"Selamat pagi Ayah dan Bunda." Paloma baru saja turun dari lantai dua rumahnya menuju ke ruang makan, tempat Ayah dan Bundanya sedang sarapan bersama.
"Selamat pagi juga Paloma sayang. Apa kegiatanmu hari ini sayang?"
Ayah Paloma yang bernama Kevin Hendrawan adalah seorang Presiden ke-8 Indonesia yang telah menjabat selama 2 periode. Dimasa pemerintahannya Kevin Hendrawan dikenal sebagai Presiden yang jujur, pekerja keras, peduli dengan rakyat, dan begitu mencintai keluarganya.
Selama ini Kevin Hendrawan tidak pernah mendapatkan kabar miring ataupun gosip mengenai kinerjanya sebagai seorang pemimpin Negara maupun keluarga.
"Seperti biasa Ayah, Paloma akan ke kampus dan setelah itu pergi ke perusahaan sebentar untuk mengecek laporan bulanan yang sudah diberikan oleh Ka Ali kemarin."
Paloma mengambil roti bakar cokelat kesukaannya penuh semangat dan memakannya.
Paloma adalah anak satu-satunya dari keluarga Hendrawan Irawan, selain anak Presiden dia juga adalah pewaris utama perusahaan Hendrawan. Corp yang bergerak di bidang properti dan pertanian.
Saat ini Paloma adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi akan wisuda di Universitas Indonesia. Sambil kuliah Paloma sudah mulai meneruskan jejak sang Ayah yang sebelum menjadi Presiden menjabat sebagai CEO di perusahaan Hendrawan. Corp
Paloma adalah anak yang cerdas dan berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya dia tidak mau setengah-setengah dalam setiap tanggung jawab yang ada.
"Bunda, apa Bunda akan ikut dengan ayah ke Jepang?" Paloma memandang Bunda Poly dengan memelas, tampaknya ia tidak mau ditinggal lagi oleh Bundanya.
Baru juga 2 hari ini mereka bertemu dan sekarang mereka harus berpisah karena kesibukan Ayahnya.
"Maafkan Bunda sayang rasanya Bunda ingin sekali disini bersamamu, tapi kamu tahu sendiri kalau ayahmu ini sangat manja, ia tidak mau urusan pribadinya dilakukan oleh orang lain. Hah ... Bunda rasanya sudah sangat lelah karena harus menemani kemanapun ayahmu pergi." Bunda Poly menggenggam penuh cinta tangan anak perempuannya itu.
Terlihat garis halus yang mulai menghiasi kedua matanya, meskipun sudah berusia 50 tahun tapi Bunda Poly masih terlihat seperti berumur 40 tahun.
Poly Irawan adalah seorang pengusaha juga. Sebelum menikah dengan Kevin Hendrawan, Poly Irawan adalah seorang Ibu muda. Dia mempunyai satu orang anak bernama Ali Hartono.
Suami pertama Poly meninggal karena kecelakaan saat Ali masih berumur 5 tahun, dan ketika itu Poly baru berumur 28 tahun.
Poly Irawan menikah dengan Kevin Hendrawan yang terpaut usia 7 tahun dengannya, setahun pernikahan mereka Poly hamil dan melahirkan Paloma.
"Uhh, Bunda ... aku jugakan ingin dimanja bukan hanya ayah saja." Paloma merengek seperti anak kecil. "Entah kapan terakhir kali aku tidur dengan Bunda."
"Paloma kamu, kan sudah besar dan tidak lama lagi akan wisuda. Jangan seperti anak kecil yang tidak diberikan permen."
Kevin Hendrawan menatap Paloma dengan tatapan mengejek, ia tahu anak perempuannya itu sedang dalam mode ingin dimanja dan diperhatikan saja karena sebenarnya Kevin tahu, kalau Paloma adalah anak yang mandiri dan tidak suka mengeluh apalagi membantah.
Paloma memutar bola matanya malas dan mendengus sebal. "Hah, ayah selalu begitu, maunya hanya mendominasi bunda saja sejak dulu."
Suasana di meja makan pagi itu terasa hangat dan menyenangkan sebelum akhirnya mereka akan melanjutkan kesibukan mereka masing-masing.
"Ali, sudah ke kantor, Bun?" tanya Kevin tidak mendapati anak tirinya di sana.
"Iya, tadi pagi-pagi dia sudah pergi. Katanya dia harus bertemu dengan klien dulu sebelum ke kantor." Kevin mengangguk meneruskan sarapannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Selamat datang di karya pertama author di aplikasi ini yah guys...
Jangan lupa tekan tanda ❤️ jika kalian suka dengan cerita ini...
Terima kasih 🌹
Sebagai mahasiswi tahap akhir yang sebentar lagi akan wisuda, Paloma hanya datang ke kampus untuk mengecek acara penerimaan mahasiswa baru di kampusnya.
Paloma sebagai Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis bertanggung jawab sebagai Ketua Panitia Umum dalam acara tersebut.
"Apa semuanya sudah siap Hana?" Paloma tampak mengamati Auditorium R. Soeria Atmadja FEB.
Auditorium ini seringkali digunakan untuk keperluan kampus seperti pengukuhan guru besar, pemilihan dekan, serta kegiatan mahasiswa lainnya seperti seminar, training dll.
Selain tempatnya yang cukup strategis gedung ini dilengkapi dengan fasilitas standar internasional seperti LCD, projector, sound system, air conditioner (AC), dll.
"Semua sudah siap sesuai rencana Paloma, kamu tenang saja besok acara penyambutannya pasti berlangsung dengan sukses."
Hana sangat bersemangat menunggu acara besok, dia terlihat puas dengan susunan acara yang sudah disusun oleh panitia seksi acara.
Hana Wijaya adalah sahabat baik Paloma sekaligus Wakil Ketua BEM di FEB, Hana juga merupakan anak Ketua MPR-RI.
Mereka bertemu sejak masuk SMP dan menjadi semakin dekat saat satu kelas sampai sekarang. Memiliki hobi yang sama yaitu senang menonton film, kerapkali mereka menginap dirumah Hana ataupun Paloma.
"Baiklah aku percayakan semuanya padamu Hana, aku harus ke perusahaan sekarang. Ka Ali sudah menunggu aku disana." Paloma berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi menuju pintu keluar meninggalkan Auditorium.
"Jangan lupa besok jam delapan kamu sudah harus datang Paloma. Kamu akan memberikan sambutan nanti."
Hana sedikit berteriak karena melihat Paloma yang sudah pergi menjauh, dia terlalu asik membaca susunan acara besok dan tidak menyadari kalau Paloma sudah pergi beranjak dari tempat duduk.
Paloma hanya melambaikan tangan sebagai tanda mengiyakan perkataan sahabatnya itu.
Saat keluar dari Auditorium Paloma langsung di sambut oleh Satuan Pengamanan Presiden (Paspampres) untuk mengawal Paloma kemanapun dia pergi. Mereka bertugas untuk menjaga dan melindungi anak satu-satunya dari Presiden Kevin Hendrawan.
Paloma masuk ke dalam mobil yang telah standby didepan pintu keluar Auditorium. Di dalam mobil ada seorang Paspampres yang menjadi supir pribadi Paloma, dan seorang ajudan kepercayaan keluarga Hendrawan bernama Austin.
Austin adalah ajudan sekaligus keponakan dari Kevin Hendrawan, ibunya seorang warga Amerika yang menikah dengan paman Paloma bernama Kerta Hendrawan.
Austin seperti seorang kakak kedua bagi Paloma, ia menyayangi Austin layaknya Ali kakak tiri Paloma.
"De, sudah makan siang belum?"
Austin memperhatikan wajah Paloma dari samping, dia duduk dibelakang kemudi disamping Paloma.
"Nanti aja Ka, kalo udah sampai di perusahaan. Kita harus segera kesana karena banyak yang harus aku kerjakan. Ka Ali benar-benar membuat aku sibuk akhir-akhir ini." Paloma menarik nafas kasar mengingat pekerjaannya yang menumpuk di perusahaan.
"Ya sudah kalo gitu, kita nanti sekalian makan siang bareng Ali saja disana." Austin tersenyum lembut menatap Paloma.
Dia tahu tanggung jawab yang besar sedang menunggu Paloma di sana, apalagi Paloma adalah pewaris satu-satunya Hendrawan, Corp. Tinggal menunggu Paloma diwisuda dan dia akan langsung duduk di kursi CEO menggantikan ayahnya.
Jarak antara Depok dan Jakarta menghabiskan waktu sekitar satu jam lamanya. Meskipun dikawal oleh Paspampres tapi Paloma sama sekali tidak mau menggunakan Patwal kecuali untuk urusan mendadak dan kepentingan yang menyangkut ayahnya sebagai Presiden, jadi hanya ada 2 mobil yang mengikutinya. Satu mobil didepan, dan satu lagi dibelakang mobil Paloma.
Memasuki kawasan yang cukup sepi tiba-tiba saja mobil yang ada di depan mereka meledak, supir yang mengemudikan mobil Paloma langsung mengerem mendadak dan berbicara redcode pada headphone yang dipakainya.
Austin juga tampak terkejut, ia mengambil pistol dari balik jas dan terlihat waspada. Matanya tak berhenti menatap keluar mobil mengawasi sekitar mereka.
Paloma ketakutan dan menunduk bersembunyi dibelakang kursi di depannya.
..."Jangan keluar dari dalam mobil Nona Paloma."...
Pak supir yang juga anggota Paspampres berbicara dengan raut wajah yang tak terbaca, dia tahu kalau keadaan saat ini sangat genting.
Austin menepuk pelan pundak Paloma. "Jangan takut Dik, Ka Austin ada disini. Tidak akan ada yang berani menyakitimu sekalipun nyawa Ka Austin taruhannya."
Paloma berusaha untuk tetap tenang walau sebenarnya dia ketakutan, sungguh baru sekarang Paloma merasakan hal seperti ini. Biasanya dia hanya melihatnya di film-film action yang biasa Paloma tonton bersama Hana.
Keadaan di sekitar tampak menyeramkan, para Paspampres yang mengawal Paloma sudah tak bernyawa lagi.
Baku tembak terjadi dengan begitu cepat, Paloma bahkan tak mampu menahan air matanya yang jatuh begitu deras karena ketakutan.
Paloma melihat Austin yang tertembak disampingnya, wajah Austin tampak pucat karena banyak mengeluarkan darah dari beberapa luka tembak yang dia miliki di tubuhnya.
"Dik, kamu harus lari dari sini sekarang juga. Ka Austin akan mengalihkan perhatian mereka. Sebisa mungkin kamu harus berlari sampai menemukan rumah warga di sekitar sini, mereka pasti akan menolongmu." Austin menatap wajah Paloma yang terus menangis bergetar ketakutan.
Paloma tidak pernah menyangka kalau ia bisa dihadapkan dengan situasi seperti sekarang.
"Tidak Ka, Paloma tidak mau. Paloma tidak mungkin meninggalkan Ka Austin disini lagipula aku takut Ka, aku tidak bisa berlari kakiku benar-benar lemas." Paloma masih terus terisak disamping Austin.
"Kau harus kuat Dik, kau pasti bisa. Kau tenang saja, Ka Austin akan baik-baik saja. Tak lama lagi Polisi akan sampai disini jadi, kamu tidak perlu takut ataupun cemas. Kalau kita tetap bersama kita berdua akan mati."
Austin menggenggam tangan Paloma, meyakinkannya bahwa ia akan baik-baik saja. Meskipun sebenarnya dia sendiri tidak yakin dengan kondisi tubuhnya saat ini, mengingat ada beberapa luka tembak yang terus mengeluarkan darah sejak tadi.
"Ini, ambil pistol ini untuk jaga-jaga. Jika ada yang mendekat kau harus langsung menembaknya, jangan biarkan mereka hidup karena kita tidak tahu apa maksud dan tujuan penyerangan ini." Austin memberikan satu pistol miliknya pada Paloma
"Cepat pergi, Kakak akan menarik perhatian mereka agar kau bisa lari, waktu kita tidak banyak lagi." Austin mendorong tubuh Paloma dan berlari menjauh darinya.
Paloma tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia harus kuat untuk menghadapi keadaan ini. Hanya dirinya sendiri yang bisa dia andalkan.
"Aku harus kuat demi Ka Austin dan Paspampres yang sudah berkorban untukku."
Paloma berusaha menguatkan hatinya sendiri, dia harus berlari secepatnya dan mencari rumah warga agar bisa selamat.
Baru saja Paloma berlari, dia mendengar suara tembakan lagi. Paloma tak peduli, ia harus berlari untuk bisa keluar dan kabur dari tempat ini.
Belum lama berlari, tiba-tiba Paloma dihadang oleh sekelompok orang. Mereka mengepung Paloma agar tidak bisa lari lagi.
Sekolompok orang itu menggunakan penutup kepala dengan senjata laras api panjang di tangan. Paloma mengarahkan pistol yang ia pegang ke salah satu anggota mereka.
"Kami tidak akan menyakiti anda Nona, ikutlah secara sukarela dengan kami."
Salah satu anggota dari kelompok itu maju ke depan, dia tidak menggunakan penutup kepala seperti anggota yang lain.
Dia memiliki jenggot dengan bekas luka goresan pedang yang cukup besar di wajahnya, sepertinya ia adalah pemimpin di kelompok itu.
"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan? Apa kalian tidak tahu konsekuensi apa yang akan kalian dapatkan setelah ini?"
Paloma berusaha untuk menunjukkan kalau ia tidak akan takut kepada mereka, meskipun tangannya terlihat bergetar sambil memegang pistol.
Pemimpin kelompok itu berjalan semakin mendekat pada Paloma, seperti tidak takut dengan pistol yang dipegang oleh Paloma.
Dengan penuh rasa takut, Paloma menarik pelatuk pistol tersebut tanpa tahu kemana arah peluru mengarah. Seumur-umur baru sekarang Paloma memegang senjata api.
Melihat kesempatan untuk bisa lari, Paloma melangkahkan kakinya lagi berlari secepat mungkin dari sana.
Tidak mau kehilangan kesempatan, lelaki dengan luka diwajahnya itu menembakkan peluru bius ditubuh Paloma dan membuat Paloma pingsan.
"Bawa dia ke mobil kita harus segera pergi dari sini sebelum polisi datang. Pastikan tidak ada saksi mata dan yang tersisa!"
Anak buahnya membawa tubuh Paloma ke dalam mobil yang tidak jauh dari sana, ia ikut masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Pemimpin anggota itu menelepon seseorang dan berbicara dalam bahasa Inggris. "Aku sudah mendapatkan paketnya, jangan lupa untuk mentransfer apa yang sudah Anda janjikan."
Dia lantas menutup telepon dan berkata kepada anak buahnya untuk menyiapkan pesawat mereka untuk segera berangkat ke Itali. Dia tak mau membuang waktu terlalu lama berada di negara ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!