NovelToon NovelToon

CINTA DAN OBSESI

You Bitch!

Laluna melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Melewati lorong demi lorong, melewati pintu demi pintu. Ia tidak sabar ingin segera sampai di apartemen kekasihnya, Daniel.

Hari ini Luna telah kembali dari London, setelah melakukan pemotretan untuk sebuah brand baju ternama. Ia tidak sabar ingin bertemu Daniel, lelaki yang telah menjadi kekasihnya lebih dari tiga tahun.

Luna menekan passcode. Ia tahu kode akses apartement Daniel begitu pun sebaliknya. Senyum Luna tercetak saat pintu apartemen terbuka.

Ia melangkah pelan, sengaja ingin memberi kejutan pada kekasih tampannya itu. Namun, suara di kamar yang tertutup membuat Luna menghentikan langkah.

Suara desahan perempuan dan lelaki! Hati Luna terbakar. Namun ia tetap berusaha menenangkan diri. Ia berharap bukan Daniel!

"Oh Jane."

Luna menutup mulutnya. Itu suara Daniel. Dan Jane? itu nama sahabat baiknya. Air mata Luna menetes, rahangnya mengeras. Luna segera menghapusnya kasar.

Luna meraih gagang pintu, dengan sekali sentak, benda itu terbuka. Air mata Luna merebak seirama hatinya yang terbakar amarah membabi buta. Luna meraih vas bunga, dilemparnya benda itu asal saat melihat Daniel bersama sahabat baiknya dalam keadaan polos dan sedang menyatu di atas ranjang.

Daniel segera beranjak, berusaha menenangkan Luna. Sementara Jane hanya tertunduk.

"You *****!!!" erang Luna menunjuk Jane dan Daniel bergantian.

"Luna, im so sorry!" Daniel berusaha menarik gadis itu ke dalam pelukan namun Luna berontak.

"Kita putus!"

Luna berlari, meninggalkan apartement kekasihnya dengan airmata berderai. Tak peduli pada Daniel yang sedang memakai kembali pakaiannya untuk mengejar Luna.

Luna meraih ponsel, ia hanya butuh seseorang untuk diajak bicara saat ini.

"Papa ..." raung Luna setelah ayahnya mengangkat sambungan telepon. "Aku mau pulang."

...****************...

Giovanni menyandarkan tubuhnya di samping mobil mewah yang tadi ia kendarai. Lelaki itu hari ini ditugaskan oleh Tuan Rafli untuk menjemput putri kesayangannya di Bandara.

Gio sudah bekerja sebagai ajudan sekaligus supir pribadi Tuan Rafli sejak dua tahun yang lalu. Lelaki berperawakan tegap dan tinggi itu membuat Rafli tertarik menjadikannya ajudan pribadi.

Gio tidak mengenal Laluna, namun ia pernah mendengar, anak gadis kesayangan Tuan Rafli itu sudah tinggal di Amerika sejak ia lulus dari SMA. Dan saat ini ia hanya punya satu foto yang diberikan Tuan Rafli untuk memudahkannya mengenal gadis itu.

Gio beranjak menuju lobby bersiap menyambut kedatangan Nona muda saat didengarnya suara bahwa pesawat akan segera tiba. Seorang gadis melangkah anggun dengan kacamata hitam bertengger di antara mata dan hidungnya yang mancung.

Gio segera menghampiri gadis itu setelah ia rasa cocok dengan foto yang tadi diberikan oleh Tuan Rafli.

"Nona Luna." Gio mendekati gadis itu.

Luna membuka kacamatanya, sesaat Gio terpanah. Ia melihat gadis cantik dengan mata coklat kelam. Penampilan Luna modis, baju kausnya ketat menonjolkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rok yang ia kenakan super pendek, membuat siapa saja menelan ludah saat melihat kaki jenjangnya.

Rambutnya berwarna merah burgundry, panjang dan bergelombang dibagian bawah. Ada tato di atas dadanya yang sedikit terbuka. Hidungnya yang mancung berhias tindik. Gadis itu sempurna di mata siapa saja.

"Kamu Mas Gio?" tanya Luna tanpa menoleh, ia membiarkan Gio membawa koper sementara ia mulai berjalan di depan.

"Iya, Nona." sahut Gio singkat. Ia mengikuti langkah Luna yang teratur.

"Papa tadi udah kasih tau aku, kamu yang jemput aku." ujarnya lagi. Gio mengangguk.

Hening.

"Kok gak jawab?" tanya Luna, ia menghentikan langkah lalu berbalik.

"Iya, Nona."

"Kamu gak punya kata-kata lain apa?" ujar Luna kesal.

"Tidak, Nona." sahut Gio. Singkat.

Luna mendengus kesal. Saat ini ia sedang ingin berbicara sekedar mengusir rasa sedihnya karena patah hati. Tapi, supirnya ini bahkan tidak terlalu merespon dirinya.

Bahkan saat berada di mobil, Gio juga nampak fokus menyetir. Luna menatap Gio cukup lama dari belakang. Ia melihat Gio cukup tampan, apalagi tubuhnya juga tinggi dan atletis, kulitnya sawo matang. Namun setelah itu, ia membuang muka. Tidak mau terpesona dengan supirnya itu terlalu lama.

"Aw...." Luna berteriak sembari memegang perutnya. Gio segera menepikan mobil, lalu keluar dan membuka pintu belakang. Ia melihat Luna sudah setengah meringkuk di kursi mobil.

"Ada apa Nona?" tanya Gio khawatir.

"Perutku sakit. Kamu gak lihat?!" pekik Luna sambil terus memegangi perutnya.

"Saya antar ke rumah sakit, Nona."

Baru saja Gio hendak menutup pintu, Luna menarik lengannya.

"Gak usah. Tolong, kamu duduk disini. Aku cuma butuh dipeluk dan dielus perutnya." Luna menatap Gio dengan pandangan berkaca-kaca.

Gio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus bagaimana. Ia tidak ingin nanti dianggap lancang oleh Tuan besar. Tapi, Luna bahkan tidak melepaskan tangannya sampai sekarang.

Akhirnya dengan berat hati, Gio duduk di belakang bersama Luna. Ia membiarkan saja ketika Luna memeluknya dan meraih telapak tangan Gio, masuk ke dalam kausnya. Gio tersentak, ada rasa bergejolak saat Luna meletakkan satu tangan Gio pada perutnya yang sakit.

"Tolong usap."

Gio menarik nafas panjang lalu mulai mengusap perut rata dan halus itu perlahan. Luna memang sering mengalami sakit perut seperti ini. Kesibukannya sebagai model membuat ia sering lupa makan.

Selama ini, Daniel selalu memeluk dan mengelus perutnya saat sakit itu datang. Memang tidak lantas membuat sakit itu hilang, tapi ia merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Dan berangsur-angsur sakitnya akan mereda.

Luna memejamkan mata, mencoba merasakan usapan Gio yang menenangkan. Setelah sakitnya mereda, ia mengangkat wajahnya. Pandangan mereka bertemu untuk beberapa detik. Gio segera melepaskan pelukan dan juga menarik tangannya dari perut Luna.

"Sudah, Nona?" tanya Gio sambil mengalihkan matanya ke depan. Tidak mau menatap Luna terlalu lama.

"Ya...." jawab Luna pelan. Ia merasa ada yang aneh saat Gio menyentuhnya, lalu ketika mereka saling bersitatap.

Gio segera kembali ke kursi supir. Ia menyetir perlahan. Dilihatnya Luna sudah lebih baik. Namun, Gio merasa ada yang aneh dengan dirinya. Jantungnya masih saja berdegup kencang.

Gio menggeleng, berusaha mengusir semua perasaan abstrak yang datang tiba-tiba saat ini.

"Mas Gio sudah menikah?" tanya Luna memecah keheningan.

"Belum, Nona." sahut Gio tenang.

"Berapa usia Mas Gio?" tanya Luna lagi.

"29 tahun, Nona."

Hening.

Luna menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Tatapannya tampak menerawang jauh. Ia terkenang saat Daniel sedang bercinta dengan sahabat baiknya. Airmatanya mengalir. Namun Luna beruntung, setidaknya selama berpacaran dengan Daniel ia tidak kehilangan keperawanan. Meski Daniel berulang kali merayu, Luna tetap bertahan dengan pendiriannya.

Daniel hanya bisa menikmati bibir dan dadanya. Mungkin itulah alasan Daniel selingkuh. Luna menghapus airmatanya.

"Lelaki brengsek!" maki Luna tanpa sadar.

"Maaf, Nona?" tanya Gio ketika mendapati Luna mengumpat.

Luna menatap Gio galak.

"Nyetir aja, Mas. Aku lagi kesal!" tukas Luna sambil membuang muka.

Gio kembali fokus menyetir. Nona muda mungkin sedang dapat tamu bulanan. Jadi lebih banyak galak daripada manisnya. Begitu pikir Gio di dalam hati.

Papa Dan Ajudan Pribadinya

"Papaaa ..." Luna menghambur memeluk papa yang ternyata telah menunggu kedatangan gadis itu setibanya ia di rumah. Gio bahkan belum sempat membukakan pintu, karena Luna sudah lebih dulu turun dan berlari menuju ayahnya.

"Kamu baik-baik aja?" Pertanyaan itu keluar ketika papa melepas pelukan hangatnya untuk Luna.

Luna menggeleng, tampak raut sedih di mata indahnya. Papa dan Luna memang sangat dekat. Selama ini, Luna akan terbuka kepada Papa meski mereka tinggal berjauhan. Termasuk tentang hubungannya dengan Daniel, Papa juga tahu.

"Daniel selingkuh, pa. Dia lelaki jahat!" ujar Luna setelah sekian lama terdiam. Papa menghela nafas berat.

"Sudahlah sayang, bukannya dulu papa sudah melarangmu berpacaran dengan lelaki itu?" gumam Papa sedih. Ia sedih melihat anak gadisnya diselingkuhi.

Tuan Rafli Bachtiar, adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Aset kekayaannya tidak lagi bisa dihitung dengan angka biasa. Namun, Tuan Rafli harus menelan pil pahit saat istri tercintanya meninggal empat tahun yang lalu.

Tuan Rafli sendiri tidak mau lagi mencari istri. Ia memang memegang janji setia pada mendiang istri. Meski Laluna tidak melarang bila Papa ingin menikah lagi. Namun, Rafli teguh pada prinsipnya. Ia hanya ingin menjaga Luna setelah ditinggal mati istrinya.

"Eh, Papa hampir lupa, Gio, sini." Papa memanggil Gio yang sedang mengeluarkan koper milik Luna dari bagasi mobil.

"Iya Tuan." Gio mendekati Tuan Rafli.

"Kenalkan, ini Laluna anak saya. Luna, ini Giovanni, ajudan pribadi papa." Tuan Rafli memperkenalkan keduanya.

Luna dan Gio berjabat tangan, meski tadi mereka sudah saling tahu nama satu sama lain. Juga Gio telah mengusap perut anak Tuannya ini. Terkenang itu membuat Gio jadi sedikit salah tingkah.

"Dan mulai hari ini, Gio yang akan menemani kemana pun kamu melangkah. Gio yang akan mengantar kamu kemana-mana. Gio akan tinggal di rumah belakang, papa sudah mempersiapkannya." ujar Tuan Rafli dengan senyumnya yang penuh wibawa.

Baik Gio dan Luna, keduanya sama-sama tercengang. Gio selama ini adalah ajudan pribadi yang akan mengantar Tuan Rafli kemana pun bahkan ke luar kota sekali pun jika ia harus melakukan perjalanan bisnis.

Sementara Luna sudah berharap akan bisa sebebas saat ia di Amerika kemarin. Apalagi, saat ini Luna juga sedang dalam pembahasan serius dengan sebuah agensi model di Jakarta. Lewat email beberapa bulan lalu yang menawarkan ia untuk bekerja sama, baru ini Luna menerimanya.

"Tapi pa ..."

"Tidak ada bantahan, Luna. Papa tidak mau kamu salah langkah seperti kemarin. Apalagi sampai mengenal pria seperti Daniel lagi."

Luna lemas. Ia sudah membayangkan, hari-harinya akan dibayang-bayangi oleh lelaki bernama Gio ini.

"Mas Gio kok gak nolak sih?!" Luna mencak-mencak di atas tangga saat Gio mengikutinya untuk membawa koper.

"Memang saya bisa apa, Nona?" tanya Gio. Raut wajahnya nampak dingin.

"Nyebelin!" pekik Luna sambil membuka pintu kamar yang pagi tadi sudah dibersihkan oleh bik Nani.

Ia segera menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tengkurap sambil memukul-mukul bantal. Gio jadi tersenyum kecil melihat tingkah anak Tuannya itu.

"Saya permisi, Nona. Kopernya saya letakkan di samping lemari."

Tidak ada jawaban. Gio berbalik lalu berjalan meninggalkan kamar luas itu dengan Luna yang masih kesal setengah mati.

Saat hendak keluar, Tuan Rafli kembali memanggilnya. Gio segera mendekati pria itu.

"Gio, Aku percayakan kau untuk menjaga putriku. Jaga dia dari segala bentuk kehidupan liar yang selama ini dijalaninya di Amerika." ujar Tuan Rafli serius.

"Tapi Tuan, siapa yang nanti akan menjaga anda?" tanya Gio. Selama ini, Gio sudah sangat setia pada Tuan Rafli. Pria itu telah sangat baik padanya. Dan rasanya, Gio masih belum rela bila Tuannya harus di jaga oleh ajudan lain.

"Sudah ada, Asistenku di perusahaan. Dani. Kau tentu mengenalnya. Aku hanya percaya padamu untuk mengawasi Laluna." Sahut Tuan Rafli tegas.

Gio akhirnya mengangguk, ia akan menyanggupi apa pun perintah dari Tuan besar yang baik hati itu, termasuk menjaga putri kesayangannya, Nona Laluna.

"Tinggallah di rumah belakang. Kau tidak perlu kembali ke kontrakan lama mu. Aku memang sudah mempersiapkan rumah itu untukmu." Sambung Tuan Rafli lagi. Gio hanya mengangguk patuh.

Meski sudah sering masuk ke dalam rumah megah itu, Gio sama sekali tidak tahu bahwa Tuan Rafli juga telah membuat sebuah rumah minimalis di belakang, tak jauh dari rumah besarnya.

"Beristirahatlah dulu, Gio. Aku akan mengajak putriku bicara. Hari ini aku sengaja tidak masuk kantor untuk menemaninya. Itu artinya, kau harus libur juga, bukan?" Tuan Rafli tersenyum hangat. Gio membalasnya.

"Terima kasih, Tuan. Kalau begitu, saya permisi." Gio membungkuk sesaat lalu berjalan menuju rumah belakang.

sampai di sana, Gio melihat sebuah rumah minimalis bercat putih. Ia mendekat, membuka pintu dan menemukan tempat itu telah lengkap dengan perabotannya.

Gio tersenyum, Tuan Rafli sangat baik padanya. Gio melanjutkan langkah, berkeliling melihat seluruh ruangan. Hanya ada satu kamar yang cukup luas.

Ia masuk, menghempaskan tubuhnya di ranjang. Baru saja hendak menutup mata, ponselnya berdering.

Gio tersenyum melihat nama tunangannya tertera di sana.

"Iya Wi." sahut Gio saat suara Dewi terdengar riang menyapa.

"Mas Gio, aku kangen." ujar gadis itu. Gio tersenyum.

"Aku juga, tapi aku belum bisa kembali ke Bandung minggu ini."

Terdengar Dewi menghela nafas. Ia sudah rindu sekali pada kekasihnya itu. Sudah hampir tiga minggu mereka tidak bertemu.

"Hmmmmm, tapi minggu depan, Mas udah bisa pulang kan?" tanya Dewi penuh harap.

"Iya, udah kok Wi."

"Ya udah, mas baik-baik ya di sana. Jangan nakal dan selingkuh ya." ujar Dewi sebelum menutup sambungan telepon. Selalu seperti itu kalimat penutup dari calon istrinya itu.

"Memangnya aku mau nakal sama siapa, Wi." Gio terkekeh pelan.

Sambungan itu akhirnya terputus juga, bertepatan dengan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul empat sore.

Gio ingin menikmati suasana rumah barunya itu untuk beberapa jam ke depan. Ia mulai memejamkan mata. Merasakan semilir angin yang masuk celah jendela.

Sementara saat Gio mulai terbuai dengan tidurnya, Luna menatap Papa dengan sedikit kesal di kamarnya.

"Gio itu lelaki baik, dia pasti bisa jaga kamu. Papa sengaja minta dia selalu temani kamu kemana pun." ujar Papa lembut berusaha melunakkan hati anaknya.

"Papa, aku udah gede. Gak perlu ajudan atau supir. Aku bisa sendiri. Lagian, papa kan tau selama di Amerika aku baik-baik aja." Sungut Luna dengan tangan bersidekap di depan dada.

"Baik apanya Lun, kamu pikir papa gak tau kamu suka ke club malam. Kamu party gak jelas." sergah papa cepat. Luna terdiam. Dari mana papa tau semua itu?

Sial, ia kecolongan!

"Tapi .."

"Tidak ada bantahan. Papa hanya ingin kamu jadi anak baik." sanggah papa memotong kalimat protes yang belum sempat Luna selesaikan.

Luna manyun, kembali membenamkan kepalanya ke bantal. Papa hanya geleng kepala melihat anaknya itu.

Nona Muda Keras Kepala!

Gio terbangun saat mentari telah terbenam berganti cahaya bulan. Gio membuka mata, sekelilingnya nampak gelap. Tentu saja, karena ia belum menyalakan lampu. Gio berdiri, meraba sakelar lalu menghidupkan lampu. Ruangan itu terang seketika, namun ia terperanjat ketika dilihatnya Luna sudah duduk dengan manis di sofa kamarnya. Entah sejak kapan gadis itu masuk. Dan kenapa pula ia tidak terpikirkan menghidupkan lampu.

"Nona, kenapa ada disini?" tanya Gio dengan jantung yang rasanya sudah mau copot.

Luna bersidekap, ia hanya memakai tanktop berwarna pink terang. Tato di atas dadanya terpampang nyata, menyembul di salah satu dadanya yang padat. Gio mengalihkan pandangan, belum juga ia terkejut mendapati Luna yang telah duduk manis di kamarnya kini ia harus gugup pula melihat tato di atas dada gadis itu.

Gio menekan pelipis, ia ini lelaki normal. Mendapati perempuan cantik dan molek di dalam kamarmu, pasti sudah membuat otak jalan-jalan ke surga.

"Nona, bisakah kau keluar dulu?" tanya Gio tanpa mau melihat Nona Mudanya itu.

"Gak mau! dan coba lihat, apa Papa tidak salah pilih pengawal untukku? jam segini baru bangun." balas Luna dengan wajah ditekuk.

"Baiklah, maafkan aku Nona. Tapi bisakah kau menungguku di ruang tamu dahulu." pinta Gio lagi. Luna tetap tidak mau. Ia mantap di tempat duduknya.

"Antar aku jalan-jalan malam ini." perintahnya pada Gio yang masih mengharap ia segera pergi dari kamar lelaki itu.

"Baik Nona, aku akan mengantarmu. Tapi, aku mandi dulu dan sekarang tolong tunggulah diluar." ujar Gio lagi dengan wajah lelah.

"Gak mau, gak mau, gak mau!" Keras kepala Luna.

Gio menarik nafas panjang. Ia jadi kehabisan akal karena gadis itu. Akhirnya Gio membiarkan Luna melihatnya membuka baju. Luna menahan nafas saat melihat otot-otot di perut Gio juga dengan dada bidang yang pasti nyaman untuk bersandar.

Gio membiarkan Luna, ia juga sudah kehabisan akal untuk membujuk gadis itu pergi. Luna masih ternganga dengan pemandangan indah tak jauh darinya itu. Tanpa sadar ia jadi menelan ludahnya sendiri. Namun, saat Gio hendak membuka celana gadis itu berteriak.

"Mas Giiiooooo!!!" Ia menutup mata. "Mas Gio mesum!" Ia segera berlari, meninggalkan rumah Gio menuju rumahnya.

Gio hanya menggaruk kepala melihat kepergian Luna. Tadi ia sendiri yang memaksa ingin tetap berada di dalam kamar. Bahkan masih betah di sana saat Gio telah membuka bajunya. Lalu sekarang ia meneriakinya mesum.

"Nona Muda memang keras kepala. Yang mesum dia, bukan aku." rutuk Gio kesal. Ia segera melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan diri.

...****************...

Luna masih ingat betapa malunya ia tadi saat melihat tubuh indah lelaki bernama Gio. Ia duduk di dalam kamar, belum mengganti baju yang ia pakai. Lalu saat ia tak sengaja melihat tonjolan dari balik celana Gio, wajahnya jadi bersemu merah.

Ketukan pintu di kamar membuyarkan lamunan Luna. Ia segera membuka pintu kamar. Dilihatnya, Gio sudah berpakaian rapi, pakaian kasual khas lelaki macho masa kini.

"Ngapain mas Gio kesini?!" tanya Luna. Mode galaknya hidup lagi.

"Lho, tadi katanya mau jalan-jalan?" sahut Gio sambil menaikkan satu alisnya. Demi dewa dewi cinta, Luna bisa merasakan jantungnya berdebar keras mendapat tatapan maut itu.

"Oh iya, aku lupa. Tunggu di luar, aku ganti baju dulu." ujar Luna kemudian tanpa menutup pintu.

Gio menarik gagang pintu, menutupnya perlahan.

Suruh tunggu di luar tapi pintunya gak di tutup! Gio membatin kesal. Nanti dia juga yang akan dituduh mesum oleh gadis itu.

Wanita memang racun dunia. Pekik hati Gio kesal.

Gio bersandar di dinding tepat di samping pintu kamar Nona mudanya. Ia nampak memainkan ponsel. Saat terdengar suara gagang pintu, ia segera memasukkan benda itu ke saku celana.

"Ayo!" Luna meraih lengan Gio, menggandengnya tanpa ragu. Gio jadi bingung sendiri dengan tingkah anak Tuannya ini. Namun, saat Gio masih terpaku, Luna juga tersentak. Ia segera melepaskan gandengannya.

"Mas Gio, kenapa kita malah gandengan!" Ia mencak-mencak lagi.

"Nona kok yang gandeng aku." sergah Gio cepat, mencoba menyelamatkan harga dirinya sebagai pria setia.

"Udah ah, yuk jalan aku udah gak sabar lagi mau keliling Jakarta." sahut Luna lalu segera menuruni anak tangga.

Gio kesal setengah mati pada Nonanya itu. Ia sendiri yang meraih tangannya, tapi sekarang ia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Namun, Gio tetap menuruti semua kemauan anak Tuannya itu. Saat mereka telah berada di mobil, Nonanya kembali berulah.

"Stop!" Teriakan Luna membuat Gio segera menginjak rem.

"Ada apa lagi Nona?" tanya Gio menahan kesal dihati.

"Aku mau duduk di depan." Luna keluar dari mobil lalu memutari mobil dan duduk di samping Gio.

Gio memandang gadis cantik itu sekilas. Luna kembali mengenakan rok jeans pendek serta atasan kaus ketat yang lagi-lagi membentuk tubuhnya.

Gadis itu nampak tenang duduk di sampingnya. Gio mencoba fokus menyetir, ia berharap setelah ini tidak ada lagi tingkah aneh dari Nona Luna. Hari ini ia sudah cukup banyak mendapat kejutan spot jantung oleh Nona cantik itu.

"Aku mau ke mall."

Nampaknya Gio belum bisa bernafas lega, sebab setelah tadi keliling tidak jelas Luna akhirnya memutuskan untuk diantar ke mall terdekat yang artinya ia harus memutar balik laju mobil yang sudah sangat jauh.

Nona ini benar-benar menguras isi jantungku. Batin Gio

Sampainya di Mall, Luna belanja banyak sekali. Gio sudah seperti trolly berjalan dengan banyaknya kantung belanjaan. Ia juga menuruti kemana pun Nonanya itu pergi.

"Mas Gio tunggu ya." Luna segera berlari menuju stand makanan yang menjual sosis dan seefood bakar.

Luna memesan banyak makanan itu. Ia makan sepanjang jalan, sesekali ia menyuapi Gio yang sedang kerepotan membawa barang belanjaannya.

"Enak gak?" tanya Luna antusias. Gio mengangguk. Suasana diantara mereka jadi lebih menyenangkan. "Nih, makan lagi ya." Ia kembali menyuapi Gio bahkan sampai menuju parkir kendaraan.

Setelah meletakkan barang belanjaan di jok belakang mobil, Gio masuk ke dalam mobil menyusul Luna yang sudah lebih dulu masuk ke sana.

Ia tertegun melihat Luna yang sudah terpejam dengan kepala bersandar, sabuk pengamannya bahkan belum terpasang. Gio menggeleng gemas melihat Nona cantik itu.

Dengan hati-hati Gio memasangkan sabuk pengaman dan menurunkan sedikit posisi kursi.

"Kadang nyebelin, kadang sombong, kadang lucu." gumam Gio sambil tertawa kecil memandang Luna yang sudah pulas.

Ia kembali menghidupkan mesin mobil, membawa Nona muda kesayangan Tuan besar itu dengan hati-hati sampai di rumahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!