"Aku sudah tidak menginginkan lagi hidup bersamamu, tiga tahun ini aku mengalah dengan semua sikap dan perlakuanmu. Mari kita menghentikan pernikahan ini!" Suara Anitha terdengar menggelegar memecah malam sunyi.
"Baik, kalau itu maumu silahkan angkat kaki dari rumah ini, tanpa membawa apapun selain pakaianmu!" Terdengar suara lain dengan sama menggelegarnya.
"Ingat, bagiku kau hanya wanita lemah tak berdaya, wanita yang hidupnya hanya mampu menopangkan hidup padaku. Kau hanya wanita mandul yang tak pernah diharap keluargaku. Tak bisa memberikan aku dan keluargaku kebahagiaan."
"Terserah! Aku tak ingin mengklarifikasi apapun lagi," jawab Anitha.
"Ke mana kau hendak pergi di malam buta ini? Aku takut kau malah menjual dirimu yang hanya sisa dari aku!" Kembali suara yang merendahkan si wanita yang tak lain adalah suami dari Anitha.
"Plak ...." Satu tamparan mendarat di pipi suaminya. Anitha menampar suaminya. Rasa kesal yang ditahan selama ini membuat jejak merah muncul di pipi yang statusnya masih suami.
"Aku memang wanita lemah dan mandul! Tetapi aku bukan wanita yang mudah kau tindas. Jika selama ini aku diam, hanya bentuk hormat dan baktiku padamu." Suara Anitha terdengar dingin.
"Pergilah kemas pakaianmu. Aku memberi waktu setengah jam untuk pergi dari hidupku."
Anitha pergi ke kamar dan mengambil sebuah koper yang berukuran sedang dan menyeretnya ke ruang tamu. Anitha memang sudah mengemas pakaian yang akan dibawanya.
Anitha awalnya berniat pergi dengan diam-diam. Namun, dia tak mau dianggap pengecut dan kabur sebelum menyelesaikan masalah.
Anitha terus berjalan ke ruang tamu sambil menyeret koper dan menenteng sebuah tas sandang yang tidak terlalu besar.
Sebuah suara menghentikan langkahnya. "Ternyata kamu sudah berniat, hanya 5 menit kamu telah selesai berkemas!"
"Ya, kau benar" Anitha menyahut dengan singkat.
"Pergilah!"
***
Anitha Putri, seorang gadis sarjana manajemen bisnis di sebuah kampus ternama. Dulu di kampus dia wanita yang aktif dan termasuk mahasiswi yang cerdas.
Anitha tamat S1-nya dengan rentang waktu 3.6 tahun, dengan ipk 3.9. Tamat kuliah Anitha dilamar oleh seorang pria yang bernama Sahrul Kurniawan. Mereka lalu pindah dan menetap di kota Dumai.
Sahrul Kurniawan, pria kelahiran 30 tahun silam. Dia seorang kepala cabang di perusahaan kontraktor. Selesai Anitha kuliah dia langsung melamar dan melarang Anitha untuk bekerja. Anitha harus di rumah dan mengurus suami dan anak-anak kelak.
Anitha menerima lamaran Sahrul karena dia memang sangat mencintai Sahrul. Mereka telah menjalani hubungan selama 2 tahun. Baginya tak ada masalah harus menjadi istri dan ibu yang baik. Namun dia belum beruntung mendapat buah hati dan mendapatkan sebutan ibu.
***
Hujan seakan ingin mendinginkan kepala yang panas, membasahi kota Dumai. Sebuah tangisan akhirnya menemani hati seorang wanita rapuh, dia sedang berteduh di sebuah terminal bus. Dia adalah Anitha.
"Akhhh aku tak ingin menangis, bukankah aku sudah berusaha selama ini, dan kini ini yang aku inginkan? Untuk apa aku bertahan dalam sebuah rumah yang sudah tak bertiang utuh. Hanya tinggal menunggu keruntuhan, dan akan menimpa penghuninya." Batin Anitha disela isak tangis yang menjadi. Dia hanya ingin melepaskan sejenak beban hati.
Anitha bingung, kemana dia hendak pergi. Dia bisa saja pulang ke rumah orang tuanya yang berada di Padang. Akan tetapi dia tak ingin menambah beban pikir Ibu. Ibu yang hanya seorang janda dari pensiunan.
Ayah Anitha baru saja berpulang beberapa bulan yang lalu. Sejak ayahnya meninggal ibunya sering sakit-sakitan. Anitha pernah hendak membawa ibunya ke kota Dumai. Ibunya menolak dengan alasan karena di Padang inilah kenangan bersama ayahnya.
Anitha sungguh bingung akan ke mana. Saldo di atm tidak memadai. Suaminya memang selalu membatasi belanjanya. Uang gaji suami yang mengelolah sendiri. Anitha hanya diberi jatah bulanan.
Menjelang hujan reda, Anitha bersandar di salah satu bangku tempat penumpang menanti mengantri karcis.Dia menyeka air mata yang terus menetes. Hatinya terasa sangat perih. Terlunta-lunta di jalanan suatu hal yang tak pernah dia bayangkan selama ini. Anitha memutuskan tak ingin meratapi nasib terlalu jauh. Kembali dia menyeka air mata.
Dia mengeluarkan ponsel dan menilik satu persatu nomor siapa yang akan bisa dijadikan tempat tujuan sementara. Perhatian Anita terfokus pada sebuah nama teman wanita saat dia kuliah. Ajeng Rahayu.
Ajeng adalah kawan akrab Anitha saat di kampus. setelah tamat Ajeng langsung ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan yang ternama sebagai staf accounting. Kabar terakhir Ajeng belum menikah.
"Hello Jeng, apa kabar?"
"Hello An ... kabarku baik."
"Apa aku mengganggu waktu istirahatmu?" Karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Tidak juga kalau untukmu," jawab Ajeng santai.
"Terima kasih," jawab Anitha.
"Ada apa? Jika tidak penting, aku tahu pasti kamu tidak mau meneleponku jam segini," lanjutnya kemudian.
"Aku diusir setelah aku meminta cerai, aku tak sanggup lagi dengan semua perlakuan suamiku padaku. Aku tak ingin pulang menambah beban ibuku." Anitha bercerita secara ringkas pada sahabatnya.
"Jadi sekarang kamu di mana?" tanya Ajeng.
"Aku di halte bus, aku hanya punya uang satu juta. Aku tak tahu harus ke mana," kata Anitha terdengar bingung.
"Hmmm, sekarang coba mencari travel ke kota Pekanbaru saja yang terdekat. Lalu cari hotel menjelang pagi dengan cost sesuai uangmu. Besok pagi aku transfer uang tiket pesawat. Kamu mencari kerja di sini saja. Nanti aku bantu," kata Ajeng.
"Terima kasih Jeng, aku takkan lupa budi baikmu malam ini," ucap Anitha penuh syukur.
"Sudahlah, tak perlu berkata seperti itu. Kita bersahabat bukan hanya untuk senang-senang. Carilah travel, hari belum terlalu malam dan kirim nomor rekening malam ini juga. Pesanlah secara online penerbangan untuk besok pagi. Aku tunggu kamu di Jakarta."
"Ok," jawab singkat Anitha. Hanya itu yang bisa dijawab oleh Anitha.
"Ok, telfonnya aku tutup ya, besok pagi kabari aku. Nanti jangan lupa kirim nomor rekening kamu ya An." Terdengar suara Ajeng menegaskan kembali.
"Ya."
Anitha memesan taksi dan tak lama setelah taksi datang. Anitha beranjak dari halte bus. Taksi menembus jalanan kota yang terlihat mulai gelap karena tidak semua lampu kota menyala. Anitha meminta dicarikan travel ke kota Pekanbaru.
Kini Anitha sudah di travel. Mobil kembali membawa Anitha ke tujuan. Perjalanan yang cukup lama bisa membuat Anitha beristirahat di mobil melepas lelah fisiknya.
Saat ini Anitha sudah sampai di kota Pekanbaru. Mobil telah berhenti di sebuah hotel. Dia meminta antarkan pada supir travel. Setelah membayar ongkos, Anitha mengucapkan terima kasih dan turun. Lalu melangkahkan kaki menuju pintu hotel.
"Selamat malam Bu, ada yang bisa kami bantu?" Sapa lembut seseorang resepsionis menyambut kehadiran Anitha.
"Saya mau pesan kamar standar saja untuk satu malam ini, apa ada?" tanya Anitha penuh keletihan.
"Ada Bu. Langsung pesan atau mau survey kamar dulu Bu?"
"Langsung saja Dek, kalau nanti ada yang kurang memuaskan saya bisa katakan." Anitha lelah dan ingin cepat istirahat.
"Oh ya Dek saya bisa membayar menggunakan kartu debet?" Anitha bertanya karena dia tak memiliki kartu kredit.
"Bisa Bu."
Setelah itu Anitha menyerahkan kartu atm dan menuju kamar yang sudah diurus pembayarannya.
Di kamar, Anitha duduk di tepi ranjang kamar hotel dan mengambil handphone. Anitha melihat ada notif dari banking nya. Nominal yang tertulis cukup membuat Anitha terpana. Di layar ponsel tertera nominal 5 juta rupiah. Padahal tiket pesawat saja tidak semahal itu.
Anitha lalu mandi menyegarkan diri dan membawa badan beristirahat.
***/
Anitha bangun dan melakukan shalat subuh. Dia berkemas dan menuju lobi hotel. Dia meninggalkan lobi hotel dan mencari taksi menuju bandara Sultan Syarif Kasim.
Anita mencari tiket langsung di bandara saja. Kini tiket sudah di tangan dan sejam lagi dia akan check-in. Anitha mencari sarapan di lantai dasar bandara. Dia memesan segelas kopi krimer dan memakan sepotong roti tawar.
Anitha memandang jauh ke luar, seakan ingin menembus batas dunia. "Selamat tinggal uda. Selamat tinggal ibu. Maafkan anakmu yang pergi tanpa pamit. Aku akan menjemputmu ibu, dan memaksamu ketika aku sudah berhasil di sana. Akan aku tebus kesalahanku hari ini padamu," ucapnya berlinang air mata.
Anitha tak perduli jika orang melihat dengan aneh.
Anitha menghabiskan minum. Dia mulai melangkah menuju ruang tunggu. Pesawat akan berangkat membawa diri jauh dari ibu. Dari masa lalunya. Di pesawat Anitha hanya memejamkan mata tanpa dia tertidur.
***
Bandara Soekarno-Hatta
"Hello Jeng, aku sudah sampai di Jakarta."
"Kamu naik taksi saja ya, aku kirim alamat yang dituju." Ajeng tak bisa menjemput Anitha.
"Ya."
"Di rumah ada bibi. Istirahatlah dan anggap rumah sendiri."
"Makasih ...." Anitha kembali meneteskan air mata.
Setelah mendapatkan taksi, Anitha naik dan memberikan alamat yang akan dituju. "Pak saya minta tolong antar ke alamat ini," ucap Anitha memperlihatkan pesan Ajeng.
Supir taksi melihat sekilas ke arah Anitha lalu memperhatikan alamat yang tertera. "Baik Nona. Maaf, Nona pertama kali ya ke Jakarta?" Sang supir yang diperkirakan sudah seumuran mendiang ayahnya bertanya dengan sopan pada Anitha sambil mulai mengemudikan taksi.
"Iya benar Pak." Anitha tidak su'uzon dan menjawab jujur.
"Nona dari mana?"
"Padang Pak." Anitha menyebutkan kampungnya.
"Ohhh ... Maaf bapak bertanya bukan mau ikut campur urusan Nona. Hanya saja hati-hati di kota besar Non.
"Panggil Anitha saja Pak," Anitha merasa nyaman dan memberikan namanya.
"Baiklah Nak." Bapak tersebut merubah panggilan non menjadi nak kepada Anitha. Membuat hati Anitha semakin nyaman. Anitha teringat kepada kelembutan sosok ayahnya.
"Bapak asli sini?" tanya Anitha akhirnya ingin tahu.
"Bapak orang perantauan Nak, Bapak asli Solok."
"Asli Solok?" Anitha bertanya kembali memastikan.
"Iya, kenapa Nak?"
"Ayahku orang alahan panjang Pak." Anitha menjelaskan lebih detail.
"Bapak juga dari sana Nak. Bapak punya sahabat di sana dulu, sahabat dari SMA. Kami sangat dekat, hanya saja sejak kami tamat SMA, kami tidak pernah berjumpa lagi. Bapak merantau ke sini. Dulu bapak ada beberapa kali komunikasi dengannya. Sejak lima tahunan belakangan ini sama sekali tak ada lagi. Nomor ponselnya hilang karena bapak kehilangan ponsel."
Anitha hanya diam termenung, ucapan bapak supir tidak tahu harus berkomentar apa. Sampai indra pendengarannya menangkap satu kalimat. "Maaf kalau boleh bapak tahu siapa nama orang tuamu Nak, terutama nama ayahmu?"
Anitha mengikuti kata hatinya. Bapak yang ada di depannya bukanlah orang jahat. Dia menyebutkan nama orang tuanya, "Nama ayah Monsir, Pak, ibu saya bernama Asnari."
"Nama lengkapmu apa Anitha Putri. Kamu anak semata wayang bukan," ucap bapak tersebut tanpa keraguan.
Anitha tak bisa memungkiri dia terkejut. "Bapak mengenal ayah saya? Apakah teman yang bapak ceritakan tadi adalah ayah saya?" Anitha langsung merangkaikan semua jalan cerita tadi.
"Kamu pintar, persis yang ayahmu ceritakan pada bapak," ucap si bapak memuji Anitha.
Anitha tidak langsung besar kepala. Dia malah menyahuti dengan merendah. "Terima kasih Pak, saya hanya tidak bisa memikirkan pertanyaan lain. Jadi benar bapak teman ayah saya?"
"Iya Nak, ayah kamu tamat SMA XX bukan?"
"Iya Pak."
"Ayahmu, jika kami bertukar cerita selalu menceritakan kamu, dia katakan kamu anak yang cerdas dan berprestasi. Walau kamu anak tunggal tidak membuat kamu menjadi anak yang manja. Padahal ibumu sangat memanjakan."
"Ah ayah bisa saja ya Pak, padahal banyak anak yang lain jauh cerdas dari aku Pak," Anitha kembali merendah.
"Apa yang dikatakan ayahmu benar, setelah berjumpa langsung denganmu bapak bisa menilai kamu memang anak yang cerdas." Sahabat ayah Anitha kembali memuji dirinya.
"Duh Bapak ... bisa-bisa aku lupa diri," Anitha berucap dengan setengah bercanda.
"Jadi apa kabar ayahmu Nak, bisa bapak nanti meminta nomor kontaknya."
Anitha berusaha menenangkan hati. Sekelebat luka kembali melintas di pelupuk mata. Dia berusaha untuk tegar. "Ayah sudah duluan Pak, beberapa bulan yang lalu," katanya dengan suara sendu. Matanya langsung terlihat berkaca-kaca.
Tanpa sadar supir yang ternyata sahabat dekat ayah Anitha memelankan laju mobil untuk sesaat. Dia terkejut mendapat informasi dari anak sahabatnya ini. Tak butuh waktu lama, beliau menormalkan kecepatan mobil kembali sesuai rata-rata di jalan tol.
"Maaf Nak, bapak sungguh tidak menyangka. Sakit ayahmu Nak?"
"Iya Pak, ayah terkena diabetes dan komplikasi di hati. Ayah sempat dirawat di ruang ICU. Tapi saat ayah masuk rumah sakit semua normal Pak, hanya ayah sedikit sesak napas." Anitha menjelaskan keadaan saat ayahnya dipanggil Yang Maha Kuasa.
Mereka terdiam dengan jalan pikiran masing-masing. Jika sahabat ayah Anitha mengenang ayah Anitha. Anitha justru memikirkan suami yang masih dicintainya.
Masih menari-nari dengan jelas dalam bayangan Anitha saat dengan mudah suaminya mengusir. Seperti tak ada harga waktu tiga tahun rumah tangga yang dijalankan, belum lagi 2 tahun masa-masa pendekatan.
Anitha tak habis pikir apa yang terjadi sebenarnya, kenapa setelah tiga bulan menikah Sahrul menjadi pribadi yang berbeda. Anitha sudah berusaha bertanya di mana salah dia. Jika memang kesalahan ada di Anitha. Dia berjanji akan memperbaiki sikap yang tidak di sukai suaminya, tetapi Sahrul tak pernah bisa menjawab apa yang salah pada Anitha.
Anitha sudah menuruti sesuai yang diinginkan Sahrul. Tidak boleh berkarir cukup di rumah, mengerjakan apa yang harus dikerjakan oleh istri.
Anitha dulu tak pernah membantah apa yang diminta oleh suaminya. Walaupun badan terasa penat dia tak pernah mengeluh. Dia merasa suaminya tentu lebih lelah.
"Wajahmu mirip dengan ayahmu semasa SMA Nak." Ucapan sahabat lama ayah membuyarkan lamunan Anitha.
"Iya Pak, banyak yang bilang begitu jika mengenal ayah semasa mudanya."
Kini mereka sampai di alamat yang tertera, di rumah Ajeng. "Simpan nomor bapak ya Nak. Telepon bapak kapan kamu membutuhkan bapak. Jangan sungkan meminta bantuan pada bapak." Sahabat ayahnya seakan tahu Anitha sedang berada dalam masalah. Wajah sedih dan mata sembab Anitha merupakan petunjuk bagi orang tua itu yang sudah banyak makan asam-garam dunia.
Kesungguhan yang terasa sampai di relung hati Anitha membuatnya tak bisa menahan tangis. Beban yang dia rasa seakan berkurang dengan berjumpa sahabat ayahnya yang dia rasa menemukan kembali sosok ayah. Dia merasa seakan tidak sendiri lagi di kota besar ini.
"Iya Pak, aku akan menelpon Bapak. Terima kasih, sudah mengganggap aku seperti anak sendiri." Sambil terisak Anitha berucap dan menyalami serta mencium punggung tangan sahabat ayahnya dengan hormat.
"Sudah ... jangan menangis, bapak tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Sekarang yang penting kamu harus semangat dan bisa bangkit untuk tersenyum," katanya sambil mengusap kepala Anitha dengan sayang.
Anitha mengangguk dan turun dari taksi. Tak lupa dia melambaikan tangan kepada ayah angkatnya. Setidaknya itulah yang Anitha anggap untuk sahabat dekat ayahnya.
Dia kembali menolehkan kepala melihat ayah angkatnya yang mulai menjalankan taksi dan mulai perlahan menjauh dan hilang dari pandangan mata. Kembali air mata turun membasahi pipi putihnya. "Ayah ... aku berjumpa sahabat ayah. Sehingga aku merasa ada tempat untuk mengadu selain kepada Tuhan." Anitha berujar di dalam hati.
Dia mulai melangkah menuju rumah pintu Ajeng. Dia membuka pagar yang walau minimalis tetapi terkesan mewah.
***/
"Assalamu'alaikum ...." ucap Anitha sambil mengetuk pintu.
"Yaa ... Wa'alaikumussalam," jawab seorang wanita paruh baya dan keluar menyambut Anitha.
"Saya Anitha Bi ... apa benar ini rumah bu Ajeng Rahayu?" tanya Anitha setelah memperkenalkan diri.
"Ohhh ya benar Non, mari masuk, Non Ajeng sudah memberitahukan saya soal kedatangan Non Anitha. Mari saya antar dulu ke kamar Non." Anitha mengikuti sang bibi masuk. Ternyata rumah Ajeng besar juga untuk ukuran seorang lajang. Itulah pikiran Anitha saat ini.
Anitha diantar ke kamar, "Non ini kamarnya, Non istirahat dulu. Kalau Non mau makan sudah bibi sediakan di meja makan."
"Terima kasih Bi. Panggil Anitha saja Bi," Anitha berujar pada wanita separuh baya yang bernama Imas.
Anitha masuk ke kamar, Dia berbaring melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan dari Dumai-Pekanbaru, Pekanbaru-Jakarta.
Anitha berniat untuk mencari kerja di sini dan sukses untuk bangkit dari duka ini. Dia tak punya waktu untuk berlarut-larut dalam penderitaan yang tak berujung. Masih ada kebahagiaan ibunya yang harus dia perjuangkan.
Langkah awal dia memberanikan diri menelpon ibunya dan mengatakan semua masalah dan di mana dia sekarang.
Anitha pun menekan nomor ibu, tak lama," Hello Bu ... apa kabar?"
"Kabar ibu baik Nak, kamu juga apa kabar Nak Sudah seminggu ini tak ada menelpon ibu loh," Terdengar nada protes dari sang ibu.
"Ihh Ibu kenapa juga tak telepon saja kalau Ibu rindu. Aku bukan tak ingat Ibu, tapi aku sibuk Bu. Lalu taulah kalau Sahrul sudah pulang Bu, sibuk mengurus bayi besar itu," ucap Anitha bercanda walau dia menutupi sekuat hati rasa perih yang hadir.
Anitha memang sudah hampir seminggu tidak menelpon ibunya. Dia sibuk dengan masalah dan memikirkan keputusan yang akan diambil. Dia tidak lupa dengan ibunya, hanya saja dia tak ingin terbawa suasana dan bercerita pada ibunya sebelum menggambil keputusan. Anitha tak biasa menyusahkan ibunya.
Anitha ingin keputusan dari diri sendiri. Sehingga dia tak menyalahkan orang lain jika pilihan tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Itulah sifat Anitha, wanita yang memutuskan menjanda di usia 26 tahun.
"Maaf Bu. Ada yang inginku ceritakan dan bertanya pada Ibu ... apa Ibu sibuk?"
"Ada apa? cerita saja Nak dan masalah apa yang ingin kamu tanyakan pada ibu?" Suara ibunya lembut dan tenang.
Anitha terdiam dan menghela napas. Dia berpikir sejenak apa sudah benar langkahnya. Akan tetapi dia berprinsip lebih baik ibunya tahu dari dirinya dari pada nanti mendengar desas-desus yang justru bisa merusak hati ibunya.
Anitha akan membawa ibunya bercerita dari hati ke hati. Apapun resikonya dia sudah siap menanggung.
"Bu ... selama ini ada yang aku tutupi perihal rumah tanggaku. Aku bertahan karena tak ingin Ibu sedih, aku juga tak ingin Ibu berkecil hati pada suamiku." Anitha sengaja menyematkan kata suami untuk sementara ini.
"Masalah apa?" Terdengar suara ibunya kembali bertanya karena tak mendengar Anitha bersuara.
"Maaf Bu ... aku sempat melamun. Aku kini sudah tidak sanggup Bu. Dia mencaci aku perihal aku belum bisa memberi keturunan. Dia juga semakin selalu lanteangan pada diriku Bu." Anitha berusaha menormalkan suara, seolah tiada masalah apapun lagi pada hatinya. Dia tak ingin ibunya sedih jika dia bersedih.
Ibunya tahu anaknya hanya menutupi kesedihan hati. Namun mendengar suara Anitha yang berusaha tenang ibunya kembali bertanya dengan tak kalah tenang. "Jadi kamu ingin berpisah Nak?"
"Benar Bu ... aku sudah berusaha jadi istri seperti dia minta. Nyatanya tidak ada arti baginya diriku Bu." Dia memantapkan suaranya ketika menyetujui pertanyaan ibunya.
"Ibu serahkan kepadamu dan ibu percaya pada apapun keputusanmu sayang, jika kamu sudah berusaha semaksimal mungkin mempertahankan rumah tanggamu dan ternyata belum berhasil ... ya bagi ibu tidak apa kamu melepaskan dia. Karena kamu yang jalani Nak."
"Jadi Ibu apa tidak akan malu jika aku menyandang status janda Bu? Mana usia perkawinanku baru sebentar."
"Ibu tidak jadi masalah Nak, bukan kamu saja di kampung kita yang menjadi janda karena pisah hidup."
"Ibu tak akan menderita?"
"Ibu akan menderita jika kamu hidup menderita. Tapi jika tentang statusmu, ibu tidak akan menderita Nak. Pertama, warga di sini tahu dan mengenal baik siapa dirimu. Kedua, kita juga tidak dapat mengatur orang berbicara Nak. Baik pun kita kalau orang itu berpikir buruk maka kita tetap tidak baik di matanya."
"Ibu ... aku bersyukur dan berterima kasih kepada Allah aku memiliki ibu seperti dirimu, I Love U Bu," Anitha merasa hatinya menjadi tiada beban tersisa mendengar kata demi kata dari ibunya.
" I love u too sayang ibu," sahut ibunya.
Bagi Anitha satu masalah telah selesai. Kini masuk pada masalah kedua, dia pergi tanpa pamit pada ibunya.
"Ibu ...." Anitha kembali memanggil ibunya dengan sedikit ragu untuk mengatakan kalau dia sudah berpisah dan di Jakarta.
"Apa sayang ... kamu mau mengatakan sebenarnya kamu sudah berpisah?" Ibunya menebak langsung keraguan putri semata wayangnya.
"Hahahah ... Ibu kok tahu saja." Anitha hanya bisa tertawa mendengar tebakan dari ibunya. Tawa yang hampir tidak ada sejak malam perpisahan mereka.
"Kamu masih anak ibu? ... ibu tadi sudah feeling saat kamu bertanya apakah ibu menderita jika kamu menyandang status janda. Kamu masih Anitha yang dulu?" Suara ibunya terdengar bergurau.
Gurauan ibunya menambah kelegaan di hatinya. "Maksud ibu Anitha yang dulu bagaimana?" Anitha tahu maksud ibunya hanya saja dia berpura tak tahu.
"Anitha yang sudah menentukan pilihan baru memberi tahu kami orang tuamu." Terdengar tawa ibunya.
"Hahaha ... ahh Ibu bisa saja." Akhirnya Anitha sungguh bisa tertawa lepas. Dan tanpa dia tahu mendengar suara tawanya, ibunya di sana merasa sangat bersyukur anaknya tidak terpuruk.
"Jadi kamu di mana dan kapan pulang Nak?" Pertanyaan ini tidak membuatnya kaget lagi dan tidak membuatnya terbebani.
Merasa dia sudah bisa bersikap normal dan sudah yakin tidak akan membuat ibunya bersedih, Anitha memutuskan mengajak ibunya video call. "Ibuuu ... bagaimana kalau kita video call saja, aku sudah tidak takut melihat Ibu marah," kata Anitha bergurau.
"Ok sayang."
"Hello Bu ...."
"Jadi di mana kamu sekarang ha .... " Ibunya memasang wajah seakan marah yang berhasil membuat Anitha terpingkal-pingkal. Pasalnya Anitha tahu ibunya tak pernah marah dan bersuara benar-benar keras selama ini padanya.
Anitha yang sudah tidak di Dumai membuat wajah memelas pada ibunya seakan memohon pengampunan. "Maafkan aku Ibuuuu ... aku di Jakartaaaa." Anitha berteriak pura-pura histeris.
"Dasar kamu ya Nak, untung ibu tidak punya riwayat penyakit jantung dan sudah hapal perangaimu." Beliau tersenyum lembut melihat kelakuan anaknya. Dia selalu menyerahkan keputusan pada anaknya. Judulnya anaknya, namun dia tak pernah ikut campur keputusan anaknya.
"Ibu aku sungguh senang melihat Ibu tidak bersedih dan meratapi nasibku ini ...."
"Kalau mau sedih, ibu sedih Nak melihat nasib rumah tanggamu. Namun ibu akan sedih jika lihat wajah kamu sedih. Wajahmu wajah tak perlu dikasihan. Malas ibu sedih ... rugi ibu Nak." Sang ibu memasang wajah bersungut-sungut. Sukses sekali lagi membuat Anitha tertawa lepas.
Anitha hanya bercerita yang dianggapnya perlu saja. Mana cerita yang bisa membuat ibunya sedih, dia tutupi rapat-rapat.
"Doakan aku dapat kerja dan sukses ya Bu," pinta Anitha.
"Iya Nak. Kamu juga berdoa, shalat jangan tinggalkan dan usahakan selalu tepat waktu!" ucap Ibunya tegas.
"Iya Bu, aku istirahat dulu ya Bu, assalamu'alaikum.
***/
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!