Jam menunjukkan pukul 15.00 sore. Tidur lelap sepasang suami istri harus terganggu oleh getaran dahsyat dari pesawat yang mereka tumpangi. Kekhawatiran sangat terlihat jelas di wajah seorang istri, matanya terus memandang orang-orang yang berteriak kebingungan. Tiba-tiba seseorang memasangkan alat oksigen untuknya. Ia menoleh terlihat suaminya tersenyum di balik penutup oksigen, air mata lepas begitu saja, pikirannya mulai resah. Tapi mereka hanya bisa mengikuti jalannya.
Beberapa menit kemudian pesawat pun benar-benar jatuh ke samudra, menenggelamkan seluruh manusia di dalamnya. Hanya kata pasrah lah yang sekarang menyelimuti mereka. Rasa ikhlas untuk kehilangan semuanya.
Disaat itu juga mereka melupakan semuannya, sepasang suami istri itu melupakan tujuan untuk pulang, meninggalkan keluarga, meninggalkan seorang anak berumur 7 tahun yang masih membutuhkan cinta dan kasih sayang orang tua.
“Ibu sayang kamu nak!”
“Ayah menyayangimu nak!”
Itulah kata yang sempat terucap dalam hati sebelum mereka benar-benar tiada.
...
“Telah terdeteksi 109 penumpang meninggal 85 dipastikan menghilang, tidak ada korban selamat dalam kecelakaan pesawat ini.”
Nita segera mematikan televisi setelah mendengar itu, jantungnya berdegup tak karuan. Baru saja ia mendengar bahwa sahabatnya akan segera datang menemui anak yang mereka titipkan padanya, dan berita itu tiba-tiba membuatnya tidak berdaya.
PRAKK!!
Nita segera menoleh saat mendengar suara itu. Ia melihat 3 anak kecil berdiri di ambang pintu, seorang anak perempuan menjatuhkan mainan yang sebelumnya ia pegang erat. Dengan perasaan tak karuan Nita mendekati mereka, menangkup wajah anak perempuan itu.
“Tante Nita bilang sama Kayla. Ayah dan Ibu Kayla akan pulang kan hari ini?” Anak perempuan bernama Kayla, ia cukup tau apa yang telah didengarnya beberapa menit yang lalu. Dengan air mata yang telah berhasil membasahi kedua pipinya. Kayla mencoba meyakinkan diri bila apa yang ia dengar salah.
“Kayla sayang ... Bunda Nita bisa jelasin semuannya, jangan nangis.” ucap Nita tak tau lagi harus berbuat apa.
Kayla menghempas tangan Nita yang awalnya menggenggam erat. Ia pergi, berlari sebisannya walau kakinya sudah melemas sedari tadi.
“Kayla!!” Dua anak itu pun berlari mengikuti Kayla. Tapi sebelumnya Nita menghentiakan mereka.
“Daniel ... Dami ...” ucap Nita parau dengan tatapan yang mulai melemah.
Daniel menggenggam erat tangan Ibunya, “Ibu tenang aja, aku sama Dami akan kejar Kayla!” dengan perlahan Nita mengangguk membiarkan kedua anak itu.
Kayla terus berlari tanpa peduli dua orang yang sedari tadi memanggil namanya. Ia berhenti tepat di depan rumah pohon yang selama ini selalu menemani hari-harinya bersama kedua sahabat tercinta. Sekarang ia duduk dibawah pohon melipat dan memeluk kedua kakinya dengan isakan tangis yang memburu.
Dua anak laki-laki datang memeluknya sedikit memberi ketenangan. “Kayla gak perlu nangis, ada kita yang selalu ada buat Kayla!” kata Daniel.
“Dami ... Daniel ...” Panggil Kayla menatap kedua sahabatnya bergantian, “Bilang sama Kayla kalau berita tadi ga bener ... Hiks, bilang sama Kayla Ayah dan Ibu Kayla akan pulang hari ini. Hiks.”
Daniel dan Dami hanya saling menatap, mulut mereka kelu untuk menjawab pertanyaan polos Kayla, “Aku sama Daniel akan menyayangi Kayla lebih dari orang tua Kayla menyayangi Kayla.” Tutur Dami meyakinkan sahabatnya ini.
“Tapi Kayla ga punya orang tua lagi.”
“Kayla boleh anggep Bunda Nita sebagai Ibunya Kayla,” balas Daniel.
“Tapi tetep aja Kayla ga punya orang tua lagi.”
Daniel dan Dami hanya bisa diam membiarkan sahabat gadisnya ini tenang. Sejak dalam kandungan kata sahabat sudah sangat melekat pada diri mereka, tak heran jika mereka selalu bisa mengisi satu sama lain. Dami dan Daniel cukup mengerti kehilangan orang tua di umur 7 tahun bukan lah hal yang mudah, namun di umur yang masih di bilang kecil mereka mampu memenuhi ruang kehilangan itu.
Merasa cukup tenang Kayla mengusap air matanya dengan punggung tangan, lekas meluruskan kakinya yang mulai keram lantaran ia lipat sedari tadi. “Kayla punya perjanjian, dengerin Kayla bicara!” Titah Kayla. Daniel dan Dami segera menegakkan duduknya menatap Kayla.
“Kayla janji, Kayla ga akan nangis lagi, Kayla akan ikhlasin Ayah dan Ibu, Kayla akan coba menerima semuannya.”
“Aku seneng denger Kayla bilang gitu,” tutur Daniel
“Tapi Kayla punya satu penjanjian buat kita bertiga!”
Daniel dan Dami langsung kicep mendengar itu. Muka mereka yang tadinya mulai senang berubah 360 derajat menjadi aneh.
“Ihhhhhhhh ... Kok muka Dami sama Daniel gitu, kalian masa ga mau janji sama kayla.” Rajuk Kayla sambil memanyunkan bibirnya.
“Kenapa harus kita bertiga?”
“Ya trus? Daniel maunya siapa lagi, kan Kayla cuma ga mau kehilangan kalian!”
“Emang Kayla punya perjanjian apa?” tanya Dami.
“Kayla mau, mulai sekarang sampai kapan pun kita bertiga ga boleh mengenal apa itu cinta!” titahnya yakin. “Dulu Ibu Kayla pernah bilang, caranya agar kita tetap menyayangi orang yang kita sayang itu dengan kita menutup pintu cinta. Jadi Kayla mau kita lakuin itu. kalian mau? Kalian janji?” Kayla meletakkan kedua telapak tangannya tepat di depan kedua sahabatnya ini.
Tapi mereka cukup bimbang untuk menerima perjanjian ini. Dan pada akhirnya dengan keyakinan Daniel menerimannya, ia meletakkan tangannya di atas telapak tangan milik Kayla.
Kayla menoleh pada Dami, terlihat laki-laki itu menarik nafas dan menghembuskannya. “Dami janji!” ucapnya menerima juga.
Kayla menampakkan deretan gigi putihnya. Hanya dengan ini seakan kejadian awal telah hilang begitu saja. Mereka lah ketiga anak yang berjanji untuk tidak mengenal cinta. Anak yang masih di bilang polos telah menentang adanya cinta.
Tapi tidak ada yang tidak mungkin. Waktu akan terus berjalan dan mengalir, mengikuti scenario yang telah tertulis, Menjalankan setiap alur yang di kehendaki, menerima dan merasakan sebuah resiko terakhir.
Pagi ini hujan telah berhasil membasahi area kompleks perumahan Jati Asri. Bagi kebanyakan orang, hujan di pagi hari terasa menjengkelkan lantaran aktivitas pertama mereka harus terganggu. Tapi tidak dengan kedua remaja yang sekarang tengah bermain air di bawah guyuran hujan. Dengan seragam yang akan mereka gunakan sekolah pagi ini.
Kayla Mathilda perempuan manja penyuka hujan, sering disapa Ayla atau Ay. Memiliki badan yang tak terlalu tinggi, pipi chubby dengan setelan rambut lurus sebahu.
Dan partner mainnya. Daniel Arsalan Syahreza, kulit putih, tinggi, hidung mancung, dan senyum yang manis. Ia juga memiliki sisi yang humoris. Karena Kayla lah ia salah satu anak penyuka datangnya rintikan air.
“Mau sampai kapan kalian main hujan!” Teriak salah seorang yang berdiri memakai seragam yang sama seperti milik Kayla dan Daniel. Namun ia hanya bisa melihat kedua sahabatnya bersenang-senang.
Damian Abymanyu, pria tampan dengan segudang prestasi, memiliki kulit cokelat bersih, alis mata tebal dan mempunyai sifat yang bijak. Ia mampu menasihati kedua sahabatnya sampai mereka hanya bisa diam. Jika kedua sahabatnya menyukai hujan dia lebih menyukai keindahan setelah hujan, pelangi.
Kayla dan Daniel pun menghampiri sahabatnya ini dengan baju yang basah kuyup tentunya. Daniel langsung merangkul pundak Dami sedangkan Kayla berdiri di depan kedua sahabatnya, menadahkan tangan menerima tetesan air. Rasannya belum cukup ia bermain walau tangannya telah memucat.
“Liat aja, suatu hari nanti aku akan main hujan sama kalian berdua,” ucap dami.
“Gue tunggu Dam, gue yakin lo bisa ngelawan semuannya!” Balas Daniel menepuk pundak sahabatnya ini. “Dan Ayla sama Daniel akan selalu ada buat Dami.” Lanjut Kayla tersenyum menoleh ke belakang.
Dami ikut tersenyum, lalu menarik tangan Kayla. “Udah main hujannya, buruan ganti baju!”
“O iya. Kita pakek baju apa Dan?” Kayla segera menoleh menatap Daniel.
“Baju olahraga.”
“Haish! Lo tuh ya ... akh! Ga ngerti apa? Gimana marahnya Pak Adam nantinya.”
“Udah lah gampang. Buruan ganti.” Daniel pun berlari kecil, kembali membelah hujan menuju rumahnya.
Rumah mereka tetap sama seperti dulu. Rumah Daniel yang berada tepat di depan rumah Kayla dan rumah Dami di sebelah kanan rumah Daniel.
Begitupun dengan perjanjian, persahabatan yang mereka bangun sejak kecil masih tetap berdiri kokoh. Perjanjian yang mereka buat juga masih berlaku sampai sekarang. Sejak kecil sampai SMA, mereka masih belum ada yang mengenal rasanya cinta dari lawan jenis. Bagi kebanyakan orang, SMA adalah masa-masa mengenal cinta, tapi tidak dengan mereka.
...
“Kenapa kalian pakai baju olahraga?”
Kayla dan Daniel saling menatap. Penjagaan di sekolahnya memang cukup ketat. Apalagi hari Senin setiap pagi guru BK selalu berjaga di depan gerbang mengawasi anak didiknya.
Seperti sekarang di parkiran. Kayla, Daniel, dan Dami sedang menghadap Pak Adam guru BKnya. Lebih tepatnya Daniel dan Kayla. Sedangkan Dami hanya bisa diam melihat. Padahal mereka naik mobil dan seluruh jendela mobil tertutup rapat, tapi Pak Adam masih bisa tau.
“Bapak tanya sekali lagi! Kenapa kalian pakai baju olahraga?” Ucap Pak Adam dengan nada suara lebih tinggi.
“Itu Pak ... bajunya lupa gak dicuci,” Jawab daniel santai.
“Gak dicuci kok barengan.”
“Ya kan Bapak tau kalau kita sehati,” Ucap Daniel sambil menangkup bahu Kayla. “Ya gak Ay?”
Kayla mendengus kesal mendengar itu. Bisa-bisanya Daniel berucap seperti tidak punya dosa. Padahal sedari tadi wajahnya ketakutan. Mulutnya hanya bisa bungkam dan Pak Adam tak henti menampakkan tanduk merahnya.
“Udah becandanya?” Tanya Pak Adam lembut namun penuh penekanan. Disitulah Daniel diam menurunkan tangannya dari bahu Kayla.
“Dami! Bapak tanya sama kamu. Kenapa mereka pakai baju olahraga?”
Dami menoleh ke arah kedua sahabatnya. Terlihat mereka memberi kode padanya. Namun apalah daya tatapan milik Pak Adam lebih menyeramkan dari pada amukan mereka. “Tadi pagi mereka main hujan, trus pakai baju seragam sekolah Pak.”
“Allahhumma bari’lana ... Astagfirullah ya gusti. Kalian umur berapa. Ha?” Bukannya takut mereka malah tertawa mendengar ucapan itu.
“Jangan ketawa kamu. Buruan ke lapangan bentar lagi upacara dimulai,” Omel Pak Adam menyuruh Dami.
“Baik Pak.”
“Dan buat kalian berdua. Bapak gak akan hukum untuk berdiri di lapangan.” Mendengar itu wajah Kayla dan Daniel langsung sumringah. Tapi tidak dengan ini. “Tapi saya suruh kalian buat keliling lapangan basket!”
“Itu mah ga ada bedanya Pak,” Celetuk Daniel.
“Salah kalian sendiri waktunya upacara pakai olahraga. Mau olahraga kan? Ayla lari keliling lapangan basket 20 kali dan Daniel 50 kali.”
“Lah gak adil, Pak! masa saya 50?”
“Kamu mau jadi perempuan?”
“kalau gini mah saya juga pilih cewek Pak.” Elak Daniel merasa tidak terima. Ingin rasanya ia menjadi guru dan menghukum semua anak muridnya lebih dari ini. mungkin 50 putaran memang telah jadi makanannya sehari-hari dalam ekstrakurikuler basket. Namun hari ini Daniel merasa muak melakukannya.
“Daniel 70 putaran.”
“Pak-“
“Kenapa? mau ngelak lagi, mau ditambah lagi? Udah cepetan sana! Setelah upacara selesai dan Bapak ga lihat kalian disana-” Pak Adam melakukan gerakan tangan, meletakkan jari telunjuknya pada leher dan menggerakkan seperti sebuah pisau menggores leher. “Awas kalian!”
Ini baru kali pertama bagi Kayla menerima hukuman. Apalagi ia jarang sekali lari-lari bahkan setiap olahraga di sekolah tidak pernah niat. Jika disuruh lari ia hanya berjalan, diperintah push up ia malah tiduran tengkurap, saat squat jump ia hanya berjongkok memperhatikan temannya yang kewelahan bercucuran keringat sedangkan Kayla masih segar, sehat wallafiat.
“Daniel, nanti kalau Ayla pingsan gimana?”
“Ck! Gak usah manja Ay. Ayo ...” Daniel menarik tangan kayla menuju lapangan basket.
...
Kelelahan, itu yang Kayla rasakan sekarang padahal masih 3 putaran dan 17 putaran masih menjadi utang. Sesekali ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya. Melihat Daniel yang jauh darinya, entahlah sudah berapa kali cowok itu menyalip.
“Ay ke kantin aja yuk? Lo gak capek apa?” Tanya Daniel mensejajarkan kecepatan larinya.
“Ya capek lah, setan! Pakek nanya.”
“Yaudah biasa aja! Gue mau ke kantin, Lo mau ikut gak?” Ucapan Daniel membuat Kayla menghentikan larinya, begitupun dengan Daniel, ia seakan berhenti menatap Kayla bingung.
“Daniel plis deh gak usah becanda. Kita lagi dihukum dan dengan gampangnya lo nawarin ke kantin. Pak Adam Dan, Pak Adam ... ish lu mah. Gue baru pertama kali di hukum. Gue juga bukan lo yang pinter banget soal olahraga. Bahkan gue gak pernah olahraga. Jadi sekarang gue mau cepet-cepet selesai dan gue gak mau ulangin lagi!”
“Udah ngomelnya? Lagian lo takut banget sih sama Pak Adam.”
“Serah deh serah ... udah sono ke kantin beliin gue minum, bawa ke sini!” Kesal kayla melipat tangannya menatap Daniel.
“Yakin gak mau ikut?” Ucap Daniel sambil menaik turunkan alisnya.
“Gak!”
“Yaudah terserah, semangat yah!”
“Semangat gundulmu.” Gerutunya yang membuat Daniel terkekeh lantas mengacak rambut lurus milik Kayla. “Ihhh ... jangan diacak-acakin Daniel.” Melihat itu Daniel semakin usil mengacak lebih kencang dan sebelum Kayla mengeluarkan omelannya, Daniel telah melarikan diri.
Begitulah seorang Daniel, dia sangat sering menerima hukuman karena keusilannya. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi kebal akan hukuman.
...
Seorang pria berdiri tak jauh dari lapangan basket, melipat kedua tangan dan menyandarkan tubuhnya pada saka. Ia memakai seragam berbeda yang berasal dari sekolah lain. Sekarang ia tengah menunggu upacara selesai, menemui salah satu guru dan segera mendapatkan kelas barunya. Seperti yang kalian pikirkan dia adalah murid baru di sini.
Sambil menunggu, sedari tadi ia terus memperhatikan gadis yang berlari mengelilingi lapangan. Pikirannya terus menebak-nebak. Mengapa disaat semua siswa melakukan upacara gadis itu malah di sana. Apakah dihukum? Atau memang ia melakukan olahraga?
Tak lama pikirannya buyar kala melihat gadis itu jatuh pingsan. Pria itu kebingungan, celingukan berharap ada orang selain dia yang melihatnya. Dan yah, hanya dia yang tau semua orang fokus mengikuti upacara.
Dia pun berlari kecil menghampiri gadis itu. Berjongkok dan mencoba membangungkan dengan cara menggoyangkan pipinya. Nihil! Sepertinya terpaksa ia harus menolong. Dengan perlahan ia mulai mengangakat tubuh mungil itu.
Sebelum melangkahkan kaki, ia memandang wajah orang yang telah berada digendongannya. “Cantik” itu yang ia lihat. Matanya turun pada name tag yang tertempel di seragam itu. “Kayla Mathilda.” Tak terasa pria itu menampakkan lengkungan pada bibir. Tanpa pikir panjang lagi ia segera membawa dan mencari pertolongan.
...
Kayla mengerjapkan matanya. Bau obat yang menyeruak membuatnya celingukan. Ia berbaring di atas ranjang lalu mendudukkan tubuhnya. Dan saat kesadarannya telah terkumpul, ternyata ia berada pada UKS. Kayla mencoba memanggil petugas di dalam yang duduk tak jauh dari ranjangnya.
“Hust ... Heh!”
Mendengar itu petugas UKS dengan name tag Melly mendongakkan wajahnya. “Eh! Udah sadar,” ucap Melly mulai mendekat pada Kayla.
“Kamu yang bawa aku ke sini?” Tanya Kayla.
“Bukan, tadi tuh ada cowok yang bawa kamu kesini. Trus dia bilang katanya dia anak baru. Trus dia nitip ini buat kamu,” terang Melly.
Kayla menampakkan wajah bingungnya memandang bolpoin yang Melly acungkan. Melihat Kayla tak segera menerima, Melly menyerahkan paksa ke tangan Kayla.
Entahlah pikiran Kayla masih belum sepenuhnya pulih. Mengapa orang itu memberinya bolpoin. Kayla membolak-balikkan benda itu dan menemukan sebuah nama di bagian tutup bolpoin. Perlahan mulutnya mulai mengeja. “Ar-“
“Kayla!” Belum sempat ia membaca nama itu, Daniel dan Dami datang dari arah pintu memanggil namanya dan melangkah menghampiri Kayla. Secara refleks ia memasukkan benda itu pada sakunya.
Tepat berada di ruang tamu Kayla bersila di atas lantai. Meja yang berada di depannya telah penuh dengan buku-buku dan cemilan. Malam ini ia harus belajar untuk Ulangan Harian, tapi satu benda mampu membuatnya menelantarkan sepuluh buku di depannya. Tak henti-henti Kayla meneliti sebuah bolpoin berwarna silver, pada bagian penutup itu, terdapat lukisan nama dengan warna hitan bertuliskan. "Ardan Mahardika."
Kayla ingin secepatnya berada di sekolah besok dan mencari tahu siapa Ardan Mahardika, kenapa orang itu menolongnya lalu memberinya sebuah bolpoin. Ia sempat menyesal lantaran tadi pagi setelah sadar dari pingsannya dia langsung bergegas pulang. Kedua sahabatnya terus memaksa untuk beristirahat di rumah. Seharusnya ia mencari tau dari Melly si penjaga UKS, sungguh menjengkelkan.
Seseorang membuka pintu rumahnya yang tak terkunci, kedua cowok melenggang masuk. Namun Kayla sama sekali tidak menyadari. Ia terlalu fokus pada pikiranya.
"Dam! Temen lo kenapa tuh," ucap Daniel menyenggol lengan Dami sebelum menghampiri Kayla.
Dami mengedikkan bahu bersamaan alisnya yang terangkat lalu melangkahkan kakinya. Namun satu langkah belum ia tempuh, Daniel tiba-tiba menarik tangannya menaruh jari telunjuk pada bibir seakan menyuruh Dami untuk diam.
Daniel pun mulai mengendap-endap tanpa suara. Dami yang melihat itu hanya bisa menghembuskan nafas. Sudah di luar pikirannya mengetahui apa yang akan daniel lakukan dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"DORR!!"
"Aaaaaaaa," Teriak Kayla dengan suara melengking, "Ih! ... Daniel lo ngeselin banget sih!" Teriaknya lebih keras setelah mengetahui pelakunya. "Tadi kalau tiba-tiba jantung Ayla copot gimana coba?"
"Ya tinggal bawa ke bengkel, suruh pasang lagi. Gitu aja repot."
"Ha. Ha. Ha. Gila kali ya lo."
Daniel mengangkat bahunya tak acuh, lalu duduk berhadapan dengan Kayla. Sedangkan Dami mengambil salah satu buku milik Kayla dan duduk di atas sofa mencoba tak memperdulikan cekcok antara dua manusia yang selalu tak mau kalah satu sama lain.
"Lagian udah pinter, lo. Belajar sambil bengong." Daniel selalu suka membuat Kayla kesal seakan itu semua telah menjadi candunya. Baginya melihat sahabatnya ini kesal begitu menggemaskan dengan kemanjaan yang Kayla miliki.
"Masih mending gue mau belajar dari pada lo!"
"Masih mending gue gak belajar, tapi selalu dapat prestasi olahraga dari pada lo!"
"Ih! ... Dami liatin deh Daniel selalu gitu sama Ayla." Itulah hal yang Daniel suka, disaat Kayla mengadu merengek pada Dami.
Kayla semakin cemberut disaat rengekannya tidak direspon oleh Dami. Pria itu lebih memilih fokus pada buku yang ia pegang. "DAMI!!" Teriak Kayla mengguncang kaki milik Dami yang duduk di atas sofa.
Dan situasi ini yang pria itu tidak suka. "Apasih Ay. Kalian tuh bisa gak sih sehari aja gak rusuh-"
"Yee ... orang Kayla dulu yang mulai."
"Apaan! Lo dulu yang bikin kesel!"
"Heh! Ya gusti ... yang laki suka ngrecokin, yang direcokin seneng banget marah-marah," ucap Dami.
"Tuh kan! Dami malah belain Daniel, semua orang juga marah kalau digangguin."
"Emang gue gangguin lo nga-"
"Ya ampun! Ini ada apa sih? Kuping Bibi bisa budek dengerin kalian," Celetuk salah seorang yang keluar dari arah dapur, membawa nampan berisikan sebuah makanan.
"Biasalah, Bi Min. ada kucing kawin." Maksud dari perkataan Dami adalah Kayla dan Daniel yang bertengkar seperti kucing yang sedang jatuh cinta, selalu mengeluarkan suara keras.
"Den Dami teh bisa aja. Dari pada adu mulut mending adu makanan. Nihh, Bibi bawain ketela goreng."
Bi Minah adalah pembantu di rumah kayla yang merawatnya sejak kecil. Setelah kepergian mendiang Ayah dan Ibunya dulu, Kayla ikut bersama Neneknya, namun setelah itu Neneknya tak bisa merawat lantaran usia yang semakin menua. Hingga akhirnya di bantu oleh Nita Ibu Daniel untuk mengurus Kayla, sampai bertemu dengan Bi Minah. Seorang janda yang belum di anugerahi seorang anak. Ia ikhlas tidak dibayar untuk mengurus Kayla. Kayla telah menganggap Bi Minah sebagai ibunya sendiri walau ia memanggilnya Bibi.
"Wihhh! Bibi tau aja kalau pangeran yang super ganteng ini lagi kelaparan," ucap Daniel dengan pedenya, langsung mencomot dan memakannya.
"Ha. Ha. Ha. Yang ada lo tuh pangeran kodok," celetuk Kayla menimpali.
"Bagus dong! Kan pangeran kodok awalnya pangeran tampan lalu dikutuk," jawab Daniel tidak mau kalah.
"SERAH!"
"Bi ... Dami juga mau," ucap Dami memberikan tangannya pada Bi minah. Bukannya dibalas Bi Minah malah menatap Dami bingung. "Kenapa Bi?" Tanyanya.
"Itu hidungnya den Dami teh kenapa pisan?"
Mendengar itu Kayla dan Daniel sontak menoleh. "Dami." Panggil Kayla dengan suara kaget.
Dami yang tau akan tatapan ketiga orang di depannya ini segera mengecek hidungnya dengan jari telunjuk dan benar setes darah keluar, tau keadaan itu dami berusaha setenang mungkin. "Gue ke kamar mandi dulu ya." Dami langsung berlari. Diikuti Kayla dan Daniel.
"Dami, cepetan keluar lo gak papakan?" Daniel mencoba mengedor pintu
"Dam cepetan keluar, lo jangan bikin takut deh!" Ikut Kayla
Cklek ...
Dami pun keluar mencoba tersenyum pada kedua sahabatnya yang menampakkan ketakutan. "Tenang aja gue gapapa kok."
"lo tau, Dam! Ayla takut. Kalau apa yang di katakan Dokter Hendra minggu lalu itu-"
"Kalian tau? Terkadang aku pengen banget balik ke masa lalu, aku rasa masa depan aku gak adil. Tapi aku tetep yakin semuannya ada kebahagiaan sendiri." Ujar Dami menangkup bahu kedua sahabatnya, yang dibalas pelukan oleh Kayla, diikuti Daniel yang tak mau ketinggalan. Pelukan erat itu menandakan mereka tak ingin kehilangan.
Disinilah Dami merasa dia manusia paling beruntung mendapatkan Kayla dan Daniel. karena mereka lah ia masih bisa melihat eloknya dunia, semangat dari mereka lah membuat kehidupan tersendiri baginya.
...
Kayla berlarian di sepanjang koridor yang mulai sepi. Ia sempat menggerutu, mengapa kelasnya harus berada di lantai dua. Tapi bersyukur, sesampainya di pintu kelas. Kayla melihat teman-temannya masih ngerumpi, bahkan ada yang nyanyi-nyanyi di atas meja, ada juga yang selfi sana-sini hingga bermain make up, padahal muka mereka udah tebal banget karena polesan bedak.
Kayla pun berjalan gontai menuju kursinya, duduk dan mengatur napasnya. Jika berangkat sekolah tadi Daniel tak meminta untuk naik angkutan umum mungkin dia tidak akan telat, dia tidak akan lari-larian ditambah seragamnya mengeluarkan bau tidak sedap.
Tok. Tok. Tok
Suara langkah kaki mulai terdengar. Semua anak-anak mulai berhamburan menata tempat duduk, dengan cekatan mereka membereskan kerusakan kelas yang telah diperbuat. Bu Weny pun datang, berhenti di depan pintu menatap anak didiknya tajam. Tanpa banyak bicara Bu Weny masuk, berdiri di depan kelas membawa jurnal pada tangan kirinya.
"Selamat pagi anak-anaku tercinta."
"Selamat pagi, Bu!"
"Maaf yah, Ibu telat 30 menit."
"Telat 1 jam juga enggak papa, Bu. Kita mah ikhlas, asalkan Ibu bahagia!" Celetuk salah satu murid cowok yang duduk di bagian belakang. Tawa anak-anak pun pecah mendengar itu.
"Heh! Hust ... hust ... udah-udah," tutur Bu Weny.
"Lagian Ibu kesini hanya mau mengabsen kalian. Sebenarnya enggak rela, tapi hari ini Ibu ada rapat. Jadi, pagi ini sampai jam istirahat nanti, jam pelajaran kalian free alias jamkos," ucap Bu Weny dengan wajah cantiknya. Yups, Bu Weny termasuk guru paling muda di SMA Cakrawala
Mendengar berita itu kelas semakin riuh. Padahal mereka hanya jamkos berapa jam, namun hebohnya berjam-jam.
"Heh! Udah, jangan rame sendiri. Malu-maluin Bu Weny sebagai wali kelas kalian ini. Duduk! Ibu absen sekarang." Bu Weny pun mulai memanggil satu persatu nama-nama muridnya.
"Alvian Mahendra."
"Ada Bu!"
Sedari tadi temannya heboh, Kayla hanya diam mendengarkan Bu Weny namun pikirannya terus tertuju pada anak baru bernama Ardan Mahardika. Entahlah, namanya saja sudah membuatnya kepo, apalagi bila nanti ia tau.
"Ardan Mahardika."
Mendengar itu Kayla mengacungkan tangan. Tunggu! Ardan Mahardika? Ia tidak salah mendengarkan? Dengan cepat Kayla menoleh ke belakang. Tepat di belakangnya seorang pria mengacungkan sama sepertinya. Ia tertegun, bahkan untuk menela salivanya kesusahan.
Ardan Mahardika, pria tinggi berdarah prancis. Lesung pipi, itu salah satu kelebihan yang Ardan punya pada wajahnya. Siapa pun yang melihat ia tersenyum, hati-hati saja mata dan hati kalian meleleh.
"Kayla kenapa kamu mengacungkan tangan?" Tanya Bu Weny.
"A-itu. Anu, apa? Saya kira nama saya yang di panggil Bu." Jawabnya kesusahan.
"Cieee ... Ayla," sorak teman-temannya
"Apesih lu semua!" gerutunya kesal
Parah! Kayla malu besar ini. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Diem saja, padahal udah kepergok, atau menyapa orang yang sedari kemarin selalu mangkir di pikirannya, atau membalikkan bolpoin itu, atau ... akh! Entahlah. Jamkos! Itu kesempatannya, tapi apa yang harus ia lakukan.
Di meja Kayla, sedari tadi ia terus bergulat dengan jari-jari dan pikirannya. Sesekali terus menggigit bibir bawahnya.
...
Jam istirahat pun datang. Bila biasanya Kayla akan segera berlari menuju kelas kedua sahabatnya, sekarang ia harus menunggu kelas sepi dan mencari tau seorang Ardan Mahardika sedetail-detailnya.
Menarik napas, hembuskan. Itu yang dari tadi Kayla lakukan. Kelasnya pun sepi, ia tau sekarang hanya ada dia dan Ardan. Kayla mulai memejamkan mata, membukanya perlahan dan menghadap ke belakang.
"Kok gak ada." Kayla celingukan dan mendapati Ardan berjalan keluar kelas. Sebelum jauh ia langsung mengejar cowok itu, "Eh! Tunggu."
"Woy! Tungguin."
Mendengar teriakan itu Ardan berhenti. Lalu seorang cewek datang menepuk bahunya sambil ngos-ngosan
"Guh-gue, dah-dari tadi, mah-mahgillin eluh, gak dehnger apah," ucap Kayla dengan nada putus-putus.
Ardan mengerjap, menatap bingung cewek di sampingnya ini yang masih memegang bahunya seakan saat ia melepas akan jatuh.
"Huft .... " Napasnya pun mulai teratur, lalu melepaskan tangannya dari bahu Ardan.
Kayla memandang lekat wajah itu namun yang di lihat cowok itu menatapnya bingung. Wait! Wait! Cowok ini bukan ya? Yang nolongin gue kemarin. Kok Dia biasa aja liatin gue. Batinnya melamun menatap Ardan
"Heh! Ada apa?" Ardan menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Kayla.
"Hah!"
"Ada apa?" Ulanginya lagi.
"Em ... kamu, yang nolongin aku kemarin bukan?" Terlihat Ardan menganggukan kepalannya pelan. "Iya! Beneran!" Sungguh, Kayla langsung sumringah melihat itu.
"Berarti, kamu kan yang ngasih aku ini," ucapnya menunjukkan sebuah bolpoin pada Ardan, "Jelas di sini ada nama kamu!"
"Iya, itu dari aku ke-"
"Nih!" Tukas Kayla sambil menyodorkan benda itu.
"Ambil aja, lagian itu buat kamu."
"Kenapa kamu kasih aku bolpoin?"
"Enggak tau sih, ambil aja lah," jawab Ardan kikuk menggaruk belakang lehernya yang jelas tidak gatal.
"Jadi ini beneran buat aku?"
Ardan membalas dengan senyuman dan memperlihatkan lesung pipi yang terlihat begitu manis. Ya gusti, senyumnya tolongin dede, ini kenapa jantung gue jedak jeduk. Coba aja ini sinetron, mata gue pasti keluar lope-lope. Kurang lebih itulah khayalan Kayla melihat Ardan.
Tiba-tiba Ardan terkekeh, Kayla pun segera menyudahi lamunannya dan kembali pada dunia nyata. "Kenapa ketawa?"
"Siapa yang ketawa."
"Haish, tadi aku gak ngeliatin kamu kok."
"Masa sih!"
"Iyalah."
"Masa sih aku nanya?"
"Ih! Nyebelin."
"Canda!" Ardan terus menahan tawa melihat tingkah gemas cewek di depannya ini, "Ardan," Sambungnya sambil menjabat tangan.
Dengan semangat empat lima Kayla menerima. "Kayla Mathilda, kamu bisa panggil aku Ayla atau Ay." Pria itu mangut-mangut mendengar penjelasan lucu kayla. Jabat tangan mereka pun terlepas, "Em ... Kalau gitu aku duluan yah." Ujar Kayla.
"Okey."
"Makasih," tutur Kayla sambil menunjukkan kembali bolpoin dan mulai melangkah.
Beberapa langkah Kayla berjalan, ia kembali lagi membawa cengiran. Ardan yang masih berdiri di tempat mengerutkan keningnya menatap Kayla.
"Ngehehe ... salah, tadi aku mau kesana." Tunjuk Kayla ke arah belakang ardan berdiri. Sangking grogi mungkin yah, jalan saja sampai keliru.
Dasar cewek! Batin Ardan sambil menggelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!