Seorang pria dengan kaos berwarna biru laut sedang duduk dan sorot matanya sangat tajam. Terlihat sekali bahwa dia sedang memperhatikan sesuatu. Kopi yang dihidangkan pelayan beberapa menit yang lalu tampak belum ditengguk sama sekali.
Mata coklat gelap itu tampak sesekali berkedip namun tetap mengarah ke arah yang sama. Seorang gadis berambut panjang hitam yang sedari tadi tidak menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian seseorang tampak sesekali tertawa dan berceloteh bersama dengan teman-temannya.
Saat itu, kedai kopi terasa lebih lengang dari hari biasa. Suasana yang tenang dan tidak berisik membuat kedai itu menjadi primadona bagi orang-orang yang ingin minum dengan suasana santai. Tanpa asap rokok dan polusi lainnya.
Banyaknya tumbuhan didalam kedai itu menjadi daya tarik sendiri. Namun sayang di hari itu segerombolan laki-laki berbaju oranye berlarian memasuki kedai kopi itu. Suasana menjadi tak terkendali saat enam lelaki menodongkan senjata yang dipegangnya pada orang-orang di dalam kedai itu.
Diluar kedai polisi sudah berkumpul mengerumun dan siap siaga bila harus menyerang ke enam lelaki itu. Salah satu dari ke enam laki-laki berpakaian oranye nampak mengacungkan senjatanya ke langit-langit kedai.
Sebuah mata colat tua terus mengawasi gerak-gerik enam penjahat itu. Tiba-tiba bunyi tembakan beberapa kali meletus dan suara teriakan terdengar sangat jelas. Polisi memburu masuk dan langsung meringkuk enam orang itu .
Seorang gadis tampak tengah dipeluk oleh seorang laki-laki. Gadis itu menengadahkan kepalanya untuk memastikan bahwa laki-laki yang tidak dikenalnya yang kini sedang memeluknya baik-baik saja. Tapi ternyata gadis itu salah besar.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya pria itu sembari kedua tangannya memegang wajah gadis di hadapannya yang tampak terkejut dengan tindakannya tadi.
Tidak ada suara yang bisa gadis itu keluarkan saat melihat kedua tangannya dipenuhi darah segar. Dan laki-laki yang masih memeluknya tiba-tiba jatuh di pangkuannya.
“Permisi, apakah anda keluarga dari pasien yang bernama Sanders Kal? Jika anda keluarganya, anda harus sesegera mungkin menandatangani prosedur operasi.”
Suara seorang perawat membangunkan lamunannya. Gelengan kepala yang hanya bisa ia lakukan saat itu. Ia masih sulit mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dan siapa laki-laki yang bernama Sanders Kal itu?
“Lalu apa anda bisa membantu untuk menghubungi kerabatnya?” tanya wanita itu lagi yang juga tampak mulai kebingungan.
“Saya kerabat dekatnya," suara pria yang barusan tiba membuat si perawat menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan sebelum operasi, salah satunya menandatangani beberapa surat persetujuan.
Kedua orang itu berlalu meninggalkan gadis itu. Sangat terlihat jelas noda darah menempel dibajunya. Ia masih asyik duduk dan melamun disitu sampai beberapa menit seorang pria jangkung dan sedikit beruban memnghampirinya.
“Permisi, boleh saya duduk disini dan mengobrol dengan anda?” tanya pria jangkung itu.
“Ah.. Ia boleh."
“Perkenalkan, saya sekretaris Tuan muda Kal. James. Apa anda mengenal Tuan muda saya?” tanya pria jangkung itu lagi dengan wajah yang fokus tertuju pada gadis dihadapannya.
“Sa-saya sama sekali tidak mengenalnya.”
“Lalu bagaimana bisa Tuan muda saya menghadang peluru untuk orang yang tidak dikenalnya begitu saja?”
“Saya baru bertemu dengan Tuan muda anda siang tadi. Saya kaget sewaktu dia tiba-tiba datang dan memeluk saya dan tak lama dari itu saya mendengar suara tembakan beberapa kali. Dia bahkan masih sempat bertanya pada saya apakah saya baik-baik saja. Tapi saya sama sekali tidak mengenalnya.”
“Oooh begitu.... Saya sedikit terkejut saat mendapat telepon dari kepolisian bahwa Tuan muda saya tertembak karena berusaha melindungi anda. Ini hal yang sangat langka," ucap pria itu.
Si gadis yang diajaknya berbicara menundukan kepala dan menangis. Terlihat jelas bulir air mata yang jatuh ke lantai dilorong rumah sakit itu.
Pria paruh baya itu hanya diam dan sesekali menepuk pundak gadis itu.
“Jangan khawatir, Tuan muda saya akan baik-baik saja. Dia bukan orang bodoh yang tidak tahu konsekuensi atas pilihan apa yang dia ambil.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, pria itu berjalan pergi.
***
“Shareen." Tampak seorang pria paru baya menggunakan kemeja kotak-kotak berwarna hijau membawa keresek hitam di kedua tangannya memanggil namanya.
“Jangan lupa bawa ini kalau kamu ingin menjenguk pria itu,” lanjutnya lagi dengan sesekali mengacung-acungkan bungkusan yang di bawanya.
“Ia Pa," jawab Shareen singkat.
Hari ini adalah hari ke empat setelah terjadinya baku tembak di kedai kopi siang itu. Dan selama itu pula pria asing yang menghadang peluru untuknya masih terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit bahkan setelah operasi.
Selama empat hari pula gadis itu merutuki diri sendiri karena menyebabkan seorang pria sampai terbaring dirumah sakit dan belum sadarkan diri. Meski ia juga tahu ini bukan atas keinginannya untuk pria itu melindunginya.
Shareen melangkahkan kakinya dengan pelan-pelan saat memasuki ruang rawat dimana pria bernama Sanders Kal itu terbaring. Selang infus dan oksigen terlihat jelas masih terpasang ditubuhnya. Pria itu terlihat seperti tertidur dengan pulas.
Dia berusaha pelan mendekatkan wajahnya. Matanya menyapu bersih wajah laki-laki yang sedang tidak sadarkan diri itu. Setiap lekuk wajahnya terasa sangat asing baginya. Ia merasa tidak mengenal hidung mancung yang pria itu miliki atau bahkan dengan bibir pucat yang berada di hadapannya itu.
‘Siapa dia?' batinnya.
Pintu kamar terdengar berderik terbuka. Gadis itu langsung menjauhkan tubuhnya. Tampak beberapa dokter pria memasuki ruang kamar itu dan pria yang ia temui waktu itu.
“Hai," sapa pria paruh baya jangkung yang bernama James.
“Ha-halo," jawab Shareen gugup.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Shareen pada James yang sekarang berdiri disampingnya. Sudah dua hari ia tidak datang menjenguk karena kesibukan kuliahnya.
“Dia baik-baik saja. Jangan khawatir," jawab James.
“Badannya mungkin terlihat masih berbaring ditempat tidur tapi saya merasa yakin kalau Tuan muda Kal sedang berjuang untuk sadarkan diri," timpal dokter bertubuh pendek yang menatap Sanders lekat.
Shareen menganggukan kepalanya beberapa kali tanda bahwa ia juga yakin bahwa pria itu akan sadar lagi nantinya. Ia akan merasa sangat bersalah jika sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu apalagi jika itu terjadi karena menyelamatkan dirinya.
Apa yang akan ia lakukan kedepannya jika pria bernama Sanders Kal itu tetap tidak sadarkan diri? Apa yang harus ia perbuat?
Ia hanya berbicara dengan hati dan pikirannya sendiri, berjanji untuk mengabulkan satu hal yang pria itu inginkan. Bahkan jika pria itu menginginkan hidupnya. Ia akan dengan senang hati memberikannya.
Shareen terlonjak kaget saat James menepuk bahu kanannya.
“Apa itu?” tanya James sembari menunjuk bungkusan hitam yang masih di bawa Shareen.
“Ini buah-buahan segar yang baru dipetik pagi tadi," jawab Shareen ramah.
“Terima kasih. Tapi sepertinya Tuan muda saya masih belum bisa memakan apapun dengan kondisi seperti ini. Mungkin saat Tuan muda saya terbangun dan tahu ada gadis cantik yang mengiriminya buah-buahan segar, ia akan sangat senang," seru James menghibur.
Gadis itu melontarkan sebuah senyum dengan kesedihan yang nampak terlihat jelas didalamnya.
“Paman, maaf sepertinya saya harus pergi. Sebentar lagi saya harus bekerja," ucap Shareen berpamitan.
“Kalau saya boleh tahu, kamu bekerja di mana?” tanya James penasaran.
“Saya bekerja di toko roti di seberang Universitas Jill’s, Paman," jawabnya sopan.
“Oh ia saya tahu toko roti itu. Saya pernah beberapa kali membeli disana." James menimpali ramah.
Shareen berbalik pergi dengan sedikit terburu-buru karena waktu masuk kerja yang semakin mepet. Sudah beberapa hari ini dia telat masuk kerja. Meski sang pemilik toko tidak pernah menegurnya tapi ia merasa tidak enak dengan pekerja yang lain.
Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu sampai ditempat kerjanya. Sebuah bangunan dengan cat berwarna coklat muda sudah ada dihadapannya. Lima tahun sudah ia bekerja disana.
Meski hanya sebagai pelayan, tapi itu sudah membuatnya senang. Pasalnya ia masih harus membiayai kuliahnya sendiri dan membantu ayahnya mencari nafkah untuk kedua adiknya. Meski gaji yang didapat setiap bulannya belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari tapi gadis itu bersikeras berhemat. Berhemat sebisanya.
Setiap harinya Shareen selalu sarapan buah yang ia petik sendiri di kebun belakang rumahnya. Untuk makan siang ia mendapatkan uang makan dari toko tempatnya bekerja, tapi selalu ia tabung. Ia baru makan pada malam harinya saat berkumpul bersama keluarganya.
Air putih menjadi teman setianya saat perutnya memanggil minta diisi. Sesekali ia beruntung karena memiliki teman yang kaya yang terkadang mentraktirnya. Seperti pada hari itu, saat peristiwa penembakan itu terjadi. Dirinya sedang asyik berkumpul dengan teman kuliahnya yang sedang berulang tahun dan mentraktirnya dikedai kopi itu.
Semua kejadian terasa terjadi begitu cepat.
Pagi itu suasana dikampus sudah ramai. Shareen tampak berdiri mengobrol dengan beberapa orang temannya. Lorong di kampus itu terlihat sangat terang karena cahaya matahari langsung menyorot masuk kedalam.
Beberapa pohon besar dengan daun yang sangat rimbun berjajar di sepanjang jalan parkir kampus. Banyak mobil mewah yang terpakir di situ. Kampus itu merupakan kampus terbaik dikota itu. Untuk masuk kesana Shareen memerlukan usaha yang luar biasa. Gadis itu belajar mati-matian untuk mendapatkan beasiswa dan akhirnya sekarang dia bisa berdiri disana.
Dari kejauhan ada seorang laki-laki tinggi berkulit putih yang sedang melambaikan tangannya. Matanya tertuju pada gadis berbaju merah yang sedang asyik membicarakan sesuatu dengan teman-temannya.
“Shareen...”
“Haaai halooo...”
“Kamu hari ini sibuk ga?"
“Iaaa... hari ini sedikit sibuk.. toko roti sedang ramai-ramainya... memangnya ada ap Xav?”
“Tadinya aku mau ajak kamu pergi nonton, tapi kalau kamu sibuk yah mungkin bisa lain kali," jawab Xavie dengan tersenyum.
Shareen tahu betul jika laki-laki yang barusan mengajaknya nonton adalah orang yang menyukainya. Dan ia juga menyukai laki-laki itu.
Sudah berulang kali Xavie mengungkapkan perasaannya namun gadis itu terus menolak karena ia merasa tidak pantas dengan pemuda yang memiliki status sosial tinggi seperti Xavie.
Dirinya tidaklah sebanding dengan perempuan-perempuan cantik diluar sana yang mengejar-ngejar Xavie hanya untuk mendapatkan perhatian dari pria itu. Dia hanya ingin fokus dengan kuliahnya. Dia ingin beasiswa yang ia dapatkan tidak sia-sia.
Baginya segala sesuatu yang ada di dunia yang ia tinggali sekarang, semua sudah ada yang mengatur. Dan karena ia yakin, ia bisa memperbaiki hidupnya dengan mencapai pendidikan yang lebih tinggi.
Hanya itu mimpi yang ia impikan setiap hari. Bisa melihat ayahnya tersenyum, bisa melihat kedua adiknya tumbuh dengan baik dan saat ia bertemu dengan ibunya di alam yang lain suatu saat nanti. Ia ingin mengatakan bahwa ‘Ibu, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.' Dan pergi dengan tenang.
Shareen masih berdiri dan termenung sendiri sementara teman-temannya yang lain tampak sedang serius membicarakan hal lain. Ponsel yang ada di genggaman gadis itu tiba-tiba saja bergetar. Nomor tidak dikenal tertulis dilayar ponselnya.
Ia merasa sedikit ragu untuk mengangkatnya tapi ia putuskan untuk menerima panggilan telepon itu.
“Haloo.. Ini dengan nona Shareen?” seru suara di ujung telepon sana. Tampak jelas jika suara itu mengenali dirinya.
“Ya.. halo... ini dengan saya sendiri.”
“Baguslah... Apa sekarang nona bisa datang ke rumah sakit? Tuan muda saya sudah sadar dan ingin bertemu dengan anda.”
“Ngomong-ngomong saya lupa memperkenalkan diri. Saya sekretaris pribadi Tuan muda Sanders Kal. James," lanjutnya.
“Ohh ia bisaaaa... Saya akan segera kesana.." Shareen langsung pergi melesat secepat yang ia bisa.
Beruntung rumah sakit tempat pria itu dirawat tidak jauh dari tempatnya kuliah dan bekerja. Dua puluh menit cukup untuk berjalan kaki dari kampusnya ke rumah sakit.
***
Gadis itu mengetuk pintu yang memang sudah terbuka. Di ruang kamar rawat yang cukup luas itu berdiri beberapa laki-laki yang sedang mengobrol menggunakan setelan jas berwarna putih. Dan seorang yang tak asing lagi, sekretarisnya.
“Hoi... masuk....” Sanders menyadari kehadiran Shareen dan tersenyum miring. Senyum yang mempesona dan bisa langsung meluluhkan hati para wanita.
Shareen melangkah masuk perlahan. Otaknya terasa kosong. Entah apa yang harus ia lakukan. Apa yang harus ia bicarakan? Sangat canggung sekali.
“Kalian bisa pergi sekarang. Aku ingin mengobrol sebentar dengannya," pinta Sanders seraya menunjukan jarinya pada Shareen.
“A-apaaa kau baik-baik saja?” Sangat sulit sekali untuknya mengucapkan kalimat pendek seperti itu pada orang yang tidak dikenalnya.
“Apa menurutmu aku baik-baik saja setelah tertembak dengan dua peluru? Aku masih bersyukur ternyata aku masih bisa bernafas hari ini..”
“Ma-maaf.”
“Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salah mu...Ini salah ke enam orang itu...”
“Tapi kau berusaha menyelamatkan ku dan akhirnya berujung disini..maaf.. dan terima kasih....”
“Apa hanya itu yang ingin kau ucapkan? Apa kau tahu seberapa berharganya setiap nafas yang ku hirup setiap detiknya? Itu bisa menghasilkan uang.. dan karena kejadian itu aku sepertinya sudah rugi banyak sekali.”
“Maaf...”
“Apa tidak ada kata selain ‘maaf’ di kamus mu itu? Apa kau tidak ada berniat mengganti rugi setiap waktu yang ku lewati karena harus berbaring di rumah sakit?”
“A–aku akan mengganti kerugian mu... tapi aku perlu waktu.. karena aku tidak punya cukup banyak uang.”
"Yaa.. aku tahu itu... kau perlu bekerja keras bukan untuk membiayai kuliahmu... bukan hanya itu.. kau juga membantu ayahmu merawat kedua adikmu.. benar bukan?”
“Darimana kau tahu semua itu?” Gadis itu nampak bingung dengan apa yang dibicarakan pria asing dihadapannya.
“Aku hampir tahu semua latar belakang mu... Begini saja.... aku punya penawaran agar kamu bisa melunasi ‘hutangmu’ itu...”
“Penawaran seperti apa?”
“Aku menawarkan diriku menjadi suami mu.... saat kita menikah nanti, semua biaya pengeluaran kebutuhan keluargamu akan menjadi tanggungan ku, termasuk biaya kuliahmu.”
“Maaf.. sepertinya aku tidak bisa.. aku sudah mempunyai seseorang yang aku sukai.. dan.. dan lagi kita baru saja kenal beberapa hari yang lalu.”
“Ahhh..berarti kamu lebih memilih melunasi ‘hutangmu’ itu? Tapi aku bukan orang yang senang dengan orang yang membayar dengan menyicil.”
“Tolong beri aku waktu... satu tahun... aku yakin bisa mengumpulkan semua kerugianmu.”
“Satu bulan... dan tidak menawar lagi.”
“Waktunya terlalu sedikit.. Bagaimana bisa aku mengembalikan uang mu jika waktunya hanya satu bulan.”
“Apa kamu yakin bisa mengganti kerugian ku sebesar lima ratus juta.. itu sudah ku diskon karena jika kamu harus membayar keseluruhan, maka kamu akan membayarnya dengan seluruh sisa hidupmu.”
“I-itu terlalu banyak... tapi akan aku usahakan... Satu bulan semoga bisa..” Shareen menundukan kepalanya. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi lelaki keras kepala di depannya itu. Kalau bukan karena ia sudah menyelamatkannya, dia pasti sudah menendangnya sedari tadi.
“Baiklah... kau boleh pergi.. aku ingin istirahat...”
Shareen tidak menjawab apa pun. Kepalanya terasa penuh sesak. Sepertinya ia harus mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilannya. Sangat tidak mungkin jika dia menabung dengan penghasilannya yang sekarang yang masih sangat minim.
***
Seorang gadis berjalan dari satu toko ke toko lainnya di sebuah jalan yang cukup ramai pengunjung. Kulit wajahnya terlihat memerah karena terbakar. Hari itu ia baru saja mendapatkan satu pekerjaan. Dan masih sangat tidak mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan.
Tiba-tiba seorang wanita keluar dari toko dan menanyakan apakah gadis itu sedang mencari pekerjaan karena ia sangat membutuhkan pegawai.
Spontan Shareen mengangguk sembari tersenyum. Hari ini ia sudah mendapat dua pekerjaan tambahan. Mulai sekarang dirinya harus pandai-pandai membagi waktu antara kuliahnya dan pekerjaannya serta keluarganya.
Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia mungkin akan di omeli ayahnya karena pulang terlalu larut. Tapi apa daya, banyak hal yang ia kerjakan sore tadi.
Jika ayahnya tahu apa yang ia lakukan sekarang mungkin akan merasa sedih karena putrinya memiliki hutang sebanyak itu. Padahal dirinya tidak pernah meminta pria itu untuk menghadang peluru tapi sekarang dirinyalah yang disalahkan.
Mungkin ini memang sudah seharusnya terjadi. Siapapun tidak akan pernah bisa menghindari takdirnya.
Langkah kaki gadis itu terhenti di sebuah rumah kecil. Saat membuka pintu, suara gaduh kedua adiknya yang masih duduk dibangku SMA dan SMP terdengar riuh.
“Kamu habis dari mana saja baru pulang jam segini? Ini sudah malam," tanya ayahnya sambil menyapu lantai rumahnya yang berdebu.
“Tadi aku banyak tugas Pa.. Apalagi ini sudah mau dekat ujian," ucap Shareen berbohong. Ini untuk pertama kalinya dia berbohong pada Papanya.
“Ohhh.. ya sudah... lain kali jangan diulangi yaaa... sekarang kamu mandi, makan terus istirahat yaaa..biar nanti Papa saja yang mencuci piring..”
Gadis itu hanya menanggapI dengan anggukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit karena mencari pekerjaan kesana kemari. Sudah tidak ada nafsu makan sama sekali. Yang dirasanya hanya ingin segera merebahkan diri di kasur tercintanya. Tenaganya sudah terpakai seharian, jadi ia perlu untuk memulihkannya lagi.
Waktu sudah berlalu dua minggu sejak pertemuan terakhir mereka di rumah sakit. Dan selama itu pula Shareen tidak pernah bertemu dengan pria asing yang ingin menikahinya. Tapi dirinya berpegang teguh bahwa dia harus bisa membayar seluruh ‘hutangnya’ pada pria asing itu.
Dia masih memiliki waktu dua minggu sebelum masa perjanjian berakhir. Rasa khawatir kerap muncul karena uang yang ia kumpulkan dengan bekerja keras setiap harinya di beberapa tempat tetap tidak mencukupi dengan target yang sudah ditentukan.
“Shareen, hari ini kau sibuk tidak?” tanya Xavie yang kebetulan duduk disebelahnya.
“Ah aku hari ini sibuk Xav.. Maaf..” ucapnya tampak tak bertenaga.
“Apa kamu ada masalah? Aku perhatikan beberapa hari ini kamu terlihat lebih banyak diam dan sibuk..Sebenarnya ada apa? Apa kamu menambah kerja part-time?”
“Iyaa... aku lagi perlu uang.. makanya aku nambah kerja part-time ku..Aku punya hutang yang harus aku lunasi dalam jangka waktu dekat ini..”
“Memang berapa total hutangmu sampai kamu seperti ini?”
“Lima ratus juta..”
“Ha-ah? Kenapa bisa kamu punya hutang segitu banyak?”
“Panjang ceritanya... yang pasti aku harus bisa mengumpulkan uang sebanyak itu..”
“Apa kamu perlu bantuanku? Aku mungkin bisa membantu kamu melunasi semuanya..”
“Ja-jangannnn... aku bisa kok... ini tanggung jawab ku...” Gadis itu langsung menolak dan pamit pergi karena waktu part-timenya sudah dekat.
***
“Tuan, apa anda yakin gadis itu akan mampu membayar ‘hutangnya’ pada anda?”
“Aku malah berharap dia gagal... untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa menyukai seorang wanita..aku bahkan merendahkan diri ku untuk selevel dengannya dengan menawarkan diri untuk menjadi suaminya... dan dia langsung menolak.”
“Saat pertama kali saya bertemu dengannya, saya dapat merasakan bahwa gadis itu sedikit keras kepala.. sepertinya Tuan muda perlu lebih berusaha untuk mendapatkannya.”
“Dia itu unik.. tidak seperti perempuan yang lain tertarik dengan uang.”
“Maaf sebelumnya jika saya bertanya, tapi saya sangat penasaran dengan satu hal.. Apakah anda mengenal nona Shareen sebelum peristiwa penembakan itu?”
“Hmmm... Ia... Aku sudah mengenalnya sejak lama.. tapi sepertinya dia melupakanku.”
***
Sore itu jalanan di Berry’s street tampak ramai. Seorang pria paruh baya berjalan terburu-buru sembari menjinjing dua kantung keresek. Pria itu berjalan dengan langkah panjang sampai tak menyadari ada mobil yang sedang melaju kencang menuju ke arahnya.
Kecelakaan pun tak dapat dihindari. Tubuh pria paruh baya itu terpental ke pinggir jalan dan kepalanya terbentur ke trotoar. Orang-orang yang berlalu lalang disekitar situ langsung datang dan berkerumun, yang lain lagi mencari bantuan.
Darah sudah banyak mengalir dari kepalanya yang terbentur. Nafasnya sudah mulai tersengal dan tak lama pria itu pun tak sadarkan diri.
***
Seorang pria berbadan tegap dan tinggi dengan mata coklat dan rambutnya yang selalu disisir rapi datang memasuki sebuah toko roti. Tampak gadis yang dia cari berdiri disana yang juga sedang menatapnya. Semburat senyum terlukis jelas di wajah pria itu.
Gadis yang berdiri didepannya terlihat menampakan wajah kesal karena harus bertemu dengan pria asing yang meminta menikah dengannya.
“Jika kamu kesini untuk membicarakan masalah uang mu itu, aku masih belum siap.. Masih ada waktu dua minggu sampai perjanjian berakhir bukan?” ucap Shareen ketus.
“Ohh jangan salah paham.. Aku kesini untuk membeli beberapa roti untuk klien ku.. Aku sudah sering membeli roti disini.. Aku bahkan mengenal orang yang memiliki toko roti ini.”
“Jadi kamu ingin membeli roti apa?”
“Apa semua pelayan disini ketus sepertimu?”
"Tidak, jika kamu memang ingin dilayani oleh pelayan yang ramah, mungkin temanku bisa membantumu.”
“Tidak.. tidak perlu..aku lebih suka jika kamu yang melayani.”
Shareen bingung dengan pria yang terlihat sedang memilih-milih roti didepannya. Sebenarnya siapa pria itu. Katanya dia seorang ‘Tuan muda’ yang memiliki perusahaan, tapi dia terlihat santai sekali sampai bisa berjalan-jalan di sore hari seperti ini.
“Aku pesan yang ini.” Sanders menunjuk sebuah roti dengan selai apel diatasnya. Dan gadis itu langsung mengambilnya.
Tak lama seorang pria dari dalam dapur memanggilnya karena handphonenya terus berbunyi. Shareen mengabaikan Sanders yang sedari tadi diam menatapnya dan sibuk dengan perbincangannya di telefon.
Gadis itu nyaris menjatuhkan telefon genggamnya setelah mendengar kabar mengenai Papanya yang mengalami kecelakaan. Dia langsung pergi menemui bosnya dan meminta ijin untuk pulang lebih cepat.
Sanders masih berdiri di depan kasir membayar kue yang ia beli saat gadis itu melewatinya begitu saja dengan air mata yang bercucuran. 'Sesuatu pasti telah terjadi,' pikir Sander Kal.
Diam-diam dia mengikuti Shareen dan mobilnya terhenti saat berada didepan rumah sakit.
“Apa yang dia lakukan malam-malam begini di rumah sakit?” gumamnya.
Rasa penasaran mendorongnya untuk berjalan masuk mengikuti gadis itu. Dilihatnya Shareen menangis dan hampir terjatuh karena melihat kondisi ayahnya yang kritis. Dokter mengatakan bahwa ayahnya harus segera di operasi. Papanya juga membutuhkan donor darah sesegera mungkin.
Shareen sudah diberitahu kondisi terburuk jika Papanya tidak segera di operasi. Uang yang ia miliki jelas tidak akan sanggup menutupi seluruh biaya operasi nantinya. Ia memerlukan lebih banyak uang.
“Silahkan lakukan operasi dok," seru Sanders yang tiba-tiba mengejutkan Shareen.
Shareen hanya diam dan menangis. Lagi-lagi uanglah yang menjadi permasalahannya. Entah mengapa semua nasib buruk perlahan datang menghampirinya satu persatu.
“Maaf... apa anda kerabat pasien?” tanya perawat itu.
“Iyaaa.. saya menantunya..” jawab Sanders mantap.
“Saya yang akan bertanggung jawab penuh untuk seluruh biaya rumah sakit..Tolong lakukan yang terbaik.. Berapa pun biayanya saya akan bayar," lanjutnya lagi.
Shareen mendengar semua yang pria itu ucapkan dan hanya bisa diam. Dia tahu bahwa satu-satunya jalan agar Papanya bisa dioperasi adalah dengan menerima bantuan dari pria asing yang berdiri di depannya. Tapi mungkin ada harga yang harus ia bayar nantinya. Untuknya sekarang, yang terpenting adalah Papanya selamat dan kembali pulih.
"Ayo berdiri... kita harus mennunggu di depan ruang operasi," ucap Sanders lembut.
Tangan pria itu terulur dan Shareen mau memegangnya. Ia sudah tak peduli tentang harga dirinya saat ini. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah bekerja terlalu keras ditambah kejadian yang di alaminya barusan.
Ia hanya ingin mempercayakan sedikit bagian dari dirinya pada laki-laki yang sekarang berada disampingnya. Sekarang dia merasa seperti sudah berada dititik terendah dalam hidupnya. Dia tidak mau kehilangan Papanya. Dia sudah merasa kesepian sejak Mamanya meninggal, jadi Papanya bukan hanya sekedar seorang Papa baginya. Sebagian peran Mama yang menghilang diambil alih oleh Papanya.
Airmatanya masih terus menetes. Kepalanya tertunduk menatap tangan yang masih menggenggamnya sedari tadi. Tangan itu terasa sangat hangat. Entah darimana muncul perasaan nyaman saat bersentuhan seperti itu. Dan tangan itu belum melepaskan genggamannya sama sekali.
Pria yang duduk disebelahnya akhirnya membuka suara “Apa kamu sudah merasa jauh lebih baik?”
Dan gadis itu hanya menjawab dengan menganggukan kepala.
“Masalah ‘hutangmu’ itu lebih baik jangan kau pikirkan. Dan jangan salah paham untuk hal yang tadi aku ucapkan ke perawat itu. Aku berkata seperti tadi hanya karena akan lebih mudah jika berkata seperti itu. Aku benar-benar tidak ada maksud apa pun. Murni hanya membantu sebagai sesama manusia,” jelasnya panjang lebar.
Gadis itu hanya diam mendengarkan. Tenaganya sudah terkuras banyak jika harus berdebat lagi dengan pria itu dirinya sudah merasa tidak sanggup.
“Tunggu sebentar disini. Aku harus menelefon sekretaris ku dulu." Sanders melepaskan genggaman tangannya pada gadis itu dan beranjak pergi ke sudut tidak jauh dari situ.
Tangan kanannya tampak memegang ponselnya dan tangan kirinya tampak sibuk memijit-mijit keningnya yang tidak sakit. Sesekali matanya mencuri pandang kearah tempat gadis itu duduk.
“Jangan khawatirkan kedua adikmu. Mereka berdua akan di urus oleh sekretarisku sementara waktu. Dan kamu mungkin lebih baik menginap di tempat ku malam ini. Bagaimana?” ucapnya seraya kembali duduk disamping Shareen.
“Tidak perlu. Aku mungkin akan menginap di rumah sakit malam ini," jawabnya singkat.
“Baiklah.. Aku juga tidak bisa memaksa. Tapi aku juga akan ikut menamanimu malam ini.”
“Apa kamu tidak sibuk?”
"Siapa bilang aku tidak sibuk. Aku sangat sibuk sampai-sampai harus begadang hampir di setiap malam. Tapi mana mungkin aku tega meninggalkan kamu sendirian di rumah sakit.”
“Sanders, kenapa kamu bersikap seperti ini?”
“Ahh ini bukan apa-apa.. jadi jangan dipikirkan..aku punya banyak waktu luang hari ini, makanya aku bisa menemanimu.”
Shareen tak menjawab apa-apa. Radarnya mampu menangkap sesuatu yang terpancar dari mata laki-laki yang duduk di sampingnya, sebuah ketulusan. Dia bisa merasakan bahwa apa yang laki-laki itu lakukan adalah semua demi dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!