Gangster Boy
Yamazaki Kenzo yang akrab disapa Ken, 27 tahun. Seorang gangster berdarah dingin yang tinggal di Indonesia sejak beberapa bulan terakhir. Penanggung jawab sebuah perusahaan kosmetik asal Jepang bernama Miracle.
Khumaira Latif atau Aira, gadis 25 tahun yang hidup sebatang kara di ibukota. Dia bekerja di sebuah perusahaan kosmetik yaitu Miracle Indonesia. Gadis sederhana dengan masa lalu yang membuatnya tegar berdiri meski badai menerjang. Ayah dan ibunya berpisah sejak ia masih kecil.
...****************...
04.55 pagi hari...
Kabut menyelimuti kota Jakarta di pagi yang masih gelap ini. Mentari masih bersembunyi di ufuk timur, membiarkan bintang bersinar di langit dan bersanding dengan bulan sabit yang tampak memutih. Semburat merah lamat-lamat terlihat bagai serabut halus kuas yang melukis angkasa.
Ken keluar dari lobi apartemennya dengan tergesa-gesa. Ia berlari menuju mobil hitam yang terparkir di bahu jalan sambil memperhatikan layar ponsel di hadapannya. Atensinya tertuju pada satu titik membuat fokusnya pada keadaan sekitar menjadi terganggu, membuatnya menabrak seseorang yang datang dari arah yang berlawanan.
Brukk
Seorang gadis mungil 153 cm sekarang jatuh terduduk di depannya. Keduanya sama-sama terkejut. Mereka beradu pandang satu sama lain selama sepersekian detik.
Tak ingin mengulur waktu lagi, Ken mengambil ponsel yang tergeletak di dekat kakinya dan memilih pergi dari tempat itu secepatnya. Ia tidak ingin ketinggalan pesawat yang akan membawanya kembali ke tanah kelahirannya, Jepang. Ken pergi tanpa mengatakan apapun pada gadis bernama Aira yang masih terpaku di tempatnya.
Aira duduk di lantai dan menatap ruang hampa di depannya dengan sebal. Bukannya minta maaf atau menolongnya, pria itu justru langsung pergi meninggalkannya. Aira menebaknya dari deru mesin mobil yang terdengar menjauh. Ia terlalu malas untuk melihat ke belakang, tempat dimana tadi ia melihat sebuah mobil hitam terparkir menunggu tuannya.
'Orang kaya yang sombong,' batin Aira kesal. Ia yang terlahir dari keluarga dengan status sosial rendah seringkali dipandang sebelah mata. Berbeda dengan orang-orang yang terlahir dari keluarga kaya, dihormati dan disegani yang sering membuat mereka menjadi sombong dan lupa diri.
"Huhh, semoga aku tidak akan bertemu dengannya lagi." Aira bangkit dan menepuk celana training yang kotor
Dengan cekatan ia mengambil ponsel yang ada di dekat kakinya dan memasukkan benda pipih itu ke saku jaket. Ia melanjutkan aktivitas joggingnya yang sempat terhenti karena kejadian tak terduga barusan. ada telepon masuk.
"Halo assalamu'alaikum..." jawab Aira tanpa melihat nama yang terpampang di layar ponsel.
Hening
"Halo..." Aira menatap ponsel di hadapannya saat tak terdengar suara sahutan di seberang. Tertulis 'Mom' dan gambar seorang wanita berkacamata.
'Mom? Ibu bahkan tak memegang ponsel. Lalu...?' batin Aira mulai bertanya-tanya.
Detik berikutnya panggilan itu berakhir dan menunjukkan wallpaper kucing lucu di layar depan ponselnya.
'Hah? Kucing? Kapan aku merubahnya?' Aira mengerutkan kening karena heran. Itu bukan ponselnya.
Aira menengok ke belakang mencari orang yang menabraknya barusan. Mungkin ponsel mereka tertukar, tapi tak ada siapapun disana hanya beberapa mobil yang tampak lalu lalang di jalanan yang mulai ramai. Tanpa pikir panjang ia memasukkan ponsel berwarna silver itu kembali ke sakunya. Aira tak ingin memikirkan hal yang ia anggap tak penting dan melanjutkan joggingnya. Toh, bukan kesalahannya jika memang ponsel mereka tertukar, karena pria itu yang pergi lebih dulu.
Sementara itu di saat yang sama, di belahan bumi yang lain tepatnya di Tokyo, seorang wanita 50 tahunan sedang menatap ponselnya dengan ekspresi kesal. Ia menghubungi putra sulungnya, Yamazaki Kenzo tapi yang terdengar justru suara perempuan.
"Halo assalamu'alaikum..." sapa suara yang terdengar asing. Wanita berkacamata itu bahkan tidak tahu apa yang didengarnya. Siapa yang sedang bersama anaknya sepagi ini?
Hening. Ibu Ken mengerutkan alisnya. Ia heran karena yang ia tahu, putranya tidak punya kekasih.
"Halo..." terdengar lagi suara wanita dari sebrang membuat berbagai prasangka bermunculan dengan sendirinya. Ibu Ken tidak tahu Aira juga tengah bingung saat ini. Kedua wanita berbeda tempat dan generasi itu sedang bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Sambungan ponsel ia putuskan sepihak. Ia menggelengkan kepalanya, menepis segala prasangka buruk yang menghantui kepalanya. Putranya bukan pria yang suka menghabiskan malam dengan wanita, tapi tadi itu siapa?
"Okaa-san.. Mondai wa arimasu ka?" tanya seorang gadis berkacamata.
(Ibu.. Apa ada masalah?)
"Segera atur pernikahan untuk kakakmu" jawabnya ketus tanpa menjawab pertanyaan putrinya.
"Nani? Okaa-san.." tanya gadis itu merasa tak yakin dengan permintaan ibunya.
(Apa? Ibu..)
"Selidiki semua hal tentang gadis yang mengangkat telepon tadi. Tidak peduli siapa wanita itu, dia harus menikah dengan putraku. Bisa-bisanya dia menggoda Ken dan membuatnya lupa pada ayahnya yang sedang kritis. Awas saja," ucapnya geram.
Gadis yang bernama Naru itu terhenyak di tempatnya. Bagaimanapun juga dia tidak bisa menolaknya, tapi kakaknya pasti akan marah besar jika ia menuruti perintah ibunya.
"Pernikahan dilaksanakan setelah ayahmu membaik. Tidak ada bantahan. Lakukan apa saja agar mereka mau." lanjutnya dengan memandang suaminya yang tergeletak di ruang ICU dengan segala peralatan medis yang terpasang.
Naru hanya menggeleng tak mengerti jalan pikiran ibunya. Tiba-tiba melakukan perjodohan dengan orang yang tak jelas asal usulnya? Yang benar saja..
"Kakak, kau dalam masalah besar, " gumamnya berlalu pergi sambil menghubungi orang kepercayaannya dari ponsel.
"Selidiki siapa wanita yang sedang bersama dengan kakakku," pintanya saat telepon tersambung.
"Tuan muda sudah check in di bandara" jawab orang kepercayaannya.
"Apa kamu yakin? Lalu siapa yang mengangkat telepon dari ibu barusan?" Naru menelengkan kepalanya, mencoba meraba apa yang sebenarnya terjadi dengan kakaknya.
"Akan saya cari tau."
Naru memasukkan ponselnya ke saku celana dan melajukan motor sportnya ke rumah. Bagaimanapun juga ia harus bertindak melaksanakan permintaan agung ibunya. Titah sang ibu tak bisa dibantah, atau akan ada perang dunia jika hal itu sampai terjadi.
...****************...
Penasaran kelanjutannya? Sampai jumpa bab selanjutnya.
Salam kenal,
Hanazawa Easzy
Ken berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan tergesa. Langkah panjang mengantarkannya sampai di pintu masuk ruang ICU tapi tak ada seorangpun disana.
"Yamazaki-sama dipindahkan ke ruang perawatan beberapa waktu yang lalu," ucap seorang perawat yang kebetulan melintas disana.
"Dimana?" tanya Ken tak sabar.
"Lantai 3. Kamar no 317."
Ken kembali berlalu dari tempat itu, meskipun tidak lagi berlari tapi langkahnya sangat cepat. Seperti berkejaran dengan waktu. Ia memasuki lift yang membawanya ke lantai tiga seperti yang perawat itu katakan.
Ting
Pintu lift terbuka, menampilkan koridor panjang rumah sakit yang tampak lengang. Ini adalah lantai dimana ruang VVIP berada, tentu saja hanya orang-orang tertentu seperti perawat dan keluarga pasien yang boleh berada di sana. Ken melangkah dengan pasti, mencari kamar tempat ayahnya dirawat.
Krek..
Sebuah pintu terbuka menampilkan ruangan bernuansa mint yang lembut. Pengharum ruangan menusuk indera penciumannya.
"Aira-chan, nama yang bagus. Kapan aku bisa bertemu dengannya?" Yamazaki bertanya dengan antusias pada istrinya. Ia duduk di sisi ranjang perawatan suaminya.
"Tadaima," Kenzo mendekat ke arah ayahnya yang tengah tersenyum cerah. Membuat ibunya tidak jadi menjawab pertanyaan yang ayahnya lontarkan.
(Tadaima : Aku pulang. Diucapkan oleh orang yang baru datang/pulang setelah bepergian)
'Ibu bilang ayah kritis, tapi sekarang ia justru tersenyum seperti mendapat lotre. Apa ibu menipuku lagi agar aku mau pulang?' Ken terpaku dengan alis bertaut. Batinnya tak senang melihat kenyataan di depan matanya. Dia memiliki banyak urusan di Indonesia, tapi ibu memaksanya pulang ke Jepang dengan alasan ayahnya terkena serangan jantung.
"Okaeri. Kapan kamu sampai, Ken?" Sumari langsung memeluk putra sulungnya itu. Mengajaknya duduk di sebelah ranjang ayahnya.
(Okaeri : jawaban dari tadaima, berarti selamat datang kembali)
"Kamu mengejutkanku, dimana dia?" Yamazaki menatap putranya menanti kabar baik, jikalau ia akan segera bertemu dengan kekasih anaknya seperti yang ia harapkan.
"Dia cantik." Ibunya menimpali.
Ken menatap kedua orang tuanya bergantian. Ia tidak mengerti arah pembicaraan keduanya. Naru mendekat dan menyerahkan sebuah undangan pernikahan. Ken membukanya dan netranya terbelalak saat melihat namanya terpampang disana.
"Khu... Khumaira Latif? Dare desu ka?" Ken meminta penjelasan pada adiknya.
(Dare desu ka : Siapa dia?)
Ketiganya terkejut mendengar respon Ken yang seolah tak mengenal Aira. Naru hanya mengangkat kedua bahunya, dan mengisyaratkan melalui matanya jika itu permintaan ibu.
"Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjangmu. Apalagi kamu 'olahraga berat' kan semalam? Ibu pikir kamu akan terlambat mengejar pesawatmu. Meskipun ponselmu tertinggal, tapi syukurlah kamu sampai di sini dengan selamat." Sumari mengerlingkan sebelah matanya menggoda Ken.
"Nani?" Ken semakin kesal, menatap tajam adiknya yang masih asik mengunyah permen karet di mulutnya. Ia tak yakin dengan apa yang ibunya katakan barusan.
(Apa?)
'Olahraga berat? Ponsel?' batinnya. Seketika Ken meraba ponsel di saku celananya dan memeriksanya sekilas. Dia menyadari ponsel yang ia genggam bukan miliknya, kemungkinan tertukar dengan gadis yang ia tabrak pagi tadi. Ia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya saat di pesawat, sampai lupa tidak mengecek ponsel. Ia sempat mematikan daya ponsel itu namun tak menyadari bahwa itu bukan ponselnya. Ken menutup matanya, mengepalkan tangan menahan amarah.
"Bawa dia kemari, Ken.." pinta ayah.
Ken mendengus kesal dengan perlakuan ayah dan ibunya. Dia bahkan tidak tau apa atau siapa yang mereka bicarakan. Entah apa yang ibunya rencanakan, tapi nama di undangan itu bukan gadis Jepang. Seperti nama orang-orang di kantornya, Indonesia. Tapi mungkinkah? Sejak kapan ibu punya kenalan dari Indonesia? Atau gadis 'jogging' tadi pagi yang ibunya maksud?
Ken menggelengkan kepala menyadari ketidakmungkinan itu. Naru, ya adiknya yang tau kunci permasalahan ini.
Ken berdiri di depan Naru, ingin mendengar penjelasan adiknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia masih pusing akibat jetlag setelah penerbangannya dari Jakarta ke Tokyo yang memakan waktu enam jam lebih.
"Katakan padaku yang sebenarnya,"
Naru menelan ludahnya dengan paksa menghadapi kakaknya yang sudah naik pitam. Dengan susah payah Naru menceritakan kesalahpahaman ibu mereka. Meskipun setelah tau kebenarannya, ibu tetap bersikeras ingin menjadikan Aira sebagai menantunya.
"Aku tidak bisa mencegahnya," ucap Naru lirih di akhir penjelasannya.
PRANGG
Ken melampiaskan amarahnya dengan memukul kaca di depannya membuat tangannya berdarah. Bahkan tak cukup sampai disana, ia menendang tong sampah dan membuat isinya berserakan.
"Aku akan kembali sore ini juga," ucap Kenzo menatap adiknya dengan tajam. "Jangan lakukan apapun tanpa perintahku !"
"Aku berharap tertelan ke dunia ini tanpa mendengarnya," Naru menangkup wajahnya, "Kakak pikir aku bisa menolak permintaan ibu? Bisa-bisa aku ditendang dari rumah," gadis itu merajuk menyadari posisinya bagai sengketa antara kakak dan ibunya.
"Dimana Yamaken?" Kenzo menatap arloji di tangannya, menanyakan adik kembarnya.
"Dia masih di China. Ada pemotretan dan baru pulang sore ini"
"Ck.. Tidak berguna," Ken pergi setelah membanting pintu warna silver di belakangnya.
"Kosuke, siapkan tiket pesawat. Aku kembali ke Indonesia sore ini juga," ucapnya pada seseorang di telepon.
Dua jam kemudian...
Bandara Narita, Tokyo - Jepang
Ken masuk ke dalam pesawat dengan tergesa-gesa. Setelah menemukan kursinya, ia segera meraih ponsel di saku kemejanya. Membuka ponsel milik gadis itu yang ternyata tak dikunci. Jemarinya bergulir atas bawah tapi sama sekali tidak ada foto selfi. Hanya beberapa foto langit senja dan pantai.
"Cih... apa benar dia seorang gadis?"
Jarinya terus bergerak naik turun, sampailah ia menemuka file berjudul "Secret". Setelah berhasil membobol keamanan file itu, ia tersenyum bangga. Seringainya muncul tapi sedetik kemudian wajahnya berubah masam, foto Aira dan Yudha semasa SMA. Seperti kebanyakan muda mudi yang sedang kasmaran, banyak foto selfi mereka berdua.
(Secret : rahasia)
"Aku tidak akan melepaskanmu" ucapnya geram sembari meremas benda persegi panjang itu. Terdengar suara pramugari yang meminta para penumpang memakai seatbelt mereka. Kenzo mencoba melupakan masalahnya dengan menatap pemandangan diluar pesawat tapi beberapa detik kemudian ia mendesah kesal. Gadis yang pagi tadi berpapasan dengannya, ia sungguh tak sabar ingin menemuinya.
(Seatbelt : sabuk pengaman)
...****************...
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Yuk lanjut baca bab berikutnya.
Hanazawa Easzy
Suasana terik membakar ibukota sore ini. Musim kemarau yang memasuki bulan ke empat belum juga memberi tanda akan turun hujan. Beberapa karyawan keluar dari ruangan menuju lift. Aira mengemasi barang-barangnya hendak pulang saat sebuah tangan mencekal lengannya dari samping, "Ikut denganku,"
Tangan kekar itu menariknya dengan paksa sebelum Aira sempat membuka mulut. Mereka berada di pantry, orang itu menghadap keluar ruangan dengan tangan bersedekap.
"Sejak kapan kalian berhubungan?"
"Apa?" Aira tak mengerti maksud pertanyaan orang berbaju biru di depannya.
"Huuhh...." ia membuang nafasnya dengan kasar. "Tolong buatkan aku kopi," pintanya.
Aira menurut tanpa bertanya apapun. Ia tahu lelaki di depannya selalu minum kopi jika sedang bermasalah, mungkin hal itu bisa membuat emosinya mereda. Pria itu berbalik dan memandangnya dengan seksama tapi Aira tak mempedulikannya . 5 menit kemudian Aira menyajikan kopi hitam tanpa gula, favorit orang itu.
"Aira, katakan sejujurnya. Bagaimana kamu mengenal Yamazaki-sama?" Pria bername tag Yudha itu mengendurkan dasi hitamnya, mencoba rileks di depan pujaan hatinya.
"Aku tidak tau siapa yang manager maksud. Aku tidak mengenalnya," jawabnya datar
Yudha membuka ponselnya, menunjukkan sebuah foto undangan dari galeri ponselnya.
The Wedding
Yamazaki Kenzo & Khumaira Latif
Deg.
'Bagaimana bisa namaku ada disana?' Aira mengerutkan keningnya.
"Mungkin kebetulan namanya sama. Anda salah paham" Aira menyesap teh di depannya.
"Apa kita se-asing itu? Ini bukan jam kantor lagi, panggil namaku saja. Bisa kan, Ra?"
Aira menggeleng mantap, "Kita sudah pernah membahasnya," Aira menatap keluar jendela kaca, mengingat bagaimana cemoohan rekan kerjanya saat mereka tau ibu Aira ada di penjara. Yudha yang membelanya justru jadi ikut dibenci oleh yang lainnya. Dan yang paling menyakitkan, ibu Yudha meminta mereka putus hubungan agar tidak membawa masalah untuk putra bungsu kesayangannya. Sejak saat itu Aira mengabaikan Yudha dan selalu menjaga jarak dengannya.
"Aku tidak peduli pada yang lain. Aku akan selalu ada di sampingmu," Yudha mengulurkan tangan hendak memegang jemari Aira.
Aira mengangkat gelasnya yang masih isi separuh, membawanya ke wastafel dan membuang isinya dalam diam. Tak ingin melanjutkan pembahasan ini. Yudha yang paham tabiat teman masa kecil yang juga mantan pacarnya itu, langsung mendekat dan menahan gerakan tangan Aira yang sedang mengeringkan gelas yang baru ia cuci.
"Ra... Sorry,"
Aira menghela nafas dan melepaskan tangan Yudha perlahan, "Bersikaplah seperti sebelumnya, jangan pedulikan aku."
Aira keluar dari ruangan dengan wajah datarnya. Beberapa karyawan yang berpapasan melihatnya dengan tatapan tak suka. Banyak dari mereka melihat Aira dengan pandangan meremehkan dan menganggap Aira menggoda managernya. Aira tak peduli, tapi Yudha tahu itu menyakitkan untuk gadisnya.
Aira sedang berjalan ke halte bus saat sebuah mobil berhenti di sampingnya. Kacanya terbuka menampakkan seseorang yang sangat ia kenal.
"Masuklah," pinta Ria, kakak Yudha.
Aira menggeleng, enggan masuk ke mobil berwarna silver itu.
"Sebentar saja, ini tentang ibumu." bujuk Ria.
Aira terpaksa mengikuti wanita yang terpaut 2 tahun diatas usianya. Ia tak bisa acuh jika itu berhubungan dengan masalah ibunya.
"Kamu menolak Yudha lagi?" Ria bertanya saat mobil mereka melaju membelah jalanan ibukota yang mulai padat.
"Aku turun di halte depan." ucapnya dingin. Ia malas membahas tentang manajernya yang sekaligus mantan pacarnya saat di bangku SMA dulu.
"Ish.. Baiklah baiklah aku tidak akan mengatakan apapun lagi. Jangan marah, aku hanya bertanya. Lagipula memang ada yang ingin ku bicarakan tentang ibumu," ucapnya.
"Ada apa?" tanya Aira saat mobil yang ia naiki mulai menjauh dari halte tadi.
"Seseorang atas nama Yamazaki Kenzo mengajukan permohonan pembebasan ibumu siang ini. Kamu mengenalnya?"
'Nama itu lagi...' Aira tak menjawab, tapi ia ingat nama itu yang tertulis di undangan yang ditunjukkan oleh Yudha beberapa saat yang lalu.
"Aku sudah mencari tau data tentang orang itu. Aku takut terjadi sesuatu padamu, jadi sebaiknya kita berhati-hati," Ria berucap sambil memperhatikan jalanan di depannya yang padat hampir macet karena ini jam pulang kantor. Kemacetan adalah hal yang biasa di Jakarta, terutama menjelang senja seperti sekarang.
Aira tetap diam, menatap lurus ke depan tak mau peduli.
"Aira, kamu masih disini kan?" tanya Ria melirik gadis di sebelahnya yang tetap diam seperti patung.
"Aku ingin tidur sebentar," ucapnya sambil memejamkan mata.
Ria tersenyum kecut mengetahui mantan calon adik iparnya ini ingin menghentikan pembicaraan mereka. Ya mereka sudah mengenal dekat satu sama lain, jadi sudah paham betul tabiat masing-masing.
"Ibumu akan dibebaskan besok," ucap Ria. Ia tau Aira masih mendengar nya. Sulit tertidur dengan berbagai suara bising khas ibukota ini.
"Berita bagus." jawab gadis berjilbab maroon itu dengan nada datar, masih memejamkan matanya. Ria hanya bisa tersenyum kecut menyadari sikap Aira yang benar-benar berubah. Dia bukan lagi gadis penuh senyum yang ia kenal beberapa tahun lalu.
30 menit berlalu...
Ria memarkirkan mobilnya di salah satu restoran yang sering mereka kunjungi. Ia mengajak Aira makan bersama. Tak berapa lama kemudian Yudha datang, bergabung dengan mereka berdua.
"Ra, aku masih nunggu jawaban kamu sampai sekarang," Yudha menatap gadis di depannya dengan gusar. Sedari tadi bibir mungil itu tetap tertutup. Menikmati makanan di depannya tanpa suara.
Ria menyentuh tangan adiknya perlahan, mengingatkannya bahwa Aira tak ingin bicara saat makan. Kebiasaannya sejak ia kecil, atau ia akan marah dan meninggalkan makanannya. Beberapa menit kemudian Aira menelungkupkan sendoknya dan menatap Ria dengan pandangan datar.
"Kak Ria, apa masalah ibuku?" tanya Aira to the point tanpa menghiraukan pandangan Yudha yang meminta perhatiannya.
Ria tersenyum, mood Aira sudah membaik sekarang. "Kamu kenal Yamazaki Kenzo?"
Aira menggeleng. Ria mengeluarkan selembar foto dan beberapa lembar kertas putih dari tasnya.
"Kamu pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya lagi.
"Ini artis?" tanya Aira polos.
Ria menggeleng, "Bukan. Yang artis itu Yamazaki Kento, ini Kenzo. Saudara kembarnya"
Alis Aira bertaut, "Kembar?"
"Ya. Kenzo bekerja di Miracle kosmetik. Atasan Yudha. Dia pindah ke Indonesia 6 bulan yang lalu. Kamu inget CEO yang baru masuk dan bikin heboh seantero kantor kalian?" pancing Ria agar Aira merespon lebih jauh.
Aira tak langsung menjawab, ia tak yakin pernah ada pergantian CEO seperti yang kak Ria katakan barusan. Atau ia yang tidak mau peduli dengan fakta itu? Entahlah. Aira tak pernah memikirkan gosip di perusahaan.
"Kamu kenal Yamazaki Kenzo?"
Aira menggeleng, masih tanpa ekspresi.
"Ok, gini Ra biar aku jelasin. Aku dapet biodata Kenzo. Dia salah satu pemegang saham di kantor kalian. Dia jarang ke kantor, jadi wajar sii kalo kamu ngga pernah ketemu dia. Nah yang jadi masalah, siang tadi di grup Miracle Japan, tiba-tiba ada yang posting undangan pernikahan kalian. Cuma karena akses grup terbatas, cuma beberapa orang yang tau termasuk Yudha. Ngga ada yang tau siapa mempelai wanitanya karena ngga ada foto, sementara kamu aman. Tapi aku takut kalau suatu saat grup Miracle Indonesia tahu, mereka bakal jadiin kamu bahan bully an lagi seperti sebelumnya" jelas Ria.
"Hubungannya sama ibu?" Aira bertanya tanpa khawatir sama sekali.
"Ra.. bisa ngga pikirin diri kamu dulu? Kamu tuh..." Yudha kesal karena Aira seolah tidak mempermasalahkan nasibnya sendiri.
"Yudh..." Ria menyela adiknya yang masih ingin berkomentar, "Kakak belum selesai,"
"Ibumu akan dibebaskan besok, atas permintaan Kenzo. Kakak khawatir ada maksud terselubung dari mereka. Kamu tau?" Ria membuka lembaran putih di depannya, "Ayahnya yakuza, gangster ternama di Jepang. Kakak takut ibumu akan mereka rekrut atau apapun itu. Yang pasti itu berbahaya buat kalian. Masalah pernikahan, aku masih buta. Ngga tau apa tujuannya"
Aira menimang-nimang perkataan wanita berkacamata tebal di depannya, "Aku ngga yakin itu namaku. Ini nonsense kak. Udah lah aku ngga peduli," Aira melemparkan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya.
"Tapi aku peduli Ra.." sela Yudha, "Aku sayang sama kamu. Aku mau kita balikan kaya dulu. Aku takut kamu kenapa-napa,"
"Kenapa-napa kenapa? Kita udah ngga ada hubungan jadi ngga perlu cemas sama aku atau ibuku," Aira menatap Yudha tajam, "Mama kamu ngga pernah bisa nerima ibuku, jadi kita ngga akan ada apa-apa lagi sampai kapanpun" jelasnya lugas.
Aira berdiri, "Kak Ria, makasih tapi tolong jangan lewati batasanmu kak. Kalo toh ibu bebas besok, alhamdulillah kan"
"Ra...." Yudha berdiri dan mencekal lengan Aira yang hendak pergi, "Mereka berbahaya. Sebelum semua terlambat, lebih baik kamu mundur. Lagipula tanpa bantuan pak Yamazaki, ibumu tinggal sebentar lagi bebas kok,"
"Sebentar? Apa kamu pernah ngerasain tidur di penjara? Apa enak rasanya sampai kamu bilang sebentar lagi? 2 bulan kamu bilang sebentar?" Aira bertanya sarkas menantang Yudha yang berdiri di depannya.
Yudha melepas genggaman tangannya perlahan menyadari kesalahannya. Aira keluar dari resto setelah membayar tagihan di kasir.
*****
23.44 WIB
Aira masuk ke kamarnya setelah menjemur pakaian di balkon. Ia merenggangkan tubuhnya sebelum bergelung di atas ranjang mungilnya, melemparkan jilbab instannya ke sembarang arah. Hanya butuh waktu 5 menit sampai matanya terpejam, mengistirahatkan raganya yang sangat lelah hari ini.
Ting tong . . . .
Aira mendengarnya tapi enggan untuk beranjak atau sekedar membuka matanya.
Ting tong . . . .
Bel sekali lagi berbunyi, memaksa Aira menghempaskan selimutnya dengan kasar, tak lupa memakai jilbabnya sebelum membuka pintu dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Sesosok pria tampan berdiri di depannya dengan wajah merah padam menahan amarahnya. Aura gelap terpancar jelas di sekitarnya.
"Kembalikan ponselku," ucap si mata sipit dengan aksen yang sedikit aneh.
Aroma parfum maskulin mengusik indera penciuman Aira yang segera bersiap menutup pintu, menyadari kebodohannya membuka pintu untuk orang asing tengah malam begini.
"Chottomatte" ucap pria berdasi itu sambil menahan pintu agar tak tertutup, memaksakan tangannya masuk menghalangi pintu yang terus Aira dorong dengan punggungnya.
(Tunggu)
Aira menggelengkan kepalanya kuat-kuat, alarm bahaya telah berbunyi. Mana ada tamu tengah malam begini. Apalagi dia meminta ponsel, maling atau rampok adalah kemungkinan terbesarnya.
"Aahhh... Tasukete Aira-chan. Tanganku terjepit," ucapnya dengan suara serak.
Aira otomatis menjauh dari pintu, melihat ada tangan berdarah yang terulur di depan wajahnya.
BRAKKK
Pintu itu terbuka dengan kasar.
"Apa kamu gila? Mau memotong tanganku?" Omel pria itu sambil melipat lengan kemejanya sampai siku. Terlihat rona merah disana, pasti sakit.
"Maaf" ucap Aira masih tetap waspada.
"Obat"
"Apa?" Aira masih terpaku di tempatnya, mengamati penampilannya dari ujung kaki ke ujung kepala. Persis seperti foto yang kak Ria tunjukkan tadi.
'Orang ini? Apa benar dia....'
"Apa yang kamu pikirkan? Cepat obati lukaku,"
"Aku tidak ada urusan dengan Anda, Tuan. Silahkan kembali, tidak pantas bertamu tengah malam begini" Aira mengumpulkan tekdanya untuk mengusir tamu tak diundang itu.
Ken menatap Aira dengan tajam, kemudian berlalu mengambil sendiri kotak P3K di sebelah rak buku.
"Aku tidak akan membunuhmu," ucapnya sambil membuka kotak P3K itu dengan tangan kirinya, "Kamu tidak akan bertanggung jawab?"
"Bukan urusanku" jawabnya datar.
"Lakukan sekarang!" perintahnya dengan nada meninggi.
"Apa benar Anda orang Jepang? Kupikir attitude mereka yang paling baik," sindir Aira seraya menyenderkan punggungnya di tembok sambil bersedekap, tampak tenang sekali. Berbeda dengan sikapnya beberapa menit lalu yang tampak panik dan ketakutan. Kenzo mengernyitkan dahinya sekejap menyadari perubahan sikap Aira.
"Gomen ne. Bisakah kamu mengoleskan obat untukku?" Pintanya dengan menahan marah.
Aira membuang nafasnya, mendekat dan segera mengoleskan obat anti memar setelah keduanya duduk di sofa panjang berwarna abu-abu itu. Kenzo mengamati wajah Aira yang sangat datar, berbeda dengan gadis-gadis lain yang selalu mencari perhatian saat dekat dengannya. Atau kadang ada yang salah paham menganggapnya sebagai Kento dan minta tanda tangan atau sekedar foto bersama. Tapi Aira berbeda, dia bahkan tampak tidak tertarik.
'Menarik' batinnya.
Aira membersihkan punggung tangan Ken dan membalutnya dengan perban, 'Orang seperti apa yang membiarkan luka seperti ini sampai mengering? Apa dia mati rasa?' lirihnya dalam hati.
Wangi bunga lavender menyeruak keluar dari pengharum ruangan di tembok tak jauh dari tempat Aira bersandar tadi. Sekilas Kenzo menyapu pandang ke ruangan mungil ini. Tak banyak benda disini, hanya sepasang sofa, rak sepatu, rak buku, dan tempat sampah di pojok ruangan. Tak ada benda-benda tak berfaedah seperti kebanyakan wanita di luar sana. Aneh memang, tapi itulah Khumaira Latif.
Kenzo kembali menikmati paras mungil di depannya. Ujung bibirnya terangkat, 'Kawaii...' ucapnya dalam hati.
Aira langsung melepas tangan yang ada di hadapannya dan beranjak berdiri begitu tugasnya selesai.
"Selesai"
"Dimana ponselku?"
Aira menyerahkan ponsel Kenzo tanpa bertanya apapun, sebaliknya Ken juga meletakkan ponsel Aira di meja.
Kruukkk kruuukkk
"Onaka ga suite imasu" ucapnya lirih hampir tak terdengar dan sengaja memakai bahasa ibu menutupi rasa malu. Benar, ia bahkan belum makan sejak pagi tadi. Bagaimana ia bisa lupa?
(Aku lapar)
"Aku tidak punya makanan," ucap Aira ketus mendengar kode yang perut Ken berikan.
Kruukk krukk...
'Shit' umpat Ken dalam hati. Dia benar-benar malu sekarang.
"Kamu benar-benar kelaparan? Tunggu sebentar," Aira beranjak ke dapur.
Tak lama kemudian Aira meletakkan semangkuk mie instan lengkap dengan telur dan sayuran di depan Kenzo, "Hanya itu yang ada. Selamat makan," ucapnya seraya meletakkan sepasang sumpit dan sendok di sebelah kanan mangkuk itu.
Ken melahap hidangan itu dengan cepat dan tak bersisa. Rasanya ia belum kenyang dan ingin minta dibuatkan satu lagi, bagaimanapun gadis di depannya adalah calon istrinya, ia sedikit berhak meminta makanan tambahan lagi. Ia baru membuka mulutnya saat terdengar suara gadis itu terlebih dahulu.
"Sayonara" ucap Aira sembari membuka pintu setelah melihat makanan di mangkuk sudah tandas.
"Kamu tidak berterima kasih padaku?" Tanya Ken begitu sampai di depan pintu.
"Apa? Hahaha...." Aira tertawa garing sambil memalingkan wajahnya. 'Bagaimana bisa ada orang seperti ini? Sudah diberi makan justru berharap mendapat ucapan terima kasih' batinnya.
"Terima kasih. Selamat tinggal" Aira menutup pintu dengan cekatan begitu Ken melangkahkan kakinya melewati pintu.
"Ish.." Ken berbalik dan mendapati pintu di depannya sudah tertutup rapat.
'Gadis ini. Awas saja,' ucapnya dalam hati. Tangannya terulur ingin menggedor pintu di depannya tapi ia urungkan. Pandangannya tertuju pada perban di tangannya. Ya, dia gadis pertama yang mengobati lukanya, bahkan tim medis pun tidak ia izinkan menyentuh lukanya sore tadi.
*****
Permainan takdir seperti apa yang akan terjadi pada keduanya? Lanjut baca aja yaa. Jangan lupa masukkan buki ini ke daftar favorit kalian yaa. Jaa ne,
Hanazawa Easzy
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!