"Bibi, aku pergi dulu ya," ucapku seraya memeluknya.
"Ya," ucap Bibi membalas pelukanku singkat, matanya memandangku dengan raut cemas yang tidak dapat disembunyikan wajahnya. "Hati-hati di jalan, Allison."
Aku tersenyum simpul. "Tentu saja, Bi."
Aku berjalan menuruni tangga beranda rumah Bibi lalu memasuki taksi yang sudah lama menunggu. Dari dalam aku dapat melihat Bibi yang masih berdiri diberanda dan memandangku lekat, tatapannya masih terlihat cemas.
Aku melambai kearahnya untuk mendapat perhatiannya lalu menggerakkan mulutku 'jangan khawatir, Bi.'
Bibi terlihat menghela napas panjang sebagai jawaban lalu tersenyum mengerti, dia mengangkat sebelah tangannya untuk membalas lambaianku. Aku mengacungkan kedua ibu jariku sambil tersenyum lebar padanya seiring dengan berjalannya taksi. Taksi yang kunaiki melaju dengan pelan melewati jalanan, melewati bangunan-bangunan yang sering kulewati. Dia kemudian berbelok kesalah satu persimpangan sehingga rumah bibi tidak terlihat kembali.
Aku menghela napas panjang, senyum lebarku berganti dengan senyum muram. Hari ini akhirnya datang juga, hari kepindahanku ke rumah baru atau bisa dibilang apartemen yang akan kutinggali sendiri sampai seterusnya. Kemarin merupakan ulangtahunku yang ke tujuh belas. Seperti kebiasaan di panti asuhan, anak-anak panti-termasuk aku, juga bibi akan berkumpul dan mengadakan pesta perayaan ulangtahun kecil-kecilan. Kami akan berkumpul di meja makan dengan sajian menu lengkap serta kue ulangtahun, tugas pagi akan dialihkan ke sore hari sehingga kami bisa menikmati pesta.
Hari itu cukup menyenangkan bagiku, kami bisa bersantai dengan bebas dan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tidak bisa kami lakukan di hari-hari biasa. Aku berkumpul bersama anak-anak yang lebih muda dariku, bercanda dan tertawa keras bersama mereka-selama pagi hari itu. Aku tidak memikirkan apapun kecuali kebersamaan kami yang terasa lebih menyenangkan dari sebelumnya.
Aku dapat melihat Bibi yang duduk bersandar pada sofa, memperhatikan gerak-gerik kami dan sesekali memperingati Cedric dan Rory, anak usil di panti, agar tidak mengganggu anak yang lebih kecil. Aku teringat saat sebelum pesta dimulai bibi memberitahuku kalau aku masih boleh tinggal disana selama mungkin, dia berkata kalau apa yang dilakukannya selama ini untuk menepati janjinya pada ibuku beberapa tahun yang lalu, tapi aku menolak. Rasanya tidak adil kalau aku mendapatkan keistimewaan itu sedangkan anak-anak lain tidak.
Bibi tidak membujukku lagi sesudah itu dan membiarkanku mengemas koper hingga aku bisa ada di dalam taksi ini.
"Sudah sampai," ucap sopir taksi itu mengagetkanku dari lamunan.
Aku mengerjapkan mataku berulangkali lalu memandang sebuah gedung bertingkat yang tiba-tiba saja berada di depanku. Aku terdiam selama beberapa saat untuk memandang gedung pencakar langit itu, terlihat sangat megah dan mewah.
Apa benar yang ini? batinku ragu.
"Miss?" ucap sopir itu kembali menyadarkanku.
"Oh, ah... maaf, Pak," ujarku menyesal lalu menyerahkan beberapa lembaran uang dari dompetku.
Aku segera berjalan keluar dari taksi itu kemudian memasuki gedung. Ruangan dengan sapuan warna putih gading dengan lampu gantung berdesain rumit ditengah langit-langit gedung menyambut kedatanganku.
Dengan ragu aku menggeretkan koperku mendekati meja resepsionis yang terletak disalah satu sisi ruangan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya si resepsionis dengan ramah.
"Bisa tunjukkan saya di mana kamar nomor 138 berada?"
Si resepsionis tampak menggumamkan kata sebentar lalu menatap layar komputer yang terletak dibagian bawah permukaan mejanya.
"Anda tinggal naik lift ke lantai 5 kemudian berjalan ke kanan, anda dapat menemukan kamarnya di sisi kiri lorong."
Aku mengangguk mengerti lalu menggumamkan kata terima kasih sebelum berjalan kearah lift dan memasukinya.
Sesuai instruksi resepsionis itu, aku berbelok kearah kanan kemudian menatap bagian kiri dengan teliti.
"Ah, ini dia," ucapku bersemangat setelah beberapa saat mencari.
Aku memutar kenop pintu rumah baruku kemudian menatap takjub kearah fasilitas-fasilitas yang tersedia disini. Mata hazelku berkeliling memandang keseluruhan tempat tinggal baruku yang cukup luas, sangat berbeda dengan kamar yang sebelumnya kutepati di panti.
Dari sini aku dapat melihat warna pastel menyelimuti sebagian besar dinding, beberapa peralatan rumah tangga seperti alat memasak, penghisap debu, mesin cuci dan fasilitas lain seperti AC, kulkas, sofa juga televisi, dapat kutemukan dengan mudah dan tersusun rapi.
Aku memasuki kamar tidur kemudian menghempaskan diriku di sana untuk merilekskan tubuh selama beberapa saat. Beberapa menit kemudian aku bangun dari tempat tidur dan mulai membereskan koperku, memindahkan segala isinya ke lemari pakaian, laci dan rak sepatu yang tersedia.
Tanganku bergerak untuk merogoh tas pinggang lalu meraih ponsel, menekan beberapa tombol untuk menghubungi Bibi.
Tidak tersambung. Mungkin Bibi sedang tidur siang, batinku seraya meletakkan ponsel di tempat tidur dan mulai merapikan koperku yang kini kosong melompong.
Sret. Sebuah angin yang terasa dingin dan cukup kencang tiba-tiba mengalihkan perhatianku.
Aku menolehkan kepalaku ke jendela kamar, mengira kalau angin yang barusan berhembus berasal dari sana. Tapi dugaanku salah. Jendela kamarku masih tertutup rapat, tidak mungkin angin melewati jendela dengan keadaan yang seperti itu 'kan?
Dengan perlahan aku melangkah kakiku keluar dari kamar tidur dan memandang sekeliling dengan penasaran, tidak ada apapun.
Mungkin hanya perasaanku, batinku positif.
Belum beberapa detik berlalu, tiba-tiba saja sebuah lembaran kertas berwarna putih jatuh tepat di hadapanku. Dengan kening berkerut bingung aku segera meraihnya kemudian membacanya.
*Akhirnya kami menemukanmu, Allison Cartwraigh**t*....
Begitulah kata-kata yang tertulis dilembaran kertas itu dengan tinta berwarna semerah darah.
Aku segera terdiam di tempat, lembaran kertas itu terlepas dari tanganku yang terasa lemas. Apa maksudnya? Siapa 'kami' yang tertulis di kertas itu?
Aku masih mematung diposisiku selama beberapa saat untuk memikirkan kemunculan lembaran kertas itu yang sangat tiba-tiba. Bagaimana mungkin lembaran kertas itu bisa muncul begitu saja hanya karena hembusan angin keras yang masih misterius asalnya?
Jangan-jangan--
Aku segera menggerakkan kakiku kearah pintu apartemenku dengan cepat lalu membukanya sehingga bisa melihat lorong yang berada di hadapanku. Lorong saat ini sedang sepi, hanya ada beberapa orang yang keluar masuk dari pintu apartemen lain dan tidak ada tanda-tanda mencurigakan dari orang-orang tersebut, misalnya, seperti baru saja memasuki rumah orang lain tanpa ijin.
Aneh....
Aku kembali menutup pintu apartemen kemudian melangkahkan kaki ke jendela kamar yang berada disalah satu sudut. Dengan teliti aku mengecek tampilan jendela kamar itu yang masih tertutup rapat dan tidak berubah posisi.
Aku mengecek setiap bagian rumahku untuk mencari beberapa bukti selama beberapa saat, mencarinya hingga ke sudut-sudut terkecil yang ada di apartemen.
Tidak ada.
Aku menghempaskan diriku di sofa. Menyerah untuk mencari bukti dari dugaanku, yang setelah kupikirkan lagi, terdengar konyol. Mana mungkin seseorang bisa memasuki apartemen yang terkunci rapat tanpa meninggalkan tanda?
Kalau hantu? batinku terdengar semakin tidak masuk akal. Mana mungkin.
Aku menggelengkan kepalaku untuk menjernihkan pikiran, sambil berjalan ke tempat lembaran kertas itu untuk mengambilnya kembali.
Mataku menatap kata-kata itu lagi dengan lekat, kemudian melipatnya menjadi dua bagian supaya lebih mudah untuk diselipkan ke sebuah buku notes yang biasa kubawa. Untuk sementara, aku akan memikirkan surat itu lebih lanjut lagi nanti.
~°~°~
Aku terbangun tepat pada saat alarmku berbunyi.
Jam menunjukkan tepat jam tujuh pagi, aku meraih ponselku dan membaca pesan balasan dari bibi kemarin dan kembali membalasnya. Anak-anak panti harus membiasakan diri dengan pembagian tugas yang baru karena tugas yang kuambil sebelumnya lumayan banyak. Selain itu, beberapa hari ke depan akan ada anak panti lain yang pergi, sehingga bibi harus mulai membiasakan anak-anak lain melakukan bagian tugas barunya.
Pagi ini, anak-anak pasti sudah bangun dan mulai melaksanakan tugas bersih-bersih rumah serta menyiapkan sarapan. Anak yang lebih muda membereskan rumah bersama bibi, sedangkan anak-anak yang lebih tua menyiapkan sarapan untuk hari itu. Anak-anak yang usil kadang akan membuat masalah di sela-sela tugas sehingga bibi akan menghukum mereka untuk mencuci piring. Keuntungan bagi yang mendapat bagian tugas itu. Tapi suasana hangat dan obrolan-obrolannya saat makan bersama di meja makan tidak tergantikan.
Belum apa-apa aku sudah kangen mereka.
Aku menghela napas dan mulai meregangkan badan yang terasa kaku. Bibi sudah menyiapkan lauk untuk kumakan hari ini, yang harus kulakukan tinggal memanaskannya lalu menatanya kembali di tempat bekal untuk nanti.
Ponselku berbunyi, ada pesan masuk.
From: Emily Young
To: You
Lima belas menit lagi aku sampai, kau sudah siap? kalau sudah siap tunggu aku di halte bis dekat apartemenmu. see ya~
Oke, kutunggu. ketikku sebagai balasan pesannya.
Aku segera merapikan peralatan sarapanku dan bersiap-siap. Lift berdenting pelan sebagai penanda bahwa aku sudah tiba di basement lalu berjalan menuju halte bis yang terletak beberapa langkah dari apartemen.
Selama beberapa menit menunggu, akhirnya sebuah mobil sport berwarna merah berhenti di hadapanku dan membuka pintunya. Tanpa ba-bi-bu lagi aku segera memasukinya dan menutup pintunya kemudian mobil itu segera melaju dengan kecepatan penuh.
"Mobil baru, Em?" tanyaku pada sosok yang berada di sebelahku seraya memasang sabuk pengaman.
"Yup," jawabnya sambil nyengir. "Hasil jerih payah selama satu semester lalu yang penuh penderitaan."
Aku mendengus tertahan ketika mengingat peristiwa itu, "Kamu masih bekerja di sana?"
"Hell, no!" serunya terdengar ngeri. "Aku bersumpah pada diriku sendiri agar tidak bekerja di sana untuk kedua kalinya. Itu sangat memalukan." Dia bergidik.
Tawaku seketika meledak ketika mendengar ucapannya. Ingatanku kembali memutar peristiwa langka itu, peristiwa di mana Emily yang terkenal sangat tomboi harus memakai pakaian feminim dan berperilaku feminim juga, senyum manis selalu tersungging di bibirnya ketika melayani tamu-tamu di kafe tempatnya bekerja selama tiga bulan berturut-turut.
"Jangan ketawa, nggak lucu, tahu!" ucapnya terdengar kesal.
Aku masih tetap tertawa selama beberapa saat, menikmati raut wajah Emily yang terlihat sedikit berkerut. Aku berdeham beberapa kali untuk menghentikan tawaku lalu memandang ke arah interior mobilnya yang sangat khas dengan dirinya.
"Kamu dapat jam siapa saja, Em?" tanyaku penasaran. Semester lalu dia mendapat banyak jam hapalan dan sedikit hitungan sehingga kami sering mendapat jam kuliah yang sama.
"Kurang tahu," jawabnya langsung sambil mengangkat bahu. "Lupa."
Aku hanya bisa menatapnya saat mendengar ucapannya, tidak dapat berkomentar. Ternyata kelakuan 'masa bodo'nya sama sekali belum berubah. Semester lalu dia bahkan tidak tahu kalau jam kuliahnya hanya memiliki waktu jeda sepuluh menit yang membuatnya harus terburu-buru setelah kelas sebelumnya usai.
Selama sisa perjalanan kami hanya memandang pemandangan di depan kami hingga tiba-tiba sebuah perasaan nyeri mendera kepalaku dan membuatku mengerang menahan sakit.
"Allison, ada apa denganmu?" tanya Emily cemas, kepalanya menoleh kearahku untuk memeriksa keadaanku yang sekarang sedang mencengkram kepala dengan erat. "Kau sakit?"
Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Kepalaku... s-sangat... sakit," ucapku tertahan, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum yang menyerang secara bergantian.
Emily tidak mengatakan apapun sebagai balasan, tapi aku dapat merasakannya menekan pedal gas mobilnya dengan kuat sehingga mobil itu bisa melaju dengan lebih cepat menuju kampus.
"Tunggu disini, Ally," ujar Emily pelan kemudian berjalan keluar dari mobilnya tanpa menunggu jawabanku.
Aku tetap menunggu di dalam mobil dengan tenang dan masih dalam posisi merunduk dan mencengkram kepalaku yang masih terasa nyeri. Ada apa dengan diriku? Kenapa tiba-tiba terasa sakit seperti ini?
Tuk! Tuk! Tuk! sebuah suara ketukan jendela yang tiba-tiba, mengalihkan perhatianku.
Aku menolehkan kepalaku secara perlahan dan bertemu pandang dengan sosok cowok yang berperawakan tinggi dengan rambut pirang pasir sedang memandangku lekat.
Aku segera menggerakkan tanganku untuk menekan tombol yang ada di sebelah lenganku kemudian membiarkan kaca jendela terbuka setengah.
"Kau tidak masuk ke dalam?" tanya cowok itu menunjuk kearah gedung yang berada dibelakangnya, universitas kami
Aku membuka mulutku hendak menjawab lalu mengatupkannya kembali.
Untuk apa aku menjawab pertanyaan orang yang tidak kukenal?
"Siapa.... kamu?" tanyaku pelan pada akhirnya.
Dia terdiam selama beberapa saat lalu mengerjapkan matanya. "Kau sedang sakit?" tanyanya mengganti topik.
Aku hanya menganggukkan kepalaku samar sebagai jawaban.
"Ah–" ujarnya terpotong.
"Ally!" seru seseorang menginterupsi perkataan cowok itu, Emily.
Dia berlari cepat kearahku kemudian berhenti dihadapanku dengan menyodorkan sebuah kapsul dan sebuah botol air. "Cepat minum ini."
Aku menurutinya kemudian meraih kedua benda itu dan menelannya sekaligus.
"Kau tadi bicara dengan siapa?" tanya Emily terdengar aneh. Campuran antara penasaran dan tidak suka terlihat dari sorot matanya.
Mataku membelalak lebar karena teringat keberadaan cowok itu, lalu menoleh ke tempat dia sebelumnya berdiri. Tidak ada siapapun. Aku kembali menatap Emily dan menggeleng pelan. "Enggak... tahu."
Dia menganggukkan kepalanya mengerti. "Baiklah, sudah baikan?"
"Iya."
"Ayo kita ke kelas, sudah mau terlambat."
Aku mengangguk lalu berjalan keluar dari mobilnya, sedikit bersandar pada tubuhnya yang terasa kokoh dan mengikutinya melangkah.
Ms. Regan kembali mengingatkan tugas yang diberikannya untuk kesekian kalinya sebelum berjalan ke luar kelas. Tugas yang menumpuk dari dosen itu sudah menjadi makanan tiga hari sekali hingga para mahasiswa lain, termasuk aku, sudah tidak ambil pusing lagi seperti sebelumnya.
Meskipun begitu, tugas-tugas tersebut harus tetap dikerjakan dan dikumpulkan tepat waktu. Ms. Regan selalu memberi nilai F jika tugasnya tidak lengkap ataupun terlambat dikumpulkan. Emily sudah menjadi bukti kekejaman dosen perempuan itu. Nilai semester matkul dosen itu menjadi satu-satunya nilai yang jelek diantara nilai sempurnanya saat semester lalu.
Aku menghembuskan napas dan segera merapikan barang-barangku ke dalam tas. Koridor kampus terlihat cukup ramai oleh para mahasiswa yang juga baru menyelesaikan kelasnya. Aku berjalan melewati kerumunan itu menuju sebuah pintu kaca yang dilapisi kayu pada setiap sisinya. Perpustakaan kampus.
Aku membuka pintu dan memasuki ruangan yang sarat akan bebauan buku yang tersebar di ruangan. Rak-rak buku menjulang di hadapanku sehingga tanganku tiba-tiba saja terasa sangat 'gatal' untuk segera membuka lembaran-lembaran kertas itu dan membacanya. Aku belum membaca koleksi novel baru dari sebulan lalu.
Perpustakaan di sekolah ini termasuk cukup besar dari sekolah-sekolah yang ada di daerah ini. Selain buku referensi untuk keperluan mata kuliah yang sangat lengkap, koleksi buku-buku fiksi dan novel grafis juga lumayan banyak. Fasilitasnya juga tidak buruk. Beberapa mahasiswa tingkat akhir maupun mahasiswa yang sedang sibuk dengan tugasnya akan menghabiskan sebagian waktunya di sini.
Aku menyusuri lorong-lorong kecil diantara rak-rak buku itu, berkeliling untuk mencari buku yang kuperlukan untuk tugas esai Ms. Regan. Tanganku menyentuh sekilas punggung buku yang kulewati lalu berhenti di sebuah buku yang sesuai. Aku segera meraih buku itu untuk membacanya sekilas kemudian kembali berjalan untuk mencari buku lain.
Setelah mencari cukup lama, akhirnya aku mendapat 3 buku, 2 untuk tugas dan 1 adalah salah satu novel dari koleksi baru bulan lalu, yang kemudian kubawa ke petugas perpustakaan untuk dicatat. Aku membuka ponselku kemudian mengetikkan sebuah pesan untuk Emily supaya dia menunggu di lapangan parkir.
"Hai," sapa seseorang mengagetkanku.
"Halo," balasku terdengar ragu, melihat wajahnya yang terlihat asing. Aku tidak mengenalnya.
"Kau sudah merasa baikan?" tanyanya.
Aku mengerutkan keningku saat mendengar pertanyaannya yang terkesan akrab. Bukankah kami baru saja bertemu?
Raut wajahnya terlihat memahami kebingunganku sehingga dia tersenyum dan menjelaskan. "Sepertinya kamu tidak mengingatku.... aku sempat mendatangimu saat kamu sedang tidak enak badan tadi pagi."
Aku masih mengerutkan kening, sama sekali tidak bisa mengingatnya. "Maaf, kurasa kamu salah orang."
Dia membeku lalu mengulas senyum yang sedikit kaku. "Baiklah kalau begitu, sampai jumpa."
"Oke," balasku.
Cowok itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kecil lalu melangkahkan kakinya menjauh, menuju ke luar perpustakaan.
Aku menggelengkan kepalaku, melangkah menuruni tangga menuju lapangan parkir. Pikiranku berkelebat pada wajah cowok itu yang terlihat ramah dengan mata berwarna coklat dan rambut pirang pasir. Mungkin cowok itu salah mengiraku sebagai salah satu temannya. Wajahku sendiri juga cukup pasaran dengan rambut hitam dan mata coklat yang sangat gelap.
Aku menatap ke arah lapangan parkir dan menemukan Emily sudah berada didalam mobilnya dan melambaikan tangannya.
"Kau tadi lama sekali," ujarnya penasaran. "Ada urusan apa?"
"Aku meminjam beberapa buku untuk tugas Ms. Regan."
"Dosen keji itu?" tanyanya terdengar ngeri. "Untung saja semester ini aku nggak dapat kelasnya."
Aku tertawa. "Dia nggak seburuk itu."
"Yah, kalau kamu nggak mengulang kelasnya, tentu saja nggak seburuk itu." Dia menghela napas. "Lalu kenapa tadi bisa lama?"
"Ada yang mendatangiku sehabis aku meminjam buku dari perpustakaan tadi."
"Terus?"
Aku mengangkat bahuku. "Dia bilang kalau sebelumnya dia sempat mendatangiku saat tidak enak badan tadi pagi, tapi aku sama sekali tidak ingat kejadian itu. Aku hanya mengingatmu saja."
Emily diam mendengar ucapanku dan tetap fokus memandang jalan yang ada di hadapannya.
"Kamu nggak tanya namanya?" tanya Emily tiba-tiba dengan raut wajah iseng. "Siapa tahu dia basa-basi begitu untuk deketin kamu."
Aku mengulurkan tanganku untuk memegang dahinya. "Suhunya normal, kamu siapa?" Emily yang kukenal akan selalu khawatir jika ada orang yang tidak dikenal mendekatiku. Sekali peristiwa, orang yang mendekatiku ternyata diam-diam suka mempermainkan adik tingkat dan melakukan kekerasan terhadap mahasiswa yang lemah. Sahabatku itu yang pertama kali mengingatkan agar tidak terlalu dekat dengannya setelah aku menceritakannya.
Emily tertawa. "Yah, tidak usah dipikirkan. Aku cuma bercanda."
"Oke...."
Dia menepikan mobilnya di depan halte apartemenku. "Sudah sampai."
"Makasih, Em."
Dia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kecil. "Duluan ya."
Aku balas mengangguk dan melihat Emily segera mengendarai mobilnya kembali.
Aku melangkah memasuki gedung kemudian menaiki lift menuju lantai tempat apartemenku berada. Tanganku merogoh ke dalam kantong celanaku untuk mengambil ponsel, membuka kunci layar yang segera menampilkan notifikasi pesan masuk yang berada dibagian atas sebelah kiri layar.
Aku segera menekan ikon itu dan menemukan sebuah pesan dari nomor tidak dikenal yang dikirim beberapa menit yang lalu, secara perlahan men-scroll layar ke bawah untuk membaca pesannya secara keseluruhan, nama Natalie Wood tercantum dibagian paling bawah, anak bibi yang paling muda.
Bibi sakit.
Aku segera melupakan tugas dari Ms. Regan dan kantuk yang sebelumnya kurasakan. Dengan cepat aku meraih dompet dan ponselku lalu kembali menaiki lift menuju lantai bawah. Ponselku masih tergenggam erat di tanganku ketika memberhentikan taksi dan masuk ke dalamnya.
Aku segera mengetik balasan ke Natalie bahwa aku sedang dalam perjalanan ke panti asuhan.
Beberapa menit kemudian aku sudah tiba di tempat bibi lalu segera mengetuk pintu itu cukup keras. "Natalie," ucapku seraya mengetuk pintu itu berulangkali hingga akhirnya pintu terbuka dan menampakkan seorang gadis yang lebih tua dariku dengan rambut coklat sebahu dan mata berwarna coklat karamel. "Bagaimana bibi?"
Natalie menggelengkan kepalanya pelan, raut wajahnya terlihat pucat dan khawatir.
"Ibu tiba-tiba pingsan. Vero, Tara dan yang lain langsung membawa ibu ke rumah sakit," ucapnya agak tersendat lalu menatapku. "Aku harus menyusulnya ke sana, kamu tidak apa-apa 'kan? Anak-anak sedang tidur siang."
Aku menganggukkan kepalaku. "Tidak apa-apa, aku yang akan menjaga anak-anak untuk sementara."
"Maaf, sudah merepotkanmu, Allison.... aku pergi dulu," ucapnya meremas kedua tanganku lalu segera berjalan pergi.
Aku menghela napas ketika menatap punggungnya yang kian menjauh, dengan perlahan memasuki panti lalu menutup pintunya hati-hati agar anak-anak kecil yang sedang tertidur tidak terbangun.
Aku berjalan mendekati sofa lalu menghempaskan diriku di sana, tanganku meraih remote televisi yang berada di atas meja lalu menekan tombol untuk menyalakannya. Suara pembawa berita segera menggema pelan di seluruh ruang tv, membacakan berita mengenai situasi negara mulai dari politik hingga tempat hiburan. Aku yang sedang tidak berminat dengan acara itu segera menggantinya ke saluran lain yang lebih ringan.
Setelah beberapa saat menonton, aku melihat kearah jam dan mengingat kalau beberapa menit lagi adalah jadwal anak-anak kecil bangun dan memulai aktivitas sorenya. Aku mengecek ponselku. Natalie sudah sampai di rumah sakit dan sedang menemani bibi bersama Vero, Tara sedang dalam perjalanan pulang bersama anak-anak panti lainnya. Mau tidak mau aku harus menyiapkan semuanya sebelum mereka datang.
Seingatku saat jam segini bibi akan menyiapkan air panas untuk anak-anak itu sebelum mereka beberes rumah. Bibi seringkalj juga membuat cemilan dan minuman segar untuk mereka ketika kegiatan bersih-bersih itu sudah selesai. Mau tidak mau aku harus menyiapkan semuanya sebelum mereka datang.
Selama menyiapkan aku dapat mendengar sebuah alarm mulai berdering dengan nyaring untuk membangunkan anak-anak itu, suaranya terdengar hingga seluruh rumah. Dalam beberapa menit, kumpulan anak kecil segera berkumpul di ruang tv dengan wajah bangun tidur yang sangat kentara.
"Kak Ally, Bibi di mana?"
"Kakak-kakak yang lain juga tidak ada, mereka ke mana?"
Pertanyaan-pertanyaan segera meluncur dari beberapa anak kecil yang sadar dengan suasana yang lebih sepi dari biasanya. Aku berdeham dan segera menjelaskan situasi sesingkat mungkin. "Bibi sakit, kalian tidak usah khawatir, kakak-kakak yang lain akan segera datang."
"Lalu Bibi sama siapa?"
"Bibi tidak apa-apa sendirian?"
"Aku mau menjenguk Bibi...."
Beberapa anak terlihat ingin menangis, aku berusaha menenangkan mereka dan berkata jika Bibi baik-baik saja dan akan segera pulang dengan istirahat serta perawatan dari rumah sakit.
"Kak Natalie yang akan menemani Bibi selama itu." ujarku menambahkan.
Wajah mereka segera terlihat lebih cerah. Aku segera mengajak beberapa anak untuk berdiri dan mandi secara bergantian. Setelah yakin kalau semuanya sudah beres aku melangkahkan kakiku ke dapur dan mulai membuat cemilan.
Roti lapis dan es jeruk manis menjadi pilihanku. Aku menyiapkan bahan-bahan yang ada lalu mulai membuatnya hingga pas dengan jumlah para anak kecil serta anak-anak lain yang sedang dalam perjalanan. Ham yang sudah dipotong, kumasak setelah telur dadar selesai lalu dilanjutkan dengan memanggang roti. Es jeruk kusiapkan dengan memeras jeruk dengan alat, lalu menyajikannya dalam teko besar beserta potongan es.
Aku tiba-tiba mematung saat merasakan sapuan angin dingin yang cukup kencang dari belakang tubuhku, sensasi yang sama seperti saat aku memasuki apartemen pertama kali.
Dengan cepat aku menoleh dan menemukan seorang cowok sudah berdiri tepat di hadapanku, bibirnya mengulas senyum miring yang terlihat palsu. "Hai, Allison," sapanya terdengar bernada memikat, aneh.
"Siapa kau?" tanyaku menjauh darinya secara perlahan, mataku mengawasinya dengan waspada.
Senyumnya terlihat melebar secara ganjil. "Aku seseorang yang bertugas untuk menjemputmu."
"Apa maksudmu?" tanyaku kembali mundur ketika laki-laki itu berjalan mendekatiku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa masuk ke sini, aku yakin sudah mengunci pintu sebelumnya dan entah kenapa ada perasaan buruk saat dia mengamatiku.
Pisau.
Aku bergerak secepat mungkin untuk meraih pisau yang ada di dekatku, berniat mengambilnya untuk mempertahankan diri, tapi laki-laki itu lebih cepat. Tiba-tiba dia meraihku untuk menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat, tangannya terasa sangat dingin.
"Pemimpinku ingin menemuimu, jadi kuharap kamu tidak melawan."
"!"
Aku tidak sempat bereaksi saat dia memukul tengkukku dengan keras, lalu semuanya menjadi gelap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!