Kutatap cermin didinding kamarku, kurapikan kerudungku, kuraih tasku, lalu keluar dari kamar.
"Teteh, ulangan matematikaku dapet nilai 100, kasih bonus ya?" kata Amran sambil tangan kanannya menengadah.
Amran adalah adik laki-lakiku yang bungsu, masih duduk di kelas 4 SD.
"Mana lihat dulu buktinya?" kataku sambil tersenyum.
Dengan sigap Amran memberikan lembaran kertas hasil ulangannya.
"Wah, pinter kamu De! Nih bonus dari Teteh," kubuka tasku, kukeluarkan selembar uang sepuluh ribu.
"Alhamdulillaah, dido'akeun ku Ade, Teteh sing seueur artosna!" ("Alhamdulillaah, dido'ain sama Ade, semoga Teteh banyak uangnya!")
"Aamiin," kataku sambil kuusap rambutnya.
"Ih.. Teteh aku juga mau bonus atuh!" Tami menghampiriku sambil menengadahkan tangannya. Tami, adik perempuanku, sekarang sudah duduk di kelas XI.
"Kalo kamu minta bonus apa?"
"Kan aku udah bantuin Emak nyuci piring, nyapu halaman...."
"Euleuh-euleuh, masa yang gitu minta bonus, itu mah udah kewajiban," sambil kusentil jidatnya.
"Aww.. Teteh! Sakit tau!" Tami mengusap-usap jidatnya sambil merengut.
Aku tertawa melihat ekspresi mukanya.
"Nih, buat kamu", kuberikan selembar uang 20 ribu.
"Alhamdulillaah.. nuhun Teteh!" Tami berkata sambil tersenyum.
"Ah.. Teteh mah nggak adil! Masa Teh Tami dikasih 20 ribu, kok Ade cuman 10 ribu," Amran merengut.
"Ade.. kan kata Pak Ustad Unang juga adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, Ade kan masih SD sedangkan Teh Tami kan udah SMA, jadi kan kebutuhannya juga berbeda."
"Tapi Teteh aku kan pengen buatin kandang yang bagus buat si Beno, uangnya mau aku beliin bahan buat kandangnya."
"Memangnya kandang si Beno yang sekarang kenapa?"
"Jelek! Banyak tambalan tripleknya, kayak kumuh gitu."
"Ade ... si Beno mah cuma ayam, nggak perlu kandang yang bagus, yang penting mah rajin dibersihin," Tami ikut nimbrung.
"Tapi kan kasihan si Beno, si Benonya keren, kandangnya nggak keren," Amran merengut.
"Sudah sini! Ayo sarapan dulu!" Emak berkata sambil meletakkan piring yang berisi nasi goreng dan telor ceplok di meja makan.
Aku, Tami dan Amran, duduk mengelilingi meja makan. Menikmati sarapan yang sudah disediakan Emak.
Kukeluarkan amplop putih dari tasku, "Mak, ini gaji Teteh untuk keperluan sehari-hari...'
"Nuhun Teh, semoga rezeki Teteh diluaskan, jodoh Teteh didekatkan..."
"Aamiin..." aku menengadahkan kedua tanganku, mengamini do'a Emak sambil tersenyum.
"Deuhh... do'a Emak buat Teteh udah nyerempet-nyerempet jodoh aja. Kayaknya Emak pengen Teteh cepat nikah nih," kata Tami sambil tertawa.
Pletak... kusentil jidat Tami. "Aduh Teteh nanti jidatku jadi nongnong jenong disentilin melulu." Aku tertawa mendengar omongan Tami.
"Mak, Teteh kerja dulu ya," kuraih tangan Emak, kucium punggung tangannya.
"Tami, Amran, Teteh kerja dulu ya," kulambaikan tanganku.
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," serempak mereka menjawab salamku.
"Teteh, hati-hati di jalan...!" teriak Emak.
"Iya", kataku pendek sambil tersenyum pada Emak.
Kulangkahkan kakiku keluar dari rumah, sampai di pekarangan kutarik nafas dalam-dalam.
"Semangat Ririn... Semangat!" gumamku dalam hati.
Ya, aku harus semangat mencari nafkah agar keluargaku tercukupi kebutuhannya.
Sejak Bapak meninggal 2 tahun lalu, akulah yang bertindak sebagai tulang punggung keluargaku.
Sudah sejak lama Bapakku sakit-sakitan, sehingga ketika lulus SMP, aku memilih melanjutkan ke sekolah kejuruan.
Melihat kondisi keuangan keluargaku, rasanya tak mungkin aku bisa kuliah di perguruan tinggi.
Aku memutuskan untuk segera bekerja. Awalnya aku berfikir, penghasilanku akan kupergunakan untuk biaya kuliahku.
Pikirku, siangnya aku bekerja, malamnya aku akan kuliah ngambil kelas karyawan.
Tapi semuanya pupus ketika Bapak meninggal, gajiku tidak cukup untuk membiayai kuliahku.
Aku harus lebih mementingkan adik-adikku supaya mereka harus tetap bisa bersekolah.
...***...
Tak terasa langkahku sudah membawaku sampai di tempat pemberhentian bus.
Elang - Jatinangor, bus yang akan membawaku ke tempat kerja.
Kupilih tempat duduk yang dekat jendela. Karena masih pagi, bus belum terlalu penuh.
Sebenarnya kalo naik angkot bisa lebih cepat, tapi karena pertimbangan lebih hemat kalo naik bus jadi kupilih naik bus saja.
Cukup lama bus ini menyusuri jalan Soekarno-Hatta, akhirnya lewat juga didepan tempat kerjaku.
"Kiri Pak!' teriakku untuk memberhentikan bus. Cepat-cepat aku turun.
Kulewati gerbang, didepan pos satpam ada Pak Asep yang sudah pasang senyum. "Selamat pagi Pak," sambil kuanggukkan kepalaku.
Aku langsung menuju ke bagian belakang gedung, aku bekerja di lantai 3, bagian produksi.
Setelah 2 tahun bekerja di tempat ini, aku diangkat menjadi supervisor bagian produksi. Walaupun pekerjaan bertambah berat tapi aku senang karena gajiku ada kenaikan.
Mayoritas pegawai disini adalah laki-laki, tetapi walau demikian aku tidak terlalu sulit beradaptasi dengan mereka. Mereka cukup baik menerima kehadiranku sejak pertama bekerja disini.
*********************************************
terima kasih sudah membaca novel ini, mohon beri dukungan author dengan comment n like ya 😘😘😘
*********************************************
Mejaku terletak disudut ruangan produksi, dari sini aku bisa jelas melihat bagian assembling dan bagian testing.
Kunyalakan laptopku, mulai kubuka file-file proyek yang sedang berjalan.
Perusahaan tempatku bekerja bergerak dalam bidang elektronika komunikasi. Alat-alat yang diproduksi selain menggunakan bahan atau komponen lokal, juga menggunakan komponen dari luar negeri.
Nah, komponen yang berasal dari luar negeri inilah yang seringkali membuatku pusing karena keterlambatan dalam pengirimannya.
"Selamat pagi Ririn...," ada suara seseorang yang mengagetkanku. Kuangkat wajahku, ada wajah yang kukenal sedang tersenyum padaku.
Akupun membalas senyumnya. "Selamat pagi juga A Rendi, ih.. bikin aku kaget aja."
Rendi adalah karyawan bagian testing, dia bekerja disini sudah lebih lama dariku. Perawakannya tinggi, tidak terlalu kurus tidak terlalu gemuk, ideal menurutku, ia memiliki cambang seperti Ridho Roma.
Kulihat A Rendi meletakkan coklat diatas mejaku. "Nih buat kamu, biar kerjanya semangat."
"Wow.. makasih A Rendi... udah ganteng, baik lagi," aku tersenyum sambil mengangkat tangan membentuk simbol finger heart ala Korea.
Dia tertawa mendengar pujianku. Terlihat giginya yang berderet rapi.
"Rin, pulang kerja kita nonton yuk," matanya menatap padaku.
"Maaf A, kerjaanku banyak nih, mungkin hari ini aku telat pulangnya," aku mencoba menolak ajakannya secara halus.
"Ah, kamu mah.. setiap aku ajak pasti nolak terus," wajahnya terlihat kecewa.
"Maaf ya," aku tidak tahu harus berkata apalagi tapi kucoba tetap tersenyum padanya.
Rendi pun tak berkata lagi, ia berlalu masuk ke ruangannya. Sudah sering ia mengajakku pergi berdua, makanlah, nontonlah atau jogging di hari Minggu, semuanya aku tolak dengan halus.
"Huhh...," kuhela nafasku. Sebagai perempuan normal tentu saja aku menyukai lelaki tampan, ganteng, gagah, tapi aku harus sadar diri dengan keadaanku.
Sejak masa puberku, aku sudah terbiasa menekan perasaanku. Walaupun ada teman lelakiku yang aku sukai menyatakan perasaannya, aku akan menolaknya dengan halus. Aku akan menyimpan sendiri perasaan sukaku sampai aku bisa mengakhirinya dan membuangnya jauh-jauh rasa sukaku itu. Jadi alhasil sampai sekarang aku belum pernah merasakan punya pacar.
...***...
"Rin, ini teh manisnya," Pak Alan, OB di kantorku, meletakkan gelas berisi teh manis di mejaku.
"Makasih Pak," kataku sambil tersenyum.
Rutinitas setiap pagi, Pak Alan membuatkan teh manis atau kopi untuk karyawan disini. Khusus bagian mekanik dan finishing mereka akan disediakan susu.
Mataku kembali tertuju pada layar laptopku. Ah, ada proyek yang hampir dateline. Sudah dua minggu ada komponen yang belum datang.
Akan kutanyakan pada bagian logistik. Aku beranjak dari kursiku.
Aku berjalan menuju lift. Bagian logistik terletak di lantai lima. Kupijit tombol untuk ke lantai atas. Tak lama pintu lift terbuka.
Aku sedikit terhenyak, didalam lift ada Pak Devan, pemilik sekaligus dirut perusahaan ini.
"Selamat pagi Pak," kuanggukkan kepalaku sambil tak lupa tersenyum.
"Pagi," ia menjawab salamku dengan datar.
Aku masuk kedalam lift. Kutekan angka lima, lalu tombol untuk menutup pintu.
"Oh ya Rin, kenapa radio com untuk Samarinda belum dikirim juga?" tanya Pak Devan.
Oh, ia tahu namaku walaupun aku hanya karyawan dengan posisi rendah. Ada sedikit rasa senang dihatiku.
"Oh itu karena ada komponen untuk power supply yang belum datang," kataku.
"Coba kamu cek ke bagian logistik."
"Baik Pak. Sekarang saya juga sedang menuju bagian logistik."
Ting...! Pintu lift terbuka. "Permisi Pak," kubungkukkan sedikit badanku kearah Pak Devan tanpa melihat wajahnya.
Aku melangkah keluar dari lift, menuju ruangan logistik.
"Assalaamu'alaikum," kuucapkan salam sebelum melangkah masuk.
"Wa'alaikumsalaam," serempak dijawab oleh penghuni ruangan logistik.
Ada tiga orang karyawan di bagian ini, Pak Haris sebagai Kasie, Teh Tina bagian pengadaan barang dalam negeri dan Teh Wati bagian pengadaan barang luar negeri.
"Pak Haris, saya mohon dibantu, tolong di cek kenapa transistor 2n3055 belum datang juga," kataku sambil tersenyum.
"Kalau sampai minggu depan belum dikirim juga, ada kemungkinan proyek radio com akan terlambat dikirim ke Samarinda."
"Baik, akan saya tanyakan langsung pada suppliernya," kata Pak Haris.
"Makasih banyak ya," mataku tertuju pada Pak Haris, lalu kuanggukkan sedikit kepalaku.
"Teh Tina, Teh Wati, aku permisi dulu ya," kulambaikan tanganku kearah mereka.
*********************************************
terima kasih sudah membaca novel ini, mohon beri dukungan author dengan rate, vote, like dan comment ya 😘😘😘
*********************************************
Devan POV
"Mas, tolong pertimbangkan permintaanku ini," istriku Citra memohon padaku. Kulihat matanya berkaca-kaca.
"Bagaimana aku akan mengabulkan permintaan mu yang tak masuk akal itu?" kataku sedikit emosi. Aku kesal setiap kali mendengar istriku mengatakan hal seperti itu.
"Aku tak mengerti kenapa ada seorang istri yang meminta suaminya menikah lagi. Bukankah seorang istri biasanya tak ingin dimadu?" kutatap lekat matanya.
"Tapi Mas, kita menikah sudah tujuh tahun lamanya, sampai saat ini kita masih belum dikaruniai seorang anak. Sudah banyak program kehamilan yang kuikuti tapi tak kunjung membuahkan hasil," Citra berkata sambil memegang erat tanganku.
"Sabarlah, temanku malah ada yang sudah 13 tahun menikah barulah dikasih momongan," kataku santai.
Kupegang erat tangannya, kuelus tangannya dengan lembut. Kutarik perlahan kepala istriku, kusandarkan kepalanya dibahuku.
"Kamu pasti tahu betapa aku sangat menyayangimu. Aku sangat bersyukur atas semua waktu yang telah kita lalui bersama. Aku sungguh tidak mempermasalahkan jika kita belum dikaruniai keturunan. Diluar sana pun banyak pasangan yang sudah lama menikah, belum dikaruniai seorang anak. Kamu jangan berkecil hati."
"Kalau kamu begitu menginginkan kehadiran seorang anak, bagaimana kalau kita mempertimbangkan untuk mengadopsi seorang anak. Toh diluar sana banyak anak tidak beruntung yang butuh kehangatan dan kasih sayang orang tua."
"Mas, tolong mengerti aku, sampai saat ini aku menginginkan seorang anak yang merupakan darah dagingmu, seorang anak yang ditubuhnya mengalir darahmu sebagai penerus keturunan keluarga Rahadian."
"Mas, aku kasihan sama kedua orangtuamu, usia mereka sudah lanjut, berilah mereka kebahagiaan untuk bisa merasakan menimbang seorang cucu, seorang cucu yang merupakan darah dagingmu."
"Kamu kan anak tunggal Mas, orangtuamu pasti khawatir kalau kita masih belum mempunyai anak. Mereka pasti khawatir tidak ada penerus keluarga."
Kudekap tubuh Citra, kukecup kepalanya.
"Bagaimana kau bisa berhati besar seperti ini?" Kutengadahkan wajahnya, kukecup kelopak matanya, lalu turun ke bibirnya.
"I love you," kataku sambil mendekap tubuhnya lagi.
"I love you too," bisik Citra.
...***...
Citra POV
Untuk kesekian kalinya aku mengajukan permintaan agar kau mau menikah lagi. Aku ingin engkau suamiku, mempunyai seorang penerus keluargamu.
Aku ingin engkau bisa merasakan kebahagiaan sebagai seorang ayah. Aku ingin engkau bisa merasakan kebahagiaan saat memeluk putramu.
Kalau kau bahagia, akupun akan merasa bahagia. Ini tanda dalamnya rasa cintaku padamu.
Saat engkau bertanya "Bagaimana mungkin seorang istri meminta suaminya untuk menikah lagi?" jujur hatiku merasa pedih.
Tapi aku tak boleh egois, bagaimana kalau aku ditakdirkan tak bisa memberikanmu seorang anak.
Aku tak ingin seumur hidupmu engkau merasa hampa tanpa kehadiran seorang anak.
Selain itu aku juga merasa bersalah kepada kedua orangtuamu, sudah sekian lama menikahimu, belum juga memberikan seorang cucu.
...***...
Devan POV
Malam semakin larut tapi aku merasa sulit untuk tertidur. Pikiranku berkecamuk bimbang.
Kutatap wajah Citra yang kini sudah terlelap disampingku. Wajah yang cantik, wajah inilah yang sudah membuatku jatuh cinta ketika masa SMA dulu. Sudah cukup lama waktu yang kami lalui bersama. Kami sudah hafal sifat masing-masing. Aku sudah merasa dialah pasangan jiwaku.
Kembali teringat pembicaraan tadi dengannya. Ah, haruskah kupertimbangkan permintaannya agar aku menikah lagi?! Tegakah aku melakukan hal itu? Menikah lagi?!
Haruskah??.....
...***...
Terdengar bunyi alarm ponselku. Kubuka perlahan mataku, kuraih ponselku diatas nakas, kumatikan alarmnya.
Citra sudah tak ada disampingku. Rupanya ia sudah bangun sebelum alarm berbunyi.
Aku segera masuk ke kamar mandi. Kuputar kran air, kuguyur kepalaku, terasa air mulai mengalir di punggungku, "Ah segarnya," gumamku dalam hati.
Selesai mandi, kulihat Citra sedang merapikan tempat tidur.
"Mas, ini pakaian gantinya."
Kulepaskan handuk yang melilit di pinggangku. Refleks Citra memejamkan matanya. "Ihh, Mas!!.. kok maen buka aja." Ia langsung membelakangiku.
Kupakai pakaian yang ia pilihkan, aku terus tersenyum melihat tingkahnya.
Kudekati dirinya yang masih membelakangi ku. Kudekap tubuhnya. "Kok kayak yang baru lihat aja," aku berbisik ditelinganya.
Kubalikkan tubuhnya menghadapku. Kutatap wajahnya, masih tetap cantik seperti pertama kali bertemu dengannya.
"I love you," bisikku.
"I love you too," Citra menjawabnya sambil tersenyum.
Kukecup keningnya, lalu bibirnya. Awalnya ciuman lembut, lama kelamaan semakin dalam dan menuntut...
Citra mendorong dadaku pelan. "Mas, sudah ah..., ayo kita sarapan." Ia melepaskan pelukanku, lalu melangkah keluar dari kamar, aku mengekor dibelakangnya.
Kulihat Citra sudah duduk didepan meja makan, aku ikut duduk disampingnya. Diatas meja sudah tersedia secangkir kopi dan roti yang sudah diolesi selai srikaya kesukaanku.
Walaupun dirumah ada Bi Sari untuk meringankan semua pekerjaan rumah, tetapi Citra selalu berusaha melakukan sendiri membuatkan sarapan dan memasakkan makanan untukku.
Kuhabiskan sarapanku, aku menoleh pada istriku, "Aku pergi kerja dulu ya".
Citra beranjak dari kursinya, ia kembali dengan dasi ditangannya.
"Berdiri Mas," katanya sambil tersenyum. Aku menurutinya. Ia memasangkan dasi dileherku. Rutin setiap mau pergi bekerja, ia melakukan hal itu. Aku sangat menyukai aktivitas itu. Romantis. Aku bisa memandangi wajah istriku ketika ia sedang memasangkanku dasi.
Kukecup keningnya. "Aku pergi dulu ya... Bye." Kulambaikan tanganku pada Citra.
Kulihat dihalaman Pak Danu sudah mengeluarkan mobil dari garasinya. Ia sudah membukakan pintu bagian belakang. Aku segera masuk kedalam mobil. Sekali lagi kulambaikan tanganku kearah Citra.
*********************************************
terima kasih sudah membaca novel ini, mohon beri dukungan author dengan memberikan rate, vote, like n like ya 😘😘😘
*********************************************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!