NovelToon NovelToon

Pernikahan Di Atas Luka

Bab 1

“Aku tak rela jika Arez menyakitimu.” Suaranya bergetar menahan emosi yang bergemuruh di dadanya.

“Sudahlah, aku tidak apa-apa.” Luna tersenyum. Berusaha menenangkan Gandhi. Ia sudah bersahabat dengan Gandhi selama 2 tahun. Mereka bertemu di kampus saat menjadi mahasiswa baru. Gandhi adalah teman satu kelas Luna. Luna masih ingat jika dulu Gandhi masih terlihat kekanak-kanakkan, penampilan apa adanya dan terkesan culun. Sekarang Gandhi yang ia kenal telah berubah, menjelma menjadi seorang laki-laki tampan nan baik hati.

“Jika Arez melukaimu lagi, aku tidak segan-segan untuk menghajarnya.” Katanya geram. Ia mengepalkan tinju. Luna menggenggam tangannya. Kepalan tinju itupun perlahan mengendur.

“Tenanglah, Gandhi.” Luna mengusap punggungnya. Memadamkan bara api yang bergejolak di dalam tubuh Gandhi. Gandhi menatap Luna dalam-dalam. Hatinya sedikit tenang, ia melemparkan senyum kepada Luna. Namun terkesan getir.

Arez adalah kekasih Luna. Gandhi tidak menyukai Arez karena Arez selalu menyakiti Luna. Bahkan Gandhi pernah memergoki Arez yang sedang bercumbu mesra dengan gadis lain di toilet kampus. Sejak saat itu, Gandhi membenci Arez, ia melarang Luna untuk berhubungan dengan Arez. Namun Luna tetap percaya kepada Arez.

“Kamu kenapa sih begitu percaya kepada b*jing*n kampus itu?” tanyanya dengan nada kesal.

“Huss! Dia itu kekasihku, masa kau sebut dia itu b*jing*n,” sergah Luna.

“Kekasih tak akan pernah menyakiti, Lun.”

“Dia tidak benar-benar ingin menyakitiku, buktinya dia masih selalu memberiku kabar, menelvonku setiap saat,”

“Ahh itu hanya tipuan fuckboy,” Gandhi menyela. ‘Bugh!’ Luna memukul bahunya.

“Sudah! Jangan berkata apa-apa lagi,” Luna beranjak dari tempat duduknya. Gandhi mengekor, mensejajari langkah Luna. Mereka memasuki kelas karena kuliah akan segera berlangsung. Gandhi duduk di sebelah Luna, mengeluarkan buku-bukunya. Mereka mengikuti perkuliahan hingga selesai.

“Lun, tunggu di sini, ya. Aku mau membawa tugas-tugas itu ke meja Pak Arman.” Katanya sembari membawa tumpukan tugas-tugas yang dikumpulkan untuk di bawa ke meja Pak Arman~Dosen mereka. Luna membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam tas. Kemudian membereskan buku-buku milik Gandhi yang berserakan di meja.

‘Srak!’ sehelai kertas jatuh ke lantai, kertas itu berasal dari buku milik Gandhi yang ia pegang. Luna memungutnya karena ia mengira itu adalah kertas ujian milik Gandhi yang sengaja di selipkan di dalam buku. Ia berniat untuk mengejek Gandhi jika dilihat nilainya C. Ia membuka kertas itu dan membacanya.

“Apa ini?” gumamnya. Kertas itu bukan lah kertas ujian milik Gandhi. Melainkan sebuah catatan kecil yang isinya membuat Luna mengerutkan dahi. ‘Aku mencintainya, aku tidak rela melihatnya tersakiti, aku ingin menjadi seseorang yang amat penting dihatimu, Luna’. Luna menutup mulutnya, dadanya mendadak sesak. Ia buru-buru memasukkan kertas itu ke dalam buku dan meletakkannya didalam tas Gandhi. Ia meninggalkan kelas itu dan melupakan pesan Gandhi yang meminta untuk menunggunya.

Kelas itu kosong, hanya tersisa tas miliknya yang masih tergeletak di atas meja. Matanya berkeliling mencari-cari sesuatu.

“Dimana Luna?” ia menyambar tas itu dan bergegas keluar untuk mencari Luna. Berjam-jam ia telusuri setiap sudut kampus namun Luna tidak ia temukan. Ia pasrah dan akan menemui Luna di rumahnya.

“Assalamualaikum,” sapanya sambil mengetuk pintu. Seorang wanita separuh baya membukakan pintu itu.

“Waalaikumsalam, siapa ya?” bertanya dengan penuh selidik.

“Saya Gandhi, Tante. Teman kuliah Luna.” Katanya.

“Oh, Luna sedang Tante suruh untuk membeli sesuatu ke supermarket. Jika mau nunggu....”

“Saya akan tunggu, Tante!” ia memotong perkataan Tante Silvi - Adik dari Ibu Luna. Tante Silvi memicingkan matanya. Memperhatikan Gandhi dari atas sampai ke bawah. Kemudian mempersilahkan Gandhi untuk menunggu di ruang tamu.

Lima belas menit kemudian Luna muncul sambil membawa titipan Tante Silvi. Ia terkejut melihat Gandhi. Ia berusaha tenang dan berjalan mendekati Gandhi di ruang tamu.

“Bentar, ya. Aku kasih ini ke Tante dulu.” Gandhi mengangguk. Luna masuk ke dalam untuk memberikan titipan Tante.

“Tante, kenapa Tante izinin dia nunggu Luna?” bisiknya pada Tante.

“Loh, memangnya ada apa, Lun?”

“Em gak papa, Tante. Ya udah ini pesanan Tante.” Luna menyerahkan bungkusan itu kepada Tante kemudian bergegas mengambil air dingin di kulkas untuk diberikan kepada Gandhi.

“Nih, alakadarnya.” Katanya sambil menyodorkan minuman itu ke arah Gandhi.

“Kamu kok pulang duluan?” tanyanya dengan nada menghakimi.

“Sorry, tadi buru-buru, di telpon Tante untuk beli titipan tadi,” kilahnya.

“Oh, aku kira ada apa.” Luna tersenyum kecut. Ia meneguk minuman di tangannya untuk menghilangkan canggungnya.

“Di, mendingan kamu pulang, deh.”

“Loh, kok aku di usir?”

“Nanti Arez mau datang.” Ia berbohong lagi.

“Ooh, oke.” Gandhi segera bangkit dari tempat duduk dan melangkahkan kaki menuju keluar tanpa berbasa basi. Luna melihat api cemburu dari mata Gandhi. tulisan milik Gandhi tidak salah. Gandhi memang menyukai Luna. Dan ia memendamnya sedemikian rupa agar Luna tidak mengetahui perasaannya. Luna tersenyum kecut. Ia menjadi tidak nyaman berada di sebelah Gandhi. Ia melihat Gandhi sudah bukan seperti sahabatnya lagi, namun seperti laki-laki yang memiliki perasaan lebih kepadanya.

Sudah hampir satu minggu, Luna menghindari bertemu dengan Gandhi. Bahkan seperti bermain kucing-kucingan. Gandhi menjadi curiga dengan keanehan sikap Luna. Ia berhasil memergoki Luna yang sedang duduk membaca buku di perpustakaan. Ia menghampiri.

“Lun, kenapa kamu menghindari aku?”

“Siapa yang menghindarimu?”

“Lalu?”

“Aku hanya sibuk dengan kegiatanku.”

“Kegiatan apa?”

“Kegiatan....semacam... tugas. Ya tugas kuliah.” Luna terbata-bata.

“Bukankah kita satu jurusan? Kita kan gak ada tugas minggu ini, Lun?” Gandhi mencurigai Luna.

“Ah hahaha, aku.. sengaja buat tugas mandiri aja gitu, hehe.” Luna menggaruk kepalanya. Ia sudah kehabisan ide untuk berkilah.

“Kamu mencurigakan, Lun.”

“Hah?” Luna menoleh terkejut. Ia menjadi sangat gugup. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan sambil menghela nafas. Ia menyerah.

“Hhhh, ya udah, aku jujur. Aku memang sengaja menghindarimu.” Jelasnya.

“Apa salahku, Luna?” suaranya bergetar.

“Karena..” ia ragu untuk melanjutkan perkataannya.

“Karena apa?”

“Karena...” Luna mengigit bibir bawahnya. Gandhi mendorong Luna untuk berterus terang.

“Karena aku menemukan sebuah kertas catatan milikmu yang kamu simpan di dalam buku.” Tuturnya. Gandhi terkejut. Mulutnya menganga. Nafasnya mendadak sesak.

“Jadi, kamu sudah tahu?” tangannya mendadak gemetar. Luna mengangguk pelan.

Gandhi terdiam beberapa saat di sebelah Luna. Mereka bungkam, Luna pura-pura sibuk menatap buku di hadapannya. Padahal pikirannya telah melayang. Suasana menjadi canggung.

“Maafkan aku, Lun.” Ia membuka suara. Di tatapnya Luna yang tengah fokus membaca buku.

“Lun?” Gandhi menyentuh pundak Luna. Luna terkejut, ia menoleh.

“Aku butuh waktu untuk sendiri.” Luna berdiri. Menatap Gandhi sejenak lalu pergi meninggalkan Gandhi yang termangu di perpustakaan. Ia gundah. Perasaan yang ia simpan dengan rapi telah di ketahui Luna. Ia menyukai Luna sejak pertama kali bertemu. Namun Luna berpacaran dengan Arez. Sehingga ia hanya menyimpan perasaannya sekian lama dan tetap bersahabat baik dengan Luna.

Bab 2

Apa yang ditakutkan menjadi kenyataan. Luna memberinya ruang dan jarak untuk bertemu. Persahabatan mereka merenggang. Gandhi menyesali perbuatannya. Tidak seharusnya ia ceroboh, seenaknya menaruh isi hatinya didalam secarik kertas yang nantinya akan ditemukan oleh Luna.

“Maafkan aku, Lun,” Gandhi memohon kepada Luna untuk tidak memutuskan persahabatan. Gandhi tidak bisa hidup tanpa Luna.

“Kenapa harus aku, Gandhi?” matanya berkaca-kaca.

“Ini bukan rencanaku, Luna. Perasaan itu tumbuh begitu saja.” Ia menyesal.

“Sejak kapan?” ia menatap nanar.

“Sejak pertama kali bertemu.” Jawabnya jujur. Luna memijit kepalanya yang dirasa begitu sakit. Ia tidak menyangka jika sahabatnya telah memendam perasaan kepadanya sejak lama.

“Kamu tidak perlu khawatir, Luna. Aku sudah terbiasa memendam perasaanku. Abaikan saja perasaanku dan tetaplah menjadi sahabatku seperti dulu. Jangan ada yang berubah. Aku mohon,” suaranya bergetar penuh harap. Luna terdiam. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Arez meninju batang pohon yang ada didekatnya. Ia meringis kesakitan karena batang pohon itu terlalu keras. Mulutnya tak berhenti memaki. Rasanya emosi itu sudah menggelegak di dadanya dan tak dapat dibendung lagi ia berlari dengan membabi buta. Menarik kerah seseorang di depannya dan ‘BUGH!’ meninju wajahnya berkali-kali. Luna menjerit panik. Tubuhnya gemetar. Dilihatnya Arez yang sedang menghajar Gandhi tanpa ampun di hadapannya.

“STOP!!” jeritnya sambil menutup telinga. Arez menghentikan pukulannya, menoleh ke arah Luna dengan sorot mata tajam. Luna menciut. Ia begidig melihat tatapan tajam Arez. Luna memundurkan kakinya tiga langkah kebelakang. Arez berjalan mendekatinya. Ia sudah tertutup nafsu amarah. Lupa jika Luna adalah kekasihnya. Dicengkeramnya wajah Luna sehingga Luna kesakitan.

“Wanita murahan!” makinya. Tangannya kanannya terangkat, siap untuk menggampar wajah Luna. Namun sebelum tangan itu mendarat di wajah Luna, sebuah tangan lain menangkapnya.

“Laki-laki pengecut beraninya memukul wanita!” teriaknya. Api amarah dalam tubuh Arez semakin membeludak. Ia menghajar Gandhi bertubi-tubi hingga wajahnya babak belur. Darah mengucur dari pelipisnya yang robek akibat pukulan Arez. Luna syock, ia menangis sejadi-jadinya. Hingga tak mampu lagi bersuara. Luna jatuh terduduk di tanah. Kakinya mendadak lemas.

Suasana menjadi riuh bergemuruh. Semua mahasiswa yang berada disekitar beramai-ramai melihat perkelahian itu. Tidak ada yang berani melerai, mereka semua tahu siapa Arez. Laki-laki terkejam di kampus yang hobinya berkelahi dengan siapapun yang di anggap menentangnya. Gandhi tersungkur ke tanah. Sudah tidak berdaya. Tubuh Arez jauh lebih kekar dari tubuhnya. Ia tak sanggup menandingi Arez. Arez sudah bosan dengan aksinya karena tidak ada perlawanan dari musuhnya. Ia berdiri, menendang Gandhi yang sudah meringkuk menahan sakit. Menoleh ke arah Luna lalu ia pergi sambil mengacungkan jari tengahnya.

Gandhi melihat Luna dengan susah payah. Pandangannya semakin kabur tertutup oleh darah yang mengalir deras di wajahnya. Tangannya terangkat hendak menggapai Luna. Luna masih terdiam sambil menangis. Gandhi berusaha merangkak mendekati Luna. Ia memeluk Luna dengan perasaan bersalah. Luna pasrah, ia menangis dalam pelukan Gandhi.

“Luna? Ayo keluar, sudah dua hari kamu tidak mau makan, kalo ada masalah cerita sama Tante, Tante jadi merasa bersalah sama Ibu kamu kalau kamu kayak gini,” bujuk Tante Silvi. Ia berdiri di depan kamar Luna. Pintunya terkunci dari dalam. Luna tak bersuara.

“Lun, ayolah, Ibu kamu bisa sedih kalau tau kamu seperti ini,” suara Tante Silvi memelas.

Sudah lebih dari sepuluh kali hari ini Tante Silvi bolak balik membujuk Luna agar keluar dari kamar. Namun tak ada sahutan. Luna mengunci pintu kamarnya dari dalam sehingga Tante Silvi dan Om Farid kesulitan untuk masuk.

“Gimana, Tante?” tanya Gandhi. Tante menggeleng dengan raut wajah sedih. Gandhi bergegas menuju ke kamar Luna. Menggedor pintunya dengan keras.

“Luna! buka pintunya!” teriaknya. Tetap tak ada sahutan dari dalam.

“Luun!” semua yang ada dirumah itu khawatir karena Luna tak bersuara sama sekali. Gandhi bersiap untuk mendobrak pintu.

“Tante, maaf,” setelah berkata begitu, dengan sekuat tenaga ia mendobrak pintu kamar Luna. ‘BRAK!’ pintu kamar terbuka, dilihatnya Luna terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat. Ia kehilangan energi karena tidak makan selama dua hari. Gandhi menggendong tubuh Luna dan di masukkan ke dalam mobil. Mereka membawa Luna ke rumah sakit.

Sudah tiga hari Luna di rawat inap, Tante Silvi dan Om Farid bergantian menjaganya. Terkadang Gandhi juga kerap menjaga Luna. Luna meminta Tante Silvi untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu di Bandung. Luna tidak ingin membuat Ibu dan Ayah sedih. Tante Silvi menurut asalkan Luna tidak mengulangi perbuatannya.

“Gandhi, tante mau tanya, sebenarnya apa yang terjadi sama Luna?” tante bertanya penuh selidik. Ia mencurigai mereka. Saat Luna mengunci diri dikamar, Gandhi sering datang untuk menanyakan keadaan Luna dengan keadaan wajah yang babak belur. Tante sudah menduga sejak lama namun ia sengaja tidak menanyakannya langsung.

“Gandhi, tante tau, Luna pasti ada hubungannya dengan wajahmu yang waktu itu babak belur. Tante gak akan pernah izinkan kamu berhubungan lagi dengan Luna kalau kamu menyembunyikan rahasia dari tante.” Ancamnya. Gandhi berpikir sejenak. Ia ragu. Namun ia berusaha percaya kepada Tante Silvi.

“Aku menyukai Luna,” ia berkata jujur. Tante terperangah.

“Arez~Kekasih Luna mengetahui hal ini, lalu dia menghajarku dan memaki Luna.”

“Astagfirullah.” Tante menutup mulutnya.

“Maafin aku, Tante. Ini salahku.” Suaranya bergetar. Dadanya terasa sesak. Tante Silvi diam sejenak. Mencerna semua perkataan Gandhi. Menenangkan pikirannya.

“Kamu tidak salah, Gandhi. Tolong jaga Luna.” tante mengelus pundak Gandhi. berusaha tersenyum namun getir. Gandhi semakin merasa bersalah. Ia diam, menunduk.

Hari keempat Luna sudah di perbolehkan pulang. Ia harus banyak mengkonsumsi buah dan sayur agar energinya kembali. Luna pulang bersama Tante Silvi dan Om Farid. Gandhi tidak ikut mengantar karena sedang ada jam kuliah. Sesampainya dirumah, Luna langsung menuju kamar. Pintunya rusak sejak di dobrak oleh Gandhi. Tante Silvi jadi bebas keluar masuk kamarnya.

“Luna, di depan ada Gandhi.” kata Tante yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar. Luna yang sedang membaca buku menjadi terkejut.

“Bilang aja Luna gak ada, Tan.” Luna tetap sibuk membaca buku tanpa menoleh ke depan.

“Jadi yang di sini siapa? Kembaran Luna?” sebuah suara yang ia kenal menimpali. Luna menoleh kedepan. Gandhi sudah berdiri di sebelah Tante Silvi yang sedang tersenyum.

“Mentang-mentang pintunya udah di rusak jadi kamu bebas masuk ke kamar aku?” Luna kesal. Gandhi tertawa.

“Maaf, Lun. Aku terpaksa. Kalau gak begitu kamu akan mati lemas di sini.” Ledeknya. Luna mendengus kesal. Ia beringsut dari tempat tidur dan berjalan melenggang melewati Gandhi. Gandhi mengikutinya. Luna duduk di sofa di ikuti oleh Gandhi. sedangkan Tante pergi ke dapur untuk membuatkan minum.

“Apa kabar, Luna?”

“Gak usah basa basi.” Jawabnya ketus.

“Oh iya, nih aku bawakan tugas dari Pak Arman, minggu depan di kumpul.” Ia menyerahkan selembar kertas berisi tugas-tugas kuliah. Luna memeriksa isi kertas itu kemudian mengerucutkan bibirnya.

“Jawabannya mana, nih!” ia melemparkan kertas itu ke arah Gandhi.

“Aku pikir kamu gak mau, Lun.” Gandhi tertawa. Melihat itu Luna pun ikut tertawa.

Bab 3

“Jadi bagaimana hubunganmu dengan Arez?” nada bicaranya sedikit canggung. Takut Luna tersinggung.

“Ini Tante buatkan sirup dingin untuk kalian, silahkan di minum,” tante tiba-tiba muncul sambil membawa dua gelas es sirup dan meletakkan di atas meja. Setelah itu Tante Silvi masuk ke dalam membiarkan Gandhi dan Luna berbincang.

“Jangan sebut nama Arez di depanku lagi atau kau akan ku tuntut.” Jawabnya tegas. Gandhi tersenyum lega.

“Eh! Kenapa senyum-senyum?” tanya Luna sambil mengambil gelas sirup di depannya. Gandhi menggeleng.

“Kalau aku nembak kamu, kamu mau gak?” Luna yang sedang meminum es sirup menjadi tersedak. Gandhi panik.

“Aduh, maaf, Lun.” Gandhi menyesal.

“Kira-kira, dong. Kalau aku mati tersedak gimana?” Luna kesal.

“Besok temani aku ke toko buku, ya?” pintanya tiba-tiba.

“Siap, Bos!” Gandhi berteriak semangat.

Luna sibuk memilih novel di depan deretan buku-buku yang terjajar rapi. Sementara Gandhi hanya memperhatikannya. Ia kurang tertarik terhadap bacaan. Berbeda dengan Luna yang sangat menggilai buku. Bahkan ia menyulap kamarnya menjadi sebuah perpustakaan kecil yang di isi dengan buku-buku kesukaannya.

“Udah?” tanya Gandhi begitu Luna datang menghampirinya sambil membawa plastik berisi buku yang baru ia beli. Luna mengangguk.

“Kita makan dulu, ya? Dari pagi belum makan.” Ajaknya. Luna pun setuju, ia juga belum sempat sarapan karena Tante Silvi ada urusan mendadak di kantor sehingga ia tidak memasak.

Mereka sudah sampai di sebuah tempat makan dan segera memesan makanan.

“Lun?” Luna yang sedang asik melihat buku yang baru ia beli hanya berdehem menanggapi Gandhi.

“Kamu mau gak jadi pacar aku?” Luna terkejut. Ia menoleh.

“Silahkan, Mas, Mbak,” tiba-tiba pelayan itu datang dan menyajikan pesanan mereka di meja makan, lalu pelayan rumah makan itu mempersilahkan Luna dan Gandhi. Luna segera menyantap makananya. Ia sengaja mengalihkan rasa canggungnya dengan makan. Padahal saat ini ia sedang berdebar setelah mendengar pernyataan dari Gandhi. Gandhi hanya memperhatikan Luna dengan penuh harap. Tangannya bergerak meraih jemari Luna. Luna menoleh.

“Kamu? Gak makan?” tanya Luna dengan suara sedikit bergetar. Jantungnya benar-benar berdetak tak terkendali.

“Lun? Sampai kapan kamu mengabaikanku, sih?” nada suara Gandhi berubah. Ada sorot kekecewaan di matanya.

“Gandhi...” Luna menghentikan ucapannya. Gandhi menatapnya tajam.

“Baiklah.” Jawab Luna kemudian. Gandhi menarik nafas lega. Tersenyum senang. Ia segera melahap makanan yang ia pesan. Luna berusaha memberikan kepercayaan kepada Gandhi. Ia menerima Gandhi menjadi kekasihnya. Gandhi berjanji untuk selalu membahagiakan Luna sebisa mungkin.

“Awh!” Luna memekik. Sebuah tangan besar menariknya dengan kasar. Menyeretnya dengan paksa.

“Lepas!” Luna memberontak, berusaha melepaskan cengkeraman laki-laki itu. Namun laki-laki itu hanya tertawa sinis sambil terus menyeret Luna. memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya entah kemana. Luna berteriak namun ia tak peduli. Di dalam mobil ada dua orang temannya yang memegangi Luna supaya tidak kabur. Mobil itu membawa Luna ke sebuah tempat asing dan menyeramkan. Mereka menarik Luna dengan paksa dan melemparnya sampai jatuh terjerembab di lantai. Siku Luna berdarah.

“HAHAHA! Bagusnya kita apakan cewek murahan ini, guys!” tawanya dengan sinis. Luna meringis kesakitan sambil mengusap siku nya yang berdarah.

“Tega sekali kamu kepadaku,” suara Luna bergetar. Ia takut, bingung, marah dan cemas.

“Apa?! Tega?!” nada suaranya meninggi. Luna begidig ngeri. Kedua teman yang tadi ikut memegangi Luna pun tertawa terbahak-bahak.

“Kamu mau apa, Arez?” Luna mulai terisak. Air matanya mengalir deras dipipi. Ia sangat takut. Arez berjalan mendekati Luna. Menyentuh dagu Luna. Kemudian, ‘PLAK!’ ia menampar wajah Luna sampai memerah.

“Berani-beraninya bermain dengan laki-laki lain di belakangku. Ini akibat yang harus kau tanggung!” suaranya penuh kebencian. Luna mendongak ke atas. Memperhatikan wajah Arez yang memerah menahan emosi.

“Lalu siapa wanita yang kau cumbu di toilet kampus tanpa sepengetahuanku itu, Arez?” sindirnya dengan sinis.

“Brengsek! ‘Plak!’, ia menampar Luna berkali-kali. Membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah. Luna meringis menahan sakit. Dalam hatinya tak berhenti memanjatkan doa agar ada yang mau menyelamatkannya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Arez menyambar tas Luna secara paksa dan mengeluarkan ponsel Luna.

“Serahkan nyawamu atau Luna akan mati.” Katanya kepada seseorang yang menelpon Luna.

“Guys! Ikat cewek ini lalu tutup mulutnya dengan lakban. Setelah itu kita tinggal disini sampai mati. Hahahah!” ia memerintahkan teman-temannya. Lalu ia melemparkan tas dan ponsel Luna lalu pergi meninggalkan tempat itu. Teman-temannya segera mengerjakan perintah Arez lalu pergi mengikuti Arez meninggalkan Luna.

“Luna? Dia membawa Luna. Aku harus menemukan Luna,” Gandhi terkejut saat yang mengangkat telepon Luna adalah laki-laki yang mengancamnya. Gandhi berpikir sejenak. Ia teringat sesuatu. Ia pernah memasang GPS di ponsel Luna. Gandhi segera mengecek GPS. Dan benar saja, GPS Luna aktif. Berada di satu titik yang sangat jauh. Gandhi segera bergegas menuju petunjuk itu.

Berjam-jam waktu yang ia tempuh untuk sampai di titik merah di ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Tante Silvi sudah menghubunginya berkali-kali.

“Tolong selamatkan Luna,” suara tante terdengar lemah. Ia benar-benar khawatir dengan Luna. Gandhi berusaha menyakinkan Tante Silvi.

“Saya akan membawa Luna pulang, Tante. Percayalah.” Ia segera menutup teleponnya. Tangannya mengepal. Emosi didadanya bergemuruh.

Gandhi sudah sangat dekat dengan lokasi Luna. Ia berdiri tepat di depan sebuah gedung tua yang tak terawat. Gandhi berjalan menyusuri gedung itu, berusaha menemukan Luna. Suasana gelap gulita. Ia menghidupkan senter di ponselnya. Menyenteri setiap sudut gedung itu.

“Luna?” ia memanggil nama Luna, berharap Luna mendengarnya.

“Luna?!” nadanya meninggi. Supaya Luna bisa mendengarnya. Namun hanya suara jangkrik yang terdengar. Gandhi terus menyusuri setiap ruangan di gedung itu. Meskipun ia merasa sedikit merinding tapi demi Luna ia memberanikan diri. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30 Wib. Sudah larut malam, namun Luna belum juga di temukan. Hingga sinar senternya berhenti di satu titik. Ada seorang wanita yang duduk di atas kursi dalam keadaan terikat dan mulut di tutup lakban. Wanita itu sangat berantakan. Gandhi mendekatinya.

“Luna?” panggilnya. Wanita itu mengangkat wajahnya. Air matanya berderai di wajah yang sangat kotor. Mata Gandhi membelalak. Ia segera melepaskan tali yang mengikat tangan Luna. Menarik lakban dimulutnya. Luna jatuh pingsan. Gandhi segera mengangkat tubuh Luna dan membawanya keluar dari gedung.

Luna membuka matanya. Ia menatap langit-langit ruangan tempat ia berbaring. Dilihatnya dinding putih bersih dengan aroma khas obat-obatan di sekitarnya. Pintu ruangan itu terbuka, Tante Silvi berhambur memeluknya.

“Luna!” jerit Tante Silvi. Nadanya begitu khawatir. Ia menangis.

“Tante, Luna baik-baik aja kok.” Luna tersenyum sambil menatap wajah Tante Silvi.

“Harus bagaimana lagi Tante menjaga kamu, Luna,” tante Silvi menangis terisak. Ia menyesal karena tidak bisa membuat Luna berhenti masuk ke rumah sakit. Luna menghapus air mata Tante Silvi sambil tersenyum.

“Tante udah jagain Luna dengan baik kok. Luna aja yang kurang hati-hati,” Luna melirik ke arah Om Farid yang berdiri menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!