NovelToon NovelToon

AURELIA

Menerima Takdir

Halo readers.

Ini adalah sequel dari cerita Menikahi Om Sendiri.

Silahkan baca cerita sebelumnya, lalu lanjut cerita yang ini ya biar paham. Terima kasih 🙏🏻

...****************...

Jam menunjukkan pukul 7 malam, saat dimana keluarga Aldo sedang menyantap makan malam mereka.

Tidak ada yang berbicara. Hanya suara dentuman sendok dan garpu yang saling beradu mengisi kekosongan d ruangan itu. Hingga tiba saatnya Aurel mulai membuka pembicaraan.

"Mami, Papa, aku mau kuliah seperti orang-orang normal lainnya" ucap Aurel, disela makan malam mereka.

Aldo, Kayla serta sang kakak Revan seketika langsung menghentikan makan dan menatap ke arah Aurel.

"Mami senang kalau kamu memang sudah mau berkuliah dan berbaur dengan orang-orang. Tapi kenapa tiba-tiba kamu ingin berkuliah?" tanya Kayla.

"Riska yang ajak aku Mami. Katanya dia nggak mau kuliah kalau nggak ada aku" jawab Aurel.

Riska merupakan sahabat Aurel satu-satunya. Mereka telah bersahabat sejak kecil, sehingga Aurel sangat menyayangi sahabatnya itu seperti saudaranya sendiri.

"Bagus itu. Papa setuju" ucap Aldo.

"Mami juga setuju. Kapan kamu mau daftar ke kampus? Biar Mami dan Papa yang temenin" sambung Kayla.

"Nggak usah. Nanti aku minta tolong Kak Revan aja. Kak Revan mau kan?"

"Iya mau"

Revan selalu mengikuti permintaan sang adik. Sejak Aurel mengalami kebutaan, Revan lah yang selalu menguatkan dan melindungi Aurel dari ejekan orang-orang.

Selesai makan malam, Aurel masuk ke dalam kamarnya dibantu oleh tongkat untuk menuntun jalannya. Revan yang merasa kasihan, lantas langsung membantu menuntun adiknya.

"Sini Kakak bantu. Rangkul tangan Kakak"

"Eh Kak Revan. Nggak usah Kak. Aku udah hapal bentuk rumah ini. Nggak perlu bantuan lagi"

"Rangkul aja cepat. Nanti kamu jatuh loh"

Aurel tidak mau mendengarkan perkataan Revan. Ia tetap melanjutkan jalannya menuju kamar. Akan tetapi, sesuai dugaan Revan, Aurel hampir saja terjatuh. Beruntung saat itu Revan dengan sigap menangkap tubuh Aurel.

"Wah aku beneran hampir jatuh. Kakak peramal ya? Kok bisa tau sih" ucap Aurel.

"Kan Kakak udah bilang. Kamu sih nggak mau dengar"

Akhirnya Revan membantu Aurel berjalan masuk ke dalam kamar.

Pada pukul 1 dini hari, Aurel terbangun dari tidurnya akibat mimpi buruk.

Sudah beberapa tahun belakangan ini Aurel selalu mengalami mimpi buruk, tentang dirinya yang dibully saat masih kecil akibat penglihatannya.

Keluarganya tidak ada yang mengetahui tentang hal ini. Ia sengaja memilih untuk menyembunyikannya karena tidak ingin membuat keluarganya khawatir.

Jika sudah bermimpi seperti itu, biasanya Aurel selalu pergi ke kamar Revan dan meminta Kakaknya untuk menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya.

Ya, usia yang terpaut 8 tahun itu membuat Aurel sangat manja kepada sang kakak.

Tok tok tok

"Kak Revan. Udah tidur?"

"Belum. Tunggu sebentar" sahut Revan dari dalam kamar.

Pintu kamar terbuka dan muncul lah Revan yang baru saja selesai mandi.

Aurel yang dapat mencium bau harum dari sabun dan shampo yang digunakan Revan, mulai menebak apa yang dilakukan Revan malam ini.

"Kakak mandi malam-malam?" tanya Aurel.

"Iya panas banget soalnya. Kenapa Dek? Kok belum tidur?"

"Nyanyiin aku dong. Aku nggak bisa tidur Kak. Boleh ya?" ucap Aurel, memasang tampang memohon.

Kalau sudah begitu, Revan tidak bisa menolaknya dan akhirnya menyetujui permintaan Aurel.

"Ya sudah. Ayo ke kamar kamu. Nanti Kakak nyanyiin"

"Makasih Kak"

Tidak segan-segan Aurel merangkul lengan Revan dan mengajaknya masuk ke kamar tidurnya.

Sesampainya di kamar, Aurel mulai berbaring di ranjangnya. Sedangkan Revan duduk di kursi dekat tempat tidur dan mulai menyanyikan lagu sambil mengusap kepala adiknya itu. Suara merdu Revan, membuat Aurel menjadi lebih tenang dan tidak lama kemudian ia pun tertidur.

Terukir sebuah senyuman di wajah Revan ketika melihat Aurel. Adiknya yang dulunya sangat pendiam, penyendiri, sering putus asa, cuek, dingin disaat penglihatannya menghilang. Kini mulai menerima takdirnya dan berusaha kembali menjadi gadis yang periang.

Karena kembali mengingat masa lalu, Revan teringat saat dimana untuk pertama kalinya dirinya menangis histeris, saat mengetahui Aurel tidak dapat melihat lagi.

Flashback on

"Mami, Papa, kenapa Aurel tiba-tiba nggak bisa lihat? Aku nggak mau dia buta. Aku nggak tega lihat dia buta. Dia masih kecil"

Revan menangis histeris saat mengetahui keadaan adiknya sekarang yang berada di rumah sakit.

"Mami dan Papa juga nggak tega sayang. Kami juga tidak mau Aurel jadi seperti ini. Mendonorkan mata seseorang tidak semudah kelihatannya. Kamu sabar ya. Mami dan Papa juga sedang berusaha untuk membuat adik kamu bisa melihat lagi" ujar Kayla, mencoba menahan tangisnya.

"Kasih mata aku aja. Aku nggak apa-apa nggak bisa lihat yang penting jangan Aurel. Dia pasti sangat sedih sekarang"

"Kamu jangan bicara seperti itu sayang. Sebaiknya kamu tunggu di luar sekarang dengan Mami Kay ya. Nanti Papa yang akan menemui Dokter" ucap Aldo.

"Tapi Pa.."

"Papa mohon Revan. Honey, tolong kamu ajak Revan untuk tunggu di luar" pinta Aldo.

"Iya bee. Ayo sayang kita tunggu di luar"

Kayla mengajak Revan untuk menunggu di luar. Revan terus berteriak tidak ingin pergi dari ruangan Aurel yang masih belum siuman. Namun, setelah dibujuk oleh Aldo dan Kayla berulang kali akhirnya ia pun mau menunggu di luar.

"Mami aku mau Aurel bisa melihat lagi" lirih Revan.

"Mami juga nak. Kita sama-sama berdoa ya"

Kayla menggenggam tangan Revan, untuk menguatkannya.

Setelah menunggu beberapa lama, Aldo keluar dari ruangan dokter dengan wajah sedih.

"Bagaimana Mas? Apa sudah ada donor mata untuk Aurel?"

Aldo menggeleng pelan.

"Kata Dokter benturan yang dialami Aurel sangat keras hingga membuat saraf penglihatannya rusak. Untuk dilakukan operasi pun resikonya akan sangat berbahaya. Jika kita memilih langkah operasi, kemungkinan hidup hanya 10 persen. Aku tidak mau kehilangan Aurel. Dulu aku sudah menelantarkan kamu dengan dia. Untuk sekarang aku benar-benar tidak ingin melakukannya. Sebaiknya kita biarkan dia seperti saat ini, yang penting dia bisa hidup honey"

Tangis Kayla mulai pecah. Air mata yang sedari tadi ditahannya tidak mampu dibendung lagi. Ia tidak sanggup melihat anak perempuannya tidak dapat melihat seperti itu. Revan yang berada di sebelah Kayla pun ikut menangis.

Aldo menarik keduanya kedalam pelukannya dan mencoba menenangkan mereka.

"Jangan menangis. Nanti Aurel bisa sedih. Kita sama-sama berdoa ya. Semoga Aurel bisa melihat lagi nantinya"

Aldo mencium puncak kepala Kayla dan Revan secara bergantian. Hatinya merasa bimbang. Di satu sisi dia sangat ingin Aurel bisa melihat lagi. Tapi di sisi lain, nyawa Aurel bisa menjadi taruhannya.

"Kita sama-sama harus menguatkan Aurel ya. Jaga dia dan jangan pernah tinggalkan dia saat merasa sedih. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang" lanjut Aldo, semakin mengeratkan pelukannya kepada anak dan istrinya.

Flashback off

Rasa Suka

Aurel akan mendaftarkan diri ke salah satu kampus, yang kebetulan menerima mahasiswa penyandang disabilitas. Ia pergi bersama sahabatnya Riska dan juga Revan sang Kakak.

Revan dan Aurel duduk di kursi depan mobil, sedangkan Riska duduk di kursi belakang. Riska terus curi pandang ke arah Revan. Ya, sahabat dari Aurel itu memang sangat menyukai Revan sejak lama. Namun, Revan tentu saja hanya menganggap Riska hanya teman dari Adiknya.

Sesampainya di kampus, Revan langsung menuntun Aurel menuju ke ruang pendaftaran. Mereka disambut baik oleh Dosen-dosen disana dan segera mendaftarkan Riska dan juga Aurel di kampus itu.

Setiap pare Dosen berbicara, Aurel selalu bersembunyi dibalik tubuh Revan. Karena selama ini dirinya selalu mengasingkan diri berkomunikasi dengan orang asing, ia pun masih merasa takut jika ada yang mengajaknya berbicara.

Untung saja Revan sangat tanggap dan memahami kondisi Adiknya. Sehingga dia lah yang menjawab setiap pertanyaan.

Setelah selesai mendaftar, Revan mengajak Aurel dan Riska untuk makan terlebih dahulu di sebuah restoran.

Riska yang sangat menyukai Revan merasa sangat bahagia karena bisa berlama-lama bersama pujaan hatinya.

"Kalian mau pesan apa?" tanya Revan.

"Seperti biasa Kak, makanan kesukaan aku" jawab Aurel.

"Kalau kamu Riska?"

"Ehmm..Aku juga sama kayak Aurel"

"Oke. Mbak pesan soto ayam 3 ya"

Revan sangat mengetahui makanan kesukaan Aurel, sehingga tidak perlu berlama-lama untuk memesa makanan.

Saat sedang menunggu makanan tiba, hp Revan mulai berdering. Dia tersenyum sekilas setelah melihat nama panggilan di layar ponselnya.

"Tunggu ya, Kakak mau angkat telfon dulu" kata Revan, lalu beranjak dari kursinya.

"Rel, ngomong-ngomong telfon dari siapa ya? Tadi aku lihat Kak Revan senyum setelah lihat nama dari layar ponselnya" ujar Riska.

"Palingan itu telfon dari pacarnya, Kak Bela" kata Aurel menjawab dengan santai.

"Yah sedih deh. Mereka udah berapa lama sih pacaran? Kok langgeng hubungan mereka" kesal Riska.

"Alhamdulillah dong kalau langgeng. Kamu boleh suka Kak Revan, tapi doakan yang terbaik untuk dia. Itu baru namanya fans yang sesungguhnya"

"Iya Rel. Aku ngerti kok"

Raut kesedihan terpampang di wajah Riska. Meskipun Aurel tidak bisa melihat, tetapi ia tahu sahabatnya itu pasti sangat merasa sedih.

Aurel memang mengetahui perasaan Riska kepada Revan. Mereka telah bersahabat sejak kecil dan saat SMP, Riska berani mengutarakan perasaannya kepada Revan. Namun, pria itu menolak karena hanya menganggap Riska tidak lebih dari seorang Adik baginya.

Ternyata perasaan itu tidak berubah dan Riska tetap menyukai Revan, meskipun Revan telah mempunyai kekasih.

Beberapa saat kemudian, Revan kembali ke tempat duduknya setelah menerima panggilan telepon.

"Dari siapa Kak? Kak Bela ya?" tanya Aurel.

"Iya. Aku mau jemput dia dari bandara sore nanti" jawab Revan.

"Baiklah"

Makanan pun telah siap dihidangkan dan mereka pun mulai menyantap makanannya.

Selesai makan, mereka mengantar Riska untuk pulang lebih dulu, setelahnya baru Revan dan Aurel untuk pulang ke rumah.

Di perjalanan pulang, Aurel memutar musik dan bersenandung kecil. Revan melirik ke arah Aurel dan tersenyum melihat Aurel yang mulai kembali ceria.

"Kakak senang loh kamu sudah ceria lagi seperti dulu" ucap Revan.

"Iya Kak. Aku harap aku bisa beradaptasi nantinya di kampus"

Revan menggenggam tangan Aurel.

"Kamu pasti bisa melalui semua hal buruk yang terjadi. Jangan pantang menyerah ya"

Aurel mengangguk. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang saat Revan menggenggam tangannya. Ia mulai berpikiran aneh. Namun, dengan cepat ia segera menepis pikiran anehnya itu.

Masa sih aku deg-degan sama Kakak aku sendiri. Kakak kandung lagi. Batin Aurel.

Aurel memang belum mengetahui kebenarannya. Aldo dan Kayla sengaja belum memberitahukannya kepada Aurel, karena tidak ingin anak perempuannya itu kembali bersedih setelah mengetahui fakta yang sebenarnya. Karena selama ini Aurel sangat menganggap Revan sebagai satu-satunya Kakak kandung yang ia miliki.

Mobil mulai menepi di halaman rumah mereka. Aurel yang memang sudah hapal dengan kondisi rumahnya, langsung turub dari mobil tanpa bantuan Revan.

"Eh anak Mami yang ganteng dan cantik ternyata udah pulang ya. Gimana kampusnya? Ramah-ramah nggak orangnya?" tanya Kayla.

"Bagus kok, Mi. Dosennya ramah-ramah. Semoga nanti aku betah disana"

"Syukurlah kalau memang bagus. Gimana keadaan kampusnya Revan? Kelihatan bagus nggak?"

"Menurut aku bagus dan nyaman. Aurel pasti betah" kata Revan.

"Wah Mami jadi tambah semangat dengarnya. Kalau begitu, nanti malam Mami akan buatkan makan malam spesial untuk kita semua" ucap Kayla.

"Maaf Mami aku sebenarnya pengen ikut makan malam dengan kalian, tapi aku sudah terlanjur janjian dengan Bela. Hari ini dia pulang" ujar Revan.

"Kalau begitu kamu ajak aja dis kesini. Makan malam bersama bareng kita. Kan sudah lama dia nggak kesini lagi"

"Iya Kak. Ajak Kak Bela aja" sambung Aurel.

"Baiklah kalau begitu. Nanti aku ajak dia kesini" kata Revan.

Sepertinya malam ini aku harus menunda lamaranku pada Bela. Batin Revan di dalam hati.

Revan pamit untuk menjemput Bela di bandara. Sedangkan Aurel tampak sedang mengobrol dengan Kayla di ruang keluarga mereka.

"Papa belum pulang ya, Mi?"

"Iya belum"

"Oh iya Mami aku mau tanya, kenapa sih Kak Revan nggak pernah marahin aku? Nggak kayak Kakaknya Riska yang selalu marahin dia, selalu berantem. Aku tuh pengen kayak dia sekali-kali berantem gitu" ujar Aurel.

"Ih kamu mah aneh. Harusnya kamu senang karena Revan nggak pernah marahin kamu. Artinya dia sayang banget sama kamu"

"Apa iya, Mi? Pantasan jantung aku sering deg-degan kalau Kak Revan perhatian ke aku. Artinya dia sayang ya?"

Kayla terkejut mendengar perkataan Aurel yang sangat polos.

"Jantung kamu deg-degan? Maksud kamu seperti apa sayang?"

"Iya deg-degan kayak mau copot gitu, Mami. Artinya aku memang sayang banget ke Kak Revan kan?"

"Iya benar"

Kayla terdiam sesaat. Ia merasa kehidupannya yang dulu akan berimbas ke putrinya saat ini. Meskipun Aurel dan Revan memang bukan saudara kandung, tapi tetap saja mereka tidak menginginkan adanya hubungan diantara kedua anak mereka.

"Sayang, kamu menganggap Kakak kamu sebagai Kakak kan? Bukan sebagai pacar?" tanya Kayla dengan hati-hati.

"Iya. Memangnya kenapa Mami?"

Kayla bernapas lega.

"Nggak kok. Mami cuma tanya aja. Ya sudah kamu naik ke kamar kamu aja ya" ucap Kayla.

"Iya Mami"

Aurel berjalan dengan tongkatnya sebagai penunjuk jalan menuju ke kamarnya. Sebenarnya ia mulai sadar maksud dari pertanyaan Ibunya. Sejujurnya ia sedikit merasa suka dan nyaman pada Kakaknya dan merasa sedikit tidak rela, jika nanti Kakaknya akan menikah. Entah itu disebut rasa suka sebagai saudara atau yang lainnya, tetapi itu lah yang dirasakan Aurel saat ini.

Senior

Makan malam pun tiba. Revan mengundang kekasihnya yaitu Bela untuk makan malam bersama keluarganya.

Bela yang kala itu tampil sangat anggun dengan rambut terurai indah bergelombang, tiba bersama Revan di kediaman keluarga Aldo.

Aldo, Kayla dan juga Aurel menyambut baik kedatangan Bela.

"Hai Tante, Om, Aurel, sudah lama ya aku nggak main ke sini" ucap Bela, berbasa-basi.

"Iya kami udah kangen nih. Ayo masuk" ajak Kayla.

Bela pun masuk ke dalam rumah dan mendekati Aurel.

"Aurel sayang, katanya kamu udah mau masuk kampus ya? Selamat ya. Ini hadiah untuk kamu"

Bela menyodorkan sebuah kado berwarna biru cerah untuk Aurel. Ia pun menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.

Saat di tengah makan malam mereka, Aldo mulai membuka percakapan.

"Jadi kapan kalian akan menikah?" tanyanya pada Revan dan juga Bela.

"Revan belum lamar aku Om. Jadi aku nggak tau deh" ucap Bela, sambil tertawa.

"Secepatnya kok, Pa. Tunggu aja" sambung Revan.

"Iya cepetan nikah. Kamu kan sudah 26 tahun. Jadi sudah cukup umur untuk nikahin Bela. Jangan kasih harapan palsu untuk kekasih kamu, nanti ditinggalin loh" kata Aldo, bercanda.

"Iya Papa. Pasti aku akan lamar kok"

Semua orang tertawa di ruangan itu, kecuali Aurel. Tidak ada senyum sedikit pun di wajahnya. Entah kenapa ia ingin sekali mengatakan bahwa dirinya belum siap melihat Revan menikah. Namun, semuanya ia urungkan karena tidak ingin merusak suasana kebahagiaan yang ada di ruangan itu.

Kayla yang melihat putrinya tidak senyum sama sekali langsung merasa khawatir.

"Kamu kenapa sayang? Kamu sakit? Kok dari tadi diam"

"Siapa yang sakit? Aurel sayang kamu sakit?" tanya Aldo.

"Nggak Mama, Papa, nggak apa-apa. Aku masuk ke kamar dulu ya"

"Mau Kakak anterin nggak?" tawar Revan.

"Nggak usah Kak. Aku bisa sendiri"

Sambil meraba-raba sekelilingnya, Aurel menuju ke dalam kamarnya. Di dalam kamar, ia memegang jantungnya yang tiba-tiba terasa sakit. Kemudian, air matanya pun tiba-tiba ikut terjatuh bersama rasa sakit yang dirasakannya saat ini.

Pukul 1 malam saat keadaan rumah sudah gelap gulita karena telah tidur, terlihat seorang wanita yang memakai pajama berwarna cokelat dengan rambut tergerai, menyusuri taman di belakang rumah menggunakan bantuan tongkat. Ya, siapa lagi kalau bukan Aurel.

Karena belum bisa tertidur, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang sambil menghirup udara segar.

Kini Aurel tengah duduk di kursi taman sambil memejamkan matanya. Meskipun memejamkan mata atau pun tidak tak akan mempengaruhi keadaan penglihatannya. Namun, entah kenapa Aurel sangat ingin memejamkan mata seperti orang normal lainnya. Ia seperti terus berharap saat akan membuka mata, dirinya dapat melihat dengan jelas seperti ingatannya 12 tahun yang lalu, saat ia masih melihat semuanya dengan jelas.

Saat tengah asyik memejamkan mata, tiba-tiba ia merasakan sebuah pelukan melingkar di tubuhnya, membuat Aurel terlonjak kaget.

"Siapa itu?" tanya Aurel, ketakutan.

"Kakak kamu yang paling ganteng" jawab seseorang yang ternyata adalah Revan.

"Kakak ngapain disini?"

"Memangnya aku nggak boleh disini?"

"Boleh. Tapi aku penasaran aja. Tumben banget malam-malam ke taman belakang" ucap Aurel.

Revan duduk di samping Aurel, kemudian menatap wajah sang Adik begitu lekat.

"Kamu marah sama Kakak ya?"

"Nggak kok. Siapa bilang?"

"Aku yang bilang. Kamu sebenarnya kenapa? Raut wajah kamu terlihat sedih sejak makan malam tadi. Apa jangan-jangan kamu tidak setuju kalau Kakak akan menikah?"

Aurel hanya diam. Ia tidak bisa membantah atau menjawab pertanyaan dari Revan.

"Jujur lah. Kakak nggak mau disaat Kakak menikah nanti, adik kakak satu-satunya terlihat sedih" lanjut Revan.

"Aku..Aku hanya takut"

"Takut kenapa?" tanya Revan.

"Takut tidak ada lagi yang peduli padaku" lirih Aurel.

Revan kembali memeluk Aurel, mencoba menghiburnya.

"Jangan takut, karena Kakak tidak akan pernah meninggalkan kamu selamanya, Dek"

Aurel membalas pelukan Revan. Ada rasa nyaman dihatinya saat memeluk tubuh Revan. Ingin rasanya ia memeluk sedikit lebih lama lagi. Namun, Revan segera melepas pelukannya.

"Ayo Kakak antar ke kamar kamu. Diluar sini dingin, nanti kamu masuk angin"

Aurel mengangguk dan kembali masuk ke dalam kamarnya.

Keesokan harinya, Aurel terlihat mulai bersiap untuk masuk kuliah. Ya, ini adalah hari pertamanya berkuliah.

Revan memutuskan untuk mengantar Adik kesayangannya itu ke kampus barunya. Sesampainya di kampus, ternyata sudah ada Riska, sahabat Aurel yang sudah menunggu di depan kampus.

Sebelum turun dari mobil, Revan pun mulai menasehati Aurel.

"Jangan nakal ya di kampus. Dengerin perkataan yang baik-baik dan buang yang jahat-jahat, oke?"

"Ih Kakak apaan sih kayak anak kecil aja. Iya tau. Aku pergi ya"

"Hati-hati Adikku sayang. Riska, tolong jaga Aurel ya"

"Siap Kak" kata Riska, sambil memasang senyum termanisnya.

"Kalau begitu Kakak pamit dulu ya Aurel. Telfon aja kalau udah pulang, nanti Kakak jemput. Daah" pamit Revan.

"Daah Kak"

Aurel dan Riska melambaikan tangan ke arah Revan, kemudian setelah itu mereka mulai masuk ke dalam kampus.

Di sana, keduanya harus berpisah karena Aurel harus masuk ke dalam kelas bimbingan untuk penyandang disabilitas. Sedangkan Riska di tempat orang normal lainnya.

Saat jam makan siang, Riska mengunjungi ruangan Aurel dan mengajaknya makan siang.

"Rel, ayo makan. Capek banget nih"

"Iya, ayo kita pergi"

Saat sampai di kantin, semua tempat sudah penuh membuat Riska bingung untuk duduk dimana.

Tiba-tiba ada senior laki-laki yang menawari Aurel dan Riska untuk duduk di tempatnya yang kebetulan masih ada 2 kursi kosong.

"Terima kasih Kak" ucap Riska.

"Iya sama-sama. Santai aja. Silahkan duduk"

Laki-laki itu mempersilahkan mereka duduk, kemudian melanjutkan pembicarannya bersama 2 temannya yang lain.

Beberapa saat kemudian, terlihat laki-laki yang tadi mempersilahkan duduk sering melirik ke arah Riska dan Aurel.

Aurel yang memang tidak bisa melihat hanya santai menyantap makanannya. Berbeda halnya dengan Riska yang terlihat salah tingkah setiap senior itu melirik ke arah mereka.

Laki-laki itu pun mulai membuka pembicaraan.

"Hai. Nama kamu siapa?"

Riska yang mengira senior tadi menanyakan namanya pun langsung menjawab dengan malu-malu.

"Riska Kak"

"Eh Maaf. Aku lagi tanya teman kamu yang disamping. Kalau boleh tau namanya siapa ya?"

Riska yang merasa sangat malu karena ternyata bukan dirinya yang dilirik sejak tadi, akhirnya hanya bisa tertunduk lesu.

"Nama saya Aurel, Kak"

"Ohh Aurel. Namaku Alvin. Salam kenal ya"

Aurel mengangguk dan tersenyum.

"Senyum kamu manis banget"

Alvin berkata sambil memangku dagu, membuat teman-temannya menyoraki dirinya.

Aurel hanya diam, sedangkan Riska terlihat kesal.

"Ayo Aurel kita pergi dari sini"

"Eh udah mau pergi aja?" tanya Aurel.

"Iya. Panas banget disini" jawab Riska.

Sebelum pergi, Aurel tidak lupa pamit dan mengucapkan terima kasih kepada senior yang tadi sudah memberikannya kursi.

"Terima kasih Kak"

"Iya sama-sama. Pasti kita akan bertemu lagi nanti" ucap Alvin.

Riska langsung menarik lengan Aurel untuk menjauh pergi, sebelum ia menjawab ucapan dari Alvin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!