NovelToon NovelToon

Telapak Tangan Ranaa

Cuap-cuap dan Prolog

Assalamu’alaikum? 

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah subhanahu wa ta'ala.

KENAPA SAYA MENULIS "TELAPAK TANGAN RANAA"????? 👇👇

Semua itu bermula dari kekaguman saya pada seorang penghafal Alquran.

Saya terenyuh melihat anak-anak di usia dini sudah pintar mengaji. Bahkan, mereka punya kemampuan lebih dari saya. Kenapa bisa begitu?

Ada yang mengajinya masih banyak perbaikan, tapi semangat menghafal. Kok mau?

Ada yang tidak ingin mondok dan menghafal, tapi kenapa tetap mau berangkat meski dimulai dari keterpaksaan disuruh orang tua?

Kenapa ada banyak perempuan usia matang menikah, lebih memilih merampungkan hafalan daripada menikah? Padahal, sudah dilamar. Lalu, memilih memperjuangkan Alquran dan justru melihat orang yang melamar sudah menikah dengan orang lain. 

Dan, ini pertanyaan paling mendasar, bagaimana caranya mereka punya hafalan hingga mutqin? Hingga mereka punya hafalan yang benar-benar bagus. Apa tirakat yang mereka lakukan selama di pesantren?

Dari beberapa pertanyaan itulah, saya mengamati, mencoba mencari tahu, menggali pengalaman orang dan pengalaman diri sendiri. Sebab, saya tahu MUTQIN itu perkara yang susah untuk disebutkan.

Alhamdulillah saya mempunyai banyak teman hafizah Alquran. Saat saya menyebut itu sebagai karya yang telah diperjuangkan, mereka menolak argumen itu, katanya itu pengabdian. Notabene berangkat dari ikhtiar yang tidak gemen-gemen (ecek-ecek).

"Ternyata menjadi penghafal Alquran itu sulit, baik perjuangan dan segala tirakatnya. Tapi, lihatlah betapa banyak yg menginginkan itu." Rata-rata dg dasar keinginan yg sama.

Terlepas dari semua itu, mereka mengatakan rela menunda menikah, takut hafalan tidak rampung. Ironisnya, dari beberapa yang saya tanya, sebelum saya melibatkan pengalaman sendiri, mereka bilang rata-rata pernah terjebak dalam posisi itu. Jodoh datang di tengah gencar-gencarnya meraih hafalan. Apalagi seusia saya usia yang sangat matang untuk menikah. Justru milih ngempet, menunda nikah sampai hafalannya khatam. 

Hingga di akhir, saya ambil konklusi SANTRI MENARIK UNTUK DIBAHAS. MEREKA PUNYA PERJUANGAN YANG TIDAK SEMUA ORANG TAHU. Walaupun di akhir kisah di pesantren, mereka pulang dan misalnya hanya mengajarkan Alquran. Tapi, mereka figur-figur yang ngugemi atau nggondeli (memegang) sabda-sabda seorang guru.

Thanks for:

Allah Subhanahu Wata'ala atas semua nikmatnya. Fabiayyi alaa-i rabbikuma tukaddziban??

1. UMMIK FAZA FAIZATUL UMMAH (Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Tulungagung) yang saya inspirasikan diam-diam. Saya memerhatikan beliau bersikap dan memperlakukan santri-santri.

👉 Beliau pernah bercerita hanya menghafalkan Alquran dalam 1,5 th saja. Jd, setiap hari yg dipegang selalu Alquran lagi dan lagi. Tahu-tahu pulang, pulang abah beliau kaget putrinya sudah khatam dalam waktu secepat itu.

2. MBAK BINTI ISNA (alumni Ponpes Cukir Walisongo Jombang).

👉Bilang, "Hmm banyak sih mbk, setiap ayat yg dihafal selalu punya cerita sendiri.. Yg pling berkesan sampai sekarang itu saat mnghafal ayat yg paling sulit dihafal mbk. Pengorbanannya itu besar banget mulai dari waktu, pikiran, mental, dan kesabaran.. Saat itu aku mikir, 'apa bisa aku lancar suatu saat? Mnghafal semene suwene (segini lamanya) sepertinya gak ada kemajuan sama sekali. Sampe nangis2 sendiri mbk.. Alquranku iki wes dadi teman berjuangku pokoke.

👉 Usia 24 tahun. Menghafal sejak SMP.

3. MBAK ZUMROTUL FAIZAH (almuni Ponpes Lirboyo, PP. Al-Baqoroh, Kediri), yang kini telah menikah setelah hafalan rampung.

👉 Usia 24 tahun. Menghafal sejak MAN.

4. Mbak Asma' Barirotul (santri Pondok Tahfidz Semanding Pare Kediri Jawa Timur)

Dia yang masih berjuang keras memutqinkan hafalan. Lagi-lagi ngempet rabi (nahan nikah). Berjuang meraih mimpi-mimpinya. Pernah ditinggal sang ibunda ketika proses itu. 😢😢

👉 Usia 26 tahun dan menghafal dari MI.

5. Mbak Umi Sayyidah (santri Ponpes Melathen, Kauman, Tulungagung)

Dia pernah gagal ta'arufan, tapi tetap sabar pokok hafalane kudu panggah diperjuangne (hafalannya harus tetap diperjuangkan).

👉 Usia 24 tahun, menghafalkan dari MAN.

6. Ziana Zain (alumni IAIN TULUNGAGUNG), sahabat yang juga masih berproses hafalan. Mohon doa semoga dilancarkan🙏🤲

👉 Usia 25 tahun. Menghafal dari semester 4.

7. Anak-anakku di SMP Islam Qur'an Karangrejo, Tulungagung, yg secara khusus memberi saya inspirasi setiap hari.

8. Dan semua kawan-kawan yang diam-diam saya inspirasikan.

Masa lalu yg tidak seindah harapan... Wkwkwkwk

▶️▶️ Karya saya yg pernah terbit juga bercerita tentang hafidzah Senja Bersama Alquran. Juara I cipta novel nasional tema "umur" dr penerbit Hanami, Semarang, Jawa Tengah.

🌷🌷 Masuk cerita 🌷🌷

Nggak seru kalau baca cuma mampir.. 😊

👉 Silakan tinggalkan like, komentar, dan vote...

Setiap telapak tangan pasti memiliki kekuatan. Ada kerja keras yang telah terbenam dalam kesaksiannya. Setiap genggamannya memperkuat segala yang lemah. Ia mampu menggapai, merasakan, memberikan kejutan perasaan yang belum diketahui sebelumnya, meneduhkan, dan melengkapi jemari yang lain. Tapi, lihatlah aku yang kini terkulai tidak berdaya. Telapak tanganku tidak mampu lagi memberikan semua itu.

“Rana, lihat Aba, Rana!” Abaku hampir-hampir saja putus asa di depan wajahku yang berlumuran darah. Sementara, umaku berseru tangis tak habis-habis. Dua bocah cilik kembar yang ingusan, yang biasanya kupanggil Bocil Indi dan Anda, hanya ikut-ikutan menangis kenapa aba dan uma sampai sebegitunya.

“Rana, kamu harus kuat.” Kurasakan jemari uma yang hangat memberikan segenap kekuatan penuh, tapi aku sungguh tidak lagi berdaya di tengah rasa seperti sakaratul maut.

Satu detik, dua detik, tiga detik menghitung kedip kelopak mataku yang sudah tidak sanggup terbuka. Akhirnya, aku mengalah pada rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Empat pasang tangan yang menggoyang-goyangkan tubuhku tidak kurasakan lagi.

“Kakak? Kakak?” Bocil Indi dan Anda menangis menjadi-jadi.

“Cepat dorongnya!” Uma berteriak sekeras-kerasnya.

Aba dan uma tidak bisa masuk ke ruang UGD. Mereka berempat saling memeluk. Merengkuh meneguhkan dan memberikan kesabaran, juga mengurangi rasa khawatir bahwa pasti tidak akan terjadi apa-apa.

“Kita harus yakin.” Singkat aba melontarkan kata saat meneteskan air mata. Tangan aba semakin kuat merengkuh.

Tubuh Indi terus bergetar. Uma menyentuh kening Indi yang ternyata panas. Tiba-tiba dia terserang demam tinggi. Saking hebatnya rasa takut yang Indi rasakan.

“Indi demam tinggi.” Uma terkejut. Anda, kakak Indi, memeluk uma karena takut. Bola mata kecilnya seolah bertanya—kenapa ini?

“Kita bawa ke perawat itu.” Aba langsung menunjuk perawat wanita yang tidak sengaja dilihatnya.

Mereka bertiga bergegas berlari. Aba menggendong Indi.

“Mbak, Mbak tolong anak saya diperiksa. Tiba-tiba dia demam tinggi. Tolong!”

“Iya, Ibu. Silakan ikut saya ke ruang dokter.”

“Antar Indi dan temani Anda, Aba akan mengurus administrasi Rana.”

“Iya.” Uma mengangguk. Mereka berdua berpaling arah saling membagi tugas. Derap langkahnya terdengar tergesa-gesa. Menyelamatkan kami putri-putri berharganya.

Aba menungguku mendapatkan penanganan darurat. Aba terduduk lesu. Aba terus memberikan kepercayaan diri meski sebetulnya wajah menua itu kini sedang amat khawatir. Berkali-kali kakinya bergoyang-goyang tidak sabar menunggu dokter keluar.

Flashback. (Sebelum kelahiran Ranaa)

“Maaf, Bapak. Kami memperkirakan istri Anda tidak bisa memiliki anak dalam waktu yang lama.”

“Kira-kira butuh waktu sampai kapan kami harus menunggu?”

“Sekitar lima sampai enam tahun.”

Harapan aba putus. Terlebih lagi uma sebagai tempat aba berharap memiliki momongan segera. Uma sangat merasa bersalah tidak bisa langsung memberikan kebahagian untuk aba. Uma berbaring memalingkan muka begitu aba menghampiri

“Aku dengar semuanya.” Uma menyembunyikan tangisnya.

“Iya tidak apa-apa. Kita harus sabar.” Aba berusaha menunjukkan wajah tenang untuk meredakan segala resah di hati uma. Aba duduk melihat wajah basah uma. Lalu, aba menghapusnya perlahan.

“Aku tidak sempurna, Mas. Dulu aku berjanji akan membahagiakanmu. Tapi....” Uma tidak kuasa melanjutkan. Tangisnya terburu-buru menyela. Punggungnya bergetar. Menangis sesenggukan.

“Sudahlah. Itu tidak penting. Sekarang, kita hanya perlu menunggu. Kita berdoa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Ai.” Kedua telapak tangan itu menyatu memberikan kekuatan. Semakin mengerat dengan harapan-harapan baru yang digantungkan pada Tuhan.

Aba adalah telapak tangan terkuat uma. Sebab hadir putri-putri aba, telapak tangan itu akhirnya menjadi milik kami. Dan, yang kini aba gusarkan, bagaimana jika dengan telapak tangannya aku tidak mampu lagi memiliki telapak tangan yang kuat untuk menggenggam semua cita dan cintaku nanti. Seumur-umur aba tidak pernah setakut ini. Setetes air mata yang jatuh memperlihatkan semua perasaan aba. Jika terlalu banyak membendung, hati pun bisa menumpahkan segala-galanya.

Setengah jam kemudian. Bunyi pintu terbuka menolehkan wajah aba. Ayah berdiri, mengusir rasa cemas. Aba sangat berharap dokter memberikan kabar baik. Aba tidak ingin aku hidup dalam ketidakberdayaan.

“Pak, sebelumnya kami minta maaf....”

Mendengar pengantar kata itu, harapan aba kabur seketika. Aba menggenggam tangannya sendiri. Uma yang berada di belakangnya menduga yang tidak-tidak saat melihat aba tertunduk. Adikku, Bocil Anda, menatap uma dalam-dalam. Ada hal yang begitu ingin ia mengerti. Apa artinya itu? []

Tujuh Belas Tahun Pertama

Mohon maaf sebelumnya. Saat membaca cerita, jika ada yang kesulitan terjemahannya, mohon untuk meninggalkan komentar supaya langsung bisa merevisi. Karena jika misal tidak komentar apa pun, sedangkan sy akan berulang kali merevisi halaman yang jumlahnya mencapai 1000 hal word, itu memakan waktu yang lama. 😃😃

Novel ini direvisi setiap saat. Jadi, sy revisi sudah berulang kali, sebenarnya. Maka, dengan panjenengan meninggalkan komentar, itu akan memudahkan saya mengetahui langsung pada bab mana dan bagian mana yang sulit. Dan, sy tidak perlu revisi berulang kali dengan jumlah halaman yang seperti kereta. 🙈🙈🙈

🌹🌹🌹

Flasback

Keinginan terbesar aba dan uma saat aku lahir adalah aku bisa tumbuh dan berkembang seperti orang pada umumnya. Dulu, aku pernah didiagnosis dokter suatu saat aku bisa mengalami kelumpuhan. Mungkin hati aba dan uma tidak tenang hingga sekarang. Aba dan uma sangat memberiku perhatian lebih dan lebih. Aku tahu. Uma pernah bercerita padaku soal itu. Tapi, telapak dua pasang telapak tangan itu tidak pernah berhenti memberikan kehangatan. Cinta mereka utuh. Tidak ada rongga di sisi-sisinya. Aku selalu yakin aku bisa melalui semuanya dengan baik. Buktinya, sekarang aku sudah mampu melewati tujuh belas tahun pertamaku tanpa ada kejadian apa-apa.

Justru sekarang, keluarga kami bertambah. Kekhawatiran aba dan uma yang dibendung selama ini, setidaknya mencair karena kelahiran Si Kembarku. Aku turut bahagia. Setiap pagi aku melihat wajah umaku yang berseri-seri. Wajah abaku yang tidak pernah kendur semangatnya saat hendak pergi bekerja—tukang jual bakso. Wajah-wajah mereka tidak lagi dihantui rasa khawatir. Mereka punya kesibukan lain selain hanya dengan memikirkan apakah aku sudah makan, di mana aku berada, juga kapan aku pulang—pertanyaan uma yang selalu ditanyakan padaku saat aku pergi. Pesan baik-baiklah selalu anakku setidaknya tidak akan sering kudengar dari mulut aba.

Aba berangkat bekerja setelah berpamitan pada kami. Aku tersenyum lega merelakan kepergian aba dengan wajah penuh semangat itu. Aku selalu iri melihat aba jika begitu. Aku pun mendekati uma di seberang pintu—sedang menyusui.

“Ma, Aba kenapa selalu bisa semangat begitu, ya?”

Uma menatapku dengan senyum. Sebelum menjawab, ia mencium wajah Indi.

“Abamu, kan, selalu begitu, Rana. Jadilah seperti Abahmu yang gigih!”

Aku mengangguk mengerti. Aba adalah sosok pahlawan bagi uma. Aku tidak heran jika yang kudengar melulu kalimat itu.

“Eh, Ma. Adik aku panggil Bocil, ya. Boleh, kan?”

Uma tertawa. “Loh, kenapa gitu?”

“Ya dia masih kecil. Makanya kupanggil Bocil.” Aku gemas menciuminya.

“Iya terserah kamu saja, deh.” Uma menyembunyikan senyum.

Lantas uma berusaha meletakkan Bocil Indi. Ganti menggendong Bocil Anda. Lalu, berdiri lagi.

“Ehmm... Ma, aku mau ngomong sesuatu.” Aku ragu mengatakannya. Kugigit bibirku.

Uma menoleh, menatapku dengan saksama. “Apa?”

Kugaruk dahiku yang tidak gatal. “Tapi, Uma bilang boleh dulu dong,” kataku merayu-rayu.

“Ya nggak bisa, Rana. Apa dulu? Coba bilang sama Uma!” kata uma sambil mengayun-ayun.

Aku masih bergeming. Takut uma tidak mengizinkanku.

“Lho kok diam?” Uma pun duduk. Dia menatapku dalam. Mencoba memahami.

“Kamu suka sama seseorang?”

Bibirku spontan melongo. “Suka, Ma?”

Uma tertawa memperlihat giginya. “Terus apa?”

“Bukan itu lo. Aku pengen mondok, Ma. Nanti kalau aku sudah lulus MA.”

Uma diam. Aku jadi khawatir.

“Soalnya aku pikir Uma dan Aba sudah punya Si Kembar sekarang. Nanti aku pengen mondok di pondok Alquran, Ma. Gimana menurut Uma? Boleh, kan?” Aku memegang lengan uma. Kupandang ia penuh harap.

“Sekarang kamu sudah tujuh belas tahun...”

Aku memotong, “Berarti boleh, kan?”

“Nanti siapa yang bantu Uma merawat Adikmu kalau tidak ada kamu, Rana?”

Dahiku berkerut. Aku belum berpikir sampai ke situ. Tidak malah.

“Ya Uma sama Abah,” jawabku cengar-cengir.

Uma menghela napas. Dari situ, aku bisa menyimpulkan kalau uma tidak setuju. Uma menaruh harap aku di rumah saja, lalu ikut merawat Si Kembar. Belum juga tidak ada yang bantu-bantu aba jualan bakso di lapak.

“Uma, aku mondoknya setelah lulus, kok. Jadi, nanti Si Kembar pas sudah bisa jalan. Aku janji selama setahun ini, aku akan bantu Uma sama Aba. Sebelum aku pergi ke pondok.”

Uma terus menatapku. Seperti hendak mengiyakan atau tidak tega memangkas permintaanku.

“Nanti kita bicarakan sama Aba kalau Aba sudah pulang. Sekarang bantu Aba di lapak, gih!”

“Oke. Kalau begitu aku berangkat, Ma.” Kucium bergantian dua bocilku. Lalu, kukecup punggung tangan uma.

“Assalamu’alaikum?”

“Wa’alaikumussalam.”

Kali ini alasan uma memang bukan lagi soal kekhawatirannya padaku. Aku sendiri sebetulnya pun balik tidak tega membiarkan uma berjuang sendirian merawat Si Kembar dan aba yang harus jualan bakso sendirian. Belum lagi kalau pas lapak lagi ramai, pasti kewalahan. Tapi, tekatku sudah bulat. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Mungkin awal aku masuk madrasah tsanawiyah. Program jurusan agama yang kupilih setahun lalu pun kugunakan sebagai celengan aku masuk pondok quran.

Di usia tujuh belas tahun pertamaku, aku ingin meraih cita-cita terbesarku. Aku ingin terbang tinggi bersama mimpi-mimpiku di langit yang kuwarnai sendiri. Lalu, berjuang meraihnya hingga titik darah penghabisan. Aku sudah punya celengan lima juz. Kuhafalkan dalam kurun waktu kurang dua tahun. Kupikir aku juga tidak membutuhkan waktu yang lama berada di pondok. Jika aku benar-benar fokus di Alquran pasti dua tahun saja cukup. Dan, setelah itu mungkin aku akan kuliah sampai lulus S2. Atau, aku berkarir lebih dulu sebelum kuliah.

Aku terus berjalan menyusuri pinggir jalan setapak. Debunya beterbangan teseret tiupan angin musim kemarau panjang. Beberapa kaleng atau bekas minuman plastik kutendang ke sembarang arah. Terpental mengenai benda keras. Rasanya aku ingin segera meraih itu semua. Sesaat kemudian, lamunanku buyar karena dipanggil aba yang sudah melihat kedatanganku lebih dulu.

“Sini Rana! Bantu Aba cuci mangkuk dan gelas yang banyak itu.” Aba langsung menarik lenganku—memperlihatkan segunung tumpukan mangkuk dan gelas kotor. Kutatap mata sibuk aba.

Aba kembali melayani pembeli. Aku urung menyentuh kran air. Aku jadi sungkan dan tidak tega melihat kucuran keringat di pelipis aba. Rasanya ingin selalu kusentuh, kuhapus agar lelahnya setiap hari menjadi butiran semangat yang luar biasa. Sebab, aba memang senang jika aku membantunya. Aku langsung berpaling, buru-buru menyalakan kran ketika aba balik memerhatikanku.

“Tidak usah buru-buru.” Aba tersenyum.

“Hari ini rame ya, Ba?”

“Alhamdulillah rame. Kalau warung kita rame, kita bisa segera mengakikahi Adikmu, Ran.” Aba tersenyum bahagia. Dan, gerak gerik tangannya itu pertanda kegigihan aba memperjuangkan anak-anaknya.

“Butuh berapa banyak, Ba, kira-kira kalau akikahan begitu?”

“Ya kira-kira tujuh jutananlah. Lebihnya paling, ya, sedikit.”

“Sekarang sudah kumpul berapa duit?”

“Alhamdulillah sudah hampir cukup.”

“Rana tambahi sisanya, ya? Biar Si Kembar cepet diakikohi.”

“Lah, tidak perlu. Aba masih kuat kerja tiap hari. Kamu bantu kalau pas longgar saja yo.” Aba mengacak jilbabku saat aku menaruh mangkuk bersih di dekatnya—di rak tempat makan warna merah jambu pudar. Aba memperlihatkan semangatnya padaku dan memperlihatkan jiwa tanggung jawabnya yang besar. Aku meringis.

“Insyaallah nanti uangnya pasti sisa. Kalau sisa, nanti uangnya untuk persiapan kamu kuliah. Mau kuliah atau mondok kamu?”

Betapa girangnya aku mendengar pertanyaan pilihan itu. Saking gembiranya aku melompat-lompat. Aku tidak sadar diperhatikan pelanggan yang masih berusaha menghabiskan makan.

“Ba, Ba, Aba yakin ngasih pilihan itu ke Rana?” Mataku berbinar-binar menatap aba. Saking tidak mampu menahan kebahagiaan.

“Mau kuliah atau mondok?” Aba mengulangi. Abah menuangkan kuah ke mangkuk. Aromanya mengudara. Tercium kuah kaldu sapi yang membuat perut lapar.

Aku berbisik. “Aku pengen mondok aja, Ba.”

“Iya. Kasih baksonya ke laki-laki di pojok itu dulu.”

“Oke, Ba.”

Aku berjalan menghampiri laki-laki itu. Kutaruh mangkuknya.

“Minumnya sudah?” Kutawari.

“Belum. Es jeruk aja, Mbak.”

“Siap.”

Aku berbisik lagi, “Ba, pokoknya aku mondok, Ba.”

“Pondok mana?”

Kujawab sambil membuat es jeruk, “Pondok Quran. Terserah di mana aja, Ba. Aba yang milihkan boleh, kok. Aku mah pokoknya ngikut asal bisa setoran hafalan nanti.”

“Kamu memang kesayangan Aba, Rana. Aba saja tadinya mikir, apa kamu mau mondok. Soalnya kamu tidak pernah cerita ke Aba kalau ingin mondok.”

“Rana tidak berani. Karena sekarang sudah ada Si Kembar, Rana memberikan diri, Ba, “ kataku sejujur-jujurnya.

Aku beringsut memberikan es jeruknya. Benih semangat itu kini bertumbuh lagi. []

Metamorfosis Awal

Aku bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan apa pun. Apa saja yang terjadi padaku, semuanya bisa terbaca hanya dengan melihat wajahku. Kepulanganku dan aba dari lapak disambut uma dengan pertanyaan.

“Kamu kenapa, Kak?” Uma sedang menyusui Anda di depan pintu kamar tidur.

“Ma, Aba ngasih izin aku mondok lo. Uma gimana?” Bibir terus mengulum senyum.

“Iya boleh.” Uma langsung menjawabnya tanpa berpikir panjang lagi.

Tingkahku berubah seperti anak kecil lagi. Sungguh perasaan bahagiaku sedang meletup-letup. Tidak kusangka uma berbaik hati. Ledakan semangat itu menyentuh hingga relung hati. Hatiku menyala bahagia. Aku segera menciumi Bocilku Anda. Mungkin uma mengizinkan karena tidak tega menghilangkan pendar-pendar cahaya di mataku. Aku sudah telanjur berharap penuh saat aba mengizinkan. Akhirnya, aku akan mulai berproses.

***

Setahun berlalu. Aku melewati masa ujian kelas XII dengan baik. Aku dan semua teman-temanku dijamin lulus seratus persen sewaktu pengumuman tiga hari yang lalu. Ijazah, surat keterangan lulus, dan legelisirnya akan segera aku urus secepatnya—tidak boleh membuang waktu. Aba dan uma begitu bangga padaku. Belum lagi aku pun dinyatakan sebagai siswa terbaik kedua peraih nilai UN. Aku mendapatkan penghargaan, thropy, piagam, dan cendera mata. Dari awal aku memang sudah berniat membesarkan hati aba dan umaku, membuat mereka merasa berharga memilikiku. Saat mereka berbangga, mereka tidak akan lagi takut melepasku ke mana pun. Aku tidak ingin lagi membuat aba dan uma bersusah hati.

Proses ini akan segera dimulai. Satu titik fokus yang selalu kupatri dalam ingatanku adalah mondok. Betapa banyak kertas-kertas yang tertempel di dinding kamarku. Lembaran kertas yang selalu kutulis semua impianku. Apa yang harus kulakukan selama di pondok, berapa lama targetku menghafal, lalu pulang membawa kabar bahagia untuk aba dan uma.

Angin berdesir menyentuh bulu mataku. Denting-denting putaran jarum jam begitu jelas terdengar. Tidak ada suara televisi menyala. Tandanya aba sudah bergegas tidur. Juga Si Kembar yang sudah terlelap sejak isya tadi. Padahal, biasanya aba akan menyalakan televisi sampai pukul setengah sepuluh. Mungkin saja capek. Ini masih pukul sembilan.

Lampu kamar sudah kumatikan lima menit yang lalu. Saat ini, aku sedang memandangi langit-langit kamarku yang selalu bercahaya penuh bintang. Aku siap menantang malam dengan sejuta mimpi-mimpi yang kubangun. Di hatiku, aku tidak pernah lupa membenamkan doa-doa agar Tuhan senantiasa memberikanku kemudahan. Allahumma innaa nasalukal yusra wal ‘aafiyata wassalaamata fiddiini waddunya wal aakhiroh. Aku akan menggenggam semua mimpi-mimpiku dengan telapak tanganku.

“Rana?”

“Haa?” Aku bangkit. Kubuka pintunya.

“Kenapa, Ma?”

“Susu.”

“Ya Allah, Ma, kan aku bisa bikin sendiri.” Gelas beralih tangan.

“Tidak apa. Belum tidur?”

“Masih pengen begadang, Ma. Nggak tahu tidur jam berapa nanti. Uma napa belum tidur?”

“Adikmu baru ngompol.”

“Pengen aku bantu jaga, Ma?”

“Hmm tidak usah, Na. Ya sudah Uma mau tidur dulu.”

“Oke. Mimpi indah, ya, Ma.”

Beberapa bulan terakhir ini uma sering menolak bantuanku. Mungkin uma ingin terbiasa melakukannya sendiri tanpa aku. Uma tidak lagi mempersoalkan permintaannya waktu itu. Uma juga tidak lagi menyuruhku melakukan apapun. Aku sadar bahwa sebetulnya aku telah memaksa uma diam-diam. Kadang saat aku membicarakan hari keberangkatanku ke pondok, mata uma berubah harap-harap cemas. Mata uma yang mengisahkan banyak sesuatu, yang terpendam ataupun yang terungkap. Tapi, uma diam. Sikap uma tidak berubah sedikit pun. Yang uma sering lakukan akhir-akhir ini hanya memperlakukanku sebagai ratu. Contohnya ya susu yang kupegang ini.

“Uma, aku janji aku akan pulang membawa kebahagiaan. Doakan aku, Uma.”

Aku menepi di sudut jendela. Kuamati hamparan sawah milik tetangga yang menjadi lautan hitam saat malam. Ujung-ujung daunnya bercahaya dihinggapi kunang-kunang. Sama indahnya dengan malam bersinar karena purnamanya. Kugambar semua pemandangan menjadi goresan abstrak. Lembar buku gambar di tanganku akan penuh dengan coretan-coretan saat aku menumpahkan imajinasi seperti ini.

Aku menghadap langit. Lusa aku akan berangkat ke pondok. Terbayang sudah kisah-kisahku nanti di sana. Aku harus menyiapkan hati yang lapang mulai malam ini. Sebab, pondok itu tempat tirakat, berjuang ngalap barakah. Keseharian yang pasti jauh berbeda dengan rumah. Dan, kalau bisa aku ingin menjadi santri kesayangan bu nyai. Seperti terdengar agak berlebihan, tapi entahlah itu terlintas begitu saja.

Tiba-tiba aku menguap. Semilir-semilirnya makin membuatku mengantuk. Kututup jendelanya. Aku lekas berbaring. Selimut kutarik sampai dada. Selamat datang mimpi indah. Bismikallaahumma ahyaa wa amuut.

Aku menyambut pagi. Tapi, hatiku gundah. Semalam aku mimpi apa. Hanya dapat kuingat samar-samar. Yang kuingat aku menangis terduduk di kursi. Aku tidak pernah mimpi seperti itu di malam-malamku sebelumnya. Aku sedikit terganggu. Nasi di tanganku kubiarkan sampai dingin.

“Rana, nasinya di makan setan.” Aba berceletuk sambil menyangga piring di tangannya. Hendak duduk di kursi, di hadapanku.

“Aba apa-apaan, sih.” Aku tidak mood bercanda.

“Sudah packing?”

Aku diam. Tepatnya aku tidak mendengarnya karena aku sibuk menerka-nerka arti mimpiku. Jadi, uma yang menjawab, “Kemarin sudah Uma bantu, Ba. Si Kakak itu pengennya cuma bawa baju lima pasang. Tak suruh bawa sembilan dia.”

“Semuanya sudah lengkap, kan?”

Aba bertanya padaku, tapi yang menjawab tetap uma.

“Insyaallah sudah, Ba. Tinggal ngangkut.”

“Loh, kok, diam ki kenapa to?”

“Iya, Ba?”

“Mikirin apa kamu?”

“Ehmm tidak ada, Ba. Oh, ya, Uma sama Si Kembar besok tidak bisa ikut, ya?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Kita tidak dapat pinjaman mobil, Kak Na. Tidak mungkin bawa kembar naik motor.”

“Bocil dititipin ke tetangga dulu aja, Ma.” Entahlah aku tidak rela pergi tanpa uma. Mimpi itu benar-benar mengganggu.

“Ya tidak enak to, Kak. Tetangga lo pada sibuk semua. Sudah tidak apa.”

“Dititipkan aja, Ma.” Aku mendadak jadi manja.

“Rana, sudahlah kasihan Uma juga kalau harus perjalanan jauh.”

Aku diam memaksa menyendok makanan.

“Ya sudah, Ma,” kataku sambil mengunyah. []

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!