NovelToon NovelToon

Fated Wedding

Prolog

Hai, kenalin, namaku Kirana Ardiya Dharmawangsa, tapi orang-orang lebih kenal aku sebagai Chira. Memang nama dan panggilanku terkesan gak nyambung, tapi itu karena dulu namaku adalah Achiera Fortuna.

Teman-teman bahkan suka panggil aku cireng tuna gara-gara nama itu. Meski tidak pernah berani kuungkapkan, tetapi sejujurnya kini aku kadang rindu mendengar panggilan itu, hahahaa..

Aku tumbuh besar di keluarga super biasa, menjalani kehidupan super biasa, sekolah di sekolah biasa, berteman dengan orang-orang biasa, dan memimpikan hal-hal dramatis seperti yang biasa diimpikan wanita seumuranku. Sama sekali tidak ada yang istimewa dalam hidupku selama 20 tahun, selain aku harus bekerja sambilan sepulang sekolah sementara teman-temanku mungkin sudah beristirahat di rumah atau pergi nongkrong bareng.

Sebagai pecinta drama Korea, dulu aku suka membayangkan bisa menjalani kisah cinta mendebarkan dengan seorang idol Korea atau kisah ala Cinderella story antara aku yang miskin dengan seorang pria kaya raya yang super tampan. Kami menjalin kisah cinta diam-diam yang penuh air mata hingga akhirnya hubungan kami terbongkar dan semua wanita iri padaku. Sang pria rela kehilangan banyak hal demi mempertahankanku, tetapi kami akhirnya bisa hidup bahagia selamanya. Ugh! Sooo sweeeett!!!

Haaahh~ pasti menyenangkan sekali kalau itu bisa menjadi nyata, tapi sayangnya itu semua hanya DU-LU!! Karena sekarang aku sudah hidup sebagai sosok Kirana, menjadi istri seorang pria super lempeng bernama Aksa, dan memiliki sepupu ipar yang tak lain adalah artis idolaku sendiri. Ini semua gara-gara perjodohan tidak masuk akal yang dilakukan kakek-kakek kami, sampai omong kosong soal perjodohan jiwa.

Pernikahan ini sempat menjadi luka dalam hidupku karena aku harus mengalami banyak hal menyakitkan agar bisa beradaptasi dengan kondisi ini.

Kisahku bermula dari utusan Mami yang datang ke rumah sambil membawa lembar perjanjian antara Pak Dharmawangsa alias kakekku dan Pak Subrata alias kakek suamiku, beserta bukti tes DNA bahwa aku adalah keturunan dari keluarga Dharmawangsa.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa cucu perempuan pertama dari Pak Dharmawangsa dan cucu laki-laki pertama dari anak sulung Pak Subrata harus dinikahkan ketika kami sudah menginjak usia 21 tahun. Perjanjian pernikahan ini didasarkan pada ramalan jodoh terbaik oleh seorang ahli ramal dan harus dilaksanakan segera setelah hari ulang tahunku yang ke-21. Kami disebut sebagai jodoh jiwa dan pernikahan ini harus dilangsungkan demi mendapatkan keturunan terbaik serta mempertahankan kemakmuran kedua keluarga.

Awalnya aku sama sekali tidak percaya dan menolak keras semua omong kosong ini. Meskipun aku seharusnya senang karena dilamar oleh keluarga konglomerat, tetapi saat itu aku punya banyak mimpi dan rencana hidup yang ingin kucapai. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku, mencapai karir sebagai seorang psikolog anak, menjalani romansa mendebarkan ala drama Korea dan menikah dengan seorang pria yang aku cintai.

Pernikahan ini jelas menghancurkan semua rencana hidupku dan aku tidak bisa membayangkan kehidupan sebagai seorang istri konglomerat muda. Aku juga tidak bisa mempercayai hasil tes DNA yang mereka sodorkan karena saat itu aku sama sekali tidak mengenal nama Dharmawangsa.

Aku terus mendebat dan menentang permintaan mereka. Sampai akhirnya aku terpaksa menelan pil pahit kenyataan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

"Sudah diam Chira! Kamu terima saja perjodohan ini!!" bentak ayah setelah aku terus mendebat permintaan dari utusan Mami.

"Kok ayah ngomong gitu sih?! Kita emang miskin, tapi aku gak mau dijodohin sama orang yang aku gak kenal! Aku mau nikah sama orang yang aku cintai!" balasku tidak mau kalah.

"Cinta? Tahu apa kamu soal cinta?! Cinta itu omong kosong dan kita hidup harus realistis!"

"Sudah, Chira. Terima saja perjodohan ini. Kita sudah tidak punya pilihan lain," imbuh bunda dengan suara lirih. Aku masih ingat bagaimana saat itu bunda bahkan tidak berani menatap mataku dan hanya tertunduk sambil menangis.

"Tidak punya pilihan lain? Apa maksudnya?" tanyaku tidak mengerti.

Saat itu semua orang hanya terdiam dan tidak ada satupun yang berani menjawab pertanyaanku. Ayah dan bunda hanya tertunduk sedih, sementara Bu Gendhis tampak kecewa dengan perkembangan situasi ini, begitu juga dengan dua pengacara yang mendampinginya.

"Kenapa semua diam? Apa maksudnya kita sudah tidak punya pilihan lain, bunda?" tanyaku putus asa sambil berlutut dan menggenggam tangan bunda yang gemetar.

Bunda saat itu menangis sedih dan hanya mengatakan, "Maafkan kami, Chira, tapi saat ini kondisi keluarga kami sedang sulit."

"Kami? Bukan kami, tapi kita bunda. Kalau bunda bilang kami, berarti Chira gak termasuk. Chira kan masih anak bunda," balasku putus asa. Aku sudah merasa ada yang salah dalam situasi ini, tetapi aku sama sekali tidak tahu apa yang salah.

"Kami sudah menerima uang tebusan dari mereka. Kamu harus ikut mereka karena uang tebusan itu sudah ayah gunakan untuk melunasi semua hutang keluarga," ayah mengatakan hal ini dengan suara dingin dan datar.

Seketika tangan dan kakiku terasa lemas. Aku pun duduk terpaku di bawah kaki bunda sambil menatap kosong tangan bunda. Aku masih tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Lagipula kata-kata mereka benar. Kamu memang bukan anak kami. Ayah dan bunda mengambilmu dari rumah sakit ketika kamu masih bayi, tetapi kami tidak pernah berniat jahat. Kami hanya ingin membesarkan seorang anak," terang ayah dengan suara bergetar.

Seketika tangisanku pun pecah dan aku masih ingat bagaimana aku berteriak histeris setelah mendengar kalimat ayah. Bunda berusaha menenangkanku, tetapi aku terlanjur histeris dan tidak mampu mengendalikan diri.

Tiba-tiba aku dibekap oleh seorang pria bertangan kekar dan setelah itu aku tidak sadarkan diri.

Saat tersadar aku sudah berada di ruang perawatan rumah sakit dengan jarum infus tertancap di tanganku.

Samar-samar aku mendengar seorang wanita mengatakan, "Non Kirana sudah bangun? Iya, benar. Cepat panggil dokter!"

Aku tidak tahu itu suara siapa, tetapi aku jelas dengar kalau ia memanggilku Kirana.

Tiba-tiba kalimat ayah kembali terngiang dan aku bisa merasakan mataku mulai basah dengan air mata. Aku mulai menangis sejadi-jadinya, tanpa mempedulikan orang lain di ruangan itu. Kepalaku masih terasa sakit luar biasa, tetapi sesak di dadaku jauh lebih terasa menyakitkan. Aku bahkan mulai kesulitan bernafas dan badanku mulai demam tinggi.

Selama berhari-hari aku hanya menangis dan tubuhku mulai menolak makanan. Aku pun didiagnosa dengan serangkaian penyakit akibat trauma dan harus dirawat selama beberapa hari agar bisa pulih dari kondisiku saat itu.

Aku masih ingat betapa histerisnya aku saat semua orang yang belum pernah aku temui terus memanggilku dengan sebutan Nona Kirana.

"AKU CHIRA!! AKU BUKAN KIRANA!! AKU CHIRA!! AKU ACHIERA FORTUNA! KALIAN SALAH ORANG!!" bentak-ku berulang kali setiap ada yang memanggil aku Kirana.

Sampai orang itu datang menjenguk pada suatu hari dan mengatakan hal yang sangat menusuk hatiku. Ya, dia adalah suamiku, pria super lempeng bernama Danadyaksa Subrata.

Saat itu pun ia datang dengan ekspresi dan tatapan dingin. Kesan pertamaku padanya tidak terlalu istimewa karena secara fisik dia bukan tipe kesukaanku. Tubuhnya tinggi dan tampak kerempeng, rambutnya ditata rapi menggunakan pomade, dan kulitnya putih bersih seperti porselen. Pokoknya berbeda jauh dengan tipe pria kesukaanku yang kekar berotot dan kulitnya sedikit kecoklatan dengan kesan maskulin.

Meski begitu aku bisa merasakan kalau dia berbeda dari orang pada umumnya. Jika biasanya orang lain mencoba bersikap ramah di pertemuan pertama, pria ini malah memberi kesan bosan bahkan sedikit meremehkan.

"Jadi kamu yang namanya Kirana?" tanya Aksa dingin, setelah duduk di kursi tamu dan melipat kedua tangan di depan dadanya.

Pertanyaan Aksa jelas langsung memancing amarahku dan akupun membalas dengan suara histeris seperti biasa, "SUDAH BERAPA KALI AKU BILANG! AKU INI CHIRA!! AKU BUKAN KIRANA!!"

Tidak seperti orang-orang lain yang langsung ketakutan melihat reaksiku, Aksa malah menghela nafas dan menunjukkan gestur seakan ia sedang bosan. Sesaat kami hanya saling berdiam diri sampai akhirnya Aksa kembali menatapku dan bertanya dengan suara dingin, "Kamu mau kayak gini sampai kapan?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu mau bertingkah kayak orang gila dan bersikap seperti pengecut begini sampai kapan?" tanya Aksa dingin sambil menatap tajam kedua mataku.

Saat itu aku sama sekali tidak bisa menjawab kata-katanya dan hanya bisa menangis dalam diam. Meski kata-katanya menyakitkan, tetapi saat itu Aksa menyadarkanku kalau aku memang bersikap pengecut dan sudah membuat orang-orang takut dengan histeriaku.

Selama ini aku selalu berprinsip untuk terus pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup. Aku bahkan sering memotivasi teman-temanku dengan mengatakan, "Hidup memang harus ada masalah baru bisa disebut hidup. Pokoknya ada masalah, cari solusi, ada masalah, cari solusi. Gak perlu pusing-pusing."

Perkataan Aksa mengingatkanku pada kata-kataku sendiri dan aku pun langsung merasa tertampar. Berhari-hari aku menderita di rumah sakit hanya karena aku berusaha menolak kenyataan menyakitkan. Aku sudah menyusahkan banyak orang, tetapi malah terus-menerus membuat mereka merasa bersalah dengan tingkah gilaku.

Aku sama sekali tidak berani menatap Aksa dan mencoba menyembunyikan air mataku dengan membelakangi Aksa.

"Perjodohan ini memang menyebalkan, tetapi nasi sudah jadi bubur. Kita harus pintar-pintar cari cara untuk menikmatinya. Kamu masih punya waktu tiga bulan sebelum hari pernikahan kita. Selesaikan sendiri masalahmu dan berhentilah jadi pengecut," ucap Aksa dingin kala itu dan setelahnya ia langsung pergi tanpa berpamitan.

Sepeninggal Aksa aku hanya terus menangis selama berjam-jam, tetapi saat itu aku sudah tidak lagi menangis karena teringat kata-kata ayah. Aku mulai menangis karena menyesali perbuatan dan tingkah gilaku selama di rumah sakit.

Saat itu aku memang masih belum bisa menyadari betapa aku memang membutuhkan Aksa dalam hidupku. Kami harus melalui banyak masalah sampai akhirnya kami bisa menyadari kami adalah sumber kebahagiaan untuk satu sama lain, menyadari bahwa Aksa memang tercipta untukku dan aku tercipta untuk Aksa.

Ini bukan kisah cinta yang sempurna, tetapi aku ingin membagikan kisah ini bagi siapapun yang masih berusaha untuk bahagia.

Hidup Baru, Rumah Baru

Sudah satu minggu berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Aksa di rumah sakit. Aku sama sekali tidak mendengar kabar apapun darinya dan kami juga tidak punya kontak satu sama lain.

Setelah tiga minggu menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya aku diizinkan keluar dan melanjutkan perawatan di rumah.

Ah iya, rumah, kata ini sekarang jadi terasa berat dan menyayat hatiku karena aku bahkan tidak tahu harus pulang ke mana, karena rumah yang selama ini aku kenal sudah bukan lagi rumah untukku. Aku tidak mungkin bisa pulang ke rumah itu karena sepertinya mereka memang sudah menjualku ke keluarga Subrata.

Selama aku dirawat, ayah-bunda sama sekali tidak datang menjenguk. Rasanya sakit sekali kalau mengingat kenyataan bahwa mereka bukanlah orangtua kandungku, bahwa mereka lebih pilih menerima uang kompensasi daripada mempertahankanku, dan bahwa mereka tidak pernah muncul lagi di hadapanku sejak hari itu. Tidak ada kata maaf dan tidak ada penjelasan apapun, mereka hanya menghilang begitu saja.

Tanpa sadar air mata kembali menetes dari kedua mataku dan aku pun mulai menangis lagi, tetapi kali ini aku cepat-cepat menghapusnya dan berusaha menenangkan diri sebelum ada orang yang datang untuk menjemputku.

"Udah siap pulang?" ucap seorang pria dengan suara berat dan nada dingin yang khas.

Aku sama sekali tidak menyangka kalau Aksa akan datang menjemputku. Hari ini dia mengenakan setelan jas biru tua yang sangat keren. Dia jadi terkesan jauh lebih dewasa dan jantan dibanding saat kami pertama kali bertemu.

"Sudah," jawabku singkat. Aku sempat melihat dia menatapku dingin dan entah kenapa tatapan itu membuatku jadi auto-ciut. Rasanya seperti aku ketahuan nyontek saat ujian dan bersiap kena marah kepala sekolah.

"Ayo pulang," ucapnya singkat dan langsung berjalan keluar mendahuluiku.

"Eh, ngg anu..." aku berniat memanggil namanya, tetapi saat itu aku baru ingat kalau dia belum memperkenalkan dirinya. Jadi aku tidak tahu harus memanggil dia siapa.

"Anu... maaf permisi," ucapku sambil menepuk punggungnya.

Ia pun langsung berbalik dan menatapku dingin, sambil berkata, "Aksa."

"Hah?" aku bingung mendengar jawabannya.

Kupikir dia typo mau bilang apa jadi aksa, tapi kemudian dia menegaskan, "Namaku Aksa, bukan anu."

Ooo, namanya Aksa, batinku dalam hati.

Kalau di kondisi normal aku pasti sudah ngakak dan menganggap ini sebagai kejadian konyol yang lucu, tapi sikap Aksa yang dingin dan kaku justru membuatku jadi canggung.

"Ngg.. Aksa, kita gak tunggu Genus dulu?"

"Genus? Siapa?"

"Ngg.. kemarin sama Pak... duh siapa ya namanya," gumamku bingung karena lupa dengan nama bapak-bapak yang kemarin datang dan mengantarkan Genus.

"Pak Hardi," tebak Aksa singkat masih dengan suara dan ekspresi dingin yang sama.

"Ah, iya. Pak Hardi. Kemarin aku dikasih asisten pribadi sama Pak Hardi. Namanya Genus. Tapi dia belum datang, apa kita gak tunggu dia dulu?"

Sesaat Aksa hanya menatapku dingin sambil mendengus kesal, "Asistenmu sudah di rumah."

"Oh, begitu," balasku lirih.

Setelah itu Aksa langsung berjalan mendahuluiku dan aku pun mengikutinya dari belakang. Langkah kakinya sangat cepat dan jangkauan langkahnya juga panjang karena dia sangat tinggi. Aku jadi harus sedikit berlari supaya tidak ketinggalan.

Kami langsung ke lobi rumah sakit dan tiga sedan mewah sudah berjajar rapi di depan pintu masuk utama. Dua orang pria bertubuh kekar dan berjas hitam sudah membukakan pintu mobil urutan tengah untuk kami. Aksa langsung masuk dari pintu sebelah kiri, sementara aku masuk dari pintu sebelah kanan.

"Ke rumah utama," ucap Aksa singkat dan sang sopir langsung menjawab, "Baik, Tuan muda."

Woaaahh.. gilaaa, panggilannya tuan muda, batinku heboh saat itu. Selama ini aku hanya dengar panggilan itu di drama-drama Korea, tapi sekarang aku mendengarnya langsung dan orang yang dipanggil tuan muda adalah calon suamiku!! Wagelaseehh~

Tanpa sadar aku jadi senyum-senyum sendiri karena membayangkan diriku sebagai pemeran utama wanita dalam drama romantis. Berbagai adegan mendebarkan pun mulai terlintas dalam benakku, tetapi jelas bukan Aksa yang jadi pemeran utama pria, melainkan Devan, artis top idolaku. Hihihihiii...

Aku sama sekali tidak sadar kalau aku sudah terlalu hanyut dalam imajinasiku sampai aku mendengar Aksa berbicara lewat telepon, "Suruh psikolog dan psikiater datang ke rumah untuk memeriksa Kirana."

WHAT?!!

"Ke.. kenapa kamu suruh psikolog dan psikiater memeriksaku di rumah?" tanyaku gugup pada Aksa.

Aksa melirikku tajam, sebelum akhirnya ia menghela nafas sambil bergumam, "Haaahh~ orang stres memang beda."

Apa?! Orang stres kamu bilang?!!! Grrrrrhh!!! Aku pun hanya berani uring-uringan sendiri dalam hati, tanpa bisa protes sedikitpun pada Aksa.

Aku dan Aksa sama sekali tidak mengobrol di mobil. Selama perjalanan Aksa terus-terusan sibuk sendiri dengan ponselnya dan aku juga jadi malas berbicara dengan pria ini gara-gara masalah tadi. Tapi melihat Aksa sibuk dengan ponselnya, aku jadi baru sadar kalau selama di rumah sakit aku sama sekali tidak memegang ponsel. Ponselku ke mana ya? Hmm..

Meski penasaran, tetapi aku memilih diam dan hanya berpikir sendiri, mencoba mengingat-ingat di mana aku terakhir memegang ponsel. Saat ini di dalam mobil hanya ada aku, Aksa, dan seorang sopir. Sopir ini jelas tidak mungkin tahu keberadaan ponselku dan Aksa pasti tidak peduli dengan hal ini. Sekarang moodku jadi semakin jelek dan aku benar-benar ingin cepat menjauh dari pria menyebalkan satu ini!!

Setelah sekitar 30 menit perjalanan, mobil yang kami tumpangi masuk melewati gerbang The Great House!! Rumah paling megah dan mewah di kota ini!

Kemewahan dan kemegahan The Great House sudah sangat terkenal, bahkan di kalangan orang biasa sepertiku rumah ini sering kami jadikan bahan imajinasi dan lelucon saking populernya. Kami suka berebut mengaku-aku kalau rumah ini adalah rumah kami dan tidak jarang kami juga membayangkan hidup ala keluarga kerajaan di dalam rumah ini.

Tiba-tiba lelucon lama itu jadi terasa menyedihkan saat aku menyadari kalau pemilik The Great House adalah pria menyebalkan di sebelahku. Sementara dulu kami hanya mampu membayangkan kehidupan mewah di dalam rumah ini, Aksa sudah tinggal dan menikmati segala kemewahan di dalamnya. Miris...

Aku pun jadi menghela nafas panjang karena menyadari kehidupanku yang sekarang sudah jauh berbeda dari kehidupanku yang dulu. Orang-orang di sini terus memanggilku dengan sebutan Nona Kirana dan aku harus membiasakan diri dengan panggilan itu.

Sepertinya tidak akan ada lagi yang bakal manggil aku cireng tuna, batinku sambil tersenyum pahit. Meski dulu aku benci teman-teman memanggilku seperti itu, tapi entah kenapa sekarang aku jadi rindu. Huuufhh~

"Selamat datang, Tuan dan Nona muda," ucap deretan pelayan yang menyambut kami secara serentak. Aku melihat Genus dalam deretan para pelayan itu dan langsung melambaikan tangan sambil tersenyum heboh padanya, tetapi Genus hanya membalas dengan senyuman dan sikap hormat yang sangat formal.

Melihat reaksi Genus aku jadi menyadari satu lagi hal baru, sepertinya aku tidak akan bisa mendapat teman di rumah ini. Sikap hormat para pelayan dan pengawal pada Aksa seakan menegaskan perbedaan status sosial di rumah ini.

Andai aku benar anak ayah dan bunda, mungkin saat ini status sosialku jauh lebih rendah dari mereka semua. Aku dulu hanya seorang mahasiswi biasa yang bekerja serabutan di rumah makan dekat rumah demi tambahan uang jajan. Ayah hanya memiliki bengkel motor kecil, sementara bunda bekerja sebagai tukang masak di rumah makan tempat aku kerja serabutan.

Ayah bahkan tidak pernah mengenakan jas seperti para pengawal Aksa, apalagi naik mobil mewah dan menginjakkan kaki di rumah semegah ini. Pakaian terbaik kami sekeluarga hanya tiga setelan batik sutra palsu yang dijahit sendiri oleh bunda, sementara para pelayan di sini mengenakan kemeja dan seragam rapi berbahan halus.

Haaahhh~ saat ini aku harusnya sangat berbahagia karena sudah lepas dari jerat kemiskinan, tetapi kenapa rasanya justru sangat menyesakkan? Kalau pun ini hanya mimpi, aku ingin cepat terbangun dari mimpi ini dan memeluk ayah-bunda erat-erat. Mengatakan bahwa aku sangat mencintai mereka dan aku ingin terus bisa bersama mereka.

Ayah, bunda, Chira kangen...

...***...

The Great House

Aku mengikuti Aksa berjalan masuk ke dalam rumah dan saat aku melihat isi rumah itu mulutku tidak tahan untuk bergumam kagum, "Woaaaah.. mewah banget."

Warna putih, hitam dan emas mendominasi seluruh sudut rumah bernuansa klasik minimalis ini. Seluruh lantainya menggunakan marmer dengan guratan emas yang terlihat acak dan alami. Sejauh mata memandang semua barang di tempat ini tampak sangat mewah dan elegan. Semuanya tampak bersih mengkilap dan tidak ada satupun area yang berantakan.

Aku terlalu sibuk mengamati ruangan ini, sampai tidak sadar kalau Aksa sudah berhenti berjalan dan menghadap ke arahku.

"Aduh!" ucapku spontan saat tiba-tiba aku menabrak tubuh Aksa. "Eh, ma.. maaf. Maaf," aku pun auto gugup dan malu, tetapi ekspresi Aksa sama sekali tidak berubah. Tetap dingin dan tenang seperti langit malam tak berbintang... tsaaah~

"Mulai hari ini kamu akan tinggal di sini. Kalau butuh apa-apa langsung sampaikan ke asisten pribadimu. Soal aturan di rumah ini juga dia yang akan menjelaskan padamu. Seharusnya tidak ada pertanyaan, kalau begitu aku pergi dulu," terang Aksa singkat, jelas dan padat. Sepertinya baru kali ini aku mendengar dia bicara lebih dari dua kalimat.

"Kamu mau pergi ke mana?" tanyaku spontan saat Aksa berjalan kembali ke arah pintu keluar.

"Bekerja," jawabnya singkat sambil menatapku tajam.

"Oh, se.. selamat bekerja kalau begitu. Hati-hati di jalan," ucapku gugup sambil menunduk memberi hormat seperti para pelayan lain, tetapi tiba-tiba Aksa mendorong keningku sampai kepalaku mendongak menghadap wajahnya.

"Jangan pernah memberi hormat seperti itu padaku. Kamu calon istriku, bukan pelayanku," ucap Aksa dingin dan tajam. Ia sempat diam sesaat dan terus menatapku tajam, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.

Sesaat aku sempat merasa sepertinya Aksa membenciku. Tatapannya barusan, jelas bukan sekadar tatapan dingin. Apa aku sudah membuatnya risih?

"Nona, mari saya antar berkeliling rumah," ucap Genus sopan dengan senyum formal seperti petugas resepsionis hotel.

Hari itu aku diantar Genus melihat seluruh area rumah ini dan mengenali setiap fasilitas yang ada. Aku benar-benar tercengang dan tidak bisa berhenti terkagum-kagum dengan semua yang aku lihat karena semuanya sangat mevvaahh!!

Tidak ada satupun tempat yang tampak kotor apalagi berantakan. Semua tertata rapi seperti tidak pernah disentuh sama sekali.

Sampai sebelum ini, rumah terbagus yang pernah kulihat adalah rumah Rianti. Rumah itu berada di sebuah perumahan cluster elit dan bergaya minimalis modern. Dulu aku berpikir pasti akan sangat menyenangkan kalau bisa tinggal di rumah sebagus itu, tetapi nyatanya sekarang aku malah tinggal di rumah ini. Rumah yang bahkan jauuuuuhh lebih bagus dan lebih besar daripada hotel bintang dua yang pernah aku datangi.

Saat mendekati jam makan siang, Genus mengantarku ke meja makan dan seorang pelayan wanita berdiri di satu sisi meja dengan troli makanan di sampingnya.

"Silahkan duduk, Nona," ucap Genus sopan sambil menarik kursi untukku. Setelah itu ia duduk di kursi lain dan dengan isyarat tangan meminta pelayan wanita itu untuk mulai menyajikan makanan.

Makanan pertama yang dihidangkan adalah semangkuk sup sayur dengan bola-bola daging ayam. Sebenarnya aku sempat bingung karena pelayan itu tidak menghidangkan nasi bersama sup, tapi aku memilih untuk diam dan hanya berkomentar dalam hati. Aku mana kenyang kalau hanya makan semangkuk kecil seperti ini, batinku menggerutu.

Meskipun porsinya tidak membuatku puas, tetapi perutku tetap langsung bereaksi saat melihat makanan itu. Seharian ini aku benar-benar lelah berkeliling rumah. Entah sudah berapa jam kami berkeliling dan Genus bilang nanti kami masih harus lanjut melihat ke area luar ruangan.

Aku sudah akan mengangkat sendok, saat Genus tiba-tiba menahan tanganku sambil berkata, "Tunggu dulu, Nona. Anda harus melihat cara saya makan. Ini adalah aturan dan tata cara dasar di rumah ini, jadi anda harus bisa menguasainya."

"O..ooh. Oke," balasku canggung. Aku pun menuruti Genus dan mencoba berkonsentrasi mendengarkan semua arahannya. Tidak boleh ada suara saat mengunyah, tidak boleh berbicara sambil mengunyah, sendok dan alat makan tidak boleh menimbulkan suara, tidak boleh makan mendahului orang yang duduk di kursi utama, tidak boleh... tidak boleeeh.. dan tidaaak boleh lainnya... huft!

Setelah sop habis, pelayan wanita tadi kembali lagi dengan sepiring ayam panggang, kentang tumbuk, sayur tumis, dan saus berwarna kecoklatan yang ditaruh di suatu tempat mirip lampu Aladdin. Kali ini pun aku harus mendengarkan banyak arahan dari Genus dan mengikuti cara Genus makan.

Rasanya sangat aneh harus makan menggunakan pisau dan garpu, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain mematuhi dan mengingat-ingat semua arahan Genus. Sesaat pikiranku terasa kosong dan aku jadi teringat momen makan malam bersama ayah-bunda. Kami bertiga biasanya makan di meja lipat depan televisi. Ayah suka makan sambil menonton acara berita dan kami sering spontan bersahutan mengomentari isi berita.

Lauk dan makanan yang kami makan memang tidak semewah di rumah ini. Sering kali kami hanya makan nasi dan sayur tumis tanpa lauk apapun, tapi aku bisa bebas mengambil nasi, menambah lauk, dan makan sepuasnya sampai kenyang. Aku sama sekali tidak menyangka kalau hal seperti itu bisa terasa istimewa saat ini.

Tanpa sadar aku jadi menghela nafas panjang dan Genus langsung menghentikan penjelasannya.

"Apa anda mau istirahat dulu, Nona?"

"Hah? Oh tidak, tidak apa-apa. Lanjutkan saja Genus," jawabku sungkan. Meski lelah, aku harus tetap bertahan dan berusaha sebisaku. Sekarang tempat ini adalah rumahku dan aku juga sudah tidak punya keluarga lagi.

Eh?! O iya, kenapa aku tidak pernah dengar soal keluarga Dharmawangsa, ya? Apa masih ada anggota keluargaku yang hidup dan bisa aku temui? Hmm.. nanti coba aku tanya Aksa deh, batinku senang.

Setelah selesai menghabiskan makanan penutup, Genus menjelaskan banyak aturan lain yang harus aku lakukan setiap hari. Seperti bangun jam 5 dan berdandan rapi sebelum waktu sarapan yaitu jam 6.45 pagi, minum teh dan menikmati cemilan di sore hari, dan makan malam pada pukul 6.45 petang. Selain itu aku juga masih harus mengikuti banyak kelas keterampilan khusus sebelum acara pernikahan kami diselenggarakan.

"Genus, seharusnya aku masih kuliah. Kalau jadwalnya sepadat itu, kira-kira kapan aku bisa mulai kuliah lagi?" tanyaku di sela-sela penjelasan Genus tentang semua jadwalku.

"Anda akan mulai kuliah semester depan. Sekretaris tuan muda sudah mengatur perizinan anda," terang Genus singkat.

"Hah?! Semester depan?! Berarti aku harus ngulang mata kuliah dan mundur dong lulusnya?!" tanyaku terkejut.

"Tuan muda bisa mengatur kalau Nona mau kuliah dari rumah, sehingga anda bisa mengejar ketinggalan satu semester ini dengan lebih cepat," balas Genus tenang.

"Hah?! Kuliah di rumah? Ngg.. gak usah deh. Makasih," aku mendadak gugup membayangkan harus menghabiskan waktu terus-terusan di rumah ini tanpa bisa keluar rumah dan bertemu teman-temanku.

"Apakah Nona ada pertanyaan lain?"

"Tidak, tidak ada," jawabku gugup.

"Baiklah, kalau begitu mari kita lanjutkan jalan-jalannya," ajak Genus sopan.

Aku pun mengikuti Genus berkeliling di area luar rumah utama. Ada beberapa paviliun untuk tamu dan beberapa paviliun lain dengan fungsi berbeda-beda. Setelah seharian aku menghabiskan waktu dengan Genus, aku baru menyadari kalau wanita ini tidak banyak minum dan tidak mudah haus walaupun terus-menerus berbicara tanpa henti.

Sejujurnya aku mulai bosan dan sudah tidak bisa berkonsentrasi mendengar penjelasan Genus. Semakin aku dengar, semakin banyak kenangan yang muncul hingga tanpa sadar aku pun jadi terus-terusan membandingkan kehidupan lamaku dengan segala hal yang ada di rumah ini.

Hari-hariku pun mulai dipenuhi dengan pelajaran soal tata krama, kedisiplinan, dan berbagai aturan dalam keluarga ini. Aku juga harus mengikuti kelas fine dining, kelas modelling, dan berbagai kelas lainnya.

Hiks... capeee~ Ini mau jadi istri orang apa mau jadi Miss Universe sih? huhuhuuu...

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!