5 Tahun Kemudian...
Aiden kini menjadi seorang pengacara yang cukup handal di Kota N. Yang merupakan cita-citanya sejak dulu, sampai ia mengambil Fakultas Hukum. Tetapi keinginannya itu sempat tertunda karena obsesi dari Ibunya, Elena yang menginginkan putranya menjadi presdire di WT Corp yang merupakan perusahaan keluarga Wiratama.
Tetapi karena obsesi sang Ibu itu, ia bertindak curang dan sekarang imbasnya Elena harus di penjara, Ayahnya meninggal dunia karena kehilangan semua hartanya. Dan Aiden memilih menjauh dan merintis kembali kariernya dari nol.
Tanpa terasa kini ia telah mulai berjaya dalam waktu 5 tahun dan menjadi seorang Pengacara yang handal dan terpercaya di kota N.
Pagi itu Aiden berjalan menuju dapur apartement dan membuat sandwich dengan segelas kopi untuk sarapannya.
Ia membawa sarapannya menuju pantry yang berada tepat di dekat dinding dari kaca yang menjadi pembatas ruangan dalam dengan balkon apartement. Ia mulai melahap makanannya dalam diam, seraya membaca koran.
Ya, Aiden terbiasa hidup sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Sosok yang dulu begitu ramah kini telah berubah menjadi sosok yang begitu pendiam dan sangat tertutup.
Selesai menghabiskan sarapan juga kopinya, ia menutup korannya kembali dan membawa peralatan makan yang kotor kemudian mencucinya.
Setelah itu, ia masuk ke dalam kamarnya dan mulai bersiap untuk berangkat bekerja.
***
Dalam perjalanan menuju Firma Hukum tempatnya bekerja, ia melihat seorang anak perempuan tampak menangis di pinggir jalan.
Aiden meminggirkan mobilnya, kemudian menuruni mobilnya. Ia berjalan mendekati anak kecil itu dan berlutut di hadapannya.
"Kamu kenapa?" tanya Aiden pada gadis kecil yang menundukkan kepalanya dan terisak.
Mendengar suara Aiden, gadis kecil itu menengadahkan kepalanya dan tatapan polosnya langsung bertemu dengan mata tajam Aiden.
Mata ini.... batin Aiden.
"Uncle, Aku mau pulang... hikzz..." isak gadis kecil itu.
"Ibu mu kemana?" tanya Aiden.
"Aku tidak tau. Tadi saat sedang berjalan, peganganku terlepas," isaknya.
Aiden menoleh ke sana kemari untuk mencari sosok Ibunya tetapi tidak ia temukan.
"Sudah jangan menangis lagi, ini Uncle punya permen. Kamu mau?" seru Aiden merogoh saku jasnya dan mengeluarkan satu buah permen dan memberikannya pada gadis kecil itu.
"Tetapi aku di larang menerima barang atau makanan dari orang asing," serunya dengan lucu.
Aiden tersenyum penuh maklum.
"Gadis pintar. Permen ini masih terbungkus rapi, dan aku tidak berniat jahat apa-apa," seru Aiden tetapi gadis itu hanya diam saja. "Baiklah kalau kamu tidak percaya, aku akan memakannya." Aiden memakan permen di tangannya dan menunjukkan tidak ada sesuatu yang aneh.
"Ini makanlah, supaya kamu tidak sedih lagi," seru Aiden kembali mengambil permen dan memberikannya kepada gadis itu.
"Terima kasih, Uncle." Kali ini gadis kecil itu menerimanya.
"Your Welcome." Gadis itu membuka permen dan memakannya tanpa rasa curiga. Ia kemudian menghapus air mata di pipinya yang gembil seraya tersenyum merekah ke arah Aiden.
Entah kenapa melihat senyuman dari gadis kecil ini menghangatkan hati Aiden. Rasanya ia ingin memeluk gadis kecil di depannya ini.
"Siapa namamu?" tanya Aiden.
"Namaku, Jasmine, tetapi Uncle bisa memanggilku Mine."
"Mine..."
Gadis itu tersenyum seraya mengangguk.
"Nama Uncle tampan siapa?" tanya gadis itu.
"Nama Uncle, A..."
"Mine!" seruan itu membuat mereka berdua menoleh.
"Ibu Angkat...." Jasmine berlari dan memeluk wanita itu. Wanita yang sudah cukup tua, mungkin sekitar 50 tahunan.
Aiden beranjak dari duduknya dan melihat ke arah mereka berdua yang terlihat berpelukan penuh kelegaan.
"Ya Tuhan, syukurlah kamu tidak apa-apa.
seru wanita itu.
"Aku tidak apa-apa, Ibu Angkat."
Wanita itu kemudian melepaskan pelukan Jasmine dan berdiri tegak menghadap ke arah Aiden.
"Ibu Angkat, Uncle tampan ini yang tadi menemaniku. Dan memberikanku permen supaya aku tidak menangis lagi," seru Jasmine. Gadis kecil itu terlihat begitu pintar dan menggemaskan.
"Uncle sudah baik padaku," seru Jasmine.
"Terima kasih, Tuan. Maaf sudah merepotkan," seru Wanita itu.
"Sama-sama," jawab Aiden.
"Kalau begitu kami permisi dulu," seru Wanita itu dan beranjak pergi seraya menuntun Jasmine.
"Sampai jumpa, Uncle Tampan." Jasmine melambaikan tangannya seraya menampilkan senyuman lebarnya.
Aiden tersenyum ke arahnya.
Aiden bahkan di buat kaget sendiri, ia mampu tersenyum tulus lagi, setelah 5 tahun berlalu. Bahkan ia tidak pernah bisa tersenyum lagi atau merasa senang selama 5 tahun ini. Hidupnya seakan kelabu dan gelap tanpa tujuan yang jelas. Tetapi hari ini, ia seperti mendapatkan secerca cahaya yang membuat hatinya menghangat dan bibirnya mampu kembali mengukir senyum yang telah lama menghilang.
"Aku berharap bisa kembali bertemu dengan anak itu," gumam Aiden.
***
Di dalam ruangannya, Aiden terlihat tengah membaca kasus yang akan ia tangani. Itu adalah sebuah kasus KDRT. Client adalah korban dimana ia telah di aniaya oleh suaminya selama 2 tahun terakhir. Dan yang terakhir membuatnya cedera parah hingga terbaring di rumah sakit selama satu bulan.
Aiden masih membaca dan memahami kasusnya secara rinci. Kemudian ia menekan intercom dan meminta sekretarisnya untuk membuat janji bertemu dengan client. Aiden ingin mengajukan beberapa pertanyaan dan menyelidiki dulu semuanya hingga jelas sebelum persidangan.
Setelahnya ia menutup berkas di tangannya dan beranjak dari duduknya. Ia berjalan mendekati dinding pembatas yang terbuat dari kaca hingga ia dapat melihat keramaian di kota N di luar sana. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kedua saku celananya.
Entah kenapa wajah gadis kecil kemarin terus terbayang oleh dirinya. Wajahnya terlihat familiar dan mengingatkan Aiden pada seseorang.
Aiden menghela nafasnya, entah akan bagaimana kehidupannya itu nanti. Hidupnya terasa begitu monoton. Entah apa yang sekarang menjadi tujuan hidupnya. Aiden seakan kehilangan jiwanya, dan hidup dalam cangkang yang kosong.
***
Sore itu Aiden baru saja keluar dari ruangannya. Ia berjalan hendak meninggalkan kantor. Beberapa karyawan wanita menyapanya dengan begitu ramah. Tetapi seperti biasa, Aiden hanya memasang wajah datar, membuat para wanita itu merasa sedih dan menciut karena di acuhkan.
Aiden tidak perduli semua itu, ia terus berjalan dengan langkah lebar menuju lift.
Aiden meninggalkan kantor Firma Hukum dengan mobilnya. Ia pergi menuju sebuah club malam yang selalu ia datangi hampir setiap malam. Kebetulan pemiliknya adalah salah satu temannya saat kuliah dulu.
Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan memasuki club dengan sudah melepaskan jasnya, dan hanya mengenakan kemeja putih yang bagian tangannya telah di lipat hingga siku.
"Kau datang?" seru sang bartender saat melihat Aiden duduk di meja bartender.
"Seperti biasa yah," seru Aiden.
"Oke," seru Bartender bernama Louis itu. "Ngomong-ngomong Harry sedang ada di atas."
"Tumben dia datang lebih awal," seru Aiden menerima gelas yang di sodorkan Louis.
"Ya, karena ada mangsa baru," kekeh Louis. "Kau tidak ingin bergabung dengannya?"
"Aku tidak tertarik." Aiden meneguk minumannya.
"Ck, sampai kapan kau akan seperti ini? Apa hasratmu sudah lenyap untuk perempuan? Atau mungkin sudah mengering?" ejek Louis.
"Ck, omong kosong apa yang kau katakan." Aiden mengeluarkan rokok dari saku celananya dan membakar ujungnya.
"Ayolah Aiden, apa kau sungguh tidak tertarik lagi pada wanita?" seru Louis.
"Hmmm..." Aiden enggan menjawab dan fokus menghisap rokoknya.
"Hallo seksi," seru seorang wanita cantik dengan pakaian minim. Dengan tak tau malunya ia bergelayut manja di lengan Aiden.
"Enyahlah!" seru Aiden menepis lengan wanita itu hingga terlepas.
"Ck, kau masih saja dingin padaku. Padahal aku sudah mengejarmu selama beberapa bulan ini," seru wanita itu dengan nada manja dan menggoda. Ia mengambil duduk di kursi yang berada di samping Aiden.
Aiden hanya diam dan enggan menjawab seruan wanita itu.
"Dia kini sudah berpindah haluan, Lala." Seru Louis dengan kekehannya.
"Oh jangan sampai itu terjadi, aku akan sangat patah hati," rengek Lala. "Kau tau, Tuan Aiden. Aku sudah sangat lama mengagumimu."
Aiden seakan menulikan telinganya dan mengabaikan Lala.
"Sayang, ayolah. Aku akan memuaskan malam ini," seru Lala kembali berani merangkul dan sedikit memijat pundak Aiden dengan gerakan menggoda.
"Enyah dari hadapanku, *****!" seru Aiden penuh penekanan membuat Lala akhirnya mengerucutkan bibirnya sebal.
"Sepertinya ucapanmu benar, Louis!" Lala yang kesal beranjak pergi meninggalkan gelak tawa dari Louis.
"Ayolah Brother. Nikmati hidup ini," kekeh Louis. "Kau punya wajah tampan, pasti akan sangat banyak wanita yang rela menghangatkan ranjangmu setiap malam. Jangan sia-siakan kelebihanmu itu."
"Berisik!" Aiden kembali meneguk minumannya.
"Wow, Pengacara dingin kembali datang di club ku," seruan itu membuatnya menoleh dan terlihat seorang pria tampan dengan pakaian casualnya dan terlihat santai.
"Sepertinya kau kembali menolak Lala, tadi wajahnya terlihat muram," kekehnya yang kini duduk di samping Aiden. Dia adalah Harry, teman satu kampus Aiden.
"Kau benar Harry, lagi-lagi Lala gagal meluluhkan hatinya. Entah wanita seperti apa yang akan meluluhkan hati temanmu ini," seru Louis.
"Mungkin wanita di masalalunya," kekeh Harry yang mengetahui sedikit kisah masalalu Aiden.
Aiden tampak tak perduli dan fokus dengan minuman dan rokoknya.
***
Hari ini Aiden ada pertemuan dengan clientnya. Ia telah menunggu kedatangan clientnya di salah satu ruangan tertutup di sebuah restaurant.
Aiden masih menunggu kedatangan clientnya seraya menikmati kopinya.
Tak lama pintu ruangan pribadi itu terbuka dan menampilkan sosok pelayan wanita di sana.
"Silahkan masuk, Nyonya. Tuan telah menunggu anda," serunya.
Tap tap tap
Terdengar langkah kaki anggun. Aiden menatap ke arah pintu dan menantikan kedatangan seseorang yang di panggil nyonya itu.
Deg
Aiden berdiri dari duduknya saat sosok Nyonya itu telah masuk ke dalam ruangan.
Kedua mata mereka melebar dan saling menatap satu sama lainnya.
"Catherin...."
"Aiden...."
***
"Catherin...."
"Aiden..."
Keduanya terlihat begitu kaget dan sama-sama membelalak lebar.
Setelah 5 tahun berlalu....
Lamunan mereka terusik oleh suara pintu tertutup. Aiden berdehem kecil.
"Silahkan duduk," seru Aiden mempersilahkan Catherin yang terlihat menawan dengan gaun seatas lutut berwarna violet.
Catherin menurut dan mengambil duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Aiden.
"Emmm... mau pesan apa?" tanya Aiden masih terasa begitu canggung.
"Aku sudah memesannya tadi pada pelayan," seru Catherin menolak beradu pandang dengan Aiden.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Aiden.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Catherin. "Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kamu lihat juga," jawab Aiden.
Keduanya sama diam dalam kecanggungan. Hingga seorang pelayan masuk dan menyimpan minuman pesanan Catherin.
Mereka masih diam membisu dengan posisi saling berhadapan setelah pelayan itu pergi. Suasana di sana terasa begitu canggung dan tidak nyaman.
"Jadi ini kasusmu?" tanya Aiden menatap manik mata Catherin. "Apa kamu benar-benar tidak mendapatkan perlakuan baik dari suamimu?"
Catherin hanya diam membisu.
"Aku sempat kaget saat melihat kedatanganmu. Aku tidak menyangka kita akan kembali bertemu setelah 5 tahun berlalu dalam keadaan seperti ini," seru Aiden dan Catherin masih memilih diam membisu.
"Sejak kapan kamu menikah? Apa kamu sudah memiliki anak?" tanya Aiden. "Dan sejak kapan suamimu melakukan KDRT padamu?"
"Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu. Sebaiknya kamu membaca dulu nama dari korban," seru Catherin, akhirnya membuka suara setelah lama diam membisu.
Aiden mengernyitkan dahinya dan kembali membuka berkasnya.
"Marenka?"
"Iya Marenka dan bukan aku," seru Catherin. "Aku yang melaporkan kasus ini, Marenka adalah sahabatku."
"Aku pikir kamu yang..." ucapan Aiden menggantung di udara. "Baiklah lupakan itu. Lalu dimana Marenka?"
"Marenka masih menjalani perawatan di rumah sakit. Karena perlakuan suaminya, kaki kanannya patas dan tulang punggungnya ada yang retak karena di pukuli. Aku datang kemari untuk memberikan beberapa keterangan yang aku ketahui dan juga buktinya, aku adalah saksi dari Marenka," seru Catherin dengan wajah datarnya tanpa ekspresi.
"Emm begitu, bisa kau serahkan bukti-bukti yang kau bawa," seru Aiden.
Catherin menyerahkannya pada Aiden.
Aiden mulai memeriksa semua buktinya dengan membuka laptop yang ia bawa dan memasukan USB yang di bawa Catherin ke dalam laptop.
"Jadi sejak kapan kamu ada di kota ini?" tanya Aiden.
"Sekitar 3 tahun yang lalu," jawab Catherin.
"Apa yang kamu kerjakan? Kamu sudah menikah?" tanya Aiden.
"Apa buktinya sudah jelas?" tanya Catherin membuat Aiden memalingkan pandangannya dari layar laptop ke wajah Catherin.
"Sudah, aku akan memeriksanya kembali di kantor," seru Aiden.
"Aku harap kamu bisa membantu memenangkan kasus ini dan menghukum tersangka dengan hukuman yang setimpal," seru Catherin.
Aiden sadar, Catherin tidak lagi sama dengan Catherin yang dulu ia kenal. Kini sosok Catherin yang berada di hadapannya terlihat begitu dingin dan tak tersentuh. Sangat asing di mata Aiden.
"Akan aku usahakan," seru Aiden.
"Kalau begitu tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, kalau kamu ingin bertemu dengan Marenka, kamu bisa menghubungiku. Nomorku ada di data saksi," ucap Catherin yang dia angguki Aiden.
"Kalau begitu aku pergi," seru Catherin beranjak dari duduknya.
"Cath..." panggilan itu menghentikan gerakan Catherin yang hendak pergi.
"Maafkan aku... sejak lama aku ingin mengatakan ini. Maafkan aku Catherine..."
Deg
Ekspresi Catherine terlihat berubah menjadi muram dan terlihat marah.
"Kenapa harus minta maaf? Tidak ada yang perlu di maafkan disini," seru Catherin dengan nada dingin.
"Tapi aku..."
"Lupakan semua itu, itu adalah kesalahan terbesarku," jawabnya dan beranjak pergi meninggalkan Aiden yang hanya bisa terpaku di tempatnya.
***
Aiden telah kembali ke apartement miliknya. Ia menyimpan jas miliknya di kepala sofa dan ia berjalan menuju dapur dan mengambil minuman dingin. Ia membuka tutup botolnya dan meneguknya, setelahnya ia kembali termenung.
"Catherine..." gumamnya. "Aku tidak pernah menyangka bisa kembali bertemu denganmu."
Aiden menghela nafasnya, di dalam hatinya masih ada rasa bersalah pada Catherine. Walau malam itu Catherine mengatakan baik-baik saja dan menganggap semua itu tak pernah terjadi, tetapi Aiden sungguh tidak bisa melupakannya.
Serpihan kenangan di malam itu kembali memenuhi kepala Aiden.
"Setelah 5 tahun berlalu..." Aiden kembali menghela nafasnya berat.
Sebenarnya ia telah mulai berbenah diri dan memulai kehidupannya yang baru. Akhirnya setelah sekian lama, ia mampu merelakan Agneta walau nyatanya sangat sulit dan bahkan hampir membuatnya terbunuh karena rasa sesak di dadanya.
Tetapi pertemuannya dengan Catherine hari ini, seakan mengingatkan dirinya pada kesalahan di masalalu. Bahwa ada seorang wanita yang telah ia sakiti.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!