Seperti biasa, hari-hari sebelumnya sekelompok anak dari kelas XI yang selalu berkumpul di kantin paling pojok, asik ngobrol sampai terkadang mereka lupa dengan jam pelajaran selanjutnya. Bukannya lupa. Ya, lebih tepatnya disengaja.
Mereka kerap sekali disebut-sebut oleh anak-anak lain sebagai cewek-cewek pemberani, pintar, supel, dan yang pasti keren. Yang paling keren saat mereka menunjukkan kebolehan mereka berantem. Mereka juga dijuluki sebagai geng pemberantas kejahatan. Mungkin karena mereka keseringan berantem dengan orang-orang tidak jelas. Ada lima cewek yang tergabung dalam kelompok itu. Ada Bunga sebagai ketuanya, Lili sebagai asisten, tiga lainnya anggota, Nay, Prety, dan Titian.
“Bung, kapan ayah kamu ngasih izin pacaran?” tanya Nay. Dia cewek yang paling manja. Cara bicaranya bisa dibilang lembut pas santai, seperti ngobrol bareng. Tapi, kalau lagi marah atau berantem, auh, suaranya bisa merusak telinga. Alias sebenarnya dia itu cerewet sekali.
“Kalau aku jadi Bunga ,nih, ya, pasti aku bakalan ngotot minta direstuin tuh,” timpal Prety sambil mengerenyotkan bibirnya. Dia anak yang cantik. Bahkan, cantiknya mendominasi yang lain. Pas dengan arti namanya. Suka ngeyel kalau dibilangin, sederhana, agak tomboi meskipun lebih gaya, dan suka menraktir teman-temannya. Siapa yang mau pasti dibolehin ambil jajan kalau ada Prety.
”Pret, gue ambil biskuit ini ya, tapi agak mahalan nggak apa-apa, kan?” pinta cewek gendut perut buncit. Anehnya, dia masih mau minta jajan ke orang lain. Padahal, di mulutnya masih penuh makanan dan di tangannya ada sebotol minuman teh.
Dengan gampangnya Prety menjawab, ”Oke. Ambil sepuas lo, Sis.” Sebuah panggilan akrab Prety, yaitu Sister.
”Kalau perlu ajak yang lain. Sory ya aku nggak sombong juga. Gue lagi banyak uang nih,” lanjutnya. Dia terkekeh. Ya maklum saja. Dia juga anak orang kaya. Bukan kaya uang saja, tetapi juga kaya iman. Bokapnya itu juga sudah haji, baru dua kali. Katanya, sih, kalau baru itu mau nambah lagi. Pokoknya keluarga Prety itu keren banget. Kata kebanyakan orang begitu.
“Iya, Bung, bener juga kata Prety.” Lili memanas-manasi. Tetapi, maksudnya bercanda juga.
Lili cewek yang paling pintar. Otaknya itu paling encer. Paling suka dengan pelajaran matematika dan suka makan. Makanya, dia juga yang paling gemuk. Tetapi, kalau pas main ke rumahnya, tuh, pasti mata akan disuguhkan dengan beragam piala hasil olimpiade yang diikutinya sejak SD. Tetapi, sayangnya satu, dia tidak bisa berantem. Soalnya, Bunga pernah mengajak Lili ikut beladiri, tapi ayahnya tidak memberi izin. Terpaksa kami juga tidak bisa membantah. Ayah Lili pun juga harus dihormati, bagaimanapun alasannya.
“Eh, kalian itu jangan sok tau,” elak Titian. Dia menyeringai tiba-tiba. Nadanya cuek bercampur kesal.
“Haa? Maksud kamu, Tit? Mulai, deh, anehnya,” tanya Prety, Nay, dan Lili bersamaaan. Mulut mereka menganga lebar. Menggeleng-geleng.
“Stop, deh, Sob.” Bunga menggebrak meja dengan kaki kanannya. Dia lekas berdiri, lalu menatap Prety, Nay, Lili, dan Titian bergantian dengan tatapan semangat menggebu-gebu. Mereka justru nyengir seketika. Makanan di mulut Nay juga jatuh karena merasa aneh sendiri.
“Duh, ini lebih parah.” Titian mengaduh cuek.
Prety, Nay, dan Lili lebih nyengir lagi. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan Bunga dan Titian. Tingkat keparahannya lagi memuncak hari ini.
“Hiiaa, sama-sama aneh malah saling menghina,” kata Nay.
“Dasar kalian otak-otak kebo,” katanya kemudian.
“Terserah dengan kalian mau berkata apa, tapi aku tidak peduli, Sob. Yang penting tiba-tiba aku dapat ide bagus, brilian, dan cerdas. Juga nggak kalah cerdasnya dengan ide-ide gila Nay biasanya,” kata Bunga bersemangat. Matanya mengerling dan erkedip-kedip.
“Apaan?” Kepala Nay, Prety, Lili, dan Titian mendekat.
“Aku ingin kita buat perjanjian penting. Ini khusus untuk kita berlima,” kata Bunga sambil merenggangkan kelima jari kanannya. Dia tersenyum meminta alias memaksa mereka bertiga setuju dengan segera.
“Apa dulu perjanjiannya? Mana ada buat persetujuan, tapi nggak ada isinya?” sergah Nay.
“Aku memang cuek dan kadang bodoh juga, sih. Tapi, aku juga nggak bisa setuju kalau aku nggak ngerti. Jadi, beritahu dulu apa perjanjiannya,” kata Titian. Lucu sekali. Titian suka memperlihatkan kelemahannya pada orang lain. Dia tak merasa malu atau apapun.
“Katakan dulu kalau kalian setuju,” kata Bunga sambil bersedekap. Dia mengalihkan pandangan. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai.
“Oke, oke.” Mereka berempat serempak menggebrak meja sampai anak-anak yang lain menoleh, lalu berisik berbisik sendiri.
“Nah, aku suka kalian berempat. Ini namanya geng keren. Persetujuannya adalah kita berlima jangan sampai pacaran,” seru Bunga dengan lantangnya tanpa ragu. Seolah dia yakin sekali kalau teman-temannya akan menerima perjanjian itu dengan mudah.
“What?” Mereka berempat langsung berteriak.
“Gimana bisa kamu buat perjanjian seperti itu, Bung. Mentang-mentang kamu ketua geng ini.” Nay memberontak. Dia mengerucutkan bibirnya.
“Alasannya satu persatu akan kujelaskan. Jadi, dengarkan baik-baik. Pasang itu telinga. Pertama, ini soal Prety. Bokapnya, kan, seorang ustadz, tuh. Kalau aku pikir-pikir anak seorang ustadz itu, nggak boleh pacaran dalam agama. Lagipula, aku juga nggak yakin kalau Prety dibolehin pacaran. Bisa-bisa nanti malah Prety mencemarkan nama baik bokapnya. Kedua, soal Lili. Meskipun Lili itu pintar, tapi dia gendutan ditambah dia suka makan. Alasan yang lain terkait dengan orang tuanya yang sedang bekerja di luar negeri. Kayanya pacaran itu nggak seru kalau nggak minta restu sama ortu dulu. Dijamin bakal cepet putus, deh, kalau pacaran lari. Hehe. Ketiga, ini soal Nay. Nay, kan, cerewetnya minta ampun. Mana ada cowok yang betah dengan suaranya yang membahana kaya gitu? Idih, kalau aku ogah punya cewek yang suka ngomong.”
Wajah orang yang di depannya memerah. Suasana mulai memanas. Tangannya mengepal kuat seolah Bunga hendak ditonjoknya. Bibirnya bergetar ingin ngoceh secepatnya. Pasti sebentar lagi dia muntah, tuh.
“Pret, jangan ekspresi kaya gitu. Yang aku katakan loh belum selesai. Tahan dulu ya, please.” Prety membuang muka. Bibirnya itu mengerucut semeter.
“Terus Nay, kan, juga tomboi. Jadi, aku simpulkan nih, lebih baik dia nggak pacaran aja. Keempat, soal Titian. Menurutku, dia itu cuek banget. Aneh juga orangnya. Nggak
“Terus Nay, kan, juga tomboi. Jadi, aku simpulkan nih, lebih baik dia nggak pacaran aja. Keempat, soal Titian. Menurutku, dia itu cuek banget. Aneh juga orangnya. Nggak pintar-pintar amat. Yang ada nanti kalau dia pacaran, terus dapat pacar yang cerdas terus suka manja-manja gitu, dia malah nangis karena dikata-katain, terus bawaannya pengen nonjok pacarnya. Nah, yang kelima soal diriku pribadi. Melihat tampangku yang pas-pasan, aku rasa mendingan aku nggak pacaran. Gimana? Kalian pasti setuju. Pasti setuju lah,” ucap Bunga sangat yakin. Dengan percaya diri yang tinggi, dia merusak emosi teman-temannya. Harimau-harimau di depannya ingin segera meluap-luapkan emosi.
“Tidaaaaaaak,” teriak Prety, Nay, Lili, dan Titian bersamaan. Nay dan Prety menggebrak meja yang sudah reyot hingga patah. Maklum mereka berdua kan jago berantem. Kemampuan mereka membogem orang tidak kalah dengan preman-preman tingkat atas. Anak-anak yang lain langsung meringis-meringis ketakutan. Sebenarnya, masalah seperti ini memang sudah biasa mereka ketahui, tetapi mereka seolah menganggap ulah geng pemberantas kejahatan ini sebagai hal baru yang menakutkan dan jadi bahan pembicaraan.
Mereka berempat langsung mengoceh sendiri-sendiri.
“Aku dan Nay, orangnya nggak seperti itu. Nggak, nggak, nggak. Hih, kamu itu selalu menganggap aku cerewet atau apaan itulah. Ini itu ngomong nggak jelas. Padahal, nggak sesuai banget dengan kepribadianku. Dasar, Bunga. Aku pengen nonjok kamu, Bung.” Nay menonjok-nonjokkan kepalan tangan kanannya. Panas. Darah tinggi mendadak. Sungu Nay keluar.
“Aku dan Prety bisa negosiasi dengan bokap, Bung. Mereka orangnya baik dan kalau di rumah aku bersikap sopan, kok. Apa yang kalian berdua ketahui disini tak akan kalian dapatkan dengan sikapku kalau aku sedang di rumah. Jadi, berbicara baik-baik adalah langkah pertama aku. Enak aja aku dibilang nggak boleh pacaran,” tukas Prety tidak terima.
“Iya. Aku tahu kamu, kan, orangnya suka ngeyel. Sebenarnya, aku nggak kaget kalau kamu ngotot-ngotot sampai nangis darah gitu. Hehe. Tapi, kalau orang tua kamu nggak ngasih izin, masih mau nerusin niat?” Bunga mendekatkan wajahnya ke wajah Prety. Pelan-pelan Prety memundurkan kepalanya. Dia sedikit merasa aneh dengan tatapan Bunga yang seolah hendak memberinya sugesti. Tatapan Bunga memang tajam. Setajam pisau berkarat.
“Ngapain, sih, ngelihatin aku kaya gitu? Naksir karena aku cantik?” katanya agak sewot. Berdehem. Kikuk. Tiba-tiba kaku. Prety kehilangan kata-kata sampai dia mengalihkan pembicaraan.
“Ah, kamu itu, Pret.” Bunga mengibaskan tangannya.
“Bung, aku, Lili, aku mau ngasih kamu tantangan. Kalau kamu bisa ngalahin aku. Oke, aku terima perjanjian konyol itu. Kalau kamu yang kalah anggap aja perjanjian ini nggak akan pernah ada.” Lili menatap serius Bunga.
“Oke. Nah, sip. Apa tantangannya?” Lili mengarahkan wajahnya lebih dekat ke wajah Bunga. Ditatapnya lamat-lamat. Seolah tengah menerka-nerkat sesuatu. Dia menaik-naikkan alisnya yang kanan sambil senyum simpul mengece.
Kontan Prety nyengir.
“Tanding basket dan catur. Gimana? Kuharap kamu tetap percaya diri dengan tantanganku itu. Heh.” Lili agak tersenyum meragukan ekspresi kaku dan kaget Bunga. Bunga masih kelihatan sedang berpikir.
“Kecil, gampang itu, kok.”
Sebenarnya, Bunga sudah memikirkan hal itu dari tadi. Keputusan mengambil perjanjian itu memang berat diterima teman-temannya. Namun, karena itulah dia menyiapkan segala konsekuensinya menerima permintaan-pemintaaan aneh teman-temannya.
“Baiklah.” Lili langsung menyeret lengan Bunga dan merangkulnya.
“Kalu aku, Bung, Titian. Cuek-cuek gini aku masih doyan sama cowok. Emang aku punya prinsip jual mahal, nggak jual murah. Enak aja murahan sama cowok. Harga diri mau ditaruhi di kaki? Aku emang nggak pintar, tapi aku bisa ngertiin cowok dengan baik. Setiap kekurangan dalam diriku pasti ada kelebihan lain yang menyeimbangkan kekurangan itu, Bung,” jelas Titian dengan nada sama sewotnya dengan yang lain.
“Ehmm, aku mengerti. Jadi, intinya nih ya, kalian itu menolak secara halus perjanjian ini? Begitu teman-teman?”
Ngiek. Mereka berempat sontak bersikap kaku. Semua mengalihkan pandangan dari Bunga. Sepi tidak ada jawaban yang keluar. Mulut terkunci rapat-rapat. Lili dan Titian malah pura-pura mainan ponsel di tangannya. Nay pura-pura ada telepon mendadak, sedangkan Prety asik menggoyang-goyangkan kakinya. Kata-kata Bunga tepat sasaran.
“Hayo, kenapa kalian nggak jawab?”
“Ng...ngak juga,” jawab Nay kaku.
“Masalahnya apa?” Bunga merajuk.
Flashback.
Terkait dengan Nay. Sekarang Nay mencoba mengalihkan pandangan. Sok asik dengan pikirannya sendiri. Kemarin lusa, Nay dan Dirlan baru saja membuat rencana mau ngedate bareng sama teman Dirlan. Dirlan? Itu lo, si anak paling kalem di kelas IPA 2, kelas XII, sebentar lagi lulus. Jadi, Nay tidak perlu pacaran sembunyi-sembunyi dari Bunga. Tapi, juga bukan berarti akan memberitahu soal itu kepada Bunga. Sebetulnya, Nay dan Dirlan sudah pacaran sejak dua bulan yang lalu. Ceritanya panjang kenapa mereka berdua bisa saling suka. Dan, yang tahu mereka berdua pacaran itu kecuali Bunga.
Kalau Titian ini malah sudah pacaran dengan Arga satu tahu yang lalu. Hebat banget. Meskipun katanya dia tidak pintar-pintar amat, tetapi bahkan dia canggih menyembunyikan hubungannya selama itu dari Bunga, Lili, dan Nay. Yang tahu hanya selama ini hanyalah Prety. Itupun terjadi karena tidak sengaja. Karena, dulu mereka jadian sehabis Ujian Nasional kelas IX dan Prety adalah teman sekelas Titian meskipun tidak terlalu akrab.
Waktu itu, Prety tidak sengaja mendengar pembicaraan serius Titian dan Arga di perpustakaan. Yah, karena Prety kadang jail juga. Dia sengaja memergoki Arga yang sudah terlanjur mengutarakan perasaannya pada Titian. Nah, kemudian Prety memaksa Titian untuk menerima Arga walaupun sebenarnya Titian sedikit berat hati karena memang belum ada keinginan Titian untuk pacaran. Tetapi, mau bagaimana lagi Prety justru malah menyeret anak-anak di seluruh perpustakaan untuk menyorak-nyoraki Titian agar dia mau menerima. Akhirnya, sampai sekarang ternyata Titian masih aman-aman saja dengan Arga. Meskipun, pada awalnya mereka berdua meragukan. Mau sampai kapan hubungan itu akan bertahan. Tak disangka Titian punya trik super menjaga hubungannya dengan Arga.
Kalau ditanya kenapa yang lain sampai tidak ada yang tahu? Itu karena Arga tidak berada satu sekolah dengan Titian. Itu bagian dari rencana mereka berdua yang sudah mereka sepakati di awal menjalin hubungan. Pasti ada kaitannya juga dengan Prety. Lagi-lagi Prety yang memegang kendali kesepakatan itu supaya semuanya berjalan dengan aman.
Gilirannya Prety. Sifat Prety yang suka ngeyel memang sulit dihilangkan dari dirinya. Dia ternyata memang berkali-kali memaksa orang tuanya untuk memberinya izin pacaran. Pemaksaan yang ke sepuluh akhirnya berhasil meluluhkan hati bokapnya yang paling ngotot tidak memberinya izin. Bokapnya lelah, lalu membiarkan Prety untuk memacari cowok yang disukainya yaitu Galih. Asalkan satu syaratnya Galih harus berani ke rumah Prety. Dan, saat itu juga Prety memaksa Galih untuk ke rumahnya. Karena, Galih begitu sayang dengan Prety, Galih sekalian membawa kedua orang tuanya demi membuat bokap Prety yakin atas kesungguhan hatinya mencintai Prety.
Namun, kedatangan itu justru membuat hati Prety menciut beradu dengan tangis bahagia. Dia tidak menyangka bahwa begitu serius Galih menyatakan perasaan padanya. Yang lebih disangka lagi, saat Galih menyatakan perasaannya di depan orang tuanya dengan maksud mengajak Prety sekalian menikah setelah lulus kelas IX. Apa? Prety langsung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia berpikir apa jadinya kalau dia menikah di usia sedini itu? Dia tidak bisa main leluasa dengan teman-temannya. Lalu, bagaimana dengan cita-citanya ingin lulus sampai S2 nanti dan seluruh karir-karir yang diimpikannya? Pokoknya bayangan-banyangan buruk terngiang di kepalanya. Ekspresi wajahnya berubah nyengir. Apa yang harus dikatakan untuk menolak ajakan Galih, sedangkan dia juga menyukai Galih. Prety terdiam untuk beberapa saat.
“Kalau kamu memang belum siap dengan niatku ini, tidak apa-apa, Prety. Aku akan menunggumu sembari mengurus kuliah dan pekerjaanku. Lagipula, tentu aku tahu kamu juga masih terlalu dini untuk menikah. Ini hanyalah tanda aku.” Galih berkata bijak.
Prety mengangkat wajahnya. Seketika kegundahan dihatinya hilang. Galih memang laki-laki yang dewasa. Tak salah jika Prety menaruh perasaan yang begitu dalam padanya.
“Iya. Aku tahu,” tukas Prety.
Saat itu Galih masih kuliah semester dua dengan pekerjaan yang cukup bisa dikatakan mapan. Sejak awal kuliah, dia sudah diminta memprivati anak SD pelajaran yang diUN-kan. Seminggu tiga kali sehabis magrib. Pekerjaannya yang lain, kegiatan paruh waktu menjadi pengelola resto milik keluarganya yang sudah turun-temurun.
Prety bertemu dengan Galih untuk pertama kalinya pada saat dia mentraktir teman-temannya makan di restonya Galih. Semenjak makan di sana, Prety merasa ketagihan. Akhirnya, setiap weekend dia mampir untuk makan atau sekedar minum dan bersantai.
Bermula dari situlah Prety dan Galih sudah menjalin hubungan selama dua tahun lebih dan sekarang Galih sudah mulai melaksanakan PPL dan skripsi. Artinya, dua atau tiga tahun lagi Galih benar-benar siap untuk menikah dengan Prety. Biayanya pasti juga sudah dipersipkan matang-matang oleh Galih. Begitu juga kesiapan ilmu dan mentalnya.
Namun, terkadang Prety gundah jika sedang memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Galih. Bahkan, dia sempat berpikir apakah sebenarnya dia salah menyukai Galih. Galih sudah sebegitu mencintainya sampai rela menunggunya. Tetapi, dia sendiri masih sering mempertanyakan pada dirinya sendiri, apakah pada akhirnya dia bisa mengakhiri masa remajanya yaitu dengan menikah? Meskipun begitu, dia tidak pernah memberitahukan pada siapapun apa yang sering dirasakan dan dipikirkannya. Pada Titian pun dia tidak ingin menceritakannya. Belum saatnya dia melibatkan teman-temannya dengan masalahnya yang mungkin sangat serius untuk kedepanya. Dan, yang mengetahui hubungannya dengan Galih hanya Titian dan Nay.
Sementara, hubungan Lili masih seumuran jagung. Dua hari yang lalu, dia ditembak sama anak kelas IPS, masih kelas XI juga. Sayangnya cowok yang bernama Rehan itu tidak gentleman. Dia mengungkapkan perasaannya lewat jejaring sosial, di BBM. Hanya saja kemudian dia baru berani main ke rumah Lili setelah Lili menerimanya. Anehnya, kenapa Lili kelihatan sebodoh itu mau menerima cowok yang tidak punya nyali? Seharusnya, Lili bisa berpikir sejauh itu. Lili hanya berpikir kalau dia menolak, mungkin tidak ada lagi cowok yang mau menyukainya karena alasan badannya gemuk. Ditambah dia tidak bisa berantem seperti Nay, Prety, Lili, dan Bunga. Daripada dia jomblo seumur hidup, lebih baik menerima Rehan apa adanya itu lebih baik, pikirnya. Sampai sekarang, tidak ada siapapun yang mengetahui hubungannya itu. Harap-harap cemas dia memikirkan bagaimana untuk kedepannya.
“Kalau nggak, terus kenapa wajah kalian seperti itu? Tatap mataku, Teman! Emangnya aku monster yang mau memakan kalian apa.”
“Masak, sih?” Lili meraba-raba wajahnya. Berdehem. Ia memperbaiki posisi duduk supaya lebih rileks.
“Siapa bilang? Biasa-biasa aja, tuh,” elak Nay dan Prety. Mereka menelan ludah. Apa iya karena takut ketahuan Bunga wajahnya sampai kelihatan aneh? Mereka berdua saling menatap dan bertanya melalui gerakan alis mata dan bibir yang menunjukkan maksud.
“Iya. Kamu itu aneh-aneh aja, Bung,” seru Titian tiba-tiba. Nadanya mendadak lembut dan agak kaku sambil pura-pura tertawa. Sontak Lili dan Nay menoleh.
“Jangan-jangan semua pacaran termasuk Titian, kecu-ali Bunga,” Nay dan Lili beradu pandang. Mereka mempertanyakan hal yang sama. Kemudian, Nay mengerling menatap Bunga, Prety, Lili, dan Titian bergantian. Lili sibuk berdehem.
“Ada apa dengan mata mereka? Sepertinya ada kebohongan di mata mereka kecuali memang Bunga yang menatap polos. Tuhan, betapa gelisahnya Bunga ketika kami semua tidak menyutejui keinginannya. Dia temanku yang tidak punya pacar. Tidak punya teman laki-laki yang dekat dengannya. Kami semua selama ini telah membohonginya, Tuhan,” batinnya. Nay menghela napas.
Bunga memasang wajah melas sambil bertopang dagu. Ia melamun.
“Bung?” panggil Prety.
“Iya. Hah, pasti kalian setuju, kan?” Bunga bergegas bangkit dan mengacungkan telunjuknya. Bola mata dan telunjuknya pun mengedar ke wajah Nay, Lili, Prety, dan Titian.
“Hiahh, huh.” Lili, Nay, dan Titian meringis. Mereka bertiga mengira kalau Bunga akan sesedih itu gara-gara masalah ini.
“Ayolah, teman-temanku yang cantik. Jangan sia-siakan waktu muda kita untuk pacaran. Ya meskipun kita nakal sering disebut sebagai geng pemberantas kejahatan. Eghemm.” Bunga menatap yang lain dengan semangat. Semangat sekali. Sepertinya dia tidak lelah membujuk. Ada harapan besar di pikirannya jika mereka berempat mau menerima persetujuannya pasti gengnya akan jadi lebih keren.
“Kita harus tetap mengutamakan belajar. Belajar itu adalah yang utama. Ya, kan, Lili? Kamu pasti mau, kan?” Bunga meyeret bangkunya dan mendekat ke tubuh Lili yang agak gemetar. Dia mendekap lengan Lili erat. Kemudian, dia mengedip-ngedipkan matanya.
“Kenapa harus aku?” Lili bertanya kaku.
“Kamu, kan, yang paling pintar. Jangan sampai kamu mengatakan sudah punya pacar. Nggak, kan?”
Mendengar perkataan Bunga jantung Lili serasa sudah mau copot. Hampir seluruh badannya panas dingin. Di pelipisnya mengucur keringat tiba-tiba. Dia menelah ludah berkali-kali. Dia juga takut kalau tiba-tiba kepalan tangan Bunga yang dahsyat mampir di wajahnya. Lalu, menyisakan bekas lebam biru dan itu pasti akan terasa sakit sekali.
“Kasihan Lili wajahnya seperti itu,” kata Prety dalam hati.
“Oke, baiklah.” Prety mengepalkan tangan kirinya.
“Baik, aku akan...” Prety masih mengatur napas. Nay, Lil, dan Titian antusias mendongakkan kepalanya. Bertanya pada diri sendiri apakah Prety akan memberikan persetujuannya? Tetapi, mereka berharap tidak.
“Prety?” panggil Lili berbisik. Semuanya bersitegang. Dia menggeleng-geleng. Wajahnya seolah sedang menolak apa yang akan dikatakan Prety.
“Alhamdulillah, Tuhan. Engkau berikan teman-temanku kesadaran.” Bunga sangat senang mendengarnya. Ia tertawa gemas dengan teman-temannya mencubiti pipi teman-temannya. Wajahnya sumringah. Lantas ia memeluk dan menciumi Prety.
“Tunggu dulu, Bung.” Prety melepaskan tangan Bunga.
“Hah, kenapa?” Bunga langsung menatap heran.
“Aku mewakili teman-teman menerima perjanjian itu asalkan kamu mau menerima permintaan maaf kami kalau suatu hari nanti kami mengecewakanmu. Bagaimana?”
“Ngomong apaan, sih, kamu, Pret? Emangnya kalian mau rencana buat kesalahan gitu? Nggak, kan? Tenanglah. Dengan perjanjian ini, akan membuat persahabatan kita makin keren. Percaya, deh.” Bunga memperlihatkan sederetan giginya. Sekali lagi dia memeluk Prety, sedangkan yang lainnya tampak sedih dan merasa bersalah dengan Bunga. Titian dan Nay menggigit bibir.
Bunga adalah sosok cewek yang ceria dan polos, tidak mudah patah semangat, bertanggung jawab, selalu senyum pada teman-temannya, pemberani, dan dia tetap seorang teman yang baik.
Saatnya jam ke lima dimulai.
Bel jam pelajaran selanjutnya tiba-tiba memutuskan pembicaran. Memotong sekecap kata yang ingin dikatakan pada Bunga. Bunga menepuk pundak Nay, Prety, Lili, dan Titian satu persatu.
“Ayo! Setelah ini gurunya nyeselin. Nanti dikasih hukuman baru ngerasa tahu,” ajak Bunga.
“Sebentar,” bisik Prety. Prey menyuruh Nay, Lili, dan Titian menunda langkah kakinya.
“Iya. Kenapa kamu menerima apa yang dimau Bunga, Pret?” tanya Lili gelisah.
“Tenang aja. Tapi, kalian juga harus tetap hati-hati.”
Ngik. Lili langsung menelan ludah. Dahinya mengkerut.
“Maksud kamu , Pret?” tanya Lili hati-hati.
“Aku tahu kalau kalian itu sebenarnya juga punya pacar, sama, aku juga. Tetap rahasiakan ini dari Bunga sampai dia tahu sendiri. Aku mengatakan ini bukan untuk membohongi dia. Lil, kamu tahu, kan, maksudku?” Prety menepuk pundak Lili.
Lili mengangguk-angguk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!