke arah Rachel.
"Wow unbelievable. Ternyata kamu sehebat itu. Kalau begitu, sekali lagi aku tanya, apa motifmu yang sebenarnya? apa yang anda mau Mr. Mahavir Alister?"
Mahavir mencondongkan tubuh ke depan kembali dan mengunci tatapan matanya ke arah Rachel. "Kamu lupa? aku sudah katakan berkali-kali sejak tadi, jika aku ingin menikah denganmu," tegasnya, menunjuk ke wajah Rachel yang mulai terlihat memerah saking menahan ledakan emosi.
"Kamu juga sudah lupa? Aku juga sudah berkali-kali katakan jika aku tidak mau menikah!" tukas Rachel tak mau kalah.
"Kamu tidak punya pilihan lain, Rachel. Kecuali kalau kamu mau reputasimu jatuh dan nama baik orang tuamu tercoreng. Asistenku di London sudah menanganinya dengan baik, bila kamu menolak, yang malu kamu sendiri. Lagipula kamu pun tidak akan rugi menikah denganku bukan? bagaimana?"
"Kenapa begitu??"
"Yah, karena status dan latar belakangku akan membuatmu semakin naik daun. Ingat, aku bukan orang sembarangan, begitu banyak wanita yang mengejar-ngejar ku di luar sana, dan itu pasti suatu keuntungan buatmu bisa menikah denganku," ujarnya percaya diri, mencoba berkompromi.
"Percaya diri sekali, Anda?"
"Karena aku memang orang yang seperti itu. Aku tidak akan percaya diri ini jika tidak layak bersanding denganmu."
"Mengapa kamu begitu ingin menikah denganku?"
"Karena kamu cantik," jawab Mahavir dengan santai. "Lalu apa alasanmu tidak mau menikah denganku?" tanyanya balik.
Rachel kembali mengernyit. "Karena aku tidak mengenalmu!"
"Aku mengenalmu dengan baik, dan kamu bisa pelan-pelan mengenalku. Bagaimana?"
"Aku tidak menyukaimu!" seru Rachel kembali. Memberi penolakan besar.
"Bagian mana dariku yang tidak kamu sukai?"
"Pokoknya aku tidak mau menikah denganmu!"
"Tapi aku sangat ingin menikahimu."
"Kamu ini tuli atau apa?"
"Pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Tapi dalam kamusku tidak ada penolakan."
"Dan dalam kamusku tidak ada pemaksaan!"
"Kalau begitu, kita lihat saja. Kamus siapa yang menang," ucapnya sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
"Apa kamu mencintaiku?" tanya Rachel kemudian setelah lama terdiam.
Mahavir sedikit tersentak ditodong pertanyaan itu. Ia mendadak salah tingkah dan ekspresi mukanya berubah seketika. Dengan segera ia meneguk air putih yang barusan saja diantar oleh seorang waiters.
"Emm ... Makananku sudah datang. Kalau begitu, aku makan dulu, sejak tadi aku sudah lapar. Okey?"
Pria itu mengerlingkan mata, membuat Rachel semakin bergidik melihatnya.
* * *
'Mahavir Pov'
Aku menyesapi Aroma Coffee latte favoritku dicafe seberang Hotel Alister, Saat kemudian mataku menangkap samar penampakan wanita yang terlihat tidak asing bagiku. Wanita itu baru saja turun dari sebuah Van, dari gayanya dia terlihat sangat mirip dengan seseorang di masa laluku, seseorang yang selama ini menempati ruang dihatiku.
Sepertinya dia merupakan tamu hotel Alister, melihat ada beberapa Bellboy yang membantu nya. Dia tengah sibuk mengatur orang-orang yang mengangkut barang-barang nya. Beberapa kali juga terlihat dia mengomel karena ada beberapa dress yang menjuntai menyentuh lantai. Begitu dia menyibakkan rambutnya kebelakang, wajahnya langsung terlihat jelas dari kejauhan.
Dengan segera aku mengambil ponsel ku dan menghubungi Receptionist Hotel Alister.
"Try checking if Rachel S. Wijaya is registered as a hotel guest? " Tanya ku mencoba memastikan. Terdengar suara gugup dari ujung sana, kaget mendapat telepon dari CEO nya. Ya, Aku adalah CEO dari Alister Hotel. Yang merupakan anak tunggal serta pewaris satu-satunya dari Kerajaan bisnis Mr.James Alister.
(*Coba cek apakah Rachel S. Wijaya terdaftar sebagai tamu hotel?)
"Yes sir, there is a guest named Rachel but not Rachel s Wijaya, but Rachel Langdon"Jawabnya diujung sana. Itu dia..,dia menggunakan nama keluarga nya!!
(*Ya pak, ada tamu yang namanya Rachel tapi bukan Rachel S.Wijaya, tapi Rachel Langdon)
Seketika rasa rindu ku membuncah,
luapan kegembiraan dihati ku terasa meledak-ledak, tidak sabar ingin melihat wajah nya dari dekat...
Bergegas aku menyeberang ke Alister hotel, mengambil posisi duduk dengan view terdekat di lounge sambil berpura-pura memainkan ponsel dan sesekali melirik ke arahnya.
"Cantik!!"
satu kata yang terucap dari mulutku begitu melihat nya, dia benar-benar telah tumbuh menjadi wanita yang anggun. Bahkan bila disandingkan dengan para model yang ada disekitarnya dia tetap yang tercantik di mataku.
Terlihat dia masih berkutat dengan beberapa dress dan para model, yang sepertinya akan melakukan photoshoot. Aku sudah dengar kabar kalau dia sudah menjadi seorang desainer yang berbakat. Paman dan Bibi lah yang selalu mengabariku selama ini, mereka adalah daddy dan mommy Rachel. Mereka yang selalu memberitahu kabar-kabar terbaru dari Rachel, dikampus mana Rachel kuliah, jurusan apa, hingga karir apa yang ditekuninya saat ini.
Sudah 10 tahun berlalu tapi hubungan ku dengan orang tua Rachel tidak pernah terputus, bahkan sebulan yang lalu mereka menyempatkan datang mengunjungi ku saat berada di London. Paman merupakan sosok yang sangat bijaksana dan menjadi panutan ku selama ini.
* *
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, sudah empat hari Rachel menghabiskan waktunya di Hotel ini. Disetiap kesempatan diam-diam aku mengambil potret dirinya, ataupun memerintah beberapa karyawan hotel yang terpercaya untuk memotretnya lebih dekat. Stuart, asisten pribadi ku akan senantiasa melaporkan segala kegiatan Rachel yang dilakukannya di lingkungan hotel, bahkan hingga hal-hal yang terkecil seperti...
"Miss Rachel is having lunch with the models"
"Miss Rachel is enjoying a cheesecake at the cafe"
"Miss Rachel is..... " BLA.. BLA.. BLA...
Kalau ada yang mengataiku pengecut, mungkin itu memang benar.....
Karena disaat berhadapan dengannya keberanian ku akan menciut...
karena hingga saat ini aku hanya mampu melihat nya dari kejauhan, aku tak punya keberanian sedikit pun untuk menampakkan diri di hadapannya.
Kupandangi potret dirinya ...
Andai saja aku bisa mendekati mu...
Menggenggam jemarimu,
Membelai pipimu,
Mengusap pucuk kepalamu,
Dan mengecup bibir indahmu....
"Tok.. Tok... Tok" Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan.
Astaga Mahavir!!! Apa yang kamu pikirkan....!!!
kuusap wajahku kasar mencoba menghilangkan pikiran kotorku.
Stuart masuk dengan raut wajah yang terlihat panik, dengan terbata-bata dia memberitahu bahwa penipu yang selama ini menjadi buronan polisi sedang beraksi di hotel ini. Mereka merupakan komplotan penipuan dan pemerasan yang menggunakan modus yang sama disetiap aksinya, seorang pria yang bertindak sebagai model akan berpura-pura tertidur disamping sang korban wanita dan seorang wanita yang bertindak sebagai fotografer akan mengambil potret mereka dan merekayasa cerita seolah sang korban telah bercinta dengan seorang pria, setelah itu mereka akan memeras dan mengancam sang korban hingga korban tidak berdaya dan akhirnya mengikuti keinginan mereka.dan dari tampilan CCTV 15 menit yang lalu dia terlihat memasuki kamar Rachel.
Begitu mendengar nama Rachel disebut tanpa sadar aku langsung berlari menuju lift pribadiku, disusul Stuart dibelakang. Lift itu turun menyisir tiap lantai hingga berhenti di lantai 10. Begitu pintu lift terbuka aku dan Stuart langsung berlari menyusuri koridor hotel menuju kamar Rachel. Di depan kamar itu sudah ada 3 orang staff keamanan hotel menunggu perintah dariku.
"PAKKK" Staff keamanan mendobrak pintu kamar tersebut, dan langsung berhamburan masuk kedalam. Dua orang yang terdiri dari seorang pria dan wanita terlihat panik dan berusaha kabur, tapi kelincahan para staff keamanan hotel lebih dulu menaklukkan mereka.
Kulihat Rachel terkulai tak berdaya diatas tempat tidur dengan tubuh setengah bugil, dengan cepat kuraih selimut yang ada dan menutupi tubuhnya. Aku menunduk dan menatap wajahnya yang terlihat sedikit pucat, kusentuh kulit putihnya terasa begitu dingin.
"CALL DOCTOR ELIZABETH!!! NOW!!!" teriakku
Emosi ku mulai tak terkendali,rahangku mengeras karena menggertakkan gigi dengan kuat, tanpa kusadari kepalan tanganku telah melayang ke wajah pria asing yang masih setengah bugil itu. Kepalan tanganku terus bergerak lagi dan lagi menghujaninya dengan beberapa pukulan yang mendarat dengan sempurna di wajahnya, mulut nya mulai mengeluarkan darah segar, dia mulai terlihat lunglai hingga akhirnya tersungkur ke lantai.
"GO TO JAIL" Umpatku, dan mereka akhirnya digelandang keluar menuju kantor polisi.
Saat ini dokter Elizabeth telah memeriksa keadaan Rachel, Untungnya keadaan nya baik-baik saja, sepertinya Rachel hanya diberi obat tidur dan akan bangun setelah beberapa jam ke depan. Sesuai instruksiku kini Housekeeping sedang membersihkan semua bekas kekacauan tadi, pintu kamar yang rusak akibat dobrakan tadi pun telah diganti dengan yang baru. Seorang pelayan wanita juga telah memakaikan kembali pakaian ke tubuh Rachel. Setelah semua nya beres mereka pun keluar menyisakan diriku berdua dengan Rachel.
Kugenggam jemarinya yang terkulai lemas,
Kuusap pucuk kepalanya lembut,
Kuberanikan mengecup keningnya,
Mimpi indah sayangku...
Kini keadaan sudah kembali seperti semula, seluruh staf dan karyawan hotel pun telah disuruh untuk tutup mulut rapat-rapat.
Aku berharap Rachel tidak menyadari kejadian ini.
* * *
Baru dua hari berlalu sejak kejadian tersebut, aku kemudian dikejutkan dengan berita baru. Foto-foto Rachel bersama penipu itu ternyata telah menyebar diinternet, aku sama sekali tidak menyadari hal ini tempo hari karena memang tidak ditemukan apapun yang mencurigakan dari penipu itu.
Menurut hasil penyelidikan dari Stuart, seorang Hausekeeping dari hotel inilah yang menyebar luaskan Foto-foto tersebut ke internet, kemungkin waktu kejadian penyergapan kamera dari si pelaku terjatuh dan ditemukan oleh Housekeeping yang membersihkan kamar Rachel waktu itu. Dengan cekatan nya Stuart telah menekan berita tersebut agar tidak semakin menyebar.
Tapi bukan tidak mungkin kalau Foto-foto itu tiba-tiba muncul di tempat lain bukan? pikirku
Hal yang kutakutkan adalah ketika Rachel melihat Foto-foto tersebut, pastinya dia akan sangat Shock sekali. Bagaimana klo Foto-foto ini juga malah tersebar ke Indonesia? Paman pasti akan sangat kaget bukan main!! Aku harus memberi tahunya sebelum paman salah paham terhadap putri nya sendiri !! Aku segera mengambil ponselku dan menghubungi paman.
"Halo... " Suara berat terdengar dari ujung sana
"Halo paman.... Ini saya Mahavir"
"Hai nak... Gimana kabar??gimana Ayahmu, sehat-sehat kan?? " Tanyanya.
"Baik paman..hmmm... Itu... " Aku menarik nafas panjang kemudian akhirnya memberanikan diri menceritakan kronologi kejadian tempo hari. Seperti yang ku duga, paman menanggapi nya dengan sangat bijak.
"Terima kasih nak karena telah mengkhawatirkan keluarga paman..." Ucapnya membuat ku merasa tersentuh. "vir, apa kamu masih menyukai Rachel??" Lanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu hatiku terasa nyeri, seakan ada sembilu yang Mengiris-iris hatiku.
Tanpa kusadari bulir bening jatuh dari sudut mataku. " Selalu..... dan akan selamanya... " Jawabku menahan nyeri.
"Vir, menurut paman masalah ini bisa terselesaikan bila kamu mau membantu paman."
"Saya akan selalu siap membantu tanpa paman minta seperti ini"
"Menikah lah dengan Rachel!! "
Seketika aku tersentak kaget atas permintaan itu, aku tahu ini tidak masuk akal, Rachel pasti tidak akan pernah mau menikah dengan orang seperti ku....
"Mengakulah kalau dirimu yang sedang bersamanya dalam foto tersebut!" lanjut paman lagi.
"Paman... Ini tidak mungkin!! Paman sendiri tahu klo Rachel luar biasa membenci ku."
"Vir!!! Jangan jadi pecundang seperti itu!! Sampai kapan kamu mau seperti ini, sudah 10 tahun lebih!!! Apa kamu siap melihat Rachel menikah dengan orang lain?? Paman itu sudah menganggapmu seperti anak paman sendiri, tidak akan ada pria yang bisa menyayangi anak paman melebihi dirimu."
"Tapi paman.... "
"Seiring waktu Rachel pasti akan menerimamu, mungkin inilah jalan yang terbuka untukmu nak....!! Pikirkanlah baik-baik, paman tunggu kabar secepatnya!"
* * *
Setelah merenungkan perkataan paman akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran nya, Bukan karena permintaan paman tapi lebih karena dorongan keinginan hati ku yang terdalam. Berkat informasi dari paman aku bisa dengan cepat memesan tiket penerbangan yang sama dengan Rachel.
Saat ini pun aku sudah berada di dalam pesawat kelas Bisnis yang akan membawaku ke Indonesia,
kulirik ke samping kanan ku terlihat Rachel yang sudah lebih dulu duduk di kursinya.
"Betapa cantiknya.... " Gumanku dalam hati, diam-diam aku mengambil potret nya lagi, seketika ada notif pesan masuk dari Stuart, asisten ku.
"please sir check the latest news on the internet"
(silahkan pak cek berita terbaru di internet)
Segera ku buka layanan internet di ponsel ku, ternyata Foto-foto itu memang mulai tersebar kembali,dan kali dengan Headline "scandal of a young CEO with a Designer "Rachel Langdon". Bagus juga housekeeping hotel yang telah mengupload rumor ini bisa berfikir kalau aku lah pria dalam foto tersebut, ini malah mempermudah rencana paman. Menurut Stuart kemungkinan rumor ini sudah masuk ke akun gosip Indonesia. Kulirik sekali lagi ke arah Rachel, dia hanya sibuk membuka-buka halaman majalah Mode.
(*skandal CEO muda dengan Desainer "Rachel Langdon)
Semoga saja dia tidak membuka Ponsel nya hingga sampai ke Indonesia harapku..
"confirm the news, say that it really is me. and said that we were married" Balasku pada chat Stuart. Menginstruksikannya untuk mengakui bahwa berita itu benar, dan kami telah menikah.
(*Konfirmasikan beritanya, katakan bahwa ini benar-benar aku. dan katakan bahwa kami sudah menikah)
Sekitar sepuluh menit setelah itu pramugari datang memberikan beberapa instruksi keamanan penerbangan, akupun kemudian mematikan ponsel ku. Beruntung Stuart bisa memberikan kabar sebelum pesawat lepas landas.
Selama penerbangan berlangsung aku bagaikan seorang mata-mata yang memantau target nya.
Memerhatikan setiap gerak-gerik Rachel,
Yang hanya berkutat dengan sketch book dan tools nya...menggambar beberapa macam sketsa design baju.
Saat makan kulihat dia hanya mencicipi sedikit makanan tapi selalu menghabiskan juice buah nya, salah satu kebiasaan seorang wanita yang selalu menjaga penampilan.
Selama perjalananpun dia hanya tidur selama 3 jam, bahkan setelah tertidur penampilan nya tidak berubah sedikit pun, tetap rapi dan anggun...
Betul-betul seorang wanita perfeksionis....
Kurang lebih 17 jam kami di bersama di pesawat yang sama, akhirnya pesawat landing juga di Bandara Soekarno-Hatta.
Pramugari pun terdengar memberikan salam perpisahan nya...
"On behalf of The Airlines and the entire crew, I’d like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"
(*Atas nama The Airlines dan seluruh kru, saya ingin mengucapkan terima kasih telah bergabung dengan kami dalam perjalanan ini. Kami berharap dapat melihat Anda kembali dalam waktu dekat. Semoga hari Anda menyenangkan!)
* * *
~Terima Kasih sudah membaca 🙏 jangan lupa like, vote dan komen yaa 🤗🤗 Supaya Author juga semangat nulisnya... 🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!