Di sebuah dapur, tercium aroma masakan khas yang akhir akhir ini hampir tidak tercium lagi aroma nya.
Suara canda tawa yang terdengar dari sana, ikut menghangatkan suasana pagi kala itu.
Para pelayan yang biasanya terlihat sibuk menata makanan di dapur megah itu, kini berpindah tempat, membersihkan seisi rumah di bagian depan bergabung saling membantu dengan yang lainnya.
Sekilas memang tidak ada yang berbeda, semua pelayan bekerja seperti rutinitas pada biasanya.
Tidak lama terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga, semua pelayan langsung berbungkuk, antara malu dan segan menghadapi sang Tuan mereka.
"Tuan sudah turun, apa kita akan kena marah lagi?" Bisik salah satu pelayan pada teman yang lain nya, sadar kalau mereka tidak bekerja pada tempat nya.
"Entahlah, tapi ini bukan keinginan kita, Nona sendiri yang meminta, bukankah kata Nona, tidak akan apa-apa," sambungan pelayan lain. Menenangkan suasana karena sang Tuan makin mendekat ke arah mereka.
"Kenapa kalian berada di sini?" Tegurnya pada sang pelayan yang sudah ia tempatkan di bagian belakang.
Sudah tau kesalahan nya, para pelayan itu hanya bisa tertunduk malu, serba salah dengan apa yang mereka lakukan, tidak berani mencegah keinginan sang Nonanya dan tidak berani pula melanggar perintah Tuan nya.
"Aissss,"
Pria itu mengendus kesal, aroma pasakan yang sudah tercium harum memasuki rongga hidung nya, memberikan jawaban kenapa para pelayan nya berada di sana.
"Ma-maaf Tuan,"
"Dasar tidak bisa di andalkan, aku mempekerjakan kalian agar istri ku bisa istirahat, kenapa kalian membiarkan nya memasak? bagaimana kalau istri ku sampai kelelahan? bagaimana kalau terjadi apa apa pada istri dan calon anak ku hah?"
Walau rasanya ingin marah besar, tapi dia tau, kalau semua itu bukan keinginan pelayan nya, melainkan keinginan sang istri yang selalu saja ingin memberikan yang terbaik untuk dirinya.
"Maaf Tuan, tapi..."
"Akh, sudah lah, bereskan saja seisi rumah ini, jangan sampai istri ku juga yang harus membereskan nya," Decak laki-laki itu dan langsung melangkah menuju ke arah dapur.
"Huh, untung saja kita tidak di pecat, Tuan terlalu mengkhawatirkan Nona sampai segitunya, padahal hanya memasak saja tidak akan apa-apa, malah ibu hamil lebih baik banyak olahraga agar persalinan nya lebih mudah," keluh pelayan sambil menghela nafasnya.
"Wis, jangan mengumpat, tidak baik, ayo kita lanjutkan lagi pekerjaan kita, jangan sampai Tuan memarahi kita lagi,"
*
Keadaan di dapur, dua wanita yang dari tadi terus bersenda gurau kini sudah hampir selesai dengan segala kesibukan nya.
"Bu, ini sudah hampir selesai, biarkan Zahra yang membereskan nya, maaf gara-gara Zahra ingin memasak Ibu jadi ikut repot,"
Zahra kini mulai mengambil beberapa wadah untuk menyajikan pasakan nya di atas meja makan, menyuruh Ibu lekas duduk karena dari tadi sudah membantu nya.
"Tidak apa-apa Nak, biar Ibu bantu, jarang jarang 'kan kita bisa memasak bareng seperti ini, mumpung Ansell belum turun, Bos muda itu kan tidak pernah membiarkan kita ada di dapur," canda Ibu dengan senyuman dan perlahan membantu Zahra menyiapkan makanan.
Zahra hanya tertawa kecil, memang ada benarnya ucapan Ibu, rasanya Zahra sendiri sudah lama sekali tidak pernah lagi menyiapkan sarapan untuk suaminya. Karena suaminya selalu saja mencegah nya melakukan apa pun beralaskan khawatir akan kondisi nya yang sedang hamil tua.
Ya, mereka itu rupanya Zahra dan Ibu, dua wanita yang memiliki kepribadian yang sama, dan mendapatkan kasih sayang yang sama dari seorang lelaki yang selalu mengkhawatirkan mereka dengan berlebihan yang tidak lain adalah Ansell Ariana Rendra.
Sosok lelaki yang dulu terkenal playboy itu kini sudah berubah dan akan menjadi seorang Ayah.
Di arah pintu masuk dapur, rupanya ada yang memperhatikan candaan dua wanita itu.
Yang tadinya marah-marah pada pelayan takut istrinya kenapa-napa, kini dia malah tersenyum kecil memandangi dua wanita yang tengah membicarakan nya.
"Dalam hal ini mereka kompak sekali ya," batin nya, sambil perlahan mendekati mereka.
"Maaf, Bos Muda sudah di sini Bu," Ansell tiba-tiba bersuara, tersenyum kecil memergoki orang yang membicarakan nya, sambil berjalan mendekat ke arah Zahra.
Rasanya ingin sekali ia mencubit istri kecilnya itu yang selalu melanggar perintah nya dan bersikeras ingin melakukan sesuatu untuk melayaninya.
"Habib...!"
Zahra langsung tersenyum kikuk, tempo hari ia meminta izin untuk memasak menyiapkan sarapan untuk nya, namun Ansell tidak mengizinkan, karena melihat keadaan Zahra yang terlihat sangat lemas.
Namun hari ini ia benar-benar sehat dan memutuskan untuk memasak tanpa bantuan pelayan, dan tanpa sepengetahuan Ansell.
Dan tingkah nya itu sukses membuat suami khawatir.
"Sejak kapan kau di sini Sell?" tanya Ibu, sambil menahan senyum nya.
"Sejak dua orang ini membicarakan ku,"
sahut Ansell, bergegas merangkul Zahra dan mengecup kening nya.
"Bukan kah sudah ku bilang Adek harus banyak istirahat, kenapa malah sibuk di dapur, apa gunanya aku mempekerjakan pelayan kalau malah kalian yang harus repot-repot di sini," gerutu nya, dan perlahan membungkuk mengelus perut Zahra dan mengecup calon anak nya.
"Maaf Habib, tapi aku tidak apa-apa kok, kan bosan kalau setiap hari hanya berdiam diri saja," mohon Zahra dengan senyum rayuan nya.
"Huh... mana bisa aku terus melarang nya kalau selalu bilang baik-baik saja, menggemaskan sekali." batin Ansell mulai luluh melihat senyuman istrinya.
"Hei gadis cantik, makin hari makin pandai merayu ya," Dengan singkat Ansell mengecup bibir Zahra, merasa gemas mendengar rayuan istrinya.
"Habib! malu, ada Ibu," Zahra menepuk tangan Ansell, dan menundukkan kepala saat sadar Ibu dari tadi terus memperhatikan tingkah anak nya.
"Dasar anak ini," Merasa canggung jika terus di sana, Ibu pun memutuskan untuk pergi keluar, membiarkan dua insan itu untuk berduaan.
"Habib, tuh kan Ibu jadi pergi," Zahra tiba-tiba memasang wajah cemberut membuat Ansell tersenyum kecil, merasa menemukan pemandangan baru dari istrinya.
"Ini hukum untuk Adek, kalau sampai melakukan sesuatu yang membuat Adek kelelahan, bukan hanya di depan Ibu, Aku akan mencium Adek di depan semua pelayan rumah ini," bisik Ansell, dengan tersenyum senang mengerjai Zahra, yang sudah tertunduk malu karena ulah nya.
Begitulah kekhawatiran Ansell, dari saat awal kehamilan Zahra yang selalu mual dan muntah apalagi saat mencium aroma pasakan, bahkan sekalipun itu pasakannya sendiri, Ansell begitu khawatir sampai tidak pernah membiarkan Zahra untuk masuk dapur dan menyiapkan makanan untuk nya, Ansell memilih mempekerjakan koki khusus agar Zahra tidak merasa bersalah karena tidak bisa membuatkan makanan untuk nya.
Di tambah lagi melihat usia kandungan Zahra yang menginjak bulan ke sembilan, Ansell tidak tega melihat Zahra harus bergerak sana sini dengan perut besar nya, hanya dengan melihat nya saja Ansell sudah bisa merasakan lelahnya menjadi seorang wanita hamil, apalagi Zahra yang menjalani nya. Hingga dalam pikiran nya tertanam kekhawatiran lebih untuk istri kesayangan nya.
"Jangan terlalu khawatir Abi, Ummi dan Dek Utun baik-baik saja kok," hibur Zahra, memperagakan suara anak kecil sambil mengelus kepala Ansell yang kini sedang mencium perut besar nya.
"Kau selalu saja bisa menenangkan ku, tapi aku takut kau kenapa napa Aisyah," batin Ansell mengeluh resah.
"Ini yang terakhir ya, jangan terus membuat ku khawatir, aku tidak tega melihat Adek mual muntah saat mencium aroma pasakan, Aku tidak ingin Adek sampai kelelahan." Kembali merangkul Zahra tanpa mengalihkan tangan satunya lagi mengelus perutnya.
Zahra bisa merasakan kehangatan pelukan Ansell, merasakan kekhawatiran dari seorang lelaki yang akan menjadi Ayah dari anak yang kini bersemayam di perut besar nya.
"Terimakasih ya Allah, terimakasih telah menjadikan suamiku jalan pelantar atas segala kasih sayang Mu," batin
Zahra begitu terharu, sebelumnya tidak pernah ia merasakan kasih sayang sebesar ini dari anggota keluarga nya, bahkan Ayahnya sendiri pun, tidak pernah mengkhawatirkan nya seperti ini.
"Tidak apa-apa Bib, hanya menyiapkan sarapan tidak membuat ku lelah, dan sekarang mual muntah tidak terasa lagi kok," Zahra berusaha menenangkan Ansell, menghilangkan rasa khawatir yang di rasakan suaminya.
"Tapi tetap saja, Adek harus banyak istirahat, kaki Adek sudah bengkak sayang," Ansell kini menggiring Zahra duduk di kursi, langsung berjongkok memastikan keadaan Zahra.
"Habib, tidak apa-apa, kenapa malah duduk di bawah," Zahra terkejut melihat Ansell yang segitunya mengkhawatirkan dirinya nya.
"Jangan banyak bergerak, kaki Adek biar ku pijat, pasti sangat lelah kan dari tadi terus berdiri menyiapkan sarapan sebanyak itu," Walaupun terus menggerutu, tangan Ansell dengan lembut mulai memijat kaki Zahra.
"Terimakasih Habib,"
Zahra terus memperhatikan pergerakan Ansell, merasa tidak enak dengan sikapnya. Di tambah lagi dengan posisi sekarang Ansell yang sedang duduk di bawahnya, membuat Zahra kasihan karena selama ini Ansell terlalu berlebihan mengkhawatirkan nya.
"Habib," panggil Zahra dengan suara lembutnya.
"Hemmm," Ansell menjawab singkat, karena masih fokus dengan pijatan nya.
"Maaf, Adek tau, Habib seperti ini karena mengkhawatirkan kesehatan Adek dan Dedek Utun, tapi alangkah baiknya tidak harus berlebihan Bib," Zahra perlahan meraih tangan Ansell, menghentikan tangan Ansell yang sedang memijatnya. Membuat Ansell mendongkangkan wajah melihat wajah Zahra.
Zahra tersenyum kecil, perlahan menggeser kursi di sebelah nya, meminta Ansell menghentikan pijatan nya dan menyuruhnya duduk di kursi itu.
"Kenapa?" Walau masih bingung, Ansell kini beranjak berdiri dan duduk di sebelah Zahra.
"Terimakasih atas segala kasih sayang Habib, tapi tidak harus berlebihan Bib, Adek baik-baik saja, jadi jangan terlalu khawatir seperti itu,"
"Maaf, Apa aku salah jika mengkhawatirkan Adek?" Ansell kini menggerakkan tangannya, mengelus perut Zahra, seolah sedang meminta maaf pada calon anaknya, karena ia tidak bisa jadi Ayah yang baik untuk nya.
"Tidak salah jika mengkhawatirkan keadaan seorang istri, itu memang salah satu dari tanggung jawab seorang suami, tapi yang menjadi salah adalah berlebihan nya Bib." Walau ragu, Zahra berusaha menjelaskan, tidak ingin suaminya melangkah lebih jauh dalam kesalahan.
Ansell seketika tertegun, mendengar perkataan Zahra, membuat nya sadar ada kesalahan yang telah Ia perbuat.
"Maaf," Hanya itu yang keluar dari bibir Ansell, tertunduk malu karena sampai sekarang masih belum bisa menjadi Imam yang baik untuk istrinya.
"Terimakasih banyak telah mengkhawatirkan kita, Dek Utun pun pasti bangga punya Abie yang selalu menyayangi nya. Tapi alangkah baiknya jangan terlalu berlebihan, karena apapun yang berlebihan umumnya tidak mendatangkan hal positif Bib, malah itu bisa merugikan." Zahra perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Ansell, berusaha menjelaskan tanpa menyakiti perasaan suaminya, atas apa yang ia katakan.
Zahra berusaha menjelaskan, bahwa
rasa khawatir dan sayang pada seseorang yang di cintai dan di sayangi memang baik, terutama dalam sebuah rumah tangga itu adalah kunci untuk terbentuknya keluarga sakinah.
Namun hal baik itu bisa menjadi buruk, jika kita melakukan nya dengan berlebihan (Ishraf).
Dimana, Ishraf dalam ajaran Islam adalah berlebih lebihan dalam melakukan sesuatu tindakan sehingga berada di luar batas kewajaran, dan Ishraf itu tidak di sukai Allah.
Sebagai seorang muslim kita di tuntut untuk tidak melakukan sesuatu yang berlebihan, sikap berlebih lebihan sendiri tidak di sukai Allah, sebagimana di sebutkan dalam Al-Qur'an;
"Innallaha laa yuhibul musyrifin"
Yang artinya Allah tidak menyukai yang berlebihan.
Allah melarang orang berlebihan dalam hal ibadah maupun aktivitas kehidupan sehari-hari. Apapun yang berlebihan umumnya tidak mendatangkan hal positif, malah bisa merugikan, dan akan menghadirkan konsekuensi yang akan kembali pada dirinya yaitu berupa kesulitan.
"Terimakasih, terimakasih banyak karena selalu mengingatkan ku, terimakasih Sayang,"
Dengan penuh kasih sayang Ansell merangkul Zahra, mengelus kepala yang bersandar di bahu nya, dan perlahan mengecup nya.
"Sama-sama Habib, terimakasih juga karena Habib pun selalu mengingatkan ku, terimakasih untuk semuanya."
Jadilah seperti air putih, walaupun sederhana, tapi sangat berarti.
***
Waktu menunjukkan masih pagi, Ansell kini terlihat sudah rapih dengan setelan jas nya, setelah mendengarkan nasehat Zahra, Ansell akan belajar untuk lebih tenang dalam menjalankan aktivitas nya.
Ansell sadar akan kebiasaan nya yang selalu berlebihan menanggapi sesuatu, dan benar sekali, sikap berlebihan nya itu malah selalu mengundang kesulitan untuk nya, bahkan tidak jarang karena rasa berlebihan nya membawa rasa gelisah yang membuat hatinya tidak pernah merasa tenang.
"Dek, aku harus berangkat ke kantor sekarang, ada rapat pagi ini, Aku tidak boleh terlambat, maaf pagi pagi harus meninggalkan Adek."
Ansell bergegas merapihkan pakaiannya, mengambil dokumen yang sudah ia siapkan sejak tadi malam.
"Iya tidak apa-apa Bib, Sini, biar Adek bantu!"
Walau dengan perut besar nya, tidak membuat Zahra malas menyiapkan segala keperluan suaminya.
"Terimakasih Sayang," Dengan tersenyum senang Ansell mengelus kepala Zahra, dan mengambil semua barang yang di ulurkan istrinya.
Ansell dan Zahra kini sampai di lantai bawah, mereka sudah di sambut pelayan yang seperti biasa menyiapkan susu untuk Zahra.
"Non, Tuan, ini susunya," Sang pelayan seperti biasa menyiapkan dua gelas air susu pada tempat nya.
"Iya, terima kasih Bi?"
Ada dua raut wajah yang berbeda saat pelayan itu menyiapkan susu.
Zahra tersenyum ramah dengan penuh terima kasih. Sedangkan Ansell hanya tersenyum pasi, berharap kebiasaan itu akan segera berakhir.
"Bukannya mual muntah nya sudah sembuh, kenapa ngidam dalam hal ini belum sembuh juga?" batin Ansell berucap dengan penuh sesal.
"Dek, apa minum susu nya harus di temani lagi?" tanya Ansell dengan tersenyum yang di paksakan. Pasalnya sudah menjadi rutinitas nya harus ikut minum susu bersama dengan Zahra.
Permintaan aneh Zahra yang bahkan Ansell sendiri tidak sanggup menolaknya.
Zahra langsung tersenyum lebar, mengangguk-anggukkan kepala bak anak kecil yang sedang bahagia karena kemauannya terkabulkan.
"Akh, Dek Utun mengerjai Abie ya? Sampai kapan Abie harus ikut menemani Ummie minum susu Ibu hamil, sungguh mengidam yang aneh!" batin Ansell berbicara sendiri, mengeluh karena ngidam istrinya di luar kebiasaan Ibu hamil pada umumnya.
Kalau saja bukan Zahra yang meminta rasanya Ansell tidak akan pernah mau. Masa seorang lelaki harus minum susu Ibu hamil, begitu dalam pikirannya.
Namun apalah daya, Ansell tidak berani menolak permintaan Zahra, dan mengharuskan nya meminum susu Ibu hamil setiap pagi.
"Sepertinya aku harus menyuruh Ibu membeli susu biasa, repot kalau harus nunggu satu bulan lagi sampai Aisyah melahirkan, karena ternyata ngidam yang ini tidak kunjung sembuh juga," batin Ansell terus berucap, sambil perlahan meneguk susu nya.
"Dek, aku berangkat dulu, kalau ada apa-apa langsung telepon ya," Ansell kini berpamitan pada Zahra, dengan cepat Zahra meraih tangan Ansell dan mengecup punggung tangan nya.
"Iya Bib, hati-hati di jalan, tidak akan pulang terlalu malam kan?" tanya Zahra dengan raut wajah menggemaskan.
Membuat Ansell tersenyum manis, serasa menemukan dua sisi yang berbeda dari istrinya itu. Terkadang menggemaskan seperti seorang anak kecil yang membutuhkan begitu banyak kasih sayang, dan terkadang penuh keseriusan, yang membuat nya sampai merasa tidak pantas menjadi sosok Imam untuk nya.
"Iya sayang, aku tidak akan pulang malam, dan lagi, Alika katanya akan ke sini, jadi Adek tidak akan kesepian di rumah," Ansell kini merangkul Zahra, dan berakhir mendaratkan bibirnya mencium kening Zahra.
"Dek Utun, baik-baik dengan Ummi di rumah ya, jangan nyusahin Ummi," lanjut Ansell perlahan berbungkuk mengecup perut Zahra.
"Iya Abie," sahut Zahra dengan tersenyum lebar.
"Assalamualaikum Sayang,"
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Ansell pun perlahan memasuki mobilnya, dan bergegas pergi ke kantor.
***
Keadaan di kantor Rendra Group.
Rapat kini sudah selesai, semua para karyawan kembali pada tempat masing-masing.
Namun berbeda dengan David, dan Keysa dua orang itu masih terlihat sibuk membereskan beberapa dokumen hasil rapat pagi itu.
"Sini Yang, biar aku saja, dari tadi pagi kau sudah di sibukkan dengan kelakuan karyawan yang malas kan," tutur David, sambil mengambil tumpukan kertas di tangan istrinya.
"Terimakasih," Keysa tersenyum lebar, perlahan menggerakkan tangannya mengelus pipi David, yang makin hari makin perhatian pada nya.
"Jangan merayu ku di sini ya, pertahanan ku bisa jebol Yang," David makin mendekatkan tubuhnya ke arah Keysa, senang dan kesal karena istrinya selalu pandai memancing hasrat nya.
"Hei, siap yang merayu aku hanya berterima kasih," jawab Keysa dengan tersenyum kecil, perlahan menundukkan badan nya, mencari aman dari tingkah nakal suaminya.
"Hei, apa kalian tidak melihat ada aku di sini, kalau mau bermesraan di luar sana! mengganggu saja," decak Ansell, yang awalnya ingin mengistirahatkan tubuh setelah rapat, dia malah di suguhkan dengan pemandangan mesra sahabatnya.
"Iri bilang Sell," sahut David dengan begitu santai, dari pada mendengarkan ocehan Ansell, dia malah tertawa puas, akhirnya ada masa membalas teman nya itu dan memanasi nya.
"Akh, sialan loe, keluar sana," umpat Ansell, melihat kemesraan David dan Keysa, ia malah merindukan Zahra yang tidak bisa ikut ke kantor karena keadaan nya sekarang yang sedang hamil tua.
"Tugas kita belum selesai Sell, iya kan Yang," David malah sengaja merangkul Keysa, menggiring istrinya itu mengambil beberapa dokumen di depan Ansell bermaksud memanasi nya.
"Aisss, anak ini menyebalkan sekali," batin
Ansell mengendus kesal, sambil memijat pelipisnya melihat tingkah menyebalkan David.
"Si Raka masih belum datang?" Ansell berusaha mengalihkan suasana, karena percuma saja menghentikan tingkah David, kalau makin di larang, teman satu nya itu akan makin gila memanasi nya.
"Katanya tadi masih di perjalanan, bentar lagi mungkin sampai." Sahut David, sambil melepaskan rangkulannya, dan menyuruh Keysa merapihkan semua dokumen nya untuk di simpan di ruangan nya.
"Aku duluan ya," pamit Keysa, dan bergegas meninggalkan ruangan itu. Sudah tau kebiasaan tiga laki-laki itu, jika mereka akan bersama pasti tidak boleh ada yang menggangu kebersamaan mereka.
Selang beberapa lama setelah kepergian Keysa, terdengar langkah kaki dari luar melangkah mendekat ke sana.
"Assalamualaikum..."
Salam seseorang dari luar yang tidak lain Raka yang baru sampai di sana.
"Waalaikumsalam," Jawab serentak David dan Ansell.
"Kenapa telat sekali? rapat nya sudah selesai," gerutu Ansell, menyambut kedatangan sahabat sekaligus suami dari adik ipar nya dengan wajah kesal.
"Maaf Kakak ipar, tau kan kelakuan wanita ngidam kayak gimana, dari tadi pagi Jenika terus minta di temani, mana bisa aku meninggalkan nya." jawab Raka menjelaskan sambil ikut duduk bergabung dengan Ansell dan David di sana.
"Dasar loe, Bini ngidam di jadikan alasan," tukas Ansell, rasanya moodnya jadi kurang baik setelah menjalankan rapat pagi ini dengan hasil yang kurang memuaskan.
"Bukan alasan Bos, usia kandungan Jenika menginjak ke empat bulan, kata Dokter mual muntah memang sering di rasakan di masa masa itu, makanya aku tidak bisa meninggalkan nya," jelas Raka, sambil perlahan menyandarkan kepalanya di bahu kursi yang di duduki nya.
"Masih mending hanya minta di temani, nah aku harus ikut...." gumam Ansell, perkataan nya menggantung, ingin mengeluh namun sudah membayangkan kalau keluhan nya pasti akan di ledek habis habisan.
David hanya bisa menyimak percakapan Ansell dan Raka; dua laki-laki yang sama sama sedang menghadapi istrinya yang sedang mengandung, dan akan menjadi seorang Ayah. Berbeda dengan nya, walau pernikahan dia dan Raka di laksanakan di waktu yang hampir sama, rupanya Keysa masih belum juga mengandung sampai sekarang.
"Sudah lah, masih mending istri loe ngidam nya hanya minta di temani saja, nah si Ansell, Nona Zahra ngidam nya pingin di temani minum susu Ibu hamil," sahut David, bicara dengan begitu santai sambil menepuk bahu Raka, dan sukses perkataan nya itu sukses membuat Ansell melebarkan matanya.
"Kenapa tidak bisa menjaga mulut hah, nyesel gue cerita ma loe," batin Ansell, begitulah yang ia utarakan lewat sorot matanya.
Berbeda dengan Raka dia terus tertawa saat tau apa yang di alami Bos nya.
"Haha.... Beneran Bos, wah pantas saja badan Bos makin hari makin berisi, rupanya penuh dengan nutrisi ya," ledek Raka, tidak henti hentinya tertawa, serasa menemukan harta karun punya ledekan untuk meledek Bos nya.
"Akh, silaan kalian, senang banget ya menertawakan gue." Umpat Ansell mengendus kesal. Tidak bisa mengelak karena itu memang kenyataannya.
"Ansell Junior di lawan, belum juga lahir, kelakuan nya udah kayak Bapak nya," David ikut tertawa sudah membayangkan akan seperti apa anak sahabat nya itu. Sekarang saja sudah banyak tingkah apa lagi nanti, begitu pikir nya.
"Betul banget Vid, ternyata yang membalas kelakuan si Bos yang suka ngerjain orang di balas ma anak nya sendiri," timpal Raka, ikut meramaikan suasana, sampai tidak henti hentinya David dan Raka terus tertawa.
Ansell hanya bisa menggelengkan kepala tidak mau meladeni ledekan dua sahabatnya.
"Sialan kalian, jangan terus tertawa, segera bereskan tuh perusahaan baru itu, jangan sampai perusahaan kita kalah sama mereka." tutur Ansell dengan begitu tegas, mengalihkan candaan mereka dan berakhir dengan keseriusan.
"Tentang Bos, biar ku telusuri dulu perusahaan baru itu, setelah itu baru kita beraksi," jawab Raka dengan tegas, walaupun dia bekerja di IF Food tapi Ansell hanya bisa percaya pada nya dalam masalah ini, apalagi jika perusahaan lain itu saingan Rendra Group, Raka akan bersemangat menyelesaikan tugas nya.
"Jika di jadikan lawan akan merugikan, ambil hati mereka dan jadikan kawan," tegas Ansell memberi saran.
"Iya Sell, setelah Raka menyelidiki nya, sisanya biar aku bereskan," timpal David, kini tiga laki laki itu kembali serius dengan pekerjaannya.
***
Di sisi lain, Gus Ali terlihat memarkir kan kendaraan motor nya di depan sebuah toko kue, perlahan turun sambil melihat kiri kanan mencari keberadaan istrinya.
"Bukannya hari terakhir belajar masuk nya sebentar, kenapa belum keluar ya?" gumam
Gus Ali, kini bersandar di motor nya menunggu Alika keluar.
Tidak membutuhkan waktu lama, Alika kini terlihat keluar dari sana. Sebuah toko kue besar yang pemiliknya merupakan teman lamanya.
Sudah dua Minggu Alika belajar membuat kue di sana, mencari pengalaman baru berharap ada ilmu yang bisa Alika manfaatkan untuk membantu meringankan beban suaminya.
"Kak Ali," dengan tersenyum lebar Alika memanggil suaminya, berjalan dengan begitu antusias menghampiri Gus Ali sambil menenteng dua dus kue di tangannya.
"Assalamualaikum Imam ku," salam Alika sambil berbukuk meraih tangan Gus Ali dan mengecup punggung tangan nya.
"Waalaikumsalam Sayang," Ali mengecup kening Alika sambil mengelus kepala nya.
Tersenyum senang melihat Alika yang
akhir-akhir ini makin manja pada nya.
"Apa sudah lama menunggu di sini?" tanya Alika masih dengan tersenyum manis menatap suaminya.
"Baru saja, bagaimana hasil belajar selama ini, apa istri cantik ku ini sudah pandai membuat kue?" tanya Ali, berusaha mensupport keinginan istrinya, walau sebenarnya belum tau apa maksud di balik keinginan Alika untuk belajar membuat kue dan meminta izin untuk belajar pada teman nya.
"Sudah dong, ini aku buatkan kue sepesial untuk Imam ku." jawab Alika begitu antusias mengangkat tentengannya.
"Dan satu lagi buat Kak Zahra," sambung Alika masih dengan begitu antusias.
"Apa rasanya di jamin enak Dek?" goda Ali dengan tersenyum jahil meledek Alika.
"Insyaallah enak Kak, kan membuat nya dengan cinta," jawab Alika membalikkan godaan Ali dengan tersenyum lebar.
"Huh, gak bisa menang kalau menggoda Adek, makin kesini makin pintar ngegombal,"
gemas Ali, berakhir mencolek ujung hidung Alika, membuat sang empunya tersenyum senang dengan perlakuan suaminya.
"Ayo berangkat, tapi maaf ya Dek aku pakai motor, tadi dari pesantren langsung ke sini." ajak Ali sambil mengambil dus kue dari tangan Alika.
Merasa tidak enak, karena Ali baru kali ini menjemput Alika dengan motor nya.
"Tidak apa-apa kok, kalau pakai motor 'kan lebih romantis." sahut Alika, berusaha membiasakan diri dengan kehidupan sekarang yang tanpa kemewahan.
Di sebuah ruangan terlihat Alika dan Ansell duduk saling berhadapan. Suasana pun terasa sangat serius, adik Kakak itu sepertinya sedang membicarakan hal yang bersifat privasi, sampai mereka memilih berbicara di ruangan tertutup jauh dari orang lain.
"Kak..." panggil Alika saat Kakaknya hanya berdiam diri enggan untuk bicara lagi.
"Kak Ansell!" panggil nya lagi dengan suara lirih.
"Sudahlah jangan merengek lagi, kau menyuruhku cepat pulang hanya untuk membicarakan ini, kukira ada hal penting," Ansell sepertinya tidak suka dengan apa yang di sampaikan adiknya.
"Tapi Kak, menurut ku ini hal yang penting, ini demi masa depan ku," Alika kini menegaskan perkataannya, mencegah Ansell yang terlihat akan beranjak dari duduknya.
"Masa depan?" Ansell mengulang perkataan Alika, merasa heran dengan tingkah adiknya yang masih sama seperti dulu. Selalu memutuskan keinginan nya sendiri.
"Al, kalau menurut mu ini demi masa depan mu, setidaknya kau bicarakan dulu dengan suami mu, kau seorang istri sekarang, bukan lagi gadis yang bisa melakukan apapun sesukamu." tegas Ansell, berusaha menasehati adiknya.
"Kak, aku hanya meminta sebuah ruko di pusat kota, apa aku salah? Bagi Kakak hanya sebuah ruko saja tidak susah kan? Bantu aku Kak! setelah aku menyiapkan semuanya aku akan bicara pada Kak Ali, Aku tidak memberitahu nya sekarang karena takut keinginan ku membebaninya Kak." lirih Alika berusaha menjelaskan.
Kehidupan Alika dan Gus Ali sampai saat ini memang terbilang sederhana, kehidupan masyarakat kelas menengah pada umumnya. Pekerjaan Ali yang hanya sebatas guru mengaji dan mengelola sebuah rumah makan kecil sebagai sampingan nya, membuat Alika tidak bisa berdiam diri. Alika ingin membantu meringankan beban suaminya, mengawali langkah nya dengan belajar membuat kue, berencana agar kedepannya ia bisa memulai bisnis kue dengan meminta bantuan Kakaknya. Dan semua itu ia lakukan berharap bisa membantu beban suaminya yang harus bekerja keras menafkahi nya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
"Al, Kakak bukan tidak ingin membantu mu, Kakak hanya ingin kau lebih dewasa," timpal Ansell, hanya itu yang ia ucapkan, sampai kini ia beranjak berdiri dan meninggalkan Alika sendiri di sana.
*
Di ruang tengah, Zahra Ibu dan Gus Ali terlihat sedang berbincang sambil memakan kue buatan Alika.
"Mana kue untuk ku?" Ansell tiba-tiba datang dan duduk di samping Zahra, matanya melihat ke arah dus kue yang sudah tidak tersisa sepotong kue pun di sana.
"Kuenya terlalu enak Bib, jadi aku menghabiskan nya." Jawab polos Zahra tanpa rasa bersalah.
"Kenapa Adek rakus sekali?" Ansell menggelengkan kepalanya, bukannya kue itu tadi sangat banyak, kenapa sekarang sudah habis lagi? begitu pikirnya.
"Bukan Nak Zahra yang menghabiskan nya, tapi anak mu," canda Ibu dengan tawa nya.
"Hemm, padahal ingin sekali mencoba bagaimana rasanya, apakah rasanya enak melebihi pembuat kue profesional sampai sampai adik keras kepala itu ingin cepat-cepat membuka toko kue besar, tanpa sepengetahuan suaminya." batin Ansell mengumpat, perlahan menyandarkan kepalanya di bahu kursi. Merasa pusing mengingat kembali permintaan adiknya, yang menganggap semua hal bisa berjalan dengan mudah sesuai kemauan nya.
"Dek Alika di mana Bang?" Tanya Ali, melihat kiri kanan namun tidak kunjung melihat istrinya.
"Dia masih di dalam," jawab Ansell. Dan kini mengelus tangan Zahra mengharapkan bantuan istrinya.
"Katanya dia ingin bicara dengan Adek," lanjut Ansell, menyuruh Zahra untuk menemui Alika.
Beralasan Alika yang meminta, padahal dia sendiri yang menginginkan Zahra menemui Alika, berharap istrinya itu bisa menasehati adiknya.
Zahra pun kini beranjak menemui Alika, meninggalkan Ansell, Gus Ali dan Ibu, yang sedang melanjutkan percakapan mereka.
*
Di dalam ruangan, Alika terlihat duduk terkulai lemas mengingat semua perkataan Ansell yang tidak ingin membantu nya, tidak sadar air matanya lolos menetes membasahi pipinya.
"Ya Allah, apa sebenarnya yang Kau rencanakan di balik semua ini, apa aku terlihat seperti anak kecil jika aku ingin lebih maju dan membantu meringankan suamiku. Harus bagaimana agar aku bisa terlihat dewasa oleh Kakak, bahkan Engkau pun belum mempercayai Ku untuk menitipkan anak pada ku." lirih Alika mengeluarkan semua benaknya. Rasanya lelah menjalani kehidupan nya selama ini.
Begitu banyak cobaan dan gunjingan yang ia dapatkan,
Inilah, itulah, semuanya terus menghampiri nya silih berganti. Entah itu datang dari teman-teman masa lalu nya yang mengenal sosok Alika yang selalu penuh kemewahan namun sekarang tidak demikian, ataupun dari pihak keluarga Gus Ali yang selalu membandingkan nya dengan sosok wanita wanita solehah dan pintar yang se idiologi dengan suaminya.
"Aku hanya ingin memulai bisnis ku, kenapa Kakak tidak mau membantu ku, Ya Allah, kenapa semuanya terasa sangat sulit sekali." keluh Alika sambil menghembuskan nafasnya melepas benaknya.
Dari arah masuk, rupanya dari tadi Zahra melihat tingkah Alika dan mendengar dengan jelas semua perkataannya.
"Apa Kak Ansell yang menyuruh ku kesini?" batin Zahra langsung tau kalau suaminya sengaja menyuruhnya menghampiri Alika untuk menghibur nya. Bukan Alika yang meminta nya.
"Assalamualaikum, maaf Dek Kakak mengganggu!" salam Zahra sambil perlahan masuk mendekati Alika.
"Waalaikumsalam, Kak Zahra?" Alika langsung tertunduk malu, perlahan mengusap air matanya.
"Adek kenapa? Kalau ada masalah cerita sama Kakak," tutur Zahra yang kini sudah duduk di samping Alika.
"Tidak apa-apa Kak," Alika berusaha menutupi masalahnya, malu jika Zahra sampai tau, karena menurutnya ini adalah urusan dia dengan Kakaknya.
"Maaf, Kakak tadi mendengar semua perkataan Adek, Kak Ansell pasti memiliki alasan di setiap perkataan nya Dek, coba Adek ceritakan mungkin Kakak bisa membantu." Tutur Zahra, kini perlahan mengelus punggung Alika.
Alika yang butuh akan kasih sayang dan dukungan, mau tidak mau menceritakan semuanya pada Zahra, memberitahu semua niat nya yang ingin membuka sebuah toko kue untuk mengawali bisnisnya.
"Jadi semua yang sudah Adek rencanakan tanpa sepengetahuan Kak Ali?" Zahra langsung mengerti kenapa suaminya sampai tidak merespon kemauan Alika.
"Iya Kak, aku bermaksud menceritakan nya jika semua persiapan ku sudah beres. Karena aku merasa merintis bisnis membutuhkan modal yang besar, jadi aku meminta bantuan Kak Ansell, sebelum bicara dengan Kak Ali, aku akan bicara pada Kak Ali saat semua persiapan ku sudah beres Kak, Aku tidak ingin maksud ku untuk membantu malah menjadi beban untuk Kak Ali." Begitulah pemikiran Alika, yang terlalu semangat dengan segala perencanaan nya, sampai tidak melihat akan seperti apa resiko nya.
"Dek, Kakak tau maksud Adek baik ingin membantu Kak Ali. Tapi bukan seperti ini caranya sayang."
"Lalu harus bagaimana Kak, Aku hanya meminta sebuah ruko pada Kakak ku sendiri apa itu salah?"
Alika tidak sadar meninggikan suaranya. Pikiran nya yang sudah membayangkan tentang semua rencana, bahkan sudah punya gambaran akan seperti apa toko kue nya nanti, langsung hancur seketika saat ide nya itu tidak mendapat respon dari Kakaknya.
"Kak Ansell seorang lelaki, Dia menghargai Kak Ali, bisa merasakan bagaimana perasaan Kak Ali di saat istrinya ingin melakukan sesuatu namun malah minta bantuan sodaranya dari pada berunding dengan suaminya." Zahra berusaha menjelaskan penolakan Ansell.
"Aku hanya tidak ingin membebani Kak Ali Kak,"
"Dek, apapun yang akan seorang istri lakukan, baik itu hal kecil atau hal besar, usahakan berunding dulu dengan suami, sesulit apapun itu, jika di rundingkan dan di musyawarahkan bersama, pasti ada jalan terbaik nya. Kakak percaya pada Kak Ali, seorang Imam pasti punya cara untuk membereskan semuanya tanpa menjadi beban untuk keduanya." tutur Zahra, menjelaskan semua maksud penolakan Ansell yang tidak memenuhi keinginan adiknya.
"Kak Zahra mudah bicara seperti itu, karena Kakak tidak berada di posisiku, Kakak memiliki semuanya, Kakak pasti tenang tanpa ada ujian yang menimpa kehidupan Kakak." Tiba-tiba terbesit dalam hati Alika rasa iri, sampai kata itu keluar dari bibir nya.
Zahra kini merangkul Alika, menyandarkan kepala Alika di bahu nya.
"Manusia di muka bumi ini semuanya pasti tidak akan lepas dari 4 hal Dek.
Yaitu maksiat dan to'at, nikmat dan balita. Walaupun berbeda
sejatinya semua itu adalah ujian untuk setiap hamba Nya." tutur Zahra, berusaha menjelaskan kalau bukan hanya dia yang mendapatkan ujian, melainkan semua hamba Allah sejatinya pasti mendapatkan ujian dalam setiap perjalanan hidupnya.
"Kenapa demikian Kak, bukankah ujian sesuatu yang tidak kita inginkan, dan kita harus sabar menjalankan nya?" tanya polos Alika. Setiap belaian Zahra rupanya perlahan menenangkan nya.
"Pada dasarnya iya, namun Adek juga harus tau, saat kita melakukan maksiat, ataupun to'at, kita di uji sayang, orang yang melakukan maksiat sebenarnya di uji, akankah dia bisa kembali mengingat Allah atau mungkin lupa sampai Dia terus terjerumus dalam kesalahan."
"Begitu pula sebaliknya, saat kita melakukan to'at, kita pun di uji, apakah kita yang selalu to'at akan kembali pada Allah dan mengingat bahwa pada saat kita melakukan to'at itu bukan lah kuasa kita melainkan Rahmat Allah."
"Dan sama halnya saat kita di berikan Nikmat, dan musibah, itu pun ujian, saat kita di berikan rezeki yang berlimpah, kehidupan yang mewah dan menyenangkan kita pun sebenarnya sedang di uji, akankah dengan nikmat itu kita bisa kembali pada Allah dan mensyukuri segala nikmat Nya, atau mungkin kita malah terlena dengan semua kenikmatan itu sampai kita lupa, bahkan tidak jarang kita malah takabur dan merasa bahwa semua nikmat itu adalah kekuasaan kita."
"Dan menurut Kakak itulah ujian yang paling berat, karena saat kita di uji tapi kita tidak merasa di uji, sampai kita pun lupa diri."
"sebaliknya, jika kita berada dalam musibah, kita sama sedang di uji, akankah kita sabar dan menyadari kalau semua musibah itu sebenarnya adalah rasa kasih sayang Allah agar kita senantiasa mengingat nya."
"Karena sejatinya setiap hamba Allah semuanya sedang di uji, namun hanya orang orang terpilih lah yang merasa bahwa semua itu adalah ujian.
Jadi jangan pernah berkecil hati dengan apa yang Adek alami, bersyukur lah karena Allah masih menyayangi kita dan memberikan jalan agar kita bisa terus mengingat Nya. Bersabarlah meski jalan itu berupa kesulitan Dek," turut Zahra dengan begitu panjang lebar, hanya itu yang bisa ia katakan untuk menghibur keadaan adiknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!