Namaku Thania Putri, aku anak yatim piatu yang di jodohkan dengan laki laki bernama Alan Wiguna. Dan aku pun di madu tanpa sepengetahuan Ayah. Awal menjalani hidup di madu membuatku sangat sakit. Bagimana tidak, Mas Alan terlihat sangat menyayangi Lala di bandingkan diriku. Dia juga memperlakukan aku dan Lala dengan sangat dan sangatlah berbeda. Dia tak pernah menganggapku istri, dan selalu mengabaikanku. Namun seiring berjalannya waktu, aku membuang jauh jauh rasa iriku itu. Karena aku sadar diri.
Aku memang istri pertamanya Mas Alan, sayangnya Mas Alan tak pernah mencintaiku, dia lebih mencintai Lala dari pada aku.
Semua karena perjodohan yang di rencanakan oleh Ayah Mas Alan yang mempunyai janji dengan mendiang Ayah dan Ibuku. Pak Ilham adalah Ayah Mas Alan, beliau sudah berjanji akan menjagaku dan menyayangiku seperti anak sendiri.
Sampai suatu hari Pak Ilham yang sudah biasa aku panggil Ayah, terbaring sakit dan meminta Mas Alan untuk menjagaku dengan cara menjodohkanku dengannya.
Awalnya aku dan Mas Alan menolak, tentu saja karna kita tidak saling mencintai. Kami memang saling mengenal tapi cuma sekedar mengenal saja, kami tidak tahu sifat masing masing dari kita. Dan karena Mas Alan sudah mempunyai kekasih yang sangat dia cintai.
Kami pun mau tidak mau menyetujui perjodohan ini, aku dan Mas Alan tak tega melihat Ayah yang terbaring sakit sudah selama satu bulan. Tanpa berpikir panjang lagi Mas Alan langsung menyetujuinya.
Dan hari berikutnya aku dan Mas Alan telah resmi menjadi suami istri, kami menikah secara Agama dan Negara. Jantung Ayah pun semakin membaik dan terlihat bahagia melihat pernikahan kami.
"Alan, jaga Nia dengan baik. Hanya kamu harapan Ayah, hanya kamu pria yang Ayah percaya untuk menjaganya dan jangan kau sakiti dia," pesan Ayah pada Mas Alan membuatku terharu.
"Ayah sudah tua, tak mungkin bisa terus menjaganya, jangan kau sakiti dia. Cintai dia dengan sepenuh hatimu! Dia gadis baik dan sholeha, yang tak pantas di sakiti dan dia harus selalu di lindungi." lanjut ayah.
"iya yah," hanya itu yang keluar dari mulut Mas Alan. Serasa kata singkat yang sangat terpaksa keluar dari mulutnya.
Aku dan Mas Alan kembali ke Ibu kota. Dan tinggal berdua di rumah miliknya di Ibu kota.
Belum genap satu minggu aku menikah dengan Mas Alan. Mas Alan berniat untuk menikahi kekasihnya.
"Nia ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucapnya datar dengan wajah yang seperti biasanya dingin sedingin es di kutub utara. Ini adalah pembicaraan pertama kami.
Sepekan aku tinggal bersamanya, tak pernah sekali pun kami bertegur sapa. Bahkan Mas Alan tidak pernah tersenyum bahkan menatapku pun tidak pernah. Di ruang tengah, aku dan Mas Alan kini tengah menonton televisi bersama dengan duduk yang berjauhan.
"Kenapa Mas," ucapku tanpa memandangnya. Karna Mas Alan pun tak memandangku, dia berbicara dengan menatap televisi.
"aku akan menikahi Lala secepatnya," kata kata yang sangat sangat menyayat hatiku.
Bagaikan tersambar petir di siang hari tanpa adanya hujan. Rasanya begitu sakit, bagaimana bisa aku merestui Mas Alan menikah lagi. Berdua saja rasanya aku bagai hidup di neraka. Apa lagi jika ada seorang madu nantinya, akan bagaimana hatiku nanti.
"kapan?" pertanyaan itulah yang terucap dari mulutku, sakit ini benar benar sangatlah sakit.
"aku bilang secepatnya."
Haruskah aku mengijinkannya, karna sudah memisahkan dua insan yang sudah merajut kasih bertahun tahun lamanya. Harus terpisahkan oleh perjodohan ini, mungkin dengan mengijinkan Mas Alan menikah lagi. Dia akan menerima kehadiranku, dan sikapnya akan sedikit berubah denganku, tapi nyatanya tetap sama saja. Mas Alan tak pernah menganggapku ada.
Bodoh iya aku adalah wanita bodoh.
Dipoligami. Akankah aku bisa rela lahir batin. Mengingat cinta Mas Alan yang begitu besar dan dalam pada Lala, sudah pasti membuat sikap dan perhatian Mas Alan lebih tertuju pada Lala. Dan hari hariku pasti akan terlewati dengan sikap ketidak adilan dari Mas Alan. Dan hariku akan semakin berat untukku jalani.
"terserah kamu saja Mas. Jika itu membuatmu bahagia, nikahi saja wanitamu."
"tidak kau ijinkan pun aku akan tetap menikahi wanitaku sesuai janjiku padanya. Jadi aku tidak butuh persetujuan atau pun restu darimu." Mas Alan mengutarakan lagi lagi tanpa memandangku.
"aku mengerti, tapi bagaimana dengan ayah? aku takut jika ayah...," ucapanku terpotong.
"Ayah tidak akan tahu, jadi jangan beri tahu Ayah. Jadi rahasiakan ini dari Ayah dan aku akan mengatur semuanya,"
"bagaimana jika nanti Ayah tahu dengan sendirinya?" tanyaku yang masih fokus pada acara di layar kaca depanku. Dengan menahan rasa sesak di dada.
"itu urusan belakangan, jadi kamu cukup tutup mulutmu. Dan jangan mengadu pada Ayah!" ancamnya penuh penekanan.
"terserah kamu, menikahlah. Takkan ku halangi pernikahanmu!" ucapku dingin walau sebenarnya hatiku sangatlah sakit.
"bagus...dan Lala nanti akan tinggal disini juga," ucapnya datar dan berdiri dari duduknya.
Mas Alan pun pergi meninggalkanku dengan perasaan yang sangat sangat sakit. Meski belum ada cinta di antara kita, tapi sebagai seorang perempuan aku berharap dan yakin jika kelak akan ada cinta di antara kita. Namun harapan itu pupus, jujur aku terluka dan sangat sangatlah terluka.
Setelah Mas Alan dan Lala resmi menikah, hari hariku semakin tersiksa, aku merasakan sakit yang begitu dalam. Harus menyaksikan keharmonisan antara suami dan maduku, dan setiap hari aku terus terusan menahan sesaknya dadaku.
"terima kasih sayang," ucap manis Mas Alan saat Lala menyendokkan nasi dan lauk untuknya.
"sama sama Mas," ucap Lala lembut.
Hatiku sangat ngilu saat mendengarnya, karna aku memang duduk di kursi makan berhadapan dengan Lala.
Kata kata sayang yang tak pernah sekali pun Mas Alan ucapkan padaku. Sungguh bahagianya Lala bisa menikah dengan orang yang dia cintai dan mencintainya dengan begitu besar.
Andaikan saja aku menikah dengan orang yang ku cintai dan dia juga mencintaiku, mungkin aku tak akan merasakan sakit seperti ini, yang bisa di sebut luka yang tak berdarah. Luka yang tak akan pernah terlihat oleh mata, dan hanya aku yang merasakannya.
Dua bulan berlalu, hidup bersama suami dan maduku. Melihat adegan romantis dari mereka sudah menjadi makananku setiap harinya.
Dan aku pun sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit ini. Di abaikan, di sisihkan, di sakiti, tak pernah di sentuh, dan tak pernah mendapat sebuah senyuman dari suamiku. Ah...lengkap sudah hidupku ini, lengkap dengan sebuah penderitaan.
Meski aku dan Lala hidup di poligami. Tapi hubunganku dengan Lala tetap baik baik saja. Aku dan Lala hidup rukun, dia wanita yang baik. Sikapnya terlihat dewasa di bandingkan aku yang lebih tua satu tahun darinya. Lala berumur 24 tahun sedang aku 25 tahun.
Ya aku akui jika sosok Lala selain dia lebih dewasa dariku, dia juga bijaksana. Lala sering meminta Mas Alan untuk bisa adil terhadap kami. Adil dalam segala hal, materi, cinta dan nafkah batin. Tapi Mas Alan tidak pernah mau melakukan itu kecuali nafkah berupa materi.
"tidurlah dengan Nia Mas!"
"itu tidak akan mungkin pernah ku lakukan La!" ucap Mas Alan.
"tapi Mas, dia istrimu juga. Dia istri pertama mu Mas. Tolong Mas demi aku,"
Aku tak habis pikir dengan Lala, kenapa rela memohon dan bersujud di kaki Mas Alan hanya demi aku. Kenapa dia tidak membuatku enyah dari kehidupan mereka saja agar tak ada penghalang lagi. Satu kata, sempurna! Dia benar benar wanita yang sempurna bukan.
"sekali tidak tetap tidak La, kau tak perlu memikirkan wanita kotor itu!" Mas Alan melangkah pergi dan meninggalkan Lala yang masih tertunduk di lantai.
Kejam iya Mas Alan memang kejam padaku. Bahkan dia tega menyebutku wanita kotor. Hatiku semakin sakit, dan dia begitu merendahkan diriku. Air mataku pun jatuh mendengar hinaan Mas Alan.
"maafkan aku sayang, aku tak bermaksud membuatmu menangis," iya Mas Alan kembali mengahampiri Lala dan memeluknya begitu manis. Mas Alan menggendong Lala menuju kamarnya.
🙏
🙏
Klarifikasi....
Sehat selalu wt kk semua😘😘, Dan untuk yang bertanya cerita aku mirip dengan novel sebelah, saya terinspirasi. Bukan mengcopy paste/plagiat. Aku kasih tahu🙏🙏 aku sudah di hubungi oleh pihak NT/MT jauh sebelum ada komentar komentar di part 1, dan pihak NT/MT itu lebih tahu ya kak. Dan terima kasih sudah membaca cerita ini, dan terima kasih kritik dan sarannya🙏🙏🙏
Aku tidak sengaja melihat kejadian itu di depan pintu kamarku,saat aku hendak turun mengambil air putih. Setelah mereka masuk ke kamar, aku pun turun.
Baru tadi menangis, sekarang ku dengar suara tawa dan ******* dari Lala. Ku isi botol minumku, lalu ku kembali kekamarku dengan rasa yang tertusuk di dalam hati.
Aku bekerja di perusahaan kosmetik ternama di Ibu Kota, aku bekerja sebagai staf administrasi. Sedang Lala dia sekertaris di perusahaan tempatnya bekerja.
Sedang Mas Alan masih sibuk dengan mengembangkan usahanya di beberapa kota, saat ini rencananya dia akan membuka Kafe dan Distro dan juga Resort di daerah Tangerang.
Suatu hari aku pulang lebih awal dari mereka, biasanya aku pulang paling belakangan. Mungkin mereka pulang sedikit terlambat, aku menuju dapur untuk membuat masakan untuk makan malam nanti. Selama dua bulan ini Lala lah yang lebih sering masak, dia pandai membuat masakan yang enak enak. satu kata untuknya 'sempurna'.
Kudengar suara mobil Lala di luar, dia sudah pulang tapi Mas Alan belum.
"sore La, aku sudah masak untuk makan malam," ucapku saat Lala masuk kerumah dan hendak menuju dapur.
"kamu sudah pulang Nia," ucapnya dengan senyuman manisnya.
Haa apa dia tidak melihat motorku yang sudah terparkir cantik di garasi? gumam ku dalam hati.
"sudah dari tadi jam lima, dari pada bengong gak ngapa ngapain aku masak deh," ku berusaha tersenyum manis pada maduku.
"terima kasih Nia, aku mandi dulu ya sambil nunggu Mas Alan pulang baru kita makan," Lala menuju kamarnya yang memang menempati kamar utama.
Aku kembali ke atas menuju kamarku, setelah membersihkan diri ku duduk di kursi yang berada di balkon kamarku. Sambil menunggu Adzan Maghrib.
Pukul 18.30.WIB
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kamarku dari luar, iya Lala memanggilku untuk makan malam.
"Nia, ayo makan malam. Mas Alan sudah menunggu," sedikit teriak lembut dari luar kamarku.
"iya La, nanti aku kebawah," teriakku sambil memakai kerudungku.
"oke," jawabnya.
Aku pun segera keluar kamar menuju meja makan, sudah sangat lapar karna tadi hanya makan pas istirahat kerja.
Namun langkahku terhenti saat aku hendak menuruni satu tangga.
"Mas, jangan terlalu dingin sama Nia. Dia istrimu juga lho Mas," suara lembut dari gadis ayu itu.
"kamu tahu kan sayang, aku tidak mencintainya, aku juga tak sudi menyentuhnya!" butiran bening itu tertahan di pelupuk mata mendengar ucapan Mas Alan. Aku sudah tahu jauh jauh hari sebelum aku menikah dengannya bahwa dia tak mencintaiku. Tapi entah mengapa ada rasa nyeri yang begitu dalam di dalam dada ini.
"Mas, kamu seharusnya bisa benar benar adil pada istri istrimu. Melakukan sebagaimana seorang suami terhadap istrinya. Jadi bersikaplah baik dan jangan bersikap dingin pada Nia. Aku ini seorang wanita, aku tahu perasaan Nia pasti sangat terluka. Aku mohon, ubah sikapmu untuk bisa baik dan lembut pada Nia." ucapnya sambil mengelus pundak Mas Alan dengan lembut.
Mas Alan hanya diam tanpa kata kata.
Bijaksana bukan? Dia wanita sempurna, dia baik dan cantik. Pantas saja Mas Alan begitu mencintainya.
Ku urungkan niat ku untuk turun ke ruang makan, ku putarkan badanku untuk kembali ke kamarku.
Dikamar aku menangis sejadi jadinya, aku merasa bersalah pada Lala karna sudah menikah dengan Mas Alan pria yang dia cintai dan mencintainya begitu besar.
Tapi ini bukan sepenuhnya salahku, ku coba menampikan rasa bersalahku. Ini semua terjadi karna perjodohan yang di buat oleh Ayah, untuk memenuhi janjinya pada mendiang Ibu dan Ayahku agar aku selalu baik baik saja. Bukan juga aku ingin menyalahkan Ayah yang sudah baik terhadapku.
Sebenarnya Ayah dan Ibuku tak pernah ada rencana menjodohkan aku dengan Mas Alan, ini semua rencana Ayah Ilham sendiri. Agar ada yang menjagaku, yaitu di jaga oleh pria dingin yang tidak bisa di beri amanah.
Ayah sampai saat ini belum tahu tentang pernikahan Mas Alan dengan Lala, mengingat Ayah belum berkunjung setelah hari pernikahanku dan Mas Alan hingga tidak mengetahui rumah tanggaku yang sesungguhnya. Entah rumah tangga macam apa ini, setahu Ayah aku dan Mas Alan bahagia dan baik baik saja.
ku lepas kerudung yang selalu terpakai di kepalaku ini.
Ku langkahkan kaki ku menuju kamar mandi, ku ambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan perintah-Nya.
Setelah sholat, tak lupa ku berdzikir dan ku panjatkan doa kepada Allah SWT. Ku curahkan semua keluh kesah yang ada di hatiku pada-Nya.
"Nia, kenapa kok gak keluar makan?" teriak Lala di balik pintu kamarku lagi.
"kalian makanlah dulu La, aku belum lapar," sahutku berbohong.
"kamu baik baik saja kan Nia?" tanya nya lagi.
Aku terdiam dan bingung harus menjawab apa. Alasan apa yang tepat agar Lala percaya kalau aku baik baik saja.
"aku baik baik saja La, nanti kalau udah lapar aku pasti keluar sendiri La. Kalian makanlah duluan, aku mau sholat dulu La, maaf ya," ucapku berbohong lagi. Aku sudah selesai sholat tapi ku berbohong untuk sholat.
"ya sudah, kita makan duluan. Kamu jangan lupa makan ya Nia," ucapnya lagi tanpa ku jawab. Kini suara langkah kakinya terdengar sudah jauh dan semakin jauh dan sudah tak terdengar lagi.
Betapa perhatiaanya Lala itu padaku, bagaimana mungkin aku bisa membencinya. Dia tidak salah, di sini aku yang sudah salah hadir di tengah tengah hubungan mereka. perasaan bersalah itu selalu muncul di pikiranku.
Di tengah malam aku turun kebawah, hendak mengisi perutku yang kosong yang sedari siang belum terisi. Ku melangkah menuju meja makan, kulihat di setiap sudut ruang sudah sepi dan sudah tak terdengar suara Lala dan Mas Alan yang aneh.
Ku duduk di atas kursi, dan ku ambil nasi ke atas piringku. Ku nikmati masakanku sendiri dengan sangat nikmat. Tanpa ku sadari ada sepasang mata yang mengawasi kegiatanku tersebut.
Ya Mas Alan yang mengamati kegiatanku tadi, dia menghampiriku setelah aku menghabiskan makananku dan mencuci piring bekas makanku.
"lain kali waktu makan malam tiba, cepat makan. Jangan biarkan kami menunggu lama," ucapnya datar yang mengejutkanku.
"tadi belum lapar, maaf membuat kalian menunggu," ucapku tanpa memandangnya dan berlalu meninggalkan Mas Alan yang masih berdiri di tempatnya.
"kalau suami masih berbicara itu jangan asal pergi. Tidak sopan sekali," selorohnya langsung menghentikan langkahku.
"apa lagi yang mau kau bicarakan Mas? Jika hanya ingin melukai hatiku lebih baik simpan saja kata katamu," ucapku tanpa menoleh.
"jangan sampai kejadian ini terulang lagi, waktu makan cepat makan dan jangan biarkan aku menunggu berjam jam," ucapnya.
"iya aku tak akan mengulanginya, maaf. Aku permisi dulu mas," pamitku dengan sopan pada Mas Alan.
Aku tak melihat ekspresi di wajah Mas Alan, karna aku membelakanginya. Dan meninggalkannya yang masih berdiri di tempatnya.
Hari sabtu waktunya libur kerja, biasanya di hari libur seperti ini aku akan menghabiskan waktu seharian bersama sahabatku Lena. Kami berdua banyak menghabiskan waktu untuk sekedar nonton di bioskop makan makan. Aku dan Lena sama sama penyuka film bollywood dan drama korea.
Aku sudah rapi dan siap untuk pergi bareng Lena, melepas penat sepekan bekerja. Itung itung menghilangkan kejenuhan di rumah yang penuh keharmonisan Lala dan Mas Alan.
"Nia, kamu mau pergi juga?" tanya gadis ayu di depanku yang juga berpakaian rapi. Dia sungguh sempurna wajah beralaskan bedak tipis, bibir terpoles lipstick berwarna pink. Dan dia memakai dress warna putih dan mengenakan flatshoes dengan warna yang senada. Rambut yang di gerai membuatnya semakin cantik, Satu kata untuknya 'Cantik'.
"iya, ingin menenangkan pikiran," jawabku jujur.
"kamu mau kemana? sama siapa? Gimana kalau berangkatnya bareng aku dan Mas Alan biar seru?" ajaknya bersahabat. Ku melirik ke arah Mas Alan yang tengah duduk di sofa dengan memainkan ponselnya tanpa melihatku. huhhh dinginnya wajah itu.
"tidak La, aku lebih suka naik motor kesayangku sendiri," tolakku halus.
"tapi Nia...," ucapannya terpotong oleh Mas Alan.
"sudahlah sayang," suara yang begitu lembut dari mulut Mas Alan. Kelembutan yang hanya dia berikan pada Lala.
"jangan mencampuri urusan orang lain, kita ada acara sendiri sayang. Biarkan dia pergi sendiri," cetusnya tanpa peduli bagaimana perasaanku.
Orang lain? Mas Alan menganggapku orang lain dan benar benar tidak menganggapku istrinya. Jangan tanya lagi, hatiku jelas sakit sekali.
Aku pun berlalu pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai motor kesayanganku. Dengan pikiran yang tak karuan aku hampir hampir terjatuh saat ada nenek nenek menyebrangi jalan, untung saja aku masih bisa mengendalikan kemudiku.
"nenek tidak apa apa?" tanyaku cemas.
"tidak apa apa neng, maafin nenek ya nyebrang gak liat liat kanan kiri dulu," ucap nenek.
"nenek gak salah, saya yang salah nek. Gak hati hati saat mengendarai motor,"
"nenek yang salah neng, seharusnya nenek nunggu jalanan sepi dulu baru nyebrang. Nenek malah nyebrang dan lari gitu aja saat banyak kendaraan lewat," ya memang benar nenek nyebrang dan lari saat masih banyak kendaraan lewat.
"nenek gak salah, nenek mau kemana aku antar mau gak nek?" tanyaku mengalihkan agar nenek tak menyalahkan dirinya sendiri terus.
"nenek mau pulang, itu rumah nenek udah deket neng. Ayo kalau eneng mau mampir ke rumah nenek,"
"lain kali aja nek, aku pasti akan mampir nanti. Maaf ya nek aku lagi buru buru jadi gak bisa mampir," tolakku halus.
"gak apa apa neng, lain kali mampir ya. Nanti nenek kenalin sama cucu nenek,"
"iya nek, nanti aku pasti mampir. Aku pergi dulu ya nek," ucapku mengulurkan tangan pada nenek.
Aku mengendarai motorku kembali, menuju tempat Lena. Ku parkirkan motorku di depan kontrakan Lena.
"pagi Bu Basir," sapaku pada tetangga kontrakan Lena.
"pagi neng Nia cantik," sapanya ramah.
Aku tersenyum pada Bu Basir, dia sangat ramah begitu juga Ibu Ibu di kontrakan ini.
"assalamu'alakum," ucap salamku saat memasuki kontrakan Lena.
"waalaikumsalam," jawab Lena.
Air mata yang tadi tertahan, kini pun tak terbendung juga. Kulihat wajah Lena yang penuh ke khawatiran terhadapku.
"Nia, kamu kenapa?," tanyanya yang langsung memeluk tubuhku.
Aku masih diam dan terus menangis, Lena mengajaku untuk duduk dan memberiku minum.
"Nia, kamu kenapa nangis seperti ini? apa yang terjadi dan siap yang membuatmu nangis Nia," tanyanya panjang lebar, dia begitu perduli denganku.
"Mas Alan Len," ucapku dengan suara gemetar dan masih sesegukan.
"Mas Alan kenapa, dia menyakitimu lagi?"
"aku sudah terbiasa dengan rasa sakit itu Len, tapi ini lebih menyakitkan dari perlakuan dingin Mas Alan Len,"
"lalu apa Nia?"
"Mas Alan menganggapku orang lain Len, dia tidak menganggapku istrinya. Aku tidak masalah tidak di sentuh olehnya Len, mungkin dia jijik dengan diriku yang buruk rupa. Tapi saat dia bilang aku ini orang lain itu sungguh sungguh sangat sakit Len,"
"Alan benar benar keterlaluan Nia," ucap Lena geram dan mengepalkan kedua tangannya.
"Len malam ini aku boleh tidak nginap di sini?" tanyaku dan kuseka air mataku dengan pelan.
"tentu boleh, sebaiknya kamu tenangin dulu pikiranmu ya," tangannya dengan lembut mengusap usap pundakku.
"makasih ya Len, kau memang teman terbaikku. Maafin aku ya, udah sering ngerepotin kamu terus," kutatap mata indah milik Lena.
"kita kan sahabat, suka duka akan tetap bersama. Kita harus saling tolong menolong bukan," kita pun tertawa bersama.
"gitu dong, kau harus tetap tersenyum Nia," ucapnya lalu memelukku kembali.
"apa kau akan tetap melanjutkan pernikahan ini?,"
"entah Len, sampai kapan aku mampu bertahan. Aku masih bingung, aku mencemaskan kesehatan Ayah Len. Bagaimana pun aku menjalani pernikahan ini demi Ayah, dia satu satu orang tua yang ku punya Len, meskipun hanya Ayah mertua. Tapi beliau begitu menyayangiku Len, beliau dulu selalu menjagaku agar aku selalu baik baik saja. Jahat bukan jika aku membuat beliau sakit, hanya pernikahan ini yang beliau inginkan Len," ucapku panjang lebar.
"aku paham Nia, tapi terkadang memikirkan perasaan sendiri juga penting Nia. Aku tak bisa melihatmu seperti ini tersiksa demi menjaga hati seseorang yang sudah baik padamu. Rasanya ini tidaklah adil buatmu Nia, kau pantas bahagia Nia," kata kata yang sangat menyentuhku dan air mata meluncur kembali di pipiku.
Dia sahabat yang begitu menyayangiku dan sangat mengerti perasaanku, aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Lena. 'Bahagia' kata kata sahabatku yang masih terngiang ngiang di telingaku. Apa mungkin bahagia itu akan ku rasakan kembali seperti bahagia saat bersama Ayah dan Ibu dulu.
Mereka selalu menyayangiku, tak pernah membiarkan orang lain menyakitiku. Andai Ayah dan Ibu masih ada, hidupku takkan sepahit ini. Mereka takkan membiarkan ku tersakiti apa lagi oleh Mas Alan. "ohh Ayah Ibu, anakmu merindukan kasih sayangmu".
Matahari yang fajar tadi memunculkan diri dari timur kini dia membenamkan dirinya di barat. Setelah sholat maghrib aku dan Lena memutuskan untuk keluar makan malam.
Hari ini aku dan Lena tak keluar jalan jalan seperti biasa, kami hanya menonton drama korea dan hollywood di laptop milik Lena.
Aku dan Lena sudah berada di warung tenda pinggir jalan, suasana yang sangat asyik buatku. Karna bisa melihat kendaraan lewat sambil makan.
Malam yang sangat indah, namun tak seindah hatiku.
Bintang berkerlap kerlip indah, namun tidak dengan hatiku.
Sinar Bulan terpancar indah, sedang hatiku terpancar luka tak berdarah.
Makanan sudah tersaji, aku dan Lena memakannya bersamaan. Lena tersenyum melihatku yang sudah sedikit tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!