Angin menerpa wajah kedua insan yang sedang duduk di pinggir sawah. Tempat biasa mereka bertemu.
“Dek, apa hubungan kita akan seperti ini saja?” tanya Agung sembari menggenggam jari jemari kekasihnya.
“Mas mau seperti apa?” tanya Giwang menoleh ke Agung.
“Apa kamu siap Mas nikahi?” tanya pria itu ragu, karena ini kali ketiganya Agung melamar kekasih hatinya.
“Mas, usiaku baru sembilan belas tahun, dan lagi...” Giwang menundukkan kepalanya.
“Dan lagi apa?” tanya Agung penasaran, Giwang tidak pernah menceritakan kehidupannya, yang dia tau kekasihnya tinggal bersama dengan Pakde dan Budenya.
“Aku takut Pakde dan Bude tidak merestui kita,” ujarnya pelan. Agung diam, dia sangat mencintai Giwang tapi dia tau kendala yang di hadapinya sebenarnya dirinya sendiri.
“Kalau kamu mengizinkan besok Mas akan menemui Pakde kamu,” ujarnya.
Agung dan Giwang berpisah, gadis itu menggunakan sepeda ontelnya untuk pulang ke rumah Pakde nya.
Giwang anak yatim piatu dari kecil dia sudah di asuh oleh Pakde dan Budenya.
“Assalamualaikum,” ujar Giwang ketika sudah berada di depan pintu.
Wanita paruh baya yang bernama Nanik langsung datang menghampirinya. Menyodorkan tangannya ke arah gadis itu.
“Mana uang yang kamu dapatkan dari mengajar masak?” tanya Bude Nanik dengan berkacak pinggang.
Giwang pintar memasak, sewaktu sekolah dia memilih jurusan tata boga, karena di kampung tidak ada pekerjaan yang menjanjikan dia membuat kue dan menjajakan ke orang kampung dan sampingannya dia mengajar masak untuk orang kampung.
Upah yang di dapatkan tidak banyak, sekali mengajarkan memasak dia hanya mendapatkan tiga ribu rupiah.
“Ini Bude,” Giwang memberikan hasil mengajarnya yang berjumlah lima belas ribu.
“Ayo mana lagi?” tanya budenya dengan menggerakkan tangannya.
“Itu sudah semua bude,” sahutnya pelan.
“Jangan bohong, hari ini Bude lihat kamu membawa kue cukup banyak,” merogoh saku celana keponakannya.
“Ini apa!” Bude Nanik langsung memukulnya.
“Ingat tinggal di sini harus bayar,” gerutu Budenya sembari meninggalkan keponakannya.
Giwang masuk ke kamarnya yang berada di dekat dapur. Dia menangis dengan nasibnya, selama dia jualan tidak pernah dia mencicipi hasilnya. Pintu kamarnya di ketuk.
“Masuk,” ujar Giwang sembari mengusap air mata yang telah menetes di pipinya. Gadis belia yang masih menginjak kelas delapan masuk ke dalam kamar itu dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Mbak Giwang menangis lagi?” tanya Yayuk.
“Enggak,” sahutnya bohong.
“Mbak Giwang jangan bohong, aku tau pasti Ibu yang melakukannya, tebak gadis belia itu.
Giwang mencoba untuk tersenyum.
“Bagaimana sekolah kamu?” tanya Giwang mengalihkan pembicaraan.
“Hari ini ulangan ku dapat nilai lima puluh,” gadis belia itu menunjukkan hasil ulangannya.
“Jangan beri tahu Ibu ya,” Yayuk tidak mau mendapatkan amukan masal dari kedua orang tuanya.
Malam harinya.
Giwang membantu Budenya untuk menyiapkan makan malam. Setelah semua makanan siap terhidang, Pakde nya yang bernama Adi dan anak sulungnya yang bernama Dodit duduk di ruang makan. Usia Dodit dan Giwang tidak terpaut jauh, Dodit dua puluh tahun sedangkan Giwang sembilan belas tahun.
Keluarga Pakde nya mulai makan malam dan Giwang harus terakhir mengambil makan untuk dirinya. Kadang dia hanya mendapatkan kuah untuk makan malamnya tapi dia masih beruntung terkadang Yayuk menyimpan lauk untuknya.
“Pak, aku butuh uang,” ujar Dodit sembari makan.
“Uang apa lagi? Bapak enggak punya uang,” sahut Bapaknya.
Giwang duduk di tempat terpisah, dia tau kenakalan sepupunya, dan dia juga tau uang itu di gunakan hanya untuk mabuk.
Setelah semua selesai makan, Giwang membersihkan dan merapikan meja makan. Tapi dia mendengar dan melihat kalau Budenya menyerahkan uang hasil jualannya ke Dodit.
“Ini Ibu ada duit,” ujar Budenya sembari menyerahkan uangnya yang tadi.
“Banyak juga uang Ibu,” ujar Dodit senang. Pria itu langsung pergi ketika mendapatkan uang dari Ibunya.
“Dodit mau ke mana!” teriak Bapaknya. Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara knalpot.
***
Di dalam kamarnya Giwang merenung.
"Apa aku harus menerima lamaran Mas Agung,” gumamnya.
“Tapi kalau Bude marah bagaimana,” Giwang menghela nafasnya sembari merebahkan badannya di kasur.
“Tapi di sini aku tidak nyaman,” gumamnya dan mulai terlelap.
Giwang tidur dengan pulasnya, dia harus bangun jam tiga pagi untuk membuat kue dan mulai jualan pukul enam pagi.
Dengan sepeda ontel dia berkeliling kampung, setelah kuenya habis, dia mulai mengajarkan memasak untuk Ibu-ibu, tapi untuk hari ini dia hanya mendapatkan dua orang yang ingin belajar memasak, tapi dia masih bersyukur karena masih di beri rezeki.
Sepulang dari mengajar Giwang duduk di pinggir sawah menunggu kekasihnya Agung.
Tapi yang datang menghampirinya Siti sahabatnya.
“Ayo lagi menunggu siapa?” tanya Siti dan duduk di sebelah Giwang.
Giwang tersenyum. “Pasti sedang menunggu Mas Agung,” tebak Siti. Dan Giwang kembali tersenyum, muncul di benaknya untuk bertanya ke sahabatnya tentang pernikahan. Siti teman sekolahnya, dan sudah menikah setahun yang lalu.
“Apa rasanya menikah?” tanya Giwang.
“Apa Mas Agung melamarmu?” tanyanya penasaran. Giwang menganggukkan kepalanya.
“Kamu sudah mengiyakannya?” tanya Siti lagi.
“Belum, kamu tau sendiri Bude Nanik,” Giwang membayangkan omelan yang setiap hari di dapatnya.
“Saranku lebih baik kamu terima lamaran mas Agung, dengan menikah kamu akan terbebas dari omelan Bude Nanik." Ujar Siti.
“Mas Agung akan menemui Pakde malam ini,” ujar Giwang.
“Semoga kalian mendapatkan restu dari Pakde Adi,” ujar Siti berharap.
Giwang memperhatikan Siti yang terlihat santai, tidak berada di dapur seperti teman-temannya yang telah menikah.
“Kamu tidak masak?” tanya Giwang.
“Enggak, aku hanya masak untukku saja,” sahut Siti sembari menikmati angin yang menerpa wajahnya.
“Memangnya kamu enggak masak untuk Mas Paijo?” tanya Giwang lagi. Siti memandang temannya. “Sepertinya aku belum cerita kalau Mas Paijo sudah kerja di kota, dan hasil kerja di kota ini,” Siti menunjukkan perhiasan yang ada di tangannya.
“Wah kamu jadi orang kaya,” ujar Giwang senang.
“Kamu menikah saja sama Mas Agung nanti aku bilang ke Mas Paijo untuk membawa Mas Agung bekerja di kota, jadi kamu bisa sepertiku,” ujar Siti bangga dengan pekerjaan suaminya.
“Memangnya apa pekerjaan Mas Paijo?” tanya Giwang penasaran.
“Mas Paijo kerja di sebuah perusahaan aku tidak tau apa namanya tapi katanya tukang bersih-bersih,” jelas Siti yang lupa nama posisi suaminya di kantor itu.
“Oh gitu,” Giwang manggut.
Karena hampir sore dan Agung tak kunjung datang akhirnya mereka berpisah. Giwang mengakali uang jualannya dengan menyelipkan sebagian di dalam bra.
Ketika sampai di depan pintu Budenya langsung menyodorkan tangannya ke arah Giwang, gadis itu hanya menyerahkan beberapa lembar uang ribuan.
“Kenapa hanya ini?” tanya Budenya marah.
“Aku buat kue sedikit dan hari ini yang belajar masak hanya dua orang,” jelasnya. Budenya merogoh saku celana Giwang tapi tidak menemukan uang sama sekali.
“Ya sudah sana masak, setelah itu cuci baju,” titah Budenya.
Malam harinya.
Agung datang dengan motor bututnya, berpakaian rapi layaknya sedang melamar pekerjaan padahal kenyataannya ingin melamar Giwang.
“Ada apa?” tanya Pakde Adi.
“Maksud kedatangan saya ke sini mau melamar Giwang,” ujar Agung.
“Apa!” teriak seseorang dari dalam ruangan dan suara itu semakin jelas.
“Dengan apa kamu akan melamar Giwang?” tanya Bude Nanik. Giwang hanya mendengarkan dari ruangan dalam.
“Saya memang tidak punya uang banyak tapi saya ada uang dua juta,” Agung menunjukkan uang bawaannya dan meletakkan di atas meja.
“Lamaran mu di terima,” ujar Bude Nanik dan mengambil uang itu.
“Ibu apa-apaan ini?” tanya suaminya tidak setuju.
“Aduh Bapak, lebih baik si Giwang menikah, aku sudah capek mengurusinya dari kecil,” sahut istrinya sembari menghitung uang yang di bawa Agung.
“Tapi dia tidak punya pekerjaan tetap, aku harus bertanggung jawab dengan almarhum adikku,” ujar suaminya.
“Enggak Pak, biarkan dia menikah dengan pria itu,” Bude Nanik menunjuk Agung.
Pakde Adi tidak bisa berdebat dengan istrinya, dia termasuk dalam kategori suami takut istri.
Bersambung...
Bantu Vote ya.
Yang belum follow ig bisa follow :anita_rachman83
🌷🌷
Plagiarisme melanggar Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
Akhirnya dengan berat hati Pakde Adi memberikan restu untuk Giwang dan Agung.
“Ingat uang dua juta ini hanya untuk membayar makan si Giwang selama tinggal di sini,” ujar Bude Nanik ketus.
“Ibu,” suaminya tidak setuju dengan ide istrinya.
“Sudah Bapak meneng wae,” istrinya kembali menatap pria yang duduk sembari menundukkan kepalanya.
“Ingat kamu harus menyiapkan uang untuk acara kalian,” ujar wanita paruh baya itu sembari sibuk dengan uang yang di tangannya.
“Maaf Bude, saya tidak punya uang lagi, jika di izinkan saya mau menikah dulu dengan Giwang dan setelah ada uang kami akan mengadakan resepsi,” ujar Agung.
“Jadi kamu mau nyoblos dulu gitu!” seru Bude Nanik marah.
“Bu bukan begitu saya hanya belum ada uang,” jelasnya gugup.
“Yo wes kamu nikahi saja dulu Giwang setelah ada uang rayakan pernikahan kalian,” timpal Pakde Adi.
“Ibu enggak setuju,” ujar istrinya sewot. Pakde Adi langsung menarik tangan istrinya masuk ke bagian dalam rumahnya.
“Sudah toh Bu, sekarang ada pria baik-baik mau melamar Giwang, terus Ibu memaksanya untuk resepsi, mana ada uangnya Bu,” pria paruh baya itu mengambil uang yang ada di tangan istrinya.
“Loh Pak, kok di ambil,” istrinya bingung.
“Bapak mau mengembalikan uang ini ke Agung,” sahut suaminya.
“Ojo toh pak,” Bude Nanik menahan tangan suaminya agar tidak masuk ke ruang tamu.
“Yo wes tak biarkan mereka menikah, tapi aku enggak setuju kalau si Giwang tinggal di sini,” ujar istrinya.
Tidak ada yang bisa di lakukan suaminya selain merelakan Giwang menikah agar terbebas dari omelan istrinya dan terbebas dari pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya.
Giwang mendengarkan itu semua, dia sedih karena Budenya sangat membencinya.
Pakde Adi dan Bude Nanik kembali ke ruang tamu. Dan duduk berhadapan dengan Agung.
“Kami merestui kamu dan Giwang menikah,” ujar Pakde.
“Tapi uang nikah cari sendiri,” timpal Bude Nanik. Suaminya langsung menatapnya dan Bude Nanik langsung memasukkan uang yang dua juta ke dalam bh miliknya.
“Saya akan mencari uang untuk pernikahan kami,” ujar Agung senang.
“Yo wes, kapan kamu akan menikahi Giwang?” tanya Pakde lagi.
“Secepatnya Pakde,” sahutnya.
Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya, ada rasa sedih ketika harus melepaskan keponakannya yang sudah seperti anaknya sendiri.
“Pakde akan memanggil Giwang,” pria paruh baya itu masuk ke dalam dan tentu saja dengan menarik paksa istrinya agar mau masuk ke bagian dalam rumahnya.
“Ayo masuk,” tarik suaminya.
Tidak berapa lama Giwang keluar.
“Pakde sudah merestui kita,” ujar Agung senang.
“Iya Mas, aku sudah mendengar semuanya.” Tidak ada rasa kebahagiaan dalam dirinya.
“Kamu kenapa dek?” tanyanya.
“Mas mau cari uang di mana lagi?” tanya Giwang kasihan.
Agung bingung, kerjanya serabutan dan untuk mengumpulkan uang dua juta itu tidaklah mudah untuknya dan kenyataannya uang itu tidak bisa di pakainya untuk biaya menikahi Giwang, uang itu malah di ambil Bude Nanik.
“Nanti Mas pikirkan, yang jelas Mas akan menikahi kamu,” pria itu pamit dan segera pergi dengan motor bututnya.
“Apa motor ini aku jual,” gumam Agung.
Di kamar Giwang senang akan segera keluar dari rumah itu tapi di satu sisi dia sedih harus berpisah dengan Pakde Adi dan Yayuk.
Tiga hari kemudian.
Agung datang ke kediaman Pakde Adi dan Bude Nanik.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Dodit yang kebetulan sedang duduk di bawah pohon sembari bermain gitar.
“Aku mau bertemu Pakde Adi,” sahutnya.
“Iya tapi ada urusan apa?” tanya Dodit ketus.
“Aku sudah ada uang untuk menikahi Giwang,” sahutnya lagi.
“Oh jadi si Giwang mau nikah,” Dodit tersenyum mengejek, dia berdiri dan memperhatikan Agung dari atas sampai bawah.
“Uang pajak,” Dodit menyodorkan tangannya ke arah Agung.
“Uang?” Agung bingung.
“Sebelum kamu menemui Bapakku, bayar uang pajak,” Dodit tetap menyodorkan tangannya di hadapan Agung. Dengan terpaksa Agung merogoh saku celananya dan menyerahnya uang lima ribu ke Dodit.
“Lima ribu? Kamu pikir aku anak SD,” gerutu Dodit.
“Tapi...” Agung bingung, jika dia menunjukkan uangnya ke hadapan Dodit pasti pria itu akan mengambil semua uangnya, padahal uang itu untuk biaya menikah.
“Aku tidak punya uang banyak, uang ini untuk biaya menikah kami,” jelas Agung.
“Aku tidak minta banyak, cukup selembar uang merah sudah cukup,” ujar Dodit.
Tidak ada pilihan lain selain menyerahkan uang seratus ribu ke Dodit.
“Ni,” Agung meletakkan uang itu di telapak tangan Dodit.
“Pintar,” Dodit tersenyum dan berjalan ke arah motornya.
“Loh mau ke mana?” tanya Agung bingung.
“Mau main,” sahut Dodit sembari menyalakan motornya.
“Tapi kamu belum memanggilkan Bapak kamu?” tanya Agung bingung.
“Panggil sendiri, aku bukan budak mu,” Dodit tersenyum. “Hei,” ujar Dodit lagi.
Agung membalikkan badannya melihat ke arah Dodit.
“Kalau belum ada modal enggak usah maksa kawin,” ujar Dodit dan segera berlalu meninggalkan pekarangan rumahnya dengan mengendarai motor.
“Ibu dan anak sama saja,” gerutu Agung dan berjalan mendekati pintu.
Mengetuk pintu dan tidak berapa lama Giwang keluar.
“Mas Agung,” Giwang tersenyum. Menurutnya kedatangan Agung akan membawakan kabar baik untuknya.
“Mas sudah ada modal nikah,” Agung menunjukkan uang yang ada di dompetnya.
“Simpan jangan di keluarkan,” bisik Giwang sembari memperhatikan keadaan rumah Pakde Adi.
“Kenapa?” tanya Agung bingung.
“Nanti di ambil Bude,” bisik Giwang lagi.
“Siapa yang datang!” teriak Budenya.
“Mas Agung,” teriak Giwang.
Wanita paruh baya itu langsung berlari menuju ruang tamu. Dia ingin melihat uang yang di bawa Agung.
“Loh ada Agung,” ujar Pakde Adi yang baru tiba dari bekerja.
“Pakde baru pulang?” tanya Agung penasaran.
“Lah iya, pabrik baru tutup,” sahut Pakde Adi.
Agung merasa di kerjai Dodit, kenyataannya Pakde Adi tidak di rumah dan baru pulang, dia rugi seratus ribu.
“Motor kamu mana?” tanya Pakde.
“Sudah saya jual untuk modal nikah,” sahut Agung.
“Oh,” pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya.
“Jadi berapa uang yang kamu dapat dari hasil menjual motor?” tanya Bude Nanik.
Agung ingin menyebutkan nominal yang di dapatnya tapi Giwang menyenggol lengan pria itu.
“Sudah tidak usah di sebutkan, urus saja surat-surat kalian, jika sudah di urus dan tanggalnya sudah di tetapkan Pakde akan menikahkan kalian,” ujar pria paruh baya itu.
“Baik Pakde,” sahut Adit.
***
Keesokan harinya
Agung dan Giwang mengurus surat-surat pernikahan mereka, dalam satu hari semua surat selesai di urus.
Dan jadwal pernikahan mereka di adakan dua hari lagi.
“Mas, aku pakai baju apa nanti?” tanya Giwang.
“Uang Mas tinggal ini,” Agung menunjukkan sisa uangnya.
“Kalau beli kebaya cukup tidak?” tanya Agung.
“Enggak tau Mas,” Giwang memikirkan cara agar calon suaminya tidak mengeluarkan uang lagi.
“Mas, kita ke rumah Siti,” ajak Giwang. Dengan sepeda ontel mereka pergi ke rumah Siti.
“Duh mesranya,” goda Siti ketika melihat sahabatnya datang dengan sepeda ontel dan diboncengi kekasih hatinya.
Giwang tersenyum dan langsung menceritakan tentang pernikahannya yang akan di adakan dua hari lagi.
“Di mana nikahnya?” tanya Siti.
“Di kantor KUA, kami tidak punya tempat dan menurutku lebih baik di sana,” jelasnya.
“Oh gitu, jadi kamu mau aku bantu apa?” tanya Siti.
“Bisa pinjamkan aku kebaya sehari saja, uang kami tidak cukup untuk menyewa ataupun membeli kebaya,” jelas Giwang.
Siti masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan membawa kebayanya.
“Ini untuk kamu, aku sudah tidak cukup memakai kebaya itu,” ujar Siti.
Semenjak menikah badan Siti lebih berisi dari yang dulu.
“Apa kamu yakin?” tanya Giwang lagi.
“Iya sayang, itu untuk kamu, dan untuk riasan aku akan memanggil perias dan soal biaya aku yang akan bayar,” ujar Siti.
“Terima kasih,” Giwang senang dan kedua sahabat itu saling berpelukan.
Bersambung...
Bantu Vote ya
Ig anita_rachman83
🌷🌷
Plagiarisme melanggar Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
Tiga hari kemudian
Acara pernikahan Giwang dan agung di laksanakan, acara itu di adakan di kantor KUA. Memakai kebaya pemberian temannya. Giwang terlihat sangat cantik. Dia datang bersama Pakde Adi dan Bude Nanik. Agung telah menunggunya di sana. Acara itu hanya di hadiri oleh kerabat dekat.
Ijab kabul di lakukan, Pakde Adi selaku wali nikah untuk keponakannya mulai menikahkan keduanya dalam waktu beberapa menit proses ijab kabul selesai.
Acara yang sangat sederhana, foto mereka hanya di abadikan melalui kamera ponsel, tidak ada makan-makan sama sekali.
Bude Nanik menyerahkan tas ke Giwang. “Ini baju kamu, mulai hari ini jangan pernah datang ke rumah kami,” ujar Budenya ketus dan segera berlalu meninggalkan keponakannya.
Pakde Adi hanya menggelengkan kepalanya, istrinya sangat membenci Giwang keponakannya.
“Semoga pernikahan kalian sakinah mawadah warahmah,” ujar Pakde Adi dan memeluk keponakannya, ponakan yang sedari kecil bersamanya sekarang harus membina rumah tangga dalam usia yang masih belia.
“Maafkan Giwang jika selama tinggal selalu menyusahkan Pakde dan Bude,” ujarnya pelan.
“Tidak Giwang, kamu tidak pernah menyusahkan kami,” pria paruh baya itu memeluk erat keponakannya yang sudah seperti anak kandungnya sendiri.
“Jadi istri yang berbakti kepada suami, jangan tiru cara Bude memperlakukan Pakde,” ujar pria paruh baya itu.
Setelah itu mereka pergi meninggalkan kantor KUA. Giwang dan Agung menggunakan sepeda ontel untuk dapat kembali ke rumah sewaannya.
Giwang merasa bersyukur dapat menikah dengan kekasih hatinya begitu pun Agung, tak henti-hentinya dia menyunggingkan senyuman di bibirnya. Gadis cantik itu akhirnya menjadi miliknya.
“Ini rumah kita,” ujar Agung memberhentikan sepeda di depan sebuah rumah yang sangat kecil.
“Maaf rumah ini tidak sebagus rumah Pakde Adi,” ujar Agung merasa tidak enak ke istrinya.
“Aku senang dapat hidup bersama dengan kamu,” sahut Giwang sembari tersenyum.
Keduanya masuk ke dalam rumah yang lantainya masih semen, tidak ada keramik seperti lantai rumah Pakde nya.
“Ini kamar kita, di sana dapur dan kamar mandi,” Agung menunjukkan setiap ruangan yang ada di rumahnya.
“Maaf berantakan,” ujar Agung tidak enak ke istrinya. Pakaian bergantungan di sana-sini, membuat rumah itu benar-benar mirip kapal pecah.
“Enggak apa Mas, nanti aku bersihkan,” ujarnya.
Giwang membersihkan rumah mereka, rumah yang tidak tersentuh oleh tangan seorang wanita, dan bisa membayangkan kotornya rumah itu.
Setelah membersihkan rumah, tugas Giwang belum selesai, dia harus memasak untuk suaminya. Masak telur dadar dan sayur bayam, hanya itu yang bisa di masaknya karena minimnya uang mereka.
Agung sangat senang, dengan kehadiran Giwang di sisinya membuat kehidupannya terasa lengkap.
Malam harinya
Giwang dan Agung masuk ke kamar. Ada rasa malu ketika harus satu kamar dengan seorang pria. Duduk di pinggir tempat tidur sembari menundukkan kepalanya.
“Dek,” ujar Agung sembari mengelus rambut istrinya.
“Aku takut Mas,” ujarnya gemetar.
“Enggak akan sakit,” ujar suaminya dan mulai mencium leher istrinya, memberikan sensasi geli untuk istrinya.
Agung dan Giwang terpaut usia sangat jauh yaitu delapan tahun, dan dia terlihat sangat lihai dalam hal itu.
Mengecup bibir istrinya dan ciuman itu semakin dalam. Melucuti pakaian istrinya dan akhirnya tubuh mereka bersatu. Agung dapat merobek selaput dara istrinya. Sakit yang sangat di rasakan oleh Giwang, usia yang sangat muda harus merasakan sakitnya kehilangan mahkota.
Agung terkulai lemas begitu pun dengan Giwang. “Dek terima kasih,” suaminya mengecup dahi Giwang. Dia senang karena istrinya masih perawan.
“Apa kamu tidak makan di rumah Pakde?” tanya Agung.
“Kenapa Mas?” tanyanya.
“Kamu terlalu kurus dek,” ujar suaminya.
Selama tinggal di rumah Pakdenya, dia hanya boleh makan setelah keluarga selesai makan, dan kadang Giwang makan hanya dengan nasi putih dan kuah sayur, mungkin itu yang membuat badannya kurus.
“Mulai saat ini, kamu harus makan banyak, mas ingin kamu lebih berisi agar enak,” ujar suaminya genit.
Akhirnya pengantin baru itu tertidur.
***
Tiga hari kemudian
Agung merasa pendapatan hariannya tidak cukup membiayai dia dan istrinya, pulang dari bekerja dia tidak menunjukkan rasa bahagia ketika bertemu istrinya.
“Ada apa Mas?” tanya Giwang sembari memberikan teh hangat untuk suaminya.
“Susah dek,” sahutnya tidak semangat.
“Susah apanya?” tanya Giwang sembari duduk di sebelah suaminya.
“Upah yang Mas dapatkan tidak akan mungkin cukup untuk kita berdua,” Agung menunjukkan upah yang di dapatkannya.
“Uang ini tidak akan cukup untuk kita, makan, bayar listrik belum kontrakan,” gerutunya mengeluh.
“Kalau Mas mengizinkan, aku bisa jualan kue lagi,” ujar Giwang.
“Enggak sama saja, uang kita jika di kumpulkan tidak akan bisa untuk membeli rumah, belum lagi resepsi kita,” Agung mengacak-acak rambutnya. Pria itu meninggalkan istrinya.
“Mas, mau ke mana?” tanya Giwang dari depan pintu.
Tapi suaminya tidak menghiraukannya. Agung pergi menggunakan sepeda ontel.
Giwang merasa sedih, menurutnya dia selalu menyusahkan semua orang termasuk suaminya.
Agung pulang tengah malam, dan tetap melakukan rutinitasnya untuk menyetubuhi istrinya.
***
Pagi harinya
Agung duduk termenung di depan rumahnya.
“Mas, ayo sarapan,” ujar istrinya. Agung masuk ke dalam rumah dan duduk di atas tikar tempat makanan di hidangkan istrinya.
“Dek,” Agung belum menyuapkan sesuatu ke mulutnya.
“Iya Mas,” sahutnya dan kembali meletakkan sendok.
“Sepertinya Mas, akan ikut Paijo.” Paijo dan Agung berteman sejak lama, tapi Paijo termasuk beruntung karena dapat pekerjaan di kota dan tentunya harus meninggalkan istrinya.
Mendengar hal itu membuat Giwang diam, dia tidak ingin kesepian lagi.
“Aku enggak setuju,” ujar Giwang.
“Dek, hanya dengan seperti ini ekonomi kita membaik,” ujar suaminya lagi.
“Aku enggak setuju, aku akan membantu Mas dengan berjualan kue,” ujar Giwang menolak.
Tidak ada percakapan lagi di antara keduanya, Agung tidak ingin menyinggung masalah itu lagi.
***
Giwang merasa sangat lelah, melayani suaminya di kasur membuatnya kelelahan. Mengerjapkan matanya secara perlahan, ada cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela.
“Ya ampun aku kesiangan,” Giwang segera beranjak dari tempat tidur dan mencari keberadaan suaminya. Di dalam kamar mandi, dia tidak menemukan suaminya.
“Mas Agung pasti sudah berangkat,” gumamnya sembari ke kamar mandi untuk mandi wajib.
Selesai mandi Giwang membersihkan tempat tidur dan dia menemukan sebuah kertas putih yang terlipat dan di letakkan di bawah bantalnya.
Dek mungkin pada saat kamu membaca surat ini, Mas sudah berangkat ke kota. Mas sengaja berangkat tengah malam setelah kamu tertidur lelap. Mas harus melakukan ini, mengingat Paijo berangkat malam tadi, jadi Mas memutuskan untuk ikut dengannya. Mas tau, pasti kamu tidak akan mengizinkan Mas pergi ke kota, tapi Mas melakukan ini untuk kita, sesampai di kota Mas akan mengabari kamu dengan sepucuk surat. Tunggu Mas di rumah, Agung.
Giwang meneteskan air matanya, dalam tujuh hari pernikahannya, dia harus di tinggal suaminya, kembali sendiri dan menunggu hanya itu yang bisa dilakukannya.
Bersambung...
Bantu vote ya.
Ig anita_rachman83
🌷🌷
Plagiarisme melanggar Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!