Pagi ini Evan terbangun, jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia bersiap akan ke sekolah. Dia terbiasa mandiri mengurusi semua keperluan sekolahnya sendiri bersama pembantu
"Ayo cepetan mandinya, Van. Nanti telat!" seru mbak Minah pembantu keluarga Evan dari luar kamar mandi. Evan segera bergegas menyelesaikan mandinya. Terdengar timba air dari dalam kamar mandi, Minah pun tersenyum mendengarnya.
Dia sebenarnya anak yang baik dan pintar, hanya karena dia anak dari istri kedua ayahnya, membuat Rima ibu tiri Evan jadi suka mencari kesalahan Evan. Ayahnya Wisnu pun ikut terhasut untuk membencinya juga.
Selesai mandi dia berlari berjingkrak ala anak kecil dengan riang dan menggigil kedinginan tepat saat Rima juga sedang berada di dapur. Dia segera menghentikan langkahnya saat mata Rima menatap tajam kearahnya dengan berkacak pinggang.
"Kalo habis mandi itu badan di lap di kamar mandi, bukannya di lap di kamar. Lihat air berceceran kemana-mana!" omel Rima garang, sambil mendorong dia kembali ke kamar mandi lagi hingga dia terjatuh.
Evan hanya bisa tertunduk diam. Dia berdiri lagi tanpa menangis karena sudah biasa di perlakukan begitu. Dia mengelap tubuh mungilnya dengan patuh, lalu kembali berlalu ke kamarnya. Setelah selesai Minah yang melihat kejadian itu segera menghampiri Evan dan menggiringnya untuk ke kamar di belakang agar segera ganti baju.
Mbak Minah memang sering membantunya. Minah kasihan terhadap Evan yang seolah-olah tidak mendapatkan kasih sayang yang layak di rumah ini. Hanya dia yang mau memperlakukan si kecil Evan dengan penuh kasih sayang.
...***...
Sesampainya di kamar, mbak Minah segera memakaikannya pakaian. Sebelumnya ia telah melumuri tubuh bocah itu dengan minyak kayu putih, agar dia hangat dan tidak masuk angin. Mengingat ini masih terlalu pagi untuk anak kecil mandi.
"Kan udah mbak bilang, jangan sampe kelihatan mami. Nanti di omelin. Evan sih mandinya berisik," ujar Minah seraya mengancing baju si kecil Evan.
"Habis dingin mbak!" celoteh Evan masih dengan senyum lugunya. Pembantu itu hanya tersenyum mendengarnya sambil terus mengurus Evan.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 05:50. Sebelum berangkat sekolah Evan pergi menemui Tama atau sering di panggilnya mas Tam-Tam.
"Mas Tam-Tam. Udah jam 6. Ke sekolah, nggak?" bisik Evan lembut di telinga Tama.
Tama segera membuka mata. Dia menggeliatkan tubuhnya beberapa saat. Lalu ia bangkit, duduk dan tersenyum kearah Evan yang tengah menatapnya dengan mata berbinar dan senyum manis. Tama sudah bangun dari tadi, hanya saja dia ingin Evan membangunkannya.
"Hehehe... Good," ucap Tama sambil mengacungkan jempolnya.
Tama Adalah kakak laki-laki yang satu ayah lain ibu dengan Evan tapi ia baik hati. Dia juga sering melindungi Evan secara terselubung dari ibunya, alias tanpa sepengetahuan ibu dan ayahnya.
"Nih, hadiahnya," ucap Tama seraya menyerahkan sejumlah uang kepada Evan.
Karena dia tahu Evan tidak pernah di beri uang oleh ibunya untuk jajan ke sekolah, jadi dia buat kesepakatan dengan Evan. Jika Evan membangunkannya sebelum jam 6 maka dia akan beri Evan hadiah. Jadi setiap pagi sebelum jam 6 Evan selalu semangat membangunkan Tama di kamarnya.
...***...
Setelah di beri jajan oleh Tama, Evan segera pamit dengan si mbak Minah lalu pergi ke sekolah.
Kenapa pagi-pagi sekali? Karena tidak ada yang mengantarkannya ke sekolah. Minah sangat sibuk di pagi hari dan yang lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayah dan ibunya tidak perlu di tanya, tidak di marahi saja Evan sudah bersyukur.
Jadi karena itu, dia harus pergi pagi-pagi supaya tidak telat. Di usianya yang baru menginjak 6 tahun dia bisa lakukan semua sendiri. Evan adalah anak kecil yang cerdas dan mandiri.
...***...
Ibu Evan adalah istri kedua ayah Evan, karena Ayah Evan dan Ibu Tama sempat bercerai. Saat itu lah ayah Evan berkenalan dengan ibu Evan dan menikah. Ibu Evan adalah wanita Meksiko yang cantik. Tapi sebenarnya dia menikahi ibu Evan saat itu tepatnya hanya sebagai pelarian. Saat ayah Evan pergi melarikan dirinya Ke Amerika, karena merasa hancur atas perceraiannya.
Di Sana lah mereka bertemu dan menjalin hubungan menikah hingga Evan lahir. Saat itu tiba-tiba nenek Evan, ibu ayah Evan memaksanya kembali, karena ibu Tama yang mulai melunak, dan bersedia menerima ayah Evan kembali. Ayah Evan yang memang masih mencintai mantan istrinya, tanpa berpikir panjang lagi pun meninggalkan ibu Evan yang tengah mengandung Evan saat itu.
Itu seperti bencana untuk hubungan ayah Evan dan ibu Evan, hingga dia depresi dan meninggal saat melahirkan Evan dan terpaksa menitipkan Evan pada ayahnya, karena Evan tidak memiliki siapapun yang bisa merawatnya selain arahnya.
Kehadiran Evan di luar rencananya. Apa lagi menerimanya, itu tidak terpikirkan oleh ayah Evan. Dengan berat hati dan dengan perdebatan panjang akhirnya ibu Tama bersedia menerima Evan di tengah keluarga mereka.
Tapi hati kecil nya selalu sakit setiap kali melihat kehadiran Evan. Dia terus mengutuk keberadaan Evan yang di luar dugaannya, karena dia tidak pernah tau jika mantan suaminya sudah menikah lagi dengan wanita lain. Oleh sebab itu, demi cintanya terhadap ibu Tama dan Syahila itu ayah Evan rela mengasingkan Evan kecil bersama pembantu di kamar belakang. Asal dia bisa kembali bersama istri pertamanya yang sangat ia cintai.
Evan bahkan tidak pernah makan bersama mereka, serta ke rumah jalan belakang. Sehingga mereka tidak terlalu sering melihat Evan di rumah, kecuali mereka ke dapur. Karena Evan juga di larang ke rumah utama, kecuali dapur. Kehadiran Evan benar-benar lenyap dari pandangan orang tuanya, mereka jarang mengetahui apa yang terjadi pada Evan di belakang bersama mbak Minah yang saat itu bahkan hanya lulusan SMP, tapi untungnya dia sudah cukup berpengalaman dalam mengurus adik-adiknya, hingga dia bisa merawat Evan bayi hingga besar seperti adiknya sendiri.
Evan kecil tidak tahu jika dia diasingkan, yang dia pahami dia nakal karena itu dia tinggal di kamar belakang. Dia selalu menumpahkan nasinya saat makan, karena itu dia harus makan di dapur bersama Minah. Dia selalu menghilangkan uangnya karena itu dia tidak pernah di beri jajan. Dia selalu menumpahkan apapun yang dia ambil karena itu dia sering di bentak. Dia nakal karena itu dia tidak pernah mendapatkan hadiah saat ayahnya keluar negeri.
Yaaa.... Evan memiliki hati yang baik dan selalu murni pikirannya. Mungkin karena Minah selalu mengajarinya untuk berfikiran baik.
Seperti saat ini, ayahnya baru pulang dan dengan gembira Evan kecil menyambutnya keluar. Dia berteriak riang bersama Tama dan Syahila untuk menyambut kepulangan ayahnya. Tama dan Syahila adalah anak ayahnya bersama ibu Rima istri pertama Wisnu ayah Evan.
Saat keluar mobil, ayahnya tersenyum bahagia dengan merentangkan kedua tangannya. Ia langsung merangkul Tama dan Syahila. Tapi mengabaikan Evan kecil yang masih menatap penuh harap agar juga ikut di peluk, Evan melihat dari belakang bagai mana Tama dan Syahila di peluk manja oleh ayahnya. Pelukan yang tidak pernah di dapatkannya selama ini. Sepertinya, kali ini ia juga masih di abaikan. Karena ayahnya langsung masuk rumah bersama Tama dan Syahila. Evan hanya mengekori langkah ketiganya dari belakang. Meskipun demikian, itu tidak mengurangi kebahagiaan Evan kecil dalam menyambut kepulangan ayahnya. Senyum bahagianya masih terlihat di wajahnya.
Saat sampai di rumah ayahnya mengeluarkan mainan untuk Tama dan Syahila. Evan dengan tidak sabar masih menunggu giliran dengan berdiri di pinggir kursi. Lama dia menunggu, hingga dia sadar ayahnya tidak membawa apapun untuknya. Seketika senyumnya benar-benar hilang dari wajahnya, matanya langsung tertunduk dengan jari tangan yang saling meremas menahan perasaan hibanya, dia menatap ayahnya sekali lagi dan berlahan ia pun mundur menjauh.
Dia tidak bertanya lagi, dia langsung ke belakang dengan langkah lesu dan expresi sedih menahan kecewa yang teramat dalam. Tanpa terasa air matanya menetes sepanjang perjalanan ke dapur. Dia menyeka air matanya sendiri. Karena tidak tahan lagi ingin menangis, dia segera ke meja makan di dapur. Dia mendekap wajahnya di atas meja makan tersebut.
Minah yang kebetulan mengikuti Evan sedari tadi berlahan duduk di kursi samping Evan. Hatinya sakit mendengar tangis Evan yang tertahan, hanya isak yang terdengar. Anak kecil itu berusaha tegar sekuat hati, tapi tetap saja dia runtuh tidak berdaya.
Minah mengusap bahu Evan berlahan.
"Ndak papa, mungkin papah lupa," ucap Minah lembut berusaha menghibur Evan kecil.
Matanya pun ikut berkaca-kaca mengetahui perihnya hidup anak tak berdosa ini di rumahnya sendiri. Hingga tanpa sadar air matanya juga menetes. Dia menyeka air mata di wajahnya dengan cepat agar tidak di ketahui Evan. Dia tidak berdaya melindungi anak kecil ini, dia hanya bisa menahan sakit di hatinya tiap kali melihat Evan di perlakukan tidak adil.
Syahila bilang pada Evan, ayah akan membawakannya oleh-oleh jika dia jadi anak baik. Jadi selama seminggu ini Evan berusaha jadi anak yang baik. Anak yang tidak cengeng, yang selalu senyum, dan tidak membuat maminya marah. Semua sudah Evan penuhi, tapi kenyataannya ayahnya tidak membawakan apa pun untuknya. Memikirkan itu membuat Evan semakin kecewa.
Saat Evan masih terisak Syahila datang menghampirinya. Dia tahu, dia sudah mengecewakan Evan. Dia berbohong pada Evan, hingga membuat Evan terluka dengan harapan kosong yang sudah dia ukir untuk Evan. Di usianya yang sudah menginjak 12 tahun membuat Syahila sudah paham betul dengan keadaan. Dia sudah menyiapkan sesuatu untuk Evan, agar Evan tidak menangis lagi.
Dia segera menghampiri Evan yang tengah terisak, Minah pun pergi. Dia tau Syahila pasti mampu menghibur hati Evan yang tengah terluka.
"Kakak punya Lolipop, mau?" tanya Syahila seraya mengeluarkan Lolipopnya.
Evan melirik, lalu segera bangkit. Dia menatap permen warna-warni kesukaannya itu. Seketika senyum mengembang dari bibir Evan kecil. Dia segera mengusap air matanya dan meraih permen kesukaannya itu dengan suka cita. Kebetulan Tama juga ada di sana.
"Kapan kamu belinya?" bisik Tama pada Syahila.
"Tadi siang. Aku tau papa nggak akan beli apa-apa buat Evan, tapi aku udah keceplosan bilang papa bawak hadiah buat dia. Makanya aku beliin Lolipop biar dia nggak sedih," bisik Syahila. Tama pun tersenyum, setidaknya .
Tama dan Syahila selalu menjaga Evan. Sekali lagi harus secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibu dan ayahnya. Karena jika ketahuan ibu atau ayahnya itu akan membuat mereka di marahi. Mereka menyayangi Evan seperti saudaranya sendiri. Mereka segera bermain bersama Evan dengan mainan baru mereka.
...(EVAN KECIL)...
...***...
Siang itu Evan kecil baru pulang dari sekolah, dengan langkah ceria dia melewati jalanan hujan. Jika ada genangan dia akan melompatinya sambil bernyanyi ala anak-anak. Itu pesan Minah, karena Minah takut Evan akan bermain becek. Sehingga dia selalu berpesan agar Evan selalu berjalan di tempat yang airnya paling sedikit.
Sesekali Evan terhenti untuk mencari jalur jalanan yang genangannya paling sedikit, atau mencari batu pijakannya agar dia tidak menginjak genangan air. Dia lakukan itu dengan riang gembira di tengah derasnya hujan. Tepat saat pak haji yang biasa mengajari nya mengaji lewat.
"Evan! Hujan. Nanti demam!" tegur pak haji dari kejauhan dan segera menghampiri Evan.
"Ayok bapak antar pulang," ucapnya lalu memayungi Evan yang sudah kebasahan dan kedinginan. Itu terlihat dari tubuhnya yang sudah mulai menggigil.
Entah sudah berapa lama dia kehujanan. Jika kebetulan bertemu Evan, pak haji memang sering mengantar Evan. Apa lagi dia sering mengantar putri bungsunya ke sekolah yang memang tidak satu sekolah dengan Evan, tapi mereka sering berpapasan. Pak haji kasihan melihat Evan yang selalu pulang sendirian, bahkan saat hujan deras begini pun tidak ada yang menjemputnya.
Dan untungnya saat ini dia kebetulan bertemu karena kebetulan akan pergi ke warungnya yang tidak jauh dari sana. Sebenarnya sudah lama waktu pulang sekolah berlangsung, tapi entah kenapa Evan malah baru pulang sekarang.
"Kenapa baru pulang, kan dari tadi orang pulang nya? " tanya pak haji.
"Evan tunggu hujannya berhenti pak haji, tapi nggak berhenti-henti. Mbak Minah juga nggak jemput Evan. Biasanya dia jemput kalo hujan. Udah lama Evan tungguin, makanya Evan pulang sendiri aja pak haji. Evan nggak jalan becek kok, Evan lompat-in tadi," ucap Evan lugu. Pak haji hanya mengelus kepala Evan. Dia bertambah kasihan dengan anak ini.
Pak haji selalu menaruh perhatian lebih padanya karena dia tau Evan seperti tak terurus. Setiap Evan di suruh belanja ke tokonya dia selalu menghadiahi Evan jajanan. Itu membuat Evan jadi dekat dengannya. Dia menganggap Evan seperti anak yatim piatu, walaupun orang tuanya masih hidup, tapi tidak mengurusnya. Sehingga dia suka bersedekah kepada Evan, sekedar memberi jajanan dan uang saku.
"Pak haji lewat belakang. Nanti kalo lewat depan kena mobil papa lagi, papa marah. " Ucap Evan lugu.
"Evan nggak boleh lewat depan, ya?" tanya pak haji.
"Nggak. Kalo lewat depan Evan suka goyang-goyang. Mami bilang nggak boleh lewat depan, nantik mobil papa gores kena Evan. Mbak Minah bilang juga Evan jangan sampe kelihatan mami. Nantik mami omelin Evan lagi, marahin Evan lagi, terus pukul.Mbak minah bilang Evan harus bisa ngilang kalo mami datang. Seru pak haji, kalo di rumah Evan main ninja sama mami," terang Evan. Itu menjelaskan hal berbeda di hadapan pak haji, Evan di asingkan di rumahnya sendiri. Terbersit rasa hiba di hatinya melihat anak kecil sepintar ini di abaikan begitu saja.
Tidak lama mereka sampai di pintu belakang.
"Mbak!! Evan pulang!" panggil Evan. Tidak lama Minah datang membukakan pintunya.
"Ya ampun, Evan. Kamu kehujanan!" serunya khawatir saat melihat Evan yang basah kuyup dan kedinginan. "eh, ada Pak haji. Mampir Pak haji," sapa Minah.
"Nggak usah, saya ada perlu. Ini cepat bawak masuk. Nanti dia demam," ucap pak haji ramah. "Assalamu'alaikum!" ucap pak haji sebelum pergi.
"Waalaikum salam!" jawab Minah. Dia pun membawa Evan masuk.
"Maaf, ya! Tadi mbak sibuk di dapur ngurusin arisan nyonya. Jadi mbak lupa jemput Evan," ucap Minah, Evan hanya tersenyum lugu ke arah Minah.
Dia segera menggantikan pakaian Evan di kamarnya dan memberinya makan. Pasti Evan sudah kelaparan karena sudah seharian dia di sekolahan. Benar saja, Evan makan dengan lahap, lalu dia ketiduran karena kelelahan.
...BERSAMBUNG...
Tak terasa 12 tahun telah berlalu. Evan yang memang merupakan anak yang cerdas membawa berita gembira. Dia diterima di salah satu universitas ternama di luar negeri. Dia berlari menghampiri ibunya dengan semangat untuk menyampaikan berita gembira.
Tampak Rima tengah duduk santai di taman belakang rumahnya. Beliau sedang merawat tanaman bunganya yang tengah bermekaran dengan indahnya.
Evan dengan langkah mantap dan senyum kegembiraan yang terukir di wajahnya tampak tak sabar memberitahukan ibu sambungnya itu tentang penawaran beasiswa untuknya, tapi seketika senyumnya pudar dari wajah tampannya saat melihat reaksi ibunya yang sungguh mengecewakan.
"Uang semester memang gratis. Tapi kamu pikir uang rumah, makan, dan lain-lain. Itu nggak pakek duit pribadi?" ucap Rima seolah tidak menghargai kerja keras Evan untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Dia tampak terus asyik dengan kegiatan merawat tanaman mahalnya yang terkesan jauh lebih penting dari pada urusan Evan saat ini.
Sedangkan Evan masih berdiri terpaku mematung di sampingnya dengan sebuah berkas map kuning di tangan. Bahkan untuk membuka map itupun Rima tak sudi.
"Kalo kamu mau kuliah di luar silahkan, tapi biaya tanggung sendiri. Kita nggak ada biaya," ungkap Rima kembali mematahkan semangat Evan tanpa menatap Evan samasekali. Dia bahkan tidak perduli dengan raut sedih dan kecewa Evan saat ini.
Evan hanya tertunduk diam. Seketika semangatnya hilang, dia tampak lemas mendengar ucapan ibunya barusan. Dia merasa perjuangannya sia-sia saja .Hilang harapan satu-satunya dia untuk dapat kuliah dan menjamin masa depannya.
Dia tahu ini bukan masalah uang. Dia tahu keluarganya memiliki cukup uang jika hanya untuk biaya kuliahnya, mereka bukan keluarga pas-pasan, mereka punya banyak aset untuk menjamin kehidupan mereka. Mereka punya banyak bisnis yang menjajikan.
Evan menatap ibunya dengan tatapan tajam, sekuat tenaga dia menahan sesak di dadanya dengan meremas kuat map yang ada di tangannya. Dia menarik nafasnya sebelum dia bicara. Dia berusaha bersikap tenang.
"Tapi ... Aku nggak bisa dapat beasiswa lagi kalo aku lepas kesempatan ini. Kalau memang kita tidak punya uang, aku akan pakek tabungan aku yang ada saja, nanti biaya yang lain aku cari kerja nyampe sana," ucap Evan berusaha meredam gejolak di dadanya dan mencoba mencari solusi.
"Terserah kamu," ucap ibunya kembali tak perduli.
Rima terus saja lebih peduli pada tanamannya dari pada menanggapi Evan. Evan menatap ibunya sekali lagi, melihat kedalam mata wanita paruh baya itu, tidak terlihat sedikitpun kepedulian di sana. Evan mengangguk paham dan berlahan meninggalkan ibunya dengan ketidak pedulian nya itu.
Dia segera pergi dengan langkah cepat meninggalkan ibunya.
Lagi dan lagi dia selalu kecewa terhadap kedua orang tuanya. Apa lebih baik dia pergi saja, dari pada disini toh dia juga tidak di harapkan. Dia sudah bertahan bertahun-tahun disini. Dia tidak pernah bisa merubah kenyataan bahwa dia tidak diinginkan.
...***...
Tanpa sepengetahuan orang tuanya dia melakukan semua persiapan keberangkatannya. Jika memang orang tuanya tidak bersedia membantunya dia nekat akan mengusahakannya sendiri. Toh masih 6 bulan lagi. Cukup waktu bagi Evan untuk menabung sedikit lagi, Sekedar uang makannya sampai dia mendapatkan pekerjaan di sana.
Dia akan kejar A level untuk mengejar beasiswa Jardine Foundation, itu kesempatan yang bisa dia harapkan untuk kuliah. Dia tidak bisa mengharapkan orang tuanya. Walaupun untuk itu dia harus bekerja lebih keras. Karena bukan hal mudah untuk mendapat beasiswa tersebut.
Dia harus selesaikan A level yang sudah di jalaninya selama setengah tahun ini. Dan akan kembali ia seriuskan lagi. Dia benar-benar sudah muak selalu tidak ada dukungan apapun untuknya.
...***...
Keesokkan paginya Evan sudah bangun. Dia siap-siap akan ke toko pak haji. Dia memang bekerja di sana sudah 6 tahun ini. Awalnya hanya bantu jaga toko saat pak haji lagi sholat ke masjid, tapi lama-lama dia benar-benar bekerja di sana. Seiring dengan waktu toko pak haji makin besar dan maju. Evan biasanya membantu buka toko pagi hari sambil menyusun barang-barang. Pulang sekolah baru dia yang bantu ambil barang di grosiran pasar dan menunggu tokonya hingga malam. Jadi dia makan dan belajar di sela waktu luangnya di sana.
Waktunya benar-benar padat sekarang, dari kegiatan sekolah dan bekerja. Kadang membuat dia hanya bisa pulang saat sudah malam. Dan untungnya dengan ketidak pedulian orang tuanya terhadapnya, membuat dia tidak kesulitan saat pulang larut malam sekalipun, apa lagi kamarnya terpisah di belakang. Ada ataupun tidaknya dia di rumah tidak akan di sadari oleh orang tuanya.
Seperti biasa dia datang ke toko jam 6 kurang, tepat saat pak haji baru buka. Dia segera membantu menyusun barang dengan pakaian sekolahnya. Pak haji selalu mengagumi sifat gigih dan tekun Evan. Dia juga jujur dan dapat dipercaya. Tidak jarang Evan di minta pak haji untuk mengambil barang sekalian membayarnya. Evan selalu dapat melaksanakan amanah pak haji dengan baik.
"Eh nanti siang kamu ambil barang lagi sama Fajar ya!" seru pak haji sebelum Evan pergi.
"Iya Pak haji. Assalamu'alaikum!" jawab Evan seraya salim pada pak haji lalu berlari ke arah Anto yang juga akan pergi ke sekolah. Mereka memang selalu ke sekolah bersama.
Anto adalah teman Evan dari kecil. Dia anak nya lumayan badung, sering tawuran dan bolos. Dia selalu bersama Evan sebagai tamengnya agar tidak di marahi ibunya. Karena jika tidak bersama Evan ibunya selalu curiga dia tidak ke sekolah. Karena Evan adalah anak emas di sekolah jadi Ibu Anto percaya pada Evan.
***
Sesampainya di sekolah Anto segera meminta PR Evan seperti biasa, Evan sudah biasa dengan kelakuan Anto itu. Karena belum makan, Evan pun segera ke kantin meninggalkan Anto yang sibuk mencontek.
"Buku gue simpen di tas lagi," pesan Evan sebelum pergi, Anto hanya mengacungkan jempolnya tanpa menoleh pada Evan.
***
Evan termasuk anak yang misterius bagi teman-teman nya di sekolah. Dia tidak banyak bicara dan tingkah. Tapi dalam diam dia terkenal pintar dan cerdas. Bukan sekali dua kali dia di tawarkan jadi ketua Osis. Dia selalu menolak, dia tidak suka menjadi pusat perhatian dan berhubungan dengan banyak orang.
Hanya Anto lah teman yang bisa dekat dengannya. Selebihnya dia tidak terlalu akrab, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan atau kantin untuk sekedar makan lalu pergi. Dia tidak pernah nongkrong dengan kelompok anak laki-laki. Dia menciptakan dunianya sendiri. Dia tidak mau ikut ekstrakurikuler apapun. Walau dari pihak sekolah mewajibkan itu, Evan tetap tidak bersedia. Karena Evan pintar dan sering menang olimpiade antar sekolah jadi kepala sekolah mengalah. Khusus untuk dia kepala sekolah Mentelorir nya.
Dari olimpiade itu juga Evan mendapatkan uang tambahan untuk kuliahnya kelak dan untuk membeli kebutuhannya juga. Tidak jarang dia mendapatkan hadiah yang tidak murah. Dari laptop, sepatu, handphone, semua dia dapat karena sering ikut olimpiade sekolah.
Di kantin ada seorang gadis yang memperhatikan Evan sedang makan sendirian. Dia tengah mengantri mengambil pesanannya. Dia tampak manis dengan hijab putih yang di kenakannya. Dia terus memperhatikan Evan yang tengah sibuk dengan sarapannya. Setelah dia mendapatkan pesanannya, dia segera berjalan ke arah Evan.
Dia adalah Jamia, atau sering di panggil Mia. Dia adalah anak pak haji yang 1 tahun lebih muda dari Evan. Dia akrab dengan Evan, Evan sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri. Dia juga merupakan anak bungsu pak haji. Dia gadis yang cantik, ceria dan juga pintar serta sangat alim.
"Anto mana? " tanya nya tiba-tiba dan langsung mengambil posisi di samping Evan. Evan langsung menoleh ke sumber suara, ternyata Mia.
"Lagi bikin PR," terang Evan singkat.
"Bikin apa nyontek?" ucap Mia sambil tersenyum kearah Evan. Evan hanya tertawa kecil tidak menjawabnya, lalu dia tersenyum kearah gadis manis itu. Mia memang selalu lengket dengan Evan jika di sekolah, hingga banyak yang mengira jika mereka berpacaran.
Sebenarnya Mia memang menaruh hati pada Evan, tapi Evan sepertinya hanya menganggapnya adik. Itulah kenapa Mia tidak berani berharap lebih. Dia lebih memilih menyembunyikan perasaannya di balik persahabatan.
"Gimana sama beasiswanya, mau diambil atau di tolak? Sayang lo kalo di tolak," ucap Mia sambil menikmati sarapannya di kantin.
"Belum tau, liat aja nanti, kalo ada biaya ya berangkat. kalo nggak, fokusin lagi di Jardine aja. Kalo nggak dapet ya ... Wasalam lah," lirih Evan seperti pasrah.
"Nabung aja dulu." Mia berusaha menyemangati. Evan pun hanya tersenyum. Dan merekapun kembali melanjutkan sarapannya.
Tak lama bel pun berbunyi tanda masuk kelas. Merekapun segera berpisah karena beda kelas. Sebelum masuk mereka Apel pagi sebagai kegiatan wajib sebelum memulai kelas belajar.
***
Sepulang sekolah Evan langsung ke toko Pak Haji. Dia memang begitu, setiap pulang sekolah akan ke sana lalu lanjut ke lesnya lagi, pulang dari les ke toko Pak Haji lagi sampai tokonya tutup baru lah dia pulang. Dia sudah membawa pakaian gantinya. Dia jarang di rumah, karena ayah dan ibunya seolah-olah selalu mencari kesalahannya jika dia di rumah.
Sudah lama dia berfikiran akan meninggalkan orang tuanya, tapi selalu di tahan pak haji. Dia sudah tidak tahan bersama mereka, hanya Tama dan Sahila yang peduli padanya. Yang lain selalu menganggapnya seperti benalu.Hanya Pak Haji dan Minah lah pengganti orang tuanya selama ini.
BERSAMBUNG...
Malam itu Evan pulang seperti biasa, dia lewat belakang dan pintu di bukakan oleh Minah. Tampak di luar ayah, ibu dan kakak-kakaknya tengah menikmati makan malam mereka, sedangkan Evan hanya makan di dapur bersama anak Minah yang masih berusia 7 tahun. Bukan hal yang aneh dan menyakitkan lagi bagi Evan di perlakukan begitu. Rasa sakit di asingkan sudah mati di hatinya, dia sudah tidak peduli lagi dengan semua itu.
"Tadi siang nenek Adi bikinin gulai kalio ayam," ungkap minah sambil menyajikannya di meja makan sederhana mereka di dapur. Tapi walaupun begitu, Evan tetap menikmati acara makan malam sederhana ini, yang berbanding terbalik dengan makan malam mewah keluarga nya di luar dengan menu restoran mahal dan ruang makan yang besar. Tampaknya mereka tengah merayakan sesuatu dan Evan tidak masuk kebagian dari acara itu.
Nenek Adi memang keturunan padang, jadi dia pandai memasak masakan padang. Evan sering di bawakan masakan nenek Adi. Minah sengaja melakukan itu untuk Evan, tak lebih karena rasa sayangnya kepada Evan yang telah ia rawat sedari kecil.
"Adi tadi siang nambah 3 kali," terang Adi bangga pada Evan dengan expresi lucunya, Minah yang juga ada di sana tertawa mendengarnya bersama Evan.
"Pantas buncit ya!" seru Evan seraya memegang perut Adi. "kalo gitu jatah Adi udah abis, ini jatah mas Evan lagi!" goda Evan pada anak kecil gembul hitam manis itu. Karena Adi paling suka bermain sepeda bersama teman-temannya, itu membuat kulitnya menjadi gosong terkena sengatan matahari setiap harinya.
Berbanding terbalik dengan Evan yang putih bersih, itu membuat Adi merasa cemburu pada Evan, apalagi Evan sering menggodanya dengan membandingkan kulit mereka berdua. Kekesalan Adi saat di godanya itu menjadi hiburan tersendiri bagi Evan saat di rumahnya yang sudah seperti neraka baginya selama ini.
Di tengah keseruan makan malam mereka yang diselingi canda tawa Evan dan Adi, tiba-tiba Rima datang. Ia datang untuk mengambil steak yang sedang di panaskan nya tadi di microwave.
"Minah, mana steak nya?" tanya Rima dengan nada dingin. Minah pun segera mengambil steak tersebut di microwave yang sudah di matikannya dan menyerahkan nya pada. Lalu ia pun pergi tanpa menyapa Evan sama sekali.
"Mbak Syahila baru dapat kerja di BUMN katanya," terang Minah tanpa di minta kepada Evan. Evan hanya tersenyum kecut mendengarnya, lalu kembali menikmati makan malam nya bersama Adi.
Evan sudah biasa di perlakukan begitu, bahkan dia tidak pernah di tawari makan bersama, dan tidurpun masih di kamar belakang, uang jajan sekolah nya dia cari sendiri dan sesekali Tama membagikan uang sakunya pada Evan jika dia mendapatkan proyek. Sedangkan kedua orang tuanya sangat jarang memberikan nya uang. Hanya jika sudah di ingat kan oleh Tama atau Syahila baru ayahnya akan memberikannya, itu pun pas-pasan. Evan tidak habis pikir kenapa dia masih di sebut benalu di keluarga ini, padahal dia tidak banyak menuntut apapun, di beri dia terima, jika tidakpun dia tidak berkomentar.
Selesai makan dia pun segera ke kamarnya untuk beristirahat. Dia segera merebahkan dirinya di kamar 2X3 meter, kecil dan pengap yang menjadi tempat istirahat nya. Dia duduk bersandar di atas kasur tanpa ranjang itu. Kamar Evan memang kecil, tapi Evan selalu merapikannya, sehingga terlihat bersih dan tidak berantakan walaupun isinya penuh dengan barang-barang milik Evan. Terutama buku, karena Evan memang gemar sekali membaca. Kali ini Evan pun menyempatkan untuk membaca buku di sela waktu istirahatnya.
(Kamar Sederhana Evan)
Tiba-tiba Tama datang. Dan berdiri di depan pintu kamar Evan, dia mengetuk pintu kamar Evan sebagai tanda kedatangannya. Evan segera menoleh kearah sumber suara dan menutup buku bacaannya.
"Lagi apa?" tanya Tama dari depan pintu kamarnya yang kebetulan terbuka.
"Nggak lagi apa-apa, mas. Cuman lagi santai aja," jawab Evan sambil meletakkan buku bacaannya di sampingnya.
"Eh, ikut mas Tama, yuk! Kita shoping bentar," ajaknya.
"Wah! Lagi dapat proyek besar, nih!" tebak Evan sumringah. Tama hanya tersenyum penuh arti.
Evan bangkit dari duduknya dan meletakkan bukunya kembali ke rak buku sederhana di samping ranjangnya. Ia segera menjangkau jaketnya dan mengikuti Tama berjalan menuju mobilnya. Mereka segera menyusuri jalanan ibu kota yang cukup ramai dan padat di malam hari itu. Lampu malam menghiasi
jalanan, tampak banyak pemuda-pemudi yang tengah menikmati malam mereka dengan berkumpul di taman kota sepenjang perjalanan mereka.
Tidak lama Evan dan Tama sampai di salah satu Mall yang cukup besar di kota tersebut, karena memang tempat tujuan mereka tidak jauh juga dari kediaman mereka.
Mereka segera menuju salah satu toko outline yang khusus menjual barang-barang branded. Awalnya Evan agak ragu untuk masuk. Dia takut jika Tama membelikannya barang yang mahal, dia takut ibunya akan marah nanti.
"Pilih pakaian yang cocok buat di bawak kuliah. Saran mas sih kemeja aja nanti bisa buat baju kamu kuliah. Ok?" ucap Tama santai seraya mengacungkan jempolnya. Evan hanya diam dengan wajah yang tampak ragu, sedangkan Tama telah duduk di salah satu kursi di toko tersebut seraya memainkan Handphone nya.
Evan menatap Tama sekali lagi, hingga salah satu pelayan toko datang menghampiri Evan dan menanyainya. Evan tampak mulai tersadar dari lamunannya. Sepertinya dia tidak bisa menolak, kakaknya itu pasti tidak akan mau jika dia menolak. Akhirnya Evan putuskan memilih barang dengan harga termurah saja.
Si pelayan turut membantu Evan dalam memilih pakaian yang akan di belinya dengan terus memperhatikan Evan lekat-lekat, dia cukup terpesona dengan wajah tampan Evan. Pembawaan Evan yang tenang selalu dapat memikat siapapun yang melihatnya, apa lagi jika sudah mengenalnya orang-orang akan tahu betapa dewasa dan bijak nya dia. Wajah blasterannya pun tidak kalah mempesona. Dengan postur tinggi, putih dan hidung mancungnya khas orang barat sana. Berbeda jauh jika di bandingkan Tama yang sangat oriental. Karna itu banyak yang mengira Evan bukanlah adik Tama.
Setelah selesai memilih pakaiannya, Evanpun segera menghampiri Tama.
"Udah, mas Tama," ucap Evan seraya menunjukkan pakaian yang dia pilih. 1 kemeja dan 1 celana jeans.
"Kok cuman segitu? Mas Tama bilang buat baju kuliah. Segitu mana cukup. Pilih 6 lagi kemeja, terus 3 lagi celana, 2 sepatu, trus juga kamu butuh jaket beli sekalian. Cepetan, mumpung mas lagi pegang duit. Jadi kamu bisa belanja sepuasnya malam ini," ucap Tama seraya tersenyum dan menepuk pelan lengan Evan, ia pun kembali pada handphone nya setelah itu.
Evan berfikir, dia merasa itu terlalu banyak, nanti ibu nya akan berfikir yang tidak-tidak lagi tentangnya.
"Mas Tama! Jangan kebanyakkan, nanti mami marah. Aku ambil baju 2 lagi aja, ya!" ucap Evan khawatir dan mulai tidak enak.
"Ambil kayak yang mas bilang tadi, atau nggak usah beli sekalian. Itu uang mas Tam-tam bukan uang mami. Jangan takut nanti biar mas Tam-Tam yang ngomong sama mami," ucap Tama masih dengan handphone nya.
Evan hanya diam, dia tampak masih meragu sebelum kembali memilih pakaian belanjaannya.
Tama memang kakak yang baik bagi Evan, walaupun dia tidak membela Evan langsung jika Evan di marahi ibunya atau ayahnya tapi dia selalu membantu menguatkan Evan. Mungkin dia merasa tidak enak dengan kedua orang tuanya. Tapi nurani nya sebagai seorang kakak tetap terpanggil untuk melindungi Evan jika Evan kesulitan.
Setelah puas memilih akhirnya Evan menemui Tama lagi.
"Udah!" ucap Evan kali ini dengan tumpukan pakaian pilihannya di kantong belanjaannya yang belum di bayar.Tama pun menoleh kearah Evan, dan segera bangkit seraya membayar belanjaan mereka.
Selesai berbelanja mereka makan bersama, dia memesan banyak makanan untuk Evan. Dia tau Evan tidak pernah di izin kan makan makanan yang enak kalo di rumah. Jadi dengan cara ini dia memuaskan Evan. Evan tidak berani terlalu tamak, dia selalu memakan makanan secukupnya, dia seakan tidak ingin terlalu banyak mengambil keuntungan dari Tama. Ada rasa segan dan malu di hatinya.
"Udah mas Tama. Aku kenyang, habis makan juga tadi." Ucap Evan yang hanya memilih minuman dan makanan ringan.
Setelah selesai merekapun pulang. Seperti biasa Evan akan jalan lewat samping mengitari rumah saat pulang. Saat di dapur dia melihat ibunya tengah di dapur. Dia tampak keheranan dengan belanjaan Evan yang banyak, dia menatap penuh curiga. Matanya mengekori Evan hingga masuk kamar.
Evan merasa tidak enak, dia merasa seperti pencuri yang kepergok saja. Dia menatap pakaian yang di belikan kakaknya. Dia tidak menginginkan itu jika dia harus di curigai begitu. Akhirnya sesampai di kamar pakaian itu ia geletakkan begitu saja di sudut kamarnya.
Tidak lama ibunya datang. Dia membuka pintu dengan kasar. Dan BRAK suara pintu di banting nya.
"Dari mana kamu, HAH?!" tanya Rima dengan tatapan penuh curiga di depan pintu kamar. Evan cukup kaget dengan kedatangan Rima yang tiba-tiba.
"Dari belanja sama mas Tama," ucap Evan jujur.
"Jangan bohong. Tama nggak ada di rumah sekarang! Dari mana kamu dapatin uang buat beli barang-barang mahal sebanyak ini? Kamu nyuri ya!?" tuding Rima tanpa segan. "Papa baru kehilangan uang 10 juta beberapa hari ini. Dan kamu tiba-tiba bawak barang banyak gini!" Rima terus mengintimidasi Evan penuh curiga. Evan terdiam, dia bingung kenapa dia di curigai. Padahal kerumah utama saja dia jarang, karena tidak di perbolehkan. Dan kenapa Tama tidak ada di rumah. Padahal tadi mereka pulang sama-sama. Apa mungkin dia pergi lagi setelah mengantarnya tadi.
Ahhh... Mana ibunya terlihat mulai cari gara-gara lagi. Dia tidak akan punya alibi jika Tama tidak ada. Jelas ibunya tidak akan menerima alasan apapun darinya, kecuali Tama sendiri yang menyampaikannya.
"Beneran, ma! Mas Tama yang beliin. Tadi kita baru pulang," jawab Evan mencoba mejelaskan walau dia yakin pasti tidak akan di gubris ibunya.
"Tama nggak ada di rumah," ucapnya tajam dan dengan sorot mata yang tampak tak bersahabat "Ngaku saja, kamu kan yang nyuri uang papa?!" tudingnya lagi tanpa henti. Evan terdiam dan memejamkan matanya sesaat. Ia tidak tau harus berkata apalagi sekarang. "Lihat ini, juga laptop baru, kan! Dari mana kamu punya uang buat beli laptop?!" ucap Rima mulai meninggi. Ibunya ini benar-benar sedang mencari-cari kesalahannya.
"Itu hadiah aku ikut olimpiade, Mi," ucap Evan jujur dan dengan nada agak melemah, karena dia tau pasti ibunya tidak akan percaya dengan ucapannya.
"Terlalu banyak hal yang kebetulan. Beli baju dari Tama, laptop dari sekolah. Kamu udah berani mencuri dan udah berani bohong juga ya sekarang! Emang kalo anak nggak bener kelakuannya slalu nggak bener. Lebih baik kamu ngaku kalo kamu mencuri uang papa, iya kan?!" Dengan menyebutnya anak tidak baik, itu sangat melukai hati Evan yang terdalam. Padahal dia tidak melakukan apapun selama ini. Dia selalu menurut dan patuh.
"Aku nggak nyuri!" tegas evan dengan tatapan tidak percaya. Dia mulai jengah selalu di sudut kan begini. "Ini benar-benar mas Tama yang beli tadi, dan semua barang-barang ini aku dapat dari kerja keras aku. Bukan nyuri," tegasnya sekali lagi.
Tidak lama Wisnu ayahnya datang.
"Ada apa ini?!" tanya ayahnya yang baru datang.
"Lihat! Kamu baru kehilangan uang dan dia baru beli banyak barang, Pah. Apa papa nggak merasa curiga?" hasut ibunya pada ayahnya. Wisnu membongkar barang belanjaan Evan. Dan benar saja, itu semua adalah barang branded yang tidak murah harganya. Mustahil Evan sanggup membelinya.
"Dari mana kamu dapetin semua ini?" tanya ayahnya yang ikutan menginterogasi nya.
"Baju dari mas Tama, kalo laptop dari sekolah," terang Evan lagi. Ayahnya membuka kantong belanjaan Evan yang isi nya pakaian mahal semua. Dan ayahnya juga membuka tas laptopnya yang masih baru karena memang jarang di pakainya. Sengaja di simpannya untuknya kuliah nanti.
ayahnya menatap Evan tajam, sulit bagi ayahnya percaya dengan ucapan Evan, yang mana ayahnya pun baru kehilangan uang. Itu membuat ayahnya semakin mencurigainya.
Dan...
PLAK...
Tamparan keras mendarat di wajahnya, Evan terdiam tidak berani menatap ayah dan ibunya.
Itu awalan kegilaan ayahnya.
Ayahnya terus menghajarnya meminta pengakuannya, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan jika mereka tidak percaya. Dia hanya bisa diam di hajar ayahnya. Dia di tendang, di cambuk dengan besi ujung ikat pinggang dan di tampar berkali-kali tanpa ampun dan tanpa bisa ia melindungi dirinya. Minah hanya bisa diam sambil menangis di sudut melihat Evan di hajar ayahnya. Evan yang kesakitan hanya bisa meringkuk menahan setiap tendangan dan pukulan ayahnya. Dia mencoba melindungi diri dengan menahan pukulan dan cambukan itu menggunakan telapak tangannya, tanpa berani menghentikannya. Ibunya seperti puas menyaksikan itu semua. Anak yang selama ini membuatnya sakit hati di hajar oleh suaminya secara membabi buta.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!