"Hafsyah ... hari ini kau bisa pulang cepat kan?" tanya umi Hafsyah sambil merapihkan kembali meja makan, karena mereka baru saja sarapan pagi.
"Kenapa mi, memangnya ada apa? tumben." Hafsyah terdiam sejenak menatap Uminya.
"Hari ini kita ada tamu dari luar kota sayang," jelas Umi Hafsyah.
"Tamu mi," bingung Hafsyah sambil memasang ekspresi wajah bingung di balik cadar yang ia pakai.
"Iya sayang ... Abi sudah merencanakan ini semua untukmu Hafysah," jelas Umi Hafsyah lagi.
"Ya, tapi kenapa harus mendadak begini mi?" protes Hafsyah.
"Ga mendadak dong sayang ... kan Abi sudah bilang ke kamu berkali-kali ,kamunya aja yang selalu diam," ujarnya. "Jadi kami pikir, kamu menyetujui rencana Abi." Kali ini Umi Hafsyah nampak membelai lembut kepala Hafsyah dengan kasih.
"Ya, terserah Abi dan Umi saja, percuma juga Hafsyah menolak kan mi?" sahut Hafsyah terlihat pasrah.
"Ya sudah, nanti siang kamu harus pulang cepat ya Nak! Karena tamunya akan datang pukul tiga sore nanti. Jadi jangan sampai kamu telat pulang." peringat Umi Hafsyah. Membuat Hafsyah hanya bisa menghela nafas di balik cadarnya.
"Ya ya ... Hafsyah usahakan Mi, Hafsyah pamit dulu. Assalammualaikum," pamit Hafsyah kini meraih tangan wanita yang amat di hormati dan di sayanginya itu.
"Wa'alaikumsalam Nak! hati-hati ya sayang ..." jawab Umi Hafsyah sambil terus memperhatikan punggung sang putri hingga menghilang dari pandanganya.
"Iya Umi," sahut Hafsyah sambil terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Gadis bercadar itu bernama Hafsyahtul Al Jannah. ia anak tunggal Abi dan Uminya. Hafsyah bekerja sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta. Kehidupannya normal seperti pada umumnya. Abi dan Uminya selalu mendidik dan memanjakan Hafsyah. Bahkan di usia Hafsyah yang sudah hampir menginjak kepala tiga ini. Gadis itu selalu di sibukan yang membuat ia lupa tentang dirinya sendiri. Begitupun dengan jodoh, sehingga Abi Hafsyah pun kini turun tangan langsung mengenai masa depan gadis yang bernama Hafsyah. Dan ia sebagai anak yang baik, akan selalu memberikan yang terbaik pula untuk Abi dan Umi. Apapun itu, semua akan Hafsyah lakukan untuk mereka. Karena Hafsyah sangat menyayangi mereka berdua melebihi dirinya sendiri. Bahkan jika Hafsyah harus berkorban, Hafsyah pun rela demi mereka. Baginya, mereka adalah segalanya untuk gadis cantik sholehah nan bercadar itu.
Hafsyah memang jarang bergaul dengan lelaki. Bahkan Hafsyah belum pernah sempat menjalin hubungan dekat dengan pria, lebih tepatnya bukan belum pernah juga tapi memang ia(Hafsyahtul Aljannah) mempunyai prinsip yang selalu ia tekankan dalam dirinya. Terlebih Abinya selalu berpesan, untuk selalu bisa menjaga diri dari lelaki manapun. Terlebih dengan orang asing yang baru Hafsyah kenal. Nasehat inilah yang Hafsyah pegang teguh hingga detik ini. Hingga tak terasa di umurnya yang dua puluh enam tahun. Ia masih enggan menjalin hubungan lebih dengan lelaki manapun. Termasuk Dimas teman seperjuanganya. Dimas teman Hafsyah di tempat ia mengajar. Dimas juga teman kecil Hafsya saat bermain, kemana pun Hafsyah pergi Dimas selalu ada. Bahkan di saat Hafsyah melamar menjadi pengajar, Dimas pun ikut menjadi pengajar juga. Entahlah, orang ini selalu mengikuti kemanapun Hafsyah pergi. Hanya saja Hafsyah benar-benar menjaga pesan Abi untuk tidak dekat-dekat, dan harus pandai menjaga diri. Terlebih dengan lelaki seperti Dimas. Karena jujur, Hafsyah sendiri sebenarnya merasa risih dengan sikap Dimas kepada Hafsyah yang terkesan berlebihan itu. Tapi apapun yang Dimas lakukan Hafsyah, lagi-lagi Hafsyah tak perduli, seperti siang ini, Dimas selalu memberikan bekal siangnya untuk Hafsyah.
"Syah, ini aku masakin makanan spesial kesukaan kamu, tolong diterima ya," ucapnya pada Hafsyah saat Hafsyah akan berjalan keluar kantor.
"Terima kasih Dim, seharusnya kamu ga usah repot-repot, karena hari ini aku ada izin untuk pulang cepat," ujar Hafsyah.
"Loh kok! Pulang cepat Syah, hari ini kan kita ada rapat." pekik Dimas karena terkejut.
"Aku sudah izin ke pak Iwan, kalau aku ga bisa ikut rapat hari ini, karena ada urusan keluarga. Urgent," jelas Hafsyah. Membuat Dimas nampak berpikir.
"Urgent," lirih Dimas.
"Ya, siang ini bakal ada tamu di rumah dari luar kota Dimas," ucapnya lagi pada Dimas.
"Oh, tamu siapa dan ada urusan apa?" tanya Dimas.
"Aku juga ga tau, Abi yang mengundang mereka, sudah dulu yaa dimas aku harus pulang dulu Assalammualaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Dimas lirih berdiri mematung menatap kepergian Hafsyah dengan berbagai perasaan yang sulit di artikan.
'Hafsyah. Kenapa sepertinya kau tak pernah bisa merasa apa yang aku rasa Syah,' gumam batin Dimas sambil terus berdiri di sana.
Dari arah luar datang Rere dan Fina, sahabat Hafsah dan Dimas ketika kecil. Mereka baru saja dari kantin menyelesaikan makan siangnya, dan kini mereka menghampiri Dimas yang sedang berdiri mematung tanpa berkedip sedikit pun.
"Woiiiiii bengong aja Dim ... awas kesambet," tegur Rere pada Dimas yang hanya menghela nafas.
"Hmm," jawab Dimas dengan lesu.
"Kenapa kamu Dmas? Kok mukamu kayak orang bingung, sedih begitu?" tanya Fina lagi memandang serius Dimas.
"Jujur Fin, aku bingung harus gimana lagi cara mendekati Hafsah. Rasanya aku hampir putus asa mengingat sikap Hafsah yang terlihat biasa saja padaku." curhat Dimas yang terliat resah.
Rere dan Fina nampak saling pandang melihat sikap Dimas hari ini. Karena mereka baru melihat sosok Dimas yang sepertinya sedang putus asa, mengingat mereka tau perjuangan Dimas agar bisa mendekati Hafsah dan mengambil hati sang pujaan hati. Namun, tetap saja Hafsyah tak pernah menanggapi Dimas. Membuat Dimas merasa putus asa saat ini.
"Menurutku, kau jangan putus asa begitu Dim, ga baik loh belum apa-apa udah nyerah gitu aja. Ayo Dim Semangat ...!" seru Fina. Rere pun mengangguk-angguk tanda setuju atas ucapan Fina kali ini.
"Nah iya, betul tuh Dim kata Fina .. Semangattt Dimas ..." sorak Rere menyemangati Dimas seperti Fina tadi. Dimas menatap Rere dan Fina secara bergantian.
"Menurut kalian. Harus dengan cara apa lagi aku mengejar Rasya?" tanya Dimas serius kepada Fina dan Rere.
"Gadis sholehah macam Hafsyah memang ga mudah Dim. Hafsyah sosok yang benar-benar gadis seperti calon bidadari surga. Jadi dapatinya, juga butuh perjuangan ekstra Dim ... tapi tenang aja, aku tau caranya gimana," jawab Fina cepat
"Apa?"seru Dimas spontan. Fina memajukan wajahnya seakan ingin berbisik.
"Selama ini kamu selalu dekati Hafsah. Nah ... sekaranglah waktunya kamu dekati orang tuanya gimana Dim?" usul Fina memberi kode mata pada Dimas seakan meminta pendapatnya barusan.
"Memang harus yaa Fin"? tanya Dimas menatap ragu Fina.
"Setuju dengan Fina! celetuk Rere seketika.
"Iyalah harus itu. Hafsyah kan penurut dengan Abi dan Uminya. Nah, kamu bisa dekati Abi dan Uminya dari situ kamu dapat lampu hijau dekatin Hafsah. Aku jamin, pasti hafsyah akan selalu nurutin apa kata org tuanya termasuk dekat dengan kamu Dimas," jawab Fina dengan menatap Dimas serius.
"Tunggu! maksudmu, aku harus bisa mengambil hati Abi dan Uminya Hafsyah kah?" tanya Dimas lagi.
"Tepat sekali dim," jawab Fina dan Rere kompak.
"Ya ya aku tau maksud mu Fin, kenapa aku ga kepikiran dari dulu yaa Fin ... bodoh nya aku ini," sesal Dimas dengan suara lirih.
"Ya sudah, nanti malam kamu datangi rumah Hafsyah. Bawa oleh-oleh buat orang tuanya terutama Abinya Hafsyah Dim " kata Fina lagi.
"Yups. Bener banget apa kata Fina Dim. Aku yakin pasti nanti kamu bisa mendekati Hafsyah melalui orang tuanya. Semangattttt ...!"seru Rere dengan antusiasnya.
"O! terima kasih ya Fina Rere ... kalian benar-benar sahabat terbaikku, aku akan terus berusaha demi Hafsyah," ucap Dimas dengan percaya dirinya.
'Sama-sama Dim, aku akan selalu mensuport hubunganmu dengan Hafsyah meskipun aku harus menahan rasa ini terhadapmu." batin Fina dalam hati.
"Dah yukk, bentar lagi kita rapat. Siap-siap ditegur pak Iwan kalau kita telat hehe," jawab Rere sambil ngelengos pergi.
Sementara itu di rumah Hafsyah sedang bersiap-siap memasak masakan istimewa. Untuk persiapan jamuan tamu istimewa mereka nanti. Tak terasa, waktupun cepat berlalu, menjelang sore Hafsyah pun sudah rapi dengan baju gamis biru muda dan khimar yang senada dengan gamisnya. Begitupun cadar Hafsyah yang serupa, semakin menambah keanggunan dan kecantikan wajah Hafsyah di balik cadarnya.
Deru mobil terdengar dari luar rumah, dan turunlah mereka yang terdiri dari sepasang suami istri, juga seorang lelaki muda nan tampan dengan gagahnya. Ya, dialah Bima Prayoga pengusah sukses dan mapan di kotanya. Mereka pun masuk mengucap salam ke rumah Hafsyah yang memang sudah menunggu di dalam sedari tadi. Setelah berbasa basi mereka pun mengenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan mereka pada keluarga Hafsyah.
"Em, maaf bu Indah. Mana ya Hafsyah? kok belum keliatan juga," tanya bu Intan pada Umi Hafsyah yang seperti sedang mencari sesuatu.
"Oh iya, hampir lupa. Tunggu ya bu ... saya panggilkan sebentar," jawab Umi Indah langsung berdiri menuju ke kamar Hafsyah.
" Nak! ayo turun semua sudah menunggumu di bawah," ajak Umi Hafsyah.
"Ya mi ... ini udah siap," jawab Hafsyah mengikuti Uminya dari belakang.
Begitu turun ke bawah mereka pun segera disambut. Semua mata memandang takjub tertuju pada Hafsyah. Tapi tidak dengan pemuda itu. Bima yang memandang hanya sekilas, terkejut tanpa berkedip lalu menatap dingin pada Hafsyah. Sedang Hafsyah menunduk tanpa berani lelaki yang sedang menatap dingin padanya.
'Apa-apaan ibu, kenapa menjodohkan aku dengan gadis kampung seperti ini sih,' gerutu batin Bima dalam hati. 'Wanita ini benar-benar membuat aku sial nanti.' pikir Bima lagi tak henti-hentinya menatap sengit Hafsyah dalam diam.
Hafsyah berusaha melayani mereka dengan baik. Menjamunya dengan berbagai makanan yang telah di sediakan untuk mereka. Orang tua Bima sangat menyukai Hafsyah yang terlihat sangat telaten, luwes dan cekatan dalam melayani mereka selama perjamuan. Sangat berbeda dengan Bima yang hanya bersikap diam dan dingin terhadap mereka. Bahkan org tua Bima terang-terangan memuji Hafsyah di depan Bima yang membuat Hafsyah menahan malu hingga terus menunduk, sedang Bima lagi-lagi hanya diam dingin tanpa ekspresi.
Tak terasa waktu menjelang malam dan mereka pun sudah berbincang-bincang hal lain nya termasuk tgl pernikahan dan lainya. Mereka pun pamit untuk segera pulang dan berjanji akan bertemu ketika akan aqad pernikahan anak-anak mereka nanti.
Dimas kini sudah sampai di halaman rumah Hafsyah, dan berniat menemui orang tua Hafsyah yang saat ini masih duduk di ruang keluarga. Dimas segera mengetuk pintu dengan perlahan. Umi hafsyah yang mendengar suara ketukan bergegas membuka pintu dan menyuruh dimas untuk masuk.
"Eh nak Dimas." sapa umi Hafsyah sedikit merasa terkejut melihat kedatangan Dimas. "Ada apa Nak Dimas? tumben datang kemari malam-malam," ucap Umi Hafsyah pada Dimas.
"Ya umi, sengaja Dimas datang kemari. Oiya Um, ini ada bingkisan untuk Umi dan Abi, mohon di terima," ucap Dimas dengan sangat sopan dan menyerahkan bawaannya pada Umi Hafsyah.
" Wah ... terima kasih ya Nak Dimas, Jadi ngrepotin, bentar Umi panggilkan Hafsyah dulu," ucap Umi Hafsyah hendak melangkah.
"Umi ga usah Mi ... Dimas hanya ingin ngobrol dengan Umi dan Abi saja," tolak Dimas segera membuat langkah Umi Hafsyah terhenti.
"Siapa mi?" tanya abi hafsah yang baru datang. "Dimas bi," jawab umi.
"Oh kamu mas ada apa tumben, malam-malam main kemari" bingung abi Hafsyah tiba-tiba
"Ga ada apa-apa Bi, cuma pingin main aja ke sini, udah lama juga Dimas ga ngobrol bareng Abi dan Umi kan," kikuk Dimas berusaha tenang meski sebenarnya merasa gugup.
Setelah beberapa lama mengobrol kesana kemari, tak terasa waktu sudah pukul sembilan malam. Membuat Abi dan Umi menyudahi obrolannya, Karena abi dan umi sudah lelah setelah seharian menyambut tamu yang dari luar kota. Dimas pun segera pamit pada orang tua Hafsyah. Namun, sebelum Dimas melangkahkan kakinya, Abi Hafsyah berkata.
"Dimas jangan lupa ya, dua minggu lagi datang ke rumah. Bakak ada acara pernikahan Hafsyah." ucap abi hafsah. yang langsung membuat kaki dimas lemas seketika dan berdiri mematung dalam beberapa detik. Segera dimas menoleh dan menatap abi nya hafsah. Dengan terbata dimas menjawab.
"Pernikahan Haf ...sya ... Bi?" tanya Dimas dengan bibir gemetar karena menahan sakitnya dalam dada. Ada rasa sesak yang begtu mendalam di hati Dimas saat ini.
"Iya Dim ... tadi calon suami Hafsyah Bima sudah kemari, dan sudah di tentukan juga tanggal pernikahan Hafsyah. Jadi Abi harap kamu bisa datang dan syukur-syukur bisa membantu Abi di sini," ucap Abi Hafsyah lagi tanpa beban.
"Oh iya Bi. Pasti, aku bakal datang dan akan membantu Abi sebisa Dimas," jawab Dmas dengan cepat. "Ya sudah Bi, aku pamit dulu Assalammualaikum," ucap Dimas dengan suara hampir tak terdengar.
"Walaikumussalam," jawab Abi dan Umi Hafsyah serempak.
Dimas melangkah pergi dengan perasaan hancur sehancurnya. Sungguh, tak menyangka, niat hati ingin mengambil hati orang tua Hafsyah sesuai rencana nya, justru kunjunganya ke rumah membuat Dimas terkejut bukan main. Kabar pernikahan Hafsyah yang secara tiba-tiba, membuat Dimas patah semangat dan hilang arah. Pupus sudah harapan dan impian Dimas selama ini dengan gadis pujaan hatinya. Ia memendam perasaan itu sedari remaja ketika Hafsyah dan Dimas duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dimana pertama kali Hafsyah menggunakan cadarnya dalam keseharian Hafsah di saat itulah hati Dimas terpaut dan benar-benar mengidolakan Hafsyah dalam mimpi besarnya.
Dimas selalu bermimpi ingin mempunyai istri yang sholehah seperti Hafsyah dalam kriteria dan idamanya. Namun, kini harapan itu telah hilang, karna Dimas sudah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Ya, Dimas merasa bodoh karena Dimas selama ini tidak terpikirkan mendekati orang tua Hafsyah selama ini. Dimas pikir, orang tua Hafsyah sudah mengetahui selak beluk keluarga Dimas itu sudah cukup. Ternyata dugaan semua itu salah, karena perhatian dan cinta memang harus di tunjukan dengan pembuktian dan pendekatan melalui keluarga nya terlebih dulu yakni orang tua Hafsyah. Dimas hanya bisa menyesali kebodohan nya dan merutuki dirinya yang kurang cepat dalam mengambil hati gadis pujaannya.
***
Persiapan kini sudah selesai dan semua sudah siap begitupun akad yang akan segera di mulai. Hafsyah masih di kamarnya menunggu calon suami untuk ijab, dengan jantung yang berdebar-debar, dan tak terasa air mata haru membasahi pipi Hafsyah yang putih dan mulus. Dengan cepat air mata segera di hapus dengan lembut oleh dua temannya. Fina dan Rere menatap Hafsyah dengan begitu penuh kekaguman karena kecantikannya yang benar-benar sempurna dan alami.
"Hafsyah, apa yang kau lakukan? Kenapa kau harus menangis di hari bahagiamu ini?" tanya Rere pada Hafsyah.
"Ga apa-apa Re, aku hanya menangis haru saja, bukan kareba sedih kok," jawab Hafsyah lirih.
"Ya ya, sebaiknya jangan ada air mata, sebab itu bisa merusak mek-up mu nanti," ucap Rere lagi.
Hafsyah segera memeluk Rere, sedang Fina masih diam dan mematung, kemudian ikut memeluk Hafsyah dan Rere.
'Tidak kah kau tau Hafsyah, di luar sana ada pemuda yang begitu tulus dan sangat mencintaimu Syah. Bahkan dia hadir di acara bahagiamu ini. Aku tau dalam hatinya, pasti sangat sakit dan begitu hancur karena kau telah bersanding dengan lelaki lain.' batin Fina merasa sedih karena memikirkan perasaan Dimas pada Hafsyah.
Meskipun Fina juga ada rasa pada Dimas tapi dia lebih bahagia jika dimas bahagia. Bagi Fina itu sudah lebih dari cukup, karena terkadang cinta memang tak harus memiliki. Tapi melihat Dimas yang terluka sungguh membuat hati Fina pun ikut teriris sembilu.
Acara ijab kabul berjalan dengan lancar. Semua orang mengucap sah dan hamdallah lalu membaca doa pengantin. Segera Umi Hafsyah menghampiri Hafsyah dan membawa Hafsyah ke pelaminan. Hafsyah berjalan dengan anggun nya dengan di apit ibu dan mertua nya rere dan Fina di belakang Hafsyah. Sungguh, pemandangan yang indah menyejukkan semua mata bagi siapa saja yang memandangnya, balutan pengantin dengan gamis syar'i warna putih, juga khimar yang senada dengan cadar yang menutupi wajah cantiknya tak mengurangi keanggunan dan kecantikan Hafsyah yang tersembunyi selama ini. Dimas yang melihatnya tak berkedip sedikitpun, ada perasaan haru dan sakit di sana. Dimas menatap Hafsyah dengan tatapan sayu dan sendu, untuk kemudian langsung menunduk karena ada buliran bening jatuh membasahi wajah Dimas saat ini. Sakit dan perih itulah yang Dimas rasakan melihat wanita yang selama ini diam-diam mengisi relung hatinya bahkan sempat bermimpi untuk hidup bersamanya. Sekarang entah apakah perasaan ini akan terus berlanjut hingga Dimas benar-benar lelah dengan semua ini. Atau berhenti dan terus berharap menanti keajabaiban. Dimas pun melangkah pergi ke luar untuk menenang hati dan pikirannya.
Hafsyah segera duduk di samping lelaki yang kini sudah menjadi suaminya, dan kemudian menunduk karena merasa malu. Dengan segera Bima memasukkan cincin ke jemari Hafsyah begitupun Hafsyah memasukkan cincin ke tangan suaminya, untuk kemudian menyalami suaminya dengan takzim begitupun Bima mencium kening Hafsyah sekilas.
Setelah mengikuti berbagai acara, kini saatnya acara pun telah selesai tepat pukul sepuluh malam. Tamu-tamu sudah mulai sepi dan berkurang hanya ada keluarga yang tersisa disana.
Hafsyah pun segera masuk ke kamar dan melepas cadar penutup wajah, kemudian segera membersihkan diri ke kamar mandi. Setelah selesai di lihatnya suaminya sudah duduk santai di sofa sambil memegang smartphonenya. Bima sempat melihat sekilas, saat Hafshah membuka cadar dan terlihatlah dengan jelas kecantikan Hafsyah yang begitu sempurna di depannya. Membuat Bima sempat tak berkedip persekian detik. Namun, dengan cepat Bima mengalihkan pandanganya dan kembali bersikap dingin. Hafsyah segera menghampiri suaminya dan bertanya, meski sempat ada rasa gugup. Karena ini hal pertama kalinya Hafsyah satu ruangan dalam kamar pribadinya, terlebih Hafshah sama sekali belum pernah berhubungan dengan lelaki satupun, jadi ini benar-benar hal sangat baru bagi Hafsyah, dan membuat Hafsyah ragu dan gugup untuk memulai percakapan dengan lawan jenis. Terlebih dengan lelaki yang baru di kenalinya dan kini, lelaki asing itu telah menjadi suaminya. Dengan gugup dan sedikit ragu-ragu Hafsyah mendekat dan berkata.
"Mas mau dibikin kan minum apa?" tanya Hafsyah dengan gugup.
Bima hanya diam tak berkutik. Sekali lagi Hafsyah mencoba bertanya dan mendekati lelaki yang kini menjadi suaminya.
" Mas mau minum apa?" tanya Hafsyah lagi. Kali ini dengan suara yang agak keras supaya suaminya mendengar.
"Hmm," jawab Bima tanpa menoleh
"Mas," panggil Hafsyah lagi
"Apa sih kamu ganggu aku saja, sudah sana jangan ganggu-ganggu aku," jawab Bima ketus "Oiya, jangan harap pernikahan ini akan berjalan dengan semestinya. Karena aku sama sekali tidak mencintaimu sedikit pun dan pernikahan ini terjadi hanya karna orang tua kita. "Jadi jangan berharap lebih padaku karna aku benar-benar tidak menginginkan pernikahan ini terlebih dengan gadis kampung sepertimu," ucap Bima kesal.
Deggg! hati Hafsyah terasa nyeri sakit sungguh sakit.
'Ya Tuhan, ada apa ini,' batin Hafsyah merasa sedih seketika.
Di malam pertama Hafsyah bukan bahagia yang di dapat seperti layaknya pengantin pada umumnya. Hafsyah hanya bisa menangis di malam pertama nya. Ya, Hafsyah menangis karena pernikahan yang tak sesuai dengan mimpi nya. Hafsyah yang ingin berbakti pada orang tuanya justru harus menanggung derita yang tak pernah Hafsyah mimpikan sebelum nya. Hafsyah menangis dalam diam, hingga membuat Hafsyah merasa lelah kemudian tertidur di ranjang pengantin tanpa ditemani suaminya. Karena Bima lebih memilih tidur di sofa daripada harus tidur bersama dengan Hafsyah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!