Setelah masa orientasi penerimaan mahasiswa baru yang menguras waktu, tenaga, pikiran dan perasaan selesai, akhirnya hari ini kegiatan belajar mengajar di kampus dimulai.
Persiapan yang dilakukan harus semaksimal mungkin, buku-buku referensi harus lengkap, alat tulis jangan sampai ada yang ketinggalan. Harus berangkat 1 jam sebelum jam perkuliahan dimulai, dan harus stand by dikelas 30 menit sebelum kelas dimulai.
"Hahahaha."
Naraya tertawa tertahan jika mengingat ia harus menjadi mahasiswi yang baik dan teladan. Disela-sela perjalanannya menuju kelas dia memindai cowok-cowok tampan yang masuk kriterianya.
Tapi ternyata nihil, baginya cowok-cowok seangkatannya ini sangat culun dan kuper.
"Iew."
Naraya lagi-lagi bergumam, meremehkan orang-orang lain. Naraya Kohler adalah seorang gadis berparas cantik dengan rambut pajang, mata berwarna coklat, hidung mancung, dan bibir tipis. Kecantikan yang sungguh paripurna, dengan porsi tubuh yang pas dari ujung kepala sampai keujung kaki. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona.
Setidaknya sebelum Naraya membuka mulut, orang-orang akan tetap mengaguminya. Karena setelah dia membuka mulutnya yang keluar adalah kebencian, cacian, makian dan hinaan.
Dengan sifat yang seperti itu Naraya hanya mempunyai satu teman wanita yaitu Selena, sejak mereka duduk dibangku SMA hingga kini persahabatan mereka tetap terjalin.
Siapapun yang melihat Naraya dan Selena akan mengatakan bawah mereka memiliki sifat yang tidak jauh berbeda. Bisa dibilang mereka itu bak pinang dibelah dua. Mulai dari penampilan, sifat, karakter, kepribadian dan semuanya mereka sangat mirip.
"Hoi mata lo jelalatan juga ya."
Selena menepuk pelan bahu Naraya seraya mengiringi langkahnya menuju kelas.
"OMG doggy! ngagetin tau nggak!"
Naraya bergumam sebal, menjawab dengan lirih nyaris tak terdengar oleh Selena. Jangan sampai ada orang lain yang mendengar umpatannya, begitulah pikir Naraya.
Pasalnya Naraya sudah bertekad akan mengubah kebiasaan buruknya berkata kasar didepan umum. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Dengan mengatakan kata-kata yang baik, yang tidak menyakiti orang lain.
Menurut Naraya sudah cukup semasa kecil hingga SMA dia menjadi urakan. Diperkuliahan ini dia akan berubah, menjadi lebih dewasa dan menjadi lebih baik. Ya ini juga untuk kebaikan dia sendiri. Tapi keinginan Naraya tidak sejalan dengan keinginan Selena. Bagi Selena menjadi diri sendiri adalah yang terbaik. Titik. Orang harus menerima dan mencintai kita apa adanya. Titik.
"Ih lo ngomong apaan sih? budek nih gue, gak denger." Selena menaikan intonasi suaranya 2 tingkat.
"Omg lena, gausah teriak teriak, sabar ya sabaar." Naraya mengelus pelan dada Selena.
"Iih najong lo! ngapain nyentuh-nyentuh gue?" Selena menampis kasar tangan Naraya, bergaya seolah jijik.
"Ini mulut, kayak gak pernah sekolah." Naraya menarik monyong bibir selena, hingga Selena gaduh kesakitan.
"Lo apaan sih?"
"Abis ini mulut kamu kasar banget ngomongnya, aku gak suka ya." Naraya.
"Oh my god! what the hell! sumpah! Lo apaan sih Ray, aku kamu aku kamu, gumoh nih gue, huweekk." Selena.
“Plis deh ray, lo seriusan mau berubah? Kenapa sih?" Sambung Selena sambil menghentikan langkah kakinya dan menahan lengan tangan kanan Naraya agar berhenti dan menatapnya bicara.
Bukan tanpa sebab kenapa kali ini Selena harus benar-benar tau alasan kenapa sahabatnya itu berubah. Perubahan itu terjadi semenjak mereka lulus SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) ke perguruan tinggi tempat mereka kuliah saat ini. Bahkan saat mengikuti masa-masa orientasi mahasisa baru Naraya sangat pendiam dan berubah 180°.
Bayangan selena akan masa-masa orientasi mereka yang akan sangat menyenangkan menjadi gagal total dan malah sebaliknya, sahabatnya itu berubah menjadi tidak menyenangkan dan sangat membosankan. Berkali-kali selena menanyakan apa alasan sahabatnya itu berubah. Dan jawaban Naraya selalu sama "ingin menjadi lebih baik."
Sungguh tidak masuk akal, pasalnya menurut Selena kini mereka sudah baik. Hanya saja sudut pandang orang lain yang selalu tidak menyukai mereka.
"Bahkan saat ospek kemarin lo gak asik, gue masih sebel kalo inget itu." Selena mengingat betapa membosankannya ospek yang dilaluinya kemarin.
"Padahal pas kelulusan SMA kita dulu, kita udah buat list panjang buat ngerjain senior-senior yang sok berkuasa, lo inget kan?" selena.
"Tapi realitanya lo kayak ngehianatin gue." Selena mulai sebal, ia tidak terima sahabatnya itu berubah.
"Gue masih kasih kesempatan buat maafin lo." Selena.
"Kasih tau gue alasan yang masuk akal kenapa lo berubah atau kalau lo nggak mau kasih tau gue alesannya, lo balik lagi kayak dulu." Selena.
"Gue bukannya gak mau lo berubah, tapi gue cuma mau lo jadi diri sendiri." Selena.
"Kita bisa sama-sama berubah pelan-pelan." Selena mulai sendu, Naraya pun jadi ikut sedih, ia tidak tega melihat wajah sendu Selena.
"Emmm." Naraya memutar bola matanya seolah berpikir. Selena menunggu dengan sabar.
"Gue harus nunjukin ke orang tua gue, kalo gue bisa berubah." Naraya.
"Lo tau kan gue selalu dibanding-bandingi sama Nadira. Gue sadar diri sih, emang Nadira jauh diatas gue. Tapi kali ini gue harus banget nurutin Mami sama Papi." Naraya.
Naraya menghela napas berat. Sekilas dia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, jam 07.50 pagi. Jam perkuliahannya akan dimulai pukul 8. Itu artinya 10 menit lagi waktu yang tersisa, tapi mereka masih jauh dari kelas. Harusnya sekarang mereka sudah duduk manis dikelas dan menunggu dosen datang.
"Kenapa harus dituruti? biasanya lo juga berontak. Toh gak ada yang terjadi kan. Mereka masih sayang sama lo, duit jajan masih ngalir lancar. Kenapa sekarang harus lo turuti?." Selena tak terima.
Selena melenggangkan kedua tanganya dipinggang, seolah menantang. Sambil menyipitkan matanya, selena menatap tajam Naraya.
"Huuh." Naraya menghela napas panjang dan menghindari tatapan Selena.
"Kalo gue gak berubah, gue bakal dijodohin Len." Naraya.
Hening beberapa detik.
"Ha!" Selena melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Di jodohin? Maksudnya apaan sih?” Selena bertingkah bodoh, menolak paham apa yang disampaikan Naraya.
"Kalo gue nggak bisa ngerubah sifat barbar ini, gue bakal dijodohin sama Harris." Naraya menjawab sebal, menghentakan kaki dan mengerucutkan bibirnya.
"Harris?" Selena perpikir, mengingat-ingat dimana dia pernah mendengar nama itu.
"Harris Sanjaya? Anaknya om yuda? Harris dikomplek perumahan lo itu? OMG!" Setelah mendapatkan ingatannya kembali selena melongo, melihat ekspresi Naraya yang seolah membenarkan semua pertanyaanya ia geleng-geleng kepala.
"Kok bisa?" Masih mencoba menyangkal, selena kembali bertanya.
"Ya gak tau, lo tanya aja sama Mami Papi." Naraya kembali berjalan, dilihatnya jam ditangan, gawat 5 menit lagi kelas dimulai. Kalau sampai dia telat, pulang nanti pasti Harris dan keluarganya sudah menunggu dirumah, apalagi kalau bukan untuk membicarakan tentang pertunangan mereka.
Mata-mata orang tua Naraya menyebar diseluruh negeri ini, apalagi hanya sebatas di kampus, percayalah.
Dengan langkah tergesa-gesa, Naraya berlari menuju kelasnya dilantai 3 meninggalkan Selena yang masih melongo tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
🍀🍀🍀🍀
Baca juga cerita otor yang Bukan Pernikahan LUAR BIASA yaw 🙆
"Ah sial!" Naraya meringis. Menatap pintu kelas yang tertutup. Terdengar suara Dosen yang memperkenalkan diri.
"Gara-gara Selena nih! Duh gimana dong." Naraya bingung, digigitinya kuku lentik jari telunjuk kanannya. Ragu apakah harus masuk atau tidak.
Otaknya berpikir keras apa yang harus dilakukan. Kalau masuk pasti si dosen akan mengadu ke orang tua Naraya perihal keterlambatannya. Karena dosen kali ini adalah om Herman, teman Papi Naraya. Tapi kalau tidak masuk pasti om Herman juga akan tetap mengadu.
"Ahh." Naraya menghela napas pasrah.
Akhirnya diketoklah pintu itu dan dibuka secara perlahan.
"Maaf Pak saya telat." Naraya memasang wajah memelas. Bukan untuk keterlambatannya, tapi lebih kearah tolong jangan kasih tau Mami dan Papi.
"Ya silahlan masuk. Masih mending telat daripada tidak datang." Ucap Herman cuek.
Bruug!!
"Aw!" Naraya dan Selena meringis. Menahan sakit dibahu masing-masing. Selana berlari dan menabrak Naraya yang berdiri didepan pintu.
"Kamu telat juga?" Herman memutuskan kontak mata Naraya dan Selena, serta perhatian mahasiswa yang lain.
"Sudah telat buat rusuh. Cepat duduk! Jangan menganggu yang lain." Herman tegas.
Tanpa basa-basi Naraya dan Selena mengambil posisi duduk di pojok paling belakang. Tanpa suara mereka mengikuti perkuliahan selama 2 jam.
***
"Gila lo Ray, dari kemarin lo gak ada cerita masalah jodoh-jodohan itu, lo anggep gue apa?" Selena.
Setelah kuliah selesai Naraya dan Selena masih betah duduk dikelas. Toh jam 12 siang nanti akan ada perkuliahan yang ke 2. Dan mereka belum lapar, jadi tidak ada acara ke kantin. Dan sekaranglah, Selena mencerca Naraya dengan berbagai pertanyaan.
"Gue gak mau ada perjodohan ini Len, dan gue juga masih yakin kalau perjodohan ini nggak akan pernah terjadi. Makanya gue belum cerita ke elo." Naraya membela diri.
"Gak peduli gue, yang jelas lo udah nggak anggep gue sahabat lagi, ya kan?" Selena menekan ucapan terakhirnya.
Naraya dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Len, kok ngomongnya gitu sih, gue minta maaf, gue salah." Naraya memegang tangan Selena, memohon agar sahabatnya itu dapat memaafkannya.
"Ini masalah serius, masalah masa depan lo, perjodohan Ray, perjodohan." Selena menekan kata terakhirnya lagi.
"Dan lo gak mau gue tau itu, sumpah gue sakit hati banget." Selena serius.
"Baru kali ini gue ngerasain sakit hati, gue sahabat lo bukan sih Ray?" Selena melemah.
"Stop Len! maafin gue please." Dengan sendirinya air mata Naraya mengalir.
Melihat air mata ketulusan yang menetes dipipi Naraya, Selena pun luluh. Dia tidak ingin kesedihan ini berlarut-larut. Sekarang yang butuh dihibur adalah sahabatnya, bukan dirinya.
"Nah gitu! sadar kan lo salah? sekarang ceritain ke gue semuanya, awas lo masih bohong-bohong!" Selena.
Naraya tersenyum, ia langsung menghapus air matanya.
"Iya iya." Akhirnya dia mulai bercerita.
POV NARAYA
Yes! hari ini gue seneng banget. Akhirnya dengan nilai kelulusan SMA gue yang kecil banget itu gak ngaruh sama sekali. Toh lewat jalur SNMPTN gue masih lolos juga di kampus favorit di kota A ini.
"Ya ampun gue seneng banget Len!" Gue cubit gemas pipi Selena yang lagi makan ayam goreng tepung didepan gue.
"Ih apaan sih." Ketus banget si Selena, kayak biasanya.
"Gue seneng banget Len, kemarin pas kelulusan Mami sama Papi boro-boro kasih selamat, yang ada gue diceramahin 7 hari 7 malem, dikata-katain universitas mana yang mau nerima orang model gue begini." Gue cemberut.
“Seharusnya kamu seperti Nadira, kampus-kampus terkenal semua antri menunggu Nadira." Logat ngomong Papi nih.
“Hih! Kezel kan gue, nyebelin banget sumpah si Nadira." Semangat dong gue ceritain unek-unek.
"Sama, gue juga eneg liat gayanya Nadira. Bukanya prihatin liat nilai lo, malah dia kesombongan. Gegayaan pamer kalo kampus ABC, kampus DEF, sama apa itu satu lagi?" Selena mikir, tau ah mikir apa.
“Kampus GHI!” Jawab gue ketus.
“Iya kampus itu, gayanya pamer kalo dia dapet surat rekomendasi buat kuliah disana tanpa tes. Mentang-mentang juara umum sekabupaten sombong bener!. Sayangnya Mami sama Papi lo gak tau aja sifat aslinya Nadira." Sinis Selena.
Gue angguk-angguk kepala, bener 100% nih omongan Selena, Nadira itu bermuka dua.
"Gue harus cepet pulang Len, mau gue pamerin nih hasil pengumuman, biar tau Mami sama Papi kalau gue juga bisa keterima di kampusnya Nadira." Tanpa menunggu jawaban Selena, gue langsung aja pulang. Gue tunggu taksi dipinggir jalan, liat ke sisi kanan terus.
"Mana sih taksinya, giliran ditungguin gak ada yang nongol satu pun." Sebel gue, pegel juga kan 10 menit berdiri dsni.
"Ray"
Kok kayak ada yang manggil ya, Gue celingak celinguk.
"Raya!"
Oh diseberang jalan ada Harris (Harris sanjaya, anaknya Yuda Sanjaya sahabat Papi Naraya). Ngapain dia lambai-lambai tangan? nyuruh gue kesitu? Ogah banget.
"Raya! Sini! kamu mau pulang kan? Biar aku anterin." Harris teriak.
"Gak usah lo duluan aja." Males dong gue naik motor begitu, gue kan pake rok bego. Rok pendek lagi, Hih! Mana motor bagian penumpangnya nungging gitu, apa kabar celana dalam gue kalo sampe naik motor itu? Iew. Bergidik ngeri.
Nah nah, ngapain Harris turun, eh dia kesini lagi. Tanpa basa-basi, Harris gandeng tangan gue, kita nyebrang jalan sambil lari kecil, berhenti ditempat Harris parkir motor tadi.
"Buruan naik." Harris merintah gue sambil ngiketin jaket kulitnya dipinggang gue. Okelah kalo gini gue bisa naik motor.
"Ini helmnya! Cepetan, ini bukan tempat parkir." Harris ini cerewet banget, tapi tetap gue turutin.
Setelah adegan drama korea tadi akhirnya kita pulang, disepanjang perjalanan pulang kita sama sekali nggak ada obrolan.
Gue udah lama kenal Harris, bahkan lebih lama gue kanal Harris daripada kenal Selena. Tepatnya waktu gue kelas 4 SD dan Harris kelas 6 SD pertemuan pertama kita. Harris ini anaknya om Yuda, sahabatnya papi. Harris anak tunggal dan ibu nya sudah meninggal semejak Harris kecil. Gue, Harris dan Nadira bisa dibilang tumbuh bersama, tapi semakin kita dewasa, semakin jauh pula kita bertiga.
Waktu SMP gue ngerasa Nadira suka sama Harris, dan dia gak suka lihat gue deket-deket Harris. Gue yang males ribet akhirnya gue ngejauh dan main sama temen-temen yang lain. Nadira itu kakak gue, beda kita cuma 1 tahun, tapi Mami sama Papi, nyekolahin kita di jenjang yang sama. Harris ini tipe gue sih, selain ganteng dia baik juga pinter hihihi. Tapi itu sebelum gue tau kalau Nadira suka sama Harris.
Awal sekolah SMA, Nadira terang-terangan bilang kalo dia suka sama Harris dan bakal buat Harris jadi pacarnya. Setelah itu gue pindah haluan dong, pindah suka ke Cakra. Cinta monyet yang kebawa-bawa sampai sekarang. Ih jadi senyum-senyum sendiri bayanginya.
"Ngapain kamu senyum-senyum?" Gue liat kaca spion, ternyata Harris liatin gue. Otomatis cemberut bibir ini. Gak ada niat sedikitpun buat jawab pertanyaan Harris.
Akhirnya setelah perjalanan panjang kita sampai didepan rumah gue.
"Lo langsung pulang aja ya Ris, gausah mampir." Gue copot helm, langsung gue sodorin kedadanya Harris. Males basa-basi, gue langsung melengos mau masuk gerbang.
"Raya!" Suara Harris menggelegar, seksi. Ih! gemes.
"Apa lagi?" Jawab gue males.
"Jaket!"
"Oh iya." Nyengir kuda dong gue, kok bisa lupa sih. Buru-buru gue copot, terus gue lemparin ke muka nya haris. Mamp*us.
"hahaha." Dalam hati gue ketawa.
Tanpa ngucapin terima kasih gue masuk ke gerbang, gue tutup lagi. Sekilas gue lihat kayaknya Harris senyum deh. Ih bodo amat lah, gue langsung masuk ke rumah.
"Mamiiiii!!!"
"Mamiiii!"
Jam segini papi belum pulang kantor ya, jadi fokus panggilin Mami.
"Mamiii!!"
"Raya stop teriak-teriak di rumah sayang." Mami Renata (Renata Tamim, Mami) keluar dari arah dapur, pasti abis nyiapin makanan untuk makan siang.
"Mami, Raya lulus di kampus ABC." Muka berbinar penuh kebahagian gue suguhin ke Mami, sambil gue peluk erat tubuh bau bawang Mami.
"Mami kok mukanya biasa aja." Gue heran, kok mami biasa-biasa aja, gak ada ekspresi bahagia, seenggaknya kaget kek.
"Mam?"
"Kita makan dulu, Nadira dan Papi sudah menunggu di meja makan." Mami pergi duluan.
Hati gue tiba-tiba terasa penuh dan sesak. Ada rasa dongkol yang begitu terasa dihati gue. Sakit banget, susah banget untuk bernafas normal.
Tapi apapun itu, gue harus terbiasa. Udah sering juga gue nerima perlakuan seperti ini. Toh ini adalah pilihan gue sendiri, untuk jadi orang yang dibenci Mami dan Papi.
Dulu Mami dan Papi selalu adil sama gue dan Nadira. Tapi apapun yang dilakuin Mami dan Papi, Nadira selalu menganggap Mami Papi itu pilih kasih. Dia selalu bilang, sayangnya mami sama papi cuma buat gue.
Gue lahir disaat dia masih kecil dan semua perhatian Mami Papi teralihkan seluruhnya ke gue. Nadira marah-marah dan benci keadaan seperti ini. Dia selalu berharap gue gak pernah lahir.
"Raya!" Panggilan Mami bawa gue kembali ke alam sadar lagi. Gue sedikit berlari ke arah meja makan, gak mau buat mereka nunggu terlalu lama.
"Raya, kalau didalam rumah jangan berlari-lari." Papi Johan (Johan Kohler, Papi) protes.
"Iya Pi." Gue duduk disebelah Nadira (Nadira Kohler, kakak) Salah lagi kan gue.
Setelah makan siang kami semua duduk di ruang keluarga. Pengen banget gue bilang ke Papi, kalau gue keterima dikampus ABC, kampus yang sama dengan Nadira. Gue pengen nunjukin ke papi kalau gue mampu, gue juga bisa. Tapi apalah daya, suasananya saat ini berubah nggak asik.
"Dira, Raya papi ingin bicara serius. Papi sengaja berbicara ini sekarang agar kalian berdua bisa lebih fokus untuk kuliah nanti." Papi berhenti sejenak. Gue, Nadira dan Mami cuma dengerin aja.
"Papi sangat yakin, Nadira bisa melanjutkan kuliah dengan baik dan bisa menggantikan Papi di perusahaan suatu saat nanti." Papi melirik ke arah gue, gue langsung nunduk. Perasaan mulai nggak enak.
"Papi bingung Raya, bagaimana masa depan kamu nanti? Kalaupun kuliahmu berantakan dan tetap meneruskan bisnis keluarga, apa tidak tambah hancur?"
Deg!
Jantung gue berhentik sejenak, baru kali ini seumur hidup gue, Papi ngomong serius dan amat sangat menyakitkan hati. Gue rela diomelin Mami 7 hari 7 malem, daripada harus diceramahin papi walau cuma 5 menit.
Perlahan air mata gue netes. Biar, gue gak ada niat ngehapus air mata itu. Dan gue gak ada niat buat bantah omongan papi. Karna itu emang benar.
Tapi aku udah diterima di kampus ABC pi? Dan kita nggak ada yang bisa tau masa depan nanti gimana? Bisa jadi aku lebih sukses dari Nadira pi? Hati gue menjerit. Pengen banget teriak begitu, tapi akhirnya gue cuma diem.
"Papi sudah putuskan, Raya kamu akan Papi jodohkan dengan Harris anaknya om Yuda."
Deg!
Jantung gue serasa mau copot.
"Selama kamu kuliah kalian akan Papi tunangkan, dan Harris nanti yang akan membimbing kamu untuk menaikkan nilai-nilai mu, sekaligus Harris akan merubah sifat barbar mu itu." Papi mengambil nafas.
"Dari kamu kecil sampai sekarang Papi tidak pernah sekalipun memaksa, Papi suruh kamu rajin belajar, tapi kamu main terus. Papi suruh kamu rajin sekolah, tapi kamu bolos terus, di sekolah selalu berantem sama temen-temen mu yang lain. Papi suruh ikut bimbel kamu tidak mau, dan malah entah kabur-kabur kemana." Tambah Papi.
"Sekarang apa jadinya kalau kamu Papi bebasin juga saat kuliah? Bahkan walaupun kamu diterima di kampus yang sama dengan Nadira, Papi tetap tidak percaya Raya." Papi menghela napas kecewa.
Tapi nggak gini juga kan pi. Gue tambah nangis. Gue rasain mami mulai ngelus lembut punggung gue.
"Papi, Raya nggak harus dijodohin sama Harris. Biar Dira nanti yang akan bantu Raya untuk belajar." Gue terharu Nadira belain gue setelah sekian lama dia cuekin gue. Biasanya dia selalu senang tiap gue dimarahin papi seperti saat ini. Gue liat wajah Nadira sekilas, ada keseriusan disana.
"Tidak Dira, ini sudah keputusan Papi dan Mami. Om Yuda juga sudah setuju. Papi tidak ingin kamu terbebani Raya. Kamu cukup fokus dengan kuliahmu. Sedangkan Harris dia kuliahnya juga sudah mau selesai. Dan citra dia dikampus juga sangat bagus, pasti akan mudah jika hanya untuk mengawasi Raya." Papi.
"Tapi apa Harris mau pi dijodohin sama Raya? Raya barbar gitu, kayak langit sama bumi pi." Walaupun bahasa Nadira nyakitin, tapi makasih ya Ra lo udah belain gue.
Gue gak bisa ngomong apa-apa lagi. Kayak tersangka yang semua bukti-buktinya pas, siap masuk penjara.
"Apapun itu tetap tidak ada yang bisa membatalkan perjodohan Raya dan Harris, ini sudah keputusan Papi." Papi.
"Seenggaknya Papi tanya dulu sama Harris. Bisa aja Harris gak mau Pi. Jangan Hancurin hidup anak orang lain, cuma buat Naraya Pi." Nadira pantang menyerah, makasih lo ya dir.
"Harris pasti setuju, Papi yakin itu. Harris anak yang baik, dia akan selalu menuruti perintah ayahnya dan Om Yuda pun sudah sepakat. Ini sudah keputusan kami sebagai orang tua Dira." Final Papi.
Akhirnya Nadira nggak bisa bantah lagi.
"Papi." Bergetar bibir gue coba untuk ngomong.
"Raya bakal buktiin kalau Raya bisa berubah, tanpa harus ada perjodohan." Gue beraniin natap mata papi, tapi Papi malah beranjak berdiri dari posisi duduknya, Papi pergi dan masuk keruang kerjanya.
Habis sudah harapan gue. Gue nangis sesenggukan sambil nutup wajah pakai kedua tangan gue. Lagi-lagi terasa belaian lembut tangan Mami dikepala.
Aku peluk mami erat.
"Mi aku gak mau dijodohin sama Harris Mi." Sesenggukan aku coba jelasin ke mami.
"Aku bisa berubah sendiri Mi, tanpa harus ada Harris Mi". Gue tetap berusaha.
"Harris itu sebenernya jahat, dia nggak baik. Raya nggak mau dijodohin sama orang jahat Mi". Gue tetap nangis, sampai baju mami basah. Setelah beberapa menit, akhirnya Mami dorong badan gue, dia tatap mata gue.
"Kalau begitu tunjukkan kepada Mami dan Papi." Mami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!