Selamat membaca!
"Honey, aku tunggu di stasiun ya tempat biasa."
Sebuah pesan terkirim untuk suaminya, agar menjemput di tempat yang memang selalu menjadi rutinitas mereka setiap pukul 20.00. Namun, malam itu Ryan datang terlambat 30 menit dari jam yang sudah ditetapkan. Ryan pun menghubungi ponsel Bella. Namun, berulang kali ia mencoba usahanya tetap saja berakhir dengan kegagalan.
Ryan bergegas memarkir mobilnya dan mulai melakukan pencarian di sekitar stasiun. Sampai akhirnya langkahnya terhenti di salah satu sudut, yang kini sudah berkerumun orang banyak seperti sedang menyaksikan sesuatu yang menakutkan untuk mereka lihat.
"Kasihan sekali ya wanita itu."
"Iya kasihan ya, dia masih muda, tapi nasibnya harus seperti ini?"
Beberapa komentar silih berganti terdengar di telinganya. Ryan yang penasaran dengan perlahan mulai menyeruak jajaran orang-orang yang ada di depannya.
"Permisi, permisi," ucap Ryan dengan memaksa.
Setelah berhasil merangsek masuk di kerumunan, kini Ryan sudah berada di tempat yang memudahkan kedua matanya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi hingga mengakibatkan banyak orang berkumpul di tempat itu. Seketika kedua matanya membulat sempurna, saat ia melihat Bella terbujur kaku dengan bersimbah darah di sana.
"Bella." Teriakan Ryan terdengar begitu histeris.
Ryan dengan cepat menyingkirkan orang-orang yang masih ada di depannya dan kembali merangsek untuk menghampiri Bella. Setibanya di samping tubuh sang istri, pria itu langsung berlutut lemah. Napas yang tercekat dengan kedua matanya yang memerah, benar-benar membuat situasi begitu piluh untuknya, apalagi di saat Ryan merengkuh tubuh Bella. Saat itu, hatinya benar-benar hancur karena sang istri sudah tak lagi bernyawa dengan beberapa luka tusukan yang membuat tubuh Bella dipenuhi dengan darah. Ada tiga luka tusukan di dada dan dua di perut sebelah kanan juga kiri.
Kehilangan istri yang sangat dicintainya, sungguh membuat Ryan menjadi hancur dan saat ini ada rasa bersalah dalam dirinya karena terlambat datang untuk menjemput istrinya. "Bella, bangun. Maafkan aku karena aku terlambat. Maafkan aku Bella. Bella..." teriak Ryan dengan histeris hingga membuat semua orang yang menyaksikan kejadian itu menjadi iba dan berusaha untuk menenangkan Ryan. Walaupun apa yang mereka lakukan berakhir sia-sia karena Ryan tak henti-hentinya menitikkan air mata.
Ryan mulai mengusap wajah cantik Bella dengan lembut, sambil meratapi takdir yang saat ini di hadapinya. Kehilangan Bella merupakan takdir yang sangat buruk untuknya, terlebih dengan cara yang seperti ini. Pria itu masih terisak dalam kesedihannya. Saat ini pikirannya langsung dipenuhi kebimbangan atas apa yang harus ia katakan kepada anaknya nanti, bahwa ibu yang sangat dicintainya kini telah meninggal karena kesalahannya.
"Maafkan aku Bella. Maafkan aku Viona," batin Ryan benar-benar merasa bersalah.
Tak lama kemudian pihak kepolisian mulai berdatangan setelah salah seorang petugas stasiun menghubunginya.
***
1 tahun sejak kejadian itu, kini Ryan terlihat sudah berada di rumahnya. Pria itu harus membatalkan janji temunya dengan seorang klien karena baby sitter yang ia pekerjakan untuk menjaga putrinya, tiba-tiba menghubunginya dan meminta Ryan untuk pulang lebih cepat karena putrinya saat ini sedang merindukan sosok ibunya. Sesuatu yang memang sering terjadi dan benar-benar membuat Ryan merasa begitu terpukul karena sampai detik ini ia masih belum sanggup untuk mengatakan kenyataan yang sebenarnya kepada putri kecilnya yang bernama Viona Clarissa Brawster.
Viona kini sudah berusia 5 tahun. Gadis kecil yang setiap jam 8 malam selalu berdiri di depan pintu, berharap pintu itu terbuka dan sosok ibu yang dirindukannya dapat ia lihat kembali.
Ryan kini masih mematung diambang pintu kamar Viona dengan kedua mata yang sudah tertuju ke arah putri kecilnya yang saat ini sudah tertidur karena lelah menangis selama satu jam lamanya. Ya, setiap jam 8 malam sampai jam 9 malam, Viona memang selalu menangis karena menantikan kepulangan Bella yang tak kunjung datang hingga 1 tahun ini. Walau Ryan sudah mengatakan kepada Viona, jika ibunya sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Namun, Viona masih saja menunggu kepulangan ibunya yang sebenarnya sudah meninggal setahun yang lalu saat dirinya berusia 4 tahun.
Mengetahui kedatangan majikannya, sang baby sitter pun keluar dari kamar setelah berhasil menidurkan Viona.
"Viona tidur, Tuan. Kasihan Viona sudah setahun berlalu sejak kematian Nyonya Bella, tapi dia masih saja menunggu kepulangan ibunya," ucap Mia wanita paruh baya yang setia bekerja di rumah kediaman Ryan untuk menjaga putri kecilnya.
"Iya Mia, saya juga ikut merasakan kesedihan Viona. Mungkin ini baru setahun berlalu. Jadi dalam pikirannya masih terus teriang kehadiran Ibunya. Lagipula saya juga masih belum sanggup memberitahukan padanya bahwa saat ini ibunya sudah tiada," jawab Ryan dengan tatapan mata yang sendu, masih terus menatap wajah mungil Viona yang kini terpejam dengan lelap.
"Tuan juga yang sabar ya. Kalau begitu saya permisi dulu." Mia seketika berlalu dan keluar dari kamar Viona, meninggalkan Ryan yang kini sedang dilanda kesedihan yang mendalam, atas kondisi anaknya yang hingga detik ini masih terus merindukan sosok Bella.
Ryan berlutut di hadapan Viona. Ia perlahan mengusap lembut pucuk rambut anaknya itu, dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan Ayah ya, Viona. Semoga jika nanti kamu sudah besar dan kamu tahu yang sebenarnya terjadi pada Ibumu, kamu tidak akan membenci Ayah." Ryan mengecup dahi Viona dengan perlahan.
Sakit yang terasa begitu membatin dalam hatinya. Bahkan saat ini, air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya lolos juga dari kedua mata gagahnya. Ryan pun menangis karena tak mampu lagi menutupi segala kehancurannya. Ia sebenarnya sangat merindukan sosok Bella, wanita yang telah menemani hidupnya selama 10 tahun ini. Namun, apa daya semua sudah terjadi dan sebisa mungkin ia hadapi, walau itu sangat menyakitkan untuknya.
Bersambung ✍️
Selamat membaca!
Pagi dengan sinar matahari yang mulai menyelinap masuk, melalui celah-celah jendela kamar Nisa yang masih terlelap dalam tidurnya.
Tiba-tiba bunyi alarm pada ponsel Nisa berbunyi dengan keras, memekikkan telinga Nisa yang seketika langsung bangkit dari posisi tidurnya.
"Ya ampun jam berapa ini?" Nisa dengan terburu-buru menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas, lalu ia melihat waktu pada layar ponsel itu.
Nisa terperanjat kaget saat waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, itu artinya ia hari ini sudah benar-benar terlambat untuk pergi bekerja.
"Lagi dan lagi aku telat!" Nisa mempercepat langkahnya untuk menuju ke dalam kamar mandi, sambil menepuk dahinya dengan keras.
Setelah terburu-buru dan kelihatan kalang kabut, akhirnya Nisa sudah selesai merapikan dirinya dan langsung bergegas menuju keluar kamarnya.
Nisa tinggal di sebuah apartemen yang terletak di kota Birmingham, dari tempatnya tinggal ia hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 10 menit untuk sampai di kantor tempatnya bekerja. Namun, karena itulah Nisa jadi sering datang terlambat.
Nisa kini sudah tiba di depan lobi kantor dan baru saja dirinya masuk, sepasang mata sudah memerhatikan gerak-geriknya saat hendak memasuki lobi.
"Nona Nisa, telat terus. Itu tadi dicariin Tuan Edward," ucap petugas keamanan kantor.
"Iya maaf, ini kebiasaan alarm satu sampai sepuluh kali bunyi kelewatan semua," keluh Nisa sambil mengesah kasar.
"Sudah Non, buruan! Nanti Tuan Edward keluar tanduknya, lho!"
Nisa bergedik ngeri, saat mendengar ucapan dari petugas keamanan itu, ia pun langsung mempercepat langkah kakinya dan menuju sebuah lift yang terletak di sudut lobi.
Setibanya di depan lift, Nisa tanpa membuang waktu langsung memasuki lift yang kebetulan terbuka saat dirinya baru saja tiba. Setelah lift berhenti di lantai 5, pintu lift pun mulai terbuka dan Nisa dengan cepat melangkah keluar dari lift untuk menuju ruangannya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika di lorong kantor menuju ruangannya, ia melihat Edward sedang bercengkrama dengan Morgan salah satu karyawan yang berada di departemen yang sama dengannya. Sadar bahwa dirinya tak boleh ketahuan datang terlambat oleh atasannya, Nisa pun melangkah dengan mengendap-endap, agar kehadirannya tak diketahui oleh Edward yang saat ini tengah memunggunginya.
Nisa menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, untuk meminta pada Morgan yang saat ini melihat ke arahnya, agar tak memberitahu keberadaannya yang sedang melintas di belakang Edward.
Edward adalah atasan di kantor tempat Nisa bekerja. Ia terkenal killer dan tak segan-segan menghukum karyawannya jika melakukan kesalahan. Terlebih jika ada karyawannya yang datang terlambat. Walau terasa sangat tegang, akhirnya kini Nisa sudah berhasil melewati Morgan dan Edward. Namun, saat ia hendak masuk ke dalam ruangannya, tiba-tiba suara dehaman membuat langkahnya terhenti seketika.
Perlahan Nisa menoleh sambil melepas genggaman tangannya yang sudah berada di handle pintu ruangannya. Nisa pun tercekat kaget, saat melihat Edward dengan rahang yang mengeras mulai mendekat ke arahnya.
"Mati aku. Kali ini pasti aku akan dipecat. Ini sudah ke 10 kalinya aku terlambat datang ke kantor," batin Nisa yang dibalut rasa gugup, hingga membuat peluh mulai membasahi keningnya.
Nisa semakin sulit menelan salivanya sendiri. Kedua kakinya sampai gemetar dengan reaksi wajah Edward yang seakan-akan ingin menumpahkan amarah yang mungkin saja sudah memuncak di dalam pikirannya.
Saat pria itu sudah berada tepat di hadapan Nisa, kedua matanya langsung menatap wajah karyawannya itu dengan sorot matanya yang tajam. Sorot mata yang membuat rasa takut dalam diri Nisa kian membuncah dan ia pun sudah bersiap untuk menerima kemarahan dari atasannya itu. Nisa memang sangat mengenal sosok atasannya yang sangat tegas dalam menerapkan aturan-aturan di perusahaannya.
"Game over, Nisa. Setelah ini kamu tidak akan punya pekerjaan lagi dan menjadi pengangguran untuk kesekian kalinya, karena kebiasaan burukmu yang selalu bangun kesiangan!" batin Nisa terus merutuki dirinya sendiri.
Tiba-tiba sorot mata yang tajam itu berubah teduh dengan senyuman yang mulai mengembang dari kedua sudut bibir pria paruh baya itu. "Selamat ya Nisa, berkat team yang kamu pimpin, kini kita sudah menjalin kerjasama dengan Troy Corporate dan Tuan Ryan sebagai pimpinan perusahaan di sana ingin menemuimu untuk membicarakan langkah ke depannya. Selamat sekali lagi ya, Nisa, saya bangga dengan kinerjamu."
Nisa menghela napasnya dengan kasar. Dada yang terasa mencengkram seakan kini sudah terlepas, hingga membuatnya dapat bernapas dengan lega.
"Terima kasih ya, Tuan. Kalau begitu saya masuk ke dalam dulu ya."
Edward tiba-tiba saja membuka lengan jasnya, lalu melihat waktu pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Jam 09.00."
Edward berdeham keras. Lagi-lagi langkah Nisa terhenti diambang pintu dengan wajah yang sudah memucat.
"Nisa, tunggu Nisa!" panggil Edward sambil menggelengkan kepalanya.
"Iya Tuan, ada apa lagi memanggilku?" tanya Nisa dengan terbata dan pura-pura tidak mengetahui kesalahannya.
"Baru saja saya bangga kepadamu! Tapi ternyata kamu lagi dan lagi mengulangi kesalahanmu. Ini sudah jam 9, Nisa!"
"Iya maaf Tuan, saya janji tidak akan terlambat lagi."
"Sudahlah, sepertinya proyek ini akan saya alihkan kepada Stella saja dan kamu saya pecat, tapi saya berbaik hati masih akan membayar gajimu bulan ini, walaupun kamu kerja belum penuh sebulan."
"Tapi Tuan, saya mohon jangan pecat saya," pinta Nisa mengharap iba dari atasannya.
"Sudahlah! Kamu bisa berkemas dan segera pergi meninggalkan ruangan ini," ucap Edward dengan tegas, lalu meninggalkan Nisa begitu saja dengan perasaannya yang sedih.
Nisa pun hanya bisa pasrah menerima keputusan atasannya. Ia kini tertunduk dan merasa sangat bodoh karena untuk kesekian kalinya, ia harus kehilangan pekerjaan dengan alasan yang sama, yaitu terlambat datang ke kantor.
"Sekarang aku harus kerja apa lagi? Mana mencari pekerjaan di kota ini susah sekali! Ah, kapan sih kebiasaan burukku yang selalu bangun kesiangan ini hilang? Kapan aku bisa bangun tepat waktu agar nasib pekerjaanku tidak selalu berakhir seperti ini!" keluh Nisa sambil melangkah masuk ke dalam ruangannya untuk mulai berkemas.
Bersambung✍️
Selamat membaca!
Setibanya di apartemen, Nisa langsung merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Raut wajahnya terlihat sendu karena sepanjang perjalanan ia begitu sedih dengan apa yang telah dialaminya.
"Sekarang bagaimana aku bisa membayar sewa apartemen ini," keluh Nisa merasa bingung sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Saat kegelisahannya semakin menghantui, tiba-tiba dering ponselnya berbunyi memecahkan keheningan yang terasa pekat saat itu. Nisa langsung bangkit membuang rasa malasnya untuk sekedar mengintip ke arah layar ponsel yang tergeletak di atas nakas agar ia tahu siapa gerangan yang telah menghubunginya. Saat kedua matanya mulai melihat sebuah nama yang dikenalnya tertera pada layar ponselnya, Nisa pun dengan cepat meraih benda pipih miliknya, walau dengan sebuah pertanyaan yang seketika bertahta di dalam pikirannya.
"Bibi Mia, ada apa ya dia menghubungiku?" tanya Nisa yang kemudian langsung menggeser sebuah simbol telepon berwarna hijau pada layar ponselnya.
"Halo Bibi," jawab Nisa mengawali percakapannya.
"Iya halo, gimana keadaan kamu, Nisa? tanya Mia pada ponakannya yang sudah ia rawat dari sejak Nisa masih balita.
"Tidak baik Bi, aku habis dipecat tadi pagi. Padahal proyek yang aku sedang kerjakan sudah approve oleh pihak perusahaan yang ingin menjalin kerjasama dengan tempatku bekerja, tapi pada akhirnya karena kebiasaanku yang tidak disiplin karena bangun kesiangan jadi membuat aku harus kehilangan proyek dan juga pekerjaanku," keluh Nisa sambil mendengus kesal.
"Bibi turut sedih mendengarnya, tapi kebetulan jika kamu tidak sedang bekerja, Bibi ingin minta tolong sama kamu untuk menggantikan Bibi sebagai baby sitter selama Bibi pulang ke Indonesia. Apakah kamu bersedia?" ungkap Mia diakhiri sebuah pertanyaan yang membuat Nisa seketika berpikir untuk memberikan jawaban apa kepada sang bibi.
Nisa pun masih terlihat mempertimbangkan segala sesuatunya, hingga membuat Mia kembali mengulang pertanyaannya lagi, ketika mendapati keponakannya hanya diam tanpa memberi jawaban atas apa yang ditanyakannya.
"Gimana Nisa? Masa kamu tidak ingin menolong Bibi?" tanya Mia dengan nada memaksa.
"Lagipula aku 'kan sedang tidak ada pekerjaan, ya tidak apa-apa juga kalau aku menerima tawaran Bibi," batin Nisa memutuskan.
"Ya sudah Bi, aku bisa."
Mia pun sangat senang mendengarnya, itu artinya ia bisa leluasa ketika kembali ke Indonesia, untuk mengurus suaminya yang sedang sakit.
Namun, bagi Nisa sendiri ini merupakan pengalaman pertamanya, menjadi seorang baby sitter. Walau begitu wanita berparas cantik itu, sangat antusias untuk menjalani aktivitas barunya. Terlebih setelah Nisa teringat akan apa yang pernah Mia ceritakan padanya tentang kebaikan hati Ryan dan kelucuan Viona, gadis kecil yang akan dijaganya.
***
Di ruang meeting sebuah perusahaan besar yang bernama Troy Corporate, Ryan tampak duduk di kursi kebesarannya dengan beberapa staf kepercayaannya. Saat ini ia sedang melihat dengan seksama persentasi yang dijabarkan oleh Stella, seorang karyawan yang menggantikan Nisa dalam proyek kerja sama dengan perusahaan Edward. Namun, Ryan tak begitu menyukai apa yang Stella sampaikan mengenai proyek yang akan mereka jalani. Baginya persentase Nisa terdengar lebih detail dan mudah untuk dimengerti olehnya.
"Kenapa wanita itu tidak memimpin meeting ini? Padahal caranya mempersentasikan program kerjanya sangat mengesankan, saat aku lihat di video yang Edward kirimkan. Sepertinya aku harus menunda penandatanganan proyek kerjasama ini," batin Ryan mendengus kesal.
Ryan pun bangkit dari kursinya, lalu pergi begitu saja meninggalkan ruang meeting, walau saat itu meeting belum selesai sepenuhnya.
Setiba di ruangannya, duda tampan itu mengambil ponsel dari saku jasnya dan mulai menghubungi Edward. Ryan ingin mengutarakan protes atas perubahan tim yang dikirim oleh temannya itu untuk menangani proyek kerjasama yang telah ia setujui. Sebuah tim yang tidak lagi berada di bawah tanggung jawab Nisa.
Tak butuh waktu lama Edward pun menjawab panggilan telepon dari Ryan.
"Iya halo Tuan Ryan, bagaimana hasil meetingnya apa semua lancar?" tanya Edward dari seberang sana.
"Maaf Tuan Edward sepertinya saya menunda untuk menanda tangani kontrak kerjasama kita. Saya kecewa karena Anda dengan seenaknya mengganti penanggung jawab proyek ini, padahal yang saya lihat di persentase dari video yang dikirim ke email saya, wanita itu sudah bagus dan lebih kompeten dalam menjabarkan persentasenya, tapi kenapa yang datang ke meeting kali ini berbeda dengan wanita yang saya lihat di video kemarin," ucap Ryan diakhiri sebuah pertanyaan yang terdengar sangat ketus.
Edward pun terdiam sejenak. Ia tidak sampai berpikir sejauh itu, bila ternyata Ryan menginginkan Nisa yang tetap memimpin proyek kerjasama itu.
"Maaf Tuan, tapi saya telah memecat wanita yang bernama Nisa itu tadi pagi."
Ryan semakin geram dengan jawaban yang terlontar dari mulut pria paruh baya itu. Ia pun dengan sepihak langsung menutup sambungan telepon itu dan melempar ponsel itu begitu saja di atas meja kerjanya.
"Bodoh tua bangka itu, padahal dia sudah memiliki pekerja yang handal dan bertalenta tapi malah dipecat," gerutu Ryan sambil memijat dahinya perlahan untuk mengurangi rasa pusing yang berkutat di kepalanya.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Ryan akan sesuatu yang membuat kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Kalau Edward membuang Nisa, lebih baik aku tawarkan dia untuk menjadi sekretarisku saja, kebetulan Diana baru saja resign kerja karena kandungannya semakin membesar." Ryan seketika langsung mengambil kembali ponselnya dan terlihat sedang menghubungi seseorang.
Tanpa Ryan sadari perkataannya itu ternyata didengar oleh seseorang yang sebenarnya hendak masuk ke dalam ruangannya. Namun, wanita itu memutuskan untuk menundanya dan memilih untuk kembali ke tempatnya bekerja.
Bersambung ✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!