@@
Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang mana dengan kuasa dan kehendak-Nya kita masih diberi nikmat sehat lahir dan batin.
Sekedar pengantar saja,
Cerita ini terilhami dari pertanyaan-pertanyaan sejarah sampai sains.
Seperti,
"Apakah kita (manusia) adalah satu-satunya makhluk cerdas berkebudayaan di bumi ini?"
"Benarkah manusia berasal dari kera?"
"Apakah raksasa itu pernah ada?"
"Apakah Hobbit/kurcaci/tuyul itu juga pernah ada?"
"Apakah perang Baratayudha itu hanya mitos? Atau benar pernah terjadi?"
"Benarkah dulu ada peradaban yang sudah maju namun punah?"
"Benarkah mahluk cerdas dari planet lain pernah berkunjung ke bumi?"
"Bahkan kita masih bertanya-tanya, benar gak sih alien itu ada?"
Cerita ini memang bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Tapi mari berbagi cerita dan berbagi pendapat sains dan sejarah.
Manusia adalah makhluk pencerita. Bahkan sejak kita bocah, ini boneka aku, itu boneka kamu. Aku jadi ibunya dan itu kamu jadi anaknya.
Jadi, jangan terlalu dianggap serius. Mari kita berbagi cerita,
@@
semoga cerita ini memberikan kesan tersendiri saat di rumah saja,
@@
Jangan lupa komentar, like & share-nya yah (^-^)
@@

1
Seorang Raja berjalan tertatih menuju sebuah ruangan gelap.
"Plarr! Plarr!!" derap kakinya menggema di sepak lorong batu yang gelap. Memecah sunyi.
Hanya ia yang tahu ruang itu. Ruang berdinding batu yang tebal. Lantai batu yang dingin. Hitam, Kusam dan kotor. Seperti sebuah tempat yang lama tidak ditempati atau dikunjungi.
Di luar, di atas arena susunan batu yang luasnya 10 kali Borobudur dan tingginya seratus meter, awan hitam menggulung-gulung seperti air comberan yang di aduk-aduk dengan kasar. Petir dan Guntur menggenapi kesuraman hari.
Seseorang Berlari melewati lorong gelap yang tadi di lewati sang Raja dengan teriak kebencian yang menggema.
Di atas, di lingkungan arena gladiator Orang-orang sibuk menyelamatkan diri, seperti kerusuhan penonton sepakbola atau keseruan segera berubah menjadi bencana alam.
***
13.000 TAHUN KEMUDIAN
***
2
***
Seorang Gadis bernama Della membuka slot kunci jendela kamarnya yang langsung menghadap ke halaman depan. Hari masih subuh dan orangtuanya masih terlelap. Perlahan sekali ia buka slot jendela itu, bahkan bunyi 'klik' pun tidak ingin ia dengar. Di luar, Jordy dan dua teman lainnya sudah menunggu dengan cemas di atas Jeep.
Kaki Della yang sudah mengenakan celana jeans dan sepatu gunung pun nongol. Tidak lama kemudian dengan sangat hati-hati seluruh tubuhnya keluar dari jendela. Della menghela napas. Tapi begitu ia menjauh dari jendela ia tertarik ke belakang, hampir terjatuh.
"Aduh!"
Rupanya ada tali di tasnya yang tersangkut slot jendela. Buru-buru ia buka dan berlari. Teman-temannya menyambut dengan lega dan senyap.
"Yes!"
***
3
***
Seorang mahasiswa semester akhir melakukan pendakian sendiri. Sepatu boot-nya menapak pasti di hutan becek yang penuh akar dan bebatuan. Licin dan penuh dedaunan yang sudah lapuk. Satu dua serangga kecil menghindari langkahnya.
"Ibu sudah putuskan, semua aset Ayahmu ini ibu lelang. Toh demi kamu juga." ucapan ibunya itu terngiang terus di telinganya. Kekecewaan dihatinya begitu besar. Sampai-sampai ia berpikir, kenapa dua manusia bisa bersatu dengan latar belakang yang sangat berbeda dan menghasilkan dirinya. Ia terus melangkah. Ia lebih akrab dengan binatang liar di dalam hutan, daripada manusia-manusia liar di kota sana.
***
4
***
Sebuah helikopter terbang rendah, menyemarakkan dedaunan yang dilewatinya. Hutan hujan tropis yang lebat pun terusik hempasan angin helikopter. Di dalam helikopter itu, Don Lee berpakaian seperti seorang Tentara lengkap dengan peralatan berburu dan berkemah. Ia hanya berdua dengan seorang pilot.
***
5
***
Seorang perempuan bertubuh semampai sedang merawat bunga di tepi sungai. Sungai yang jernih dan tenang dengan air seperti lelehan kaca. Berkilauan. Perempuan itu mengenakan pakaian cemerlang seperti seorang putri, plus mahkota putih bertahtakan batu-batu mulia berwarna-warni. Kupu-kupu beterbangan, bunga-bunga bermekaran. Indah.
***
***
"Della? Della bangun Della! Udah siang ini!" teriak ibunya Della sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar anaknya itu. Tapi Della tak kunjung menjawab. Sang Ibu pun habis kesabaran dan memutar daun pintu. Terkunci.
"Della!!! Bangun Della!!!" teriak sang Ibu dengan kekesalan yang memuncak.
"Sabar Bu, cepat tua nanti. Nih," ucap ayahnya Della sambil mengacungkan kunci cadangan pintu kamar Della.
GLEKK!
Pintu pun terbuka. Alangkah kagetnya kedua orangtua itu mendapati anak gadisnya tidak ada di kamar. Selimut acak-acakan dan bantal-bantal bergeletakan tak beraturan. Keduanya saling pandang heran. Sebuah jendela di kamar itu tampak menganga.
***
Della sudah on the way, ia duduk di bangku belakang mobil Jeep yang dikendarai Jordy. Di samping Della ada Tessa. Tessa pacarnya Jordy, Ilham duduk di depan, di samping Jordy. Jadi ini seperti Dobel date.
"Anak kita baru kelas 2 SMA Pah!!! Kok bisa-bisanya dia kabur dari rumah??"
"Bukan kabur, kan Ibu sendiri bilang kalo kemarin dia minta izin ikut kemping sama temen-temennya?"
"Bukan kemping! Tapi mendaki Pah, mendaki! Hik," ucap ibunya Della di teruskan dengan tangis terisak.
"Anak kita perempuan Pah! Bapak ini bagaimana sih, gak ada khawatir-khawatirnya," ucap ibunya Della kemudian sambil berjingkat dari hadapan suaminya itu.
***
"Gue jamin, kalian pasti betah, tempatnya Instagrammable cuy! Mantap," tukas Jordy.
"Awas aja kalo tempatnya jelek dan bikin bete," celetuk Tessa santai sambil membetulkan posisi kacamata hitamnya.
"Tempat ini baru dibuka. Jadi masih benar-benar asli. Cuma ya gitu, seperti gue bilang, tempatnya agak jauh. Kalian sudah siap kan?"
"Oke! Aku siap!!!" jawab Della setengah loncat membuat Tessa terganggu. Ilham hanya menyunggingkan senyum. Seperti senyuman binatang liar yang senang karena segera masuk ke dalam hutan dengan membawa mangsa hasil buruan. Hutan liar, khayalan yang juga liar.
***
Bondan kedatangan ibunya. Pagi yang lemah dengan embun yang masih betah di kedung daun dan cuaca mendung. Sejak ibunya itu bekerja di luar kota, Bondan tinggal berdua dengan ayahnya di museum itu. Dan, sejak sebulan lalu ayahnya dikabarkan hilang di luar negeri, Bondan tinggal sendiri di museum itu.
"Kamu udah sarapan?" ucap sang Ibu sambil melangkah masuk begitu Bondan membukakan pintu. Ibunya selalu berpakaian necis seperti konglomerat yang melihat-lihat galeri seni.
"Udah," jawab Bondan singkat. Hubungan keduanya renggang sejak sang Ibu memilih bekerja dan tinggal di luar kota.
"Ibu sudah putuskan, semua aset Ayahmu ini ibu lelang, toh demi kamu juga." ucapan ibunya. Bondan mengerti. Ibunya itu menawarkan museum itu kesana-kemari dan kini?
"Maaf Bu, Bondan kan udah bilang, Bondan tidak bisa putuskan, kita tunggu Ayah," ucap Bondan sopan.
"Bondan, ayahmu sudah dinyatakan hilang lebih dari sebulan yang lalu
Ini demi biaya kuliah kamu juga."
"Museum ini lebih dari sekedar uang Bu," akhirnya Bondan bangkit. Hidung Bondan mendengus menahan amarah. Bagaimanapun itu ibunya. Hampir ia membentak ibunya. Bondan pikir, ibunya itu sudah keterlaluan. Alih-alih mencari suami yang hilang, ibunya itu malah nekad menjual museum itu.
"Iya Ibu ngerti. Ini tentang sejarah, ini tentang ilmu pengetahuan. Tapi apakah dengan sejarah dan ilmu pengetahuan semua tagihan kita lunas? Begitu??" ketus ibunya Bondan. Bondan sangat kecewa dan tidak tahu dengan cara apalagi mempertahankan museum itu. Bondan beranjak pergi.
"Bondan! Ibu belum selesai bicara. Bondan??"
***
Della cs sudah sampai pos pertama pendakian. Jordy menitipkan mobil dan menurunkan semua perlengkapan dibantu Ilham. Tanpa sengaja Ilham melihat sepatu Tessa. Subuh tadi mereka tidak sempat memperhatikan sepatu masing-masing. Tessa mengenakan sepatu hak tinggi warna merah.
"Tes, gak salah lu pake sepatu?" tanya Ilham sambil menatapi Tessa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tessa mengenakan sepatu boot warna merah, rok mini warna hitam mengkilap dan jaket ketat warna merah.
"Apa sih?" Tessa merasa risih dengan tatapan aneh Ilham.
"Lu mau pesyen show?" tukas Ilham dengan tatapan kecewa.
"Aduh say, kan udah dikasih tau. Pake sepatu gunung?" timpal Jordy.
"Gue gak punya. Ya ini, sepatu gue kayak gini semua."
"Ya udah, yang penting kamu nyaman oke? urusan terpeleset? Tenang, kan ada abang Jordy. Ya kan? Hehehe!" ucap Jordy sambil menggerak-gerakkan alis tebalnya. Jordy keturunan Arab kalo sudah dewasa pasti brewokan.
"Ya udah ayo!" sela Della. Della tampak sudah tidak sabar untuk segera mendaki.
Tepat di hadapan mereka, sebuah bukit besar dan tinggi menjulang siap mereka hadapi. Bukit yang hijau dan kelabu. Hijau penuh dengan pohon-pohon besar dan akar-akar berlilitan. Kelabu, karena puncaknya selalu dilindungi kabut dan halimun sepanjang tahun.
Wiwik akhirnya putuskan untuk menemui Bondan. Entah apa yang ada dalam pikiran Wiwik sehingga membawanya ke rumah Bondan. Mungkin ia kira, Fani yang hilang ada di rumah Bondan.
Ternyata rumah Bondan yang juga sebuah museum itu kosong melompong tak berpenghuni. Wiwik kembali memutar otak, "kemana Bondan? kemana Fani?? ada apa ini???"
Seolah tak percaya, Wiwik terus saja celingukan ke balik kaca pintu depan museum itu. Tidak ada siapapun. Akhirnya Wiwik menyerah dan hendak berbalik untuk pergi. Tapi begitu ia berbalik dan hendak melangkah, seorang Don Lee mengagetkannya.
Wiwik tidak mendengar derap langkah Don Lee. Tiba-tiba Don Lee ada di belakangnya.
"Astaga! Maaf. Permisi," ucap Wiwik lantas bergegas pergi melewati Don Lee.
"Maaf? Ada perlu apa Saudari ke museum ini? Apa Saudari pacarnya Bondan??" sergah Don Lee dengan langkah mengejar. Wiwik pun berhenti, Bagaimana pun, sepertinya Don Lee adalah orang penting. Kemeja licin dan topi kodok, jelas menyatakan Don Lee bukan orang sembarangan.
"Mmm, saya hanya temannya, teman lama," jawab Wiwik apa adanya, "Permisi," ramah Wiwik sambil kembali berbalik dan melanjutkan kepergiannya.
Don Lee tampak Kesal dan sesekali menatap Wiwik yang mulai menjauh. Menatap tajam dengan penuh kecurigaan.
Dari kejauhan, Jerry muncul dan begitu mendapati Sosok Don Lee yang asing bagi dirinya. Jerry pun menghentikan langkah dan bersembunyi di balik tiang lampu jalanan. Ia jadi berpikir, "Apakah dia yang diceritakan Bondan tempo hari itu?"
Tampak di mata Jerry, kini pria gempal berwajah oriental itu mengikuti Wiwik secara diam-diam. Insting Jerry menangkap ada sesuatu yang tidak beres dengan pria itu. Jerry pun mengendap-endap mengikuti pria itu. Jerry jadi berpikir, "Pria itu mungkin akan menyakiti Perempuan itu."
Wiwik mulai menjalankan kendaraannya. Sebuah city car berwarna merah muda. Begitu pula dengan si Pria Oriental yang namanya hampir Jerry ingat lewat kartu nama yang di screenshot oleh Bondan itu.
Jerry menghentikan taksi dan mengikuti kedua orang asing itu.
***
Bondan bangun kesiangan di dalam tenda kecil. Bondan sudah sehari semalam di dalam hutan. Sekarang hari kedua, ia harus segera sarapan dan melanjutkan perjalanan. Ia pun membuka sepotong biskuit yang padat sekali. Bentuknya kotak seperti potongan kayu, sehingga untuk menggigitnya ia perlu tenaga ekstra. Biskuit khusus keadaan darurat atau perbekalan tentara itu pun selesai ia santap. Selesai menggulung tenda ia pun kembali beranjak pergi dengan petunjuk kompas. Bondan tampak sudah terbiasa melipat tenda, membaca kompas dan melihat peta.
Mendadak ia ingat saat pertama kali masuk hutan bersama Ayahnya. Waktu itu ia masih SMP.
"Jika kau berjalan di dalam hutan tanpa sesekali melihat kompas. Maka kau akan berjalan memutar," ucap ayahnya Bondan.
"Itu sama saja dengan kau berjalan dengan mata tertutup. langkahmu akan membentuk lingkaran. Meski kau pikir, kau berjalan lurus."
Bondan pernah membuktikan ucapan ayahnya itu. Ia buat garis lurus di atas padang rumput sepanjang 100m dan ia mulai berjalan dengan mata tertutup searah garis lurus itu.
Alhasil, sampai di ujung, ternyata benar, jalur langkahnya melenceng beberapa meter dari garis lurus itu.
***
Jerry kehilangan Don Lee gara-gara kemacetan di tikungan dan jalur bercabang.
"Maaf De, kita sepertinya salah arah," tukas supir taksi itu.
"Ya sudah! Menepi Bang, menepi," pinta Jerry.
Taksi pun menepi dan Jerry tampak seperti orang linglung di pinggir jalan raya yang ramai.
Tanpa sepengetahuan Jerry, Kini Don Lee memperhatikan Jerry dari balik kemudi mobilnya yang terparkir agak jauh di belakang.
"Sial, mereka ke arah mana yah? Mana ongkos taksi mahal banget lagi, tekor gua nih," keluh Jerry. Dari arah belakang, Don Lee melajukan kendaraannya dengan pelan dan begitu tepat di samping Jerry, jendela terbuka dan Don Lee menodongkan pistol ke pinggang Jerry.
"Hey! Diam. Jangan coba coba melawan, ayo masuk! Cepat!!!" tukas Don Lee. Sontak Jerry kaget dan tak berkutik. Ia tidak hendak mencoba melarikan diri. Ia tahu diri, berapa kecepatannya berlari dan berapa kecepatan peluru itu. Jerry pun angkat tangan. Don Lee bergeser dan menyuruh Jerry memegang kemudi.
"Ayo jalan." Jerry tak punya pilihan. Ia merasa, hari ini akan menjadi hari ter-sial sepanjang hidupnya.
"Apa wanita tadi pacarnya Bondan?" tanya Don Lee pada Jerry yang berkeringat dingin.
"Wanita mana?"
"Wanita tadi yang saya ikuti," lanjut Don Lee.
"Maaf, maaf wanita itu siapa? Bondan itu siapa?" Jerry malah berbalik tanya sambil menampilkan wajah blo'on.
"Lalu kenapa kamu mengikuti saya!" tanya Don Lee hampir berteriak sambil kembali menempelkan pistol di kepala Jerry.
"Saya hanya mengira, kalian dalam masalah dan? dan??"
"Dan apa!"
"Dan saya suka wanita itu, sayang banget kalo sampai dia kenapa-napa kan," jawab Jerry.
Jadi kamu juga hendak ke museum itu? Mau apa?" desak Don Lee.
"Saya? Saya hanya mau melihat-lihat."
"Masuk jalan sebelah kiri. Apa kamu intel?"
"Saya? Saya mahasiswa," jawab Jerry sambil belok ke sebelah kiri.
"Berarti kamu kenal Bondan pemilik museum itu!"
"Oke! Oke! Saya kenal dia. Cuma sebatas kenal aja, kami satu kampus, gak lebih."
"Berarti kamu kenal dia lebih jauh," tuduh Don Lee dengan suara menyakinkan. Jerry gelagapan dan tak bisa mengelak lagi.
"Sekarang menepi," titah Don Lee. Jerry tidak bisa menolak dan dilihatnya sekeliling suasana begitu sepi. Hanya deretan perumahan BTN yang kosong.
"Turun!"
"Saya mohon, jangan bunuh saya, saya sudah mengatakan yang sebenarnya?" ratap Jerry. Jerry hampir menangis. Keduanya sudah turun dan berdiri di samping mobil Don Lee itu.
"Kemana Bondan pergi?"
"Saya tidak tahu!" Mendengar jawaban yang menurut Don Lee adalah kebohongan, kembali Don Lee mengangkat pistolnya.
"Oke! Oke! Ia pergi mendaki. Sendirian. Saya lupa, ke gunung apa dia mendaki. Dia hanya menyebutkannya satu kali," kali ini Jerry berkata jujur.
Di belakang Jerry, tidak jauh di sebuah persimpangan jalan, seorang ibu-ibu yang mengendarai skutik menjerit begitu melihat Jerry yang tak berkutik dalam todongan pistol. Seketika ibu-ibu itu berbalik sambil berteriak minta tolong.
"Tolong-tolong! ada perampokan!"
"Mana handphone kamu? Sini cepat!" paksa Don Lee. Jerry pun menyerahkan handphonenya. Setelah itu Don Lee segera naik mobil dan melesat pergi. Jerry berhak bernapas lega. Bersyukur emak-emak itu melihatnya di saat yang tepat.
"Mana?! Dimana?" sambut tiga tukang ojek pangkalan menanggapi teriakan ibu-ibu itu.
"Di sana! di blok D. Ayo cepat!" Para tukang ojek itu pun segera bergegas dan ibu-ibu itu menghampiri kerumunan yang lain.
Jerry yang masih belum percaya atas kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu, kini hanya berdiri dengan lutut yang masih terasa lemas dan dada yang masih menyimpan was-was. Ia tak tahu kini keberadaannya dimana. Tiba-tiba ia didatangi 3 tukang ojek, lalu menyusul 4 bapak-bapak, satu orang satpam dan ibu ibu tadi.
"Kamu tidak kenapa-napa?"
"Dia lari ke arah mana?"
"Terima kasih Pak, jangan di kejar. Dia punya pistol. Saya memasang GPS di mobil itu. Biar nanti saya lapor polisi," bohong Jerry. Pasti orang-orang itu mengira itu mobilnya dan Don Lee membawa kabur mobil itu. Bukan berarti ia melindungi Don Lee. Tapi ia takut bapak-bapak ini ada yang kena tembak. Melihat wajah dan perangai Don Lee, Jerry yakin, Don Lee tipe orang yang tidak segan-segan menghabisi nyawa orang.
***
***
Jordy cs kini sudah sampai pos kedua. Seorang penjaga hutan mulai memberikan pengarahan kepada mereka.
"Ini sebenarnya adalah sebuah bukit, bukan gunung. Bukit ini populer karena seorang penjelajah menemukan sebuah batu. Menhir dan semacamnya. Usia batu-batu yang diduga kuat dibelah atau diukir manusia belasan ribu tahun lalu. Disini," ucap penjaga hutan itu sambil menunjuk sebuah titik pada selembar peta. Jordy dan yang lain pun turut memperhatikan peta itu.
"Kita sekarang disini, tujuan kalian ini dan hanya di sekitaran sini kalian boleh mendirikan tenda. Jangan naik lagi ke atas. Kami belum mendapat jalur yang nyaman buat dilalui. Kalian mengerti?"
"Iya. Kami mengerti Pak," jawab Jordy sambil manggut-manggut.
"Dan satu lagi ade-ade semua, ada yang bawa peluit? Atau tanda bahaya yang lain??" Jordy mengerti dan dia lupa itu.
"Maaf Pak, ketinggalan. Kami paham itu untuk memanggil bantuan atau petunjuk bilamana kami tersesat dan sebagainya."
"Nah maaf, kami tidak mau ambil resiko. Maksud saya, demi keselamatan kalian juga. Kami tidak mengijinkan siapa pun menaiki bukit ini tanpa perlengkapan keadaan bahaya."
"Waduh, gimana ini?" bisik Ilham pada Jordy.
"Tapi tenang, kami disini menyediakan, dengan harga yang murah tentu. Sebentar," ucap si bapak penjaga hutan itu. Ia pun memanggil temannya dan kembali dengan peluit, radio HT spesifikasi militer, mercon roket, power bank tenaga matahari dan sebagainya. Jordy dan teman-temannya segera merogoh saku dan membeli semua itu.
Jordy cs pun segera berlalu setelah mengemasi barang-barang tambahannya.
Setelah Jordy cs beranjak jauh, seorang teman penjaga hutan itu berkata,
"Dra! Bukankah sekarang sudah masuk musim hujan dan pendakian ditutup dulu?"
"Halah, tenang aja. Percaya sama gue. Dan yang penting, dagangan kita laku. Oh iya, besok sore kita periksa mereka. Takut kenapa-napa. Sepertinya mereka masih usia SMA."

Satu hal yang Bondan yakini, ia harus sampai lebih dulu dibanding Mr. Lee. Ia yakin, Mr. Lee pasti ke sini dan punya maksud tidak baik. Dia sudah tahu koordinatnya. Bondan terus melangkah sambil mengibaskan parang, menebas dan menyeruak belukar diantara pohon-pohon besar. Jalan yang ia lalui mulai menanjak. Bondan membuat jalur sendiri, jalur terdekat. Bukan jalur resmi seperti yang Jordy cs lalui. Begitupula Jordy dan yang lainnya, jalur pendakian yang mereka lalui kian menanjak.
Masih jauh gak sih," ucap Tessa sambil meringis menahan perih di jari kakinya yang lecet.
"Tenang Beb, bentar lagi juga nyampe," senyum Jordy, "sini biar Abang bawa ransel kamu."
"Dari tadi kek! Nih!" Akhirnya Tessa bisa bernapas lega, beban di pundaknya hilang.
"Itu! Kita sudah sampai!" tukas Della sambil menunjuk sebidang tanah berumput dekat air terjun. Della yang memang melangkah paling depan langsung berlari riang diikuti Ilham. Sementara Tessa terduduk lesu di sebongkah batu hitam ditemani Jordy.
"Asik! Kita bikin tenda di sini! Atau di situ!" tunjuk Della. Lalu perhatiannya tertuju ke air terjun Ia pun menjatuhkan ransel dan menghampiri air terjun yang tingginya sekitar 50 meter itu. Arusnya lumayan deras di antara bebatuan besar.
"Hei!, Della! Hati-hati!! Awas kepeleset!!!" tukas Ilham sambil mengejar Della. Della yang sekejap mata sudah jauh. Della begitu lincah seperti kelinci yang meloncat dengan riang. Della tidak memperdulikan Ilham, ia asik melewati dan menapaki bebatuan yang satu ke batu yang lain. Sampai akhirnya ia sampai ke tepi sungai. Airnya bening. Della menyentuh air itu dan wow.
" Dingin banget, kayaknya seger nih kalo mandi."
"Hah! Iya nih, gue juga pengen mandi," ucap Ilham begitu ia sampai dan duduk di samping Della, di atas Batu besar.
"Maksud lo?? kita mandi bareng gitu??? gak usah yah!" ketus Della. Tapi bagi Ilham, Della tetap imut, dan itulah yang Ilham suka dari Della. Della lincah bermata jelita, wajahnya imut, tubuhnya mungil dan bibirnya mungil.
"Say! Kamu menjauh dulu deh. Beneran aku pengen mandi," rengek Della.
"Tapi nanti siapa yang jagain kamu? Gimana kalo kamu terpeleset? Atau? Atau terbawa arus," ujar Ilham dan argumennya masuk akal.
"Ih! Tapi aku gerah banget tau!" ucap Della sambil menggeliat manja. Kalo sudah begitu, Ilham selalu tidak tega dan segera mencari alternatif lain supaya Della tidak mandi sendiri.
"Bentar-bentar, kita pastiin dulu, jangan-jangan sungai ini dalem," ucap Ilham sambil membuka jaket dan menggulung celana.
Ilham pun turun dan memeriksa sungai itu. Tidak dalam. Air sungai itu rata-rata setinggi lutut Ilham dan tidak ada batu-batu tajam. Pasti air telah mengikis semua batu di bawah sungai itu menjadi tumpul dan kebanyakan bulat dan halus.
"Tuh kan, gak dalem kan?"
"Iya iya! Bentar aku panggil Tessa dulu, biar kamu ada yang nemenin. Sekalian ambil handuk kamu."
"Makasih sayang. Ih! baik deh kamu," senyum Della sambil mendelik manja.
Jordy dan Tessa pun sampai ke sebidang tanah berumput lembut diantara batu batu besar yang tak beraturan menonjol dari dalam tanah itu. Jordy perhatikan sekeliling, ada yang aneh. Batu batu itu tidak semuanya bulat dan tidak beraturan. Ada juga yang ceper. Bahkan, ada yang bentuknya seperti balok dan panjang sekali.
"Jadi ini yang di sebut batu-batu megalitikum. Luar biasa. Mahluk macam apa di jaman dulu dan dengan alat seperti apa mereka memotong batu-batu ini.
"Wow! Luas juga yah? Baru kali ini aku ke tempat seperti ini. Pemandangannya oke juga," ucap Tessa sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Air terjun yang tinggi, lereng-lereng yang curam dan pohon-pohon besar yang menyelimuti bukit.
Ilham sampai ke tempat Jordy dan Tessa yang lagi duduk menghela lelah di atas sebuah batu besar yang datar.
"Tes, lu temenin Della mandi gih."
"Apa? mandi?? mandi di sungai maksud lo??"
"Iya, jangan sampai dia mandi sendiri, takut kenapa-napa," lanjut Ilham.
"Hih! Emang gak ada buayanya? atau ular apa gitu," ujar Tessa sambil merinding sendiri.
"Hus! jangan nakut-nakutin dong, tuh lihat! Bekas tenda di sekeliling lo. Tempat ini udah dibuka untuk umum. Ya berarti sudah terbukti aman," ucapan Ilham yang satu ini ada benarnya juga.
"Kalo pun lu belum mau mandi, temenin dia kek, daripada Ayang gue mandi sendiri."
"Iya iya bawel!" ujar Tessa sambil beranjak.
"Ham! Sini!!" panggil Jordy. Tessa sudah jauh dan hampir sampai pada Della yang sedang asik bermain air.
"Lo merasa aneh gak? Ini kan libur panjang, kenapa cuma kita yang kemping di sini? Padahal kata temen gua, di sini biasanya banyak anak-anak yang kemping."
"Mungkin belum pada datang aja kali atau belum banyak yang tau. Kan lo sendiri yang bilang, tempat ini belum genap setahun dibuka untuk umum," jawab Ilham.
"Iya juga sih," ucap Jordy sambil manggut-manggut, "Tapi ada bagusnya juga sih, kita jadi bisa(?) ehm ehm! Lo paham kan?" goda Jordy sambil menggerak-gerakkan alis tebalnya.
"Hehehe! Sekarang cewek-cewek kita lagi mandi. Mata gue udah gatel."
"Hahaha!"
"Tapi sabar Bos, kita lihat dulu sikonnya. Kita cari posisi yang aman, yang nyaman dan engle-nya dapet."
"Hahaha! Bisa aja Luh!"
***
"Tes, lu gak mandi?" tanya Della sambil menyerahkan baju pada Tessa.
"Takut gue," jawab Tessa singkat. Della melorotkan celana da**mnya.
"Lo mandi telanj**g bulet!"
"Emang kenapa?" kata Della dengan wajah polos.
"Nih," lanjut Della sambil mengacungkan pakaian dalamnya pada Tessa. Mau tidak mau Tessa menerimanya. Della seperti anak kecil yang belum punya rasa malu tanpa pakaian. Della pun mulai menceburkan diri.
"Wuih! seger banget Tes! Ayo turun, temenin gue. Nih! Gak dalem kok. Airnya juga bersih banget tau," goda Della.
"Entar aja lah, ngeri gue. Seumur-umur gue belum pernah mandi di alam terbuka."
***
Sementara itu, di tempat lain. Bondan kembali membuka peta dan mengamatinya. Ia merasa yakin, ia sudah dekat tujuan. Sekitar beberapa kilometer lagi. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan. Pohon-pohon yang ia lewati makin banyak dan besarnya rata-rata dua pelukan manusia dewasa.
***
Della mulai kedinginan dan merasa cukup.
"Sorry Tes! ambilin handuk gue dong, daripada nanti si Ilham keburu ke sini nganterin handuk."
"Ya udah bentar. Nih!, Baju lo di sini yah. Gak bakalan jatuh," jawab Tessa sambil menaruh pakaian Della di atas batu dan lalu ia pun pergi menjauh. Della ditinggal sendiri dan celingukan sendiri.
air yang gemericik, angin yang bertiup tambah kencang membuat Della merinding.
"Cepetan Tessa!!"
Tessa sampai ke atas batu dimana ransel Della dan ransel Ilham tergeletak. Jordy dan Ilham tidak ada.
"Kemana mereka?" gumam Tessa sambil mengedarkan pandangan. Pohon-pohon besar yang berjejer tak beraturan, batu-batu hitam besar bergelimpangan. Sepi yang mendasar sampai ke hati. Hanya terdengar teriakan Della di kejauhan.
"Cepetan Tessa!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!