"Safa" teriak Annisa memecah kesunyian. Dengan gerakan refleks safa melirik ke arah sumber suara itu. Hari ini cuaca sangat terik, membuat pelajaran olah raga yang biasanya sangat di gemari terasa sangat melelahkan.
"Iya nisa, kenapa?" Tanya Safa lembut kepada sahabatnya. Annisa yang memang berada di depan pintu masuk ruang ganti siswi wanita tersenyum sembari berlari kecil ke arahnya.
"Kamu mau ikut pelajaran olahraga? Cuaca lagi terik begitu, mending kamu ikut aku ke ruang UKS. Temenin aku" kata Annisa yang kini sudah berada di ruang ganti. Tak ada siapapun selain mereka di ruang ganti yang luasnya hampir sama dengan ruang kelas itu. Semua siswa masih bermalas-malasan di ruang kelas yang jauh lebih nyaman karena bantuan Air Conditioner.
"Kamu sakit?" Tanya safa sambil melirik ke arah Annisa yang masih mengenakan seragam putih abunya. Tanpa aba-aba tangan Safa menyentuh dahi Annisa. "Tapi kamu gak demam koq" katanya lagi setelah memindahkan tangannya dari dahi Annisa ke leher Annisa.
"Aku lagi dapet periode nih. Sakit banget perutku. Pinggangku juga panas" kata Annisa sambil mengerucutkan bibirnya.
"Itukan wajar. Namanya juga perempuan" kata safa lembut. Senyum manis terkembang di bibirnya. Safa, memang pribadi yang sangat lembut hatinya. Dia juga cantik, meski selalu tampil polos tanpa dandanan. Sangat banyak pria yang mengantri untuk mengharapkan cinta darinya. Dari mulai anak pejabat, anak jendral polisi, anak pengusaha terkaya, hingga anak anggota dewan. Namun tak ada satupun yang berhasil mendapatkan cinta safa.
"Ihh, Safa. Ikut aku aja yuk diem di UKS adem-ademan" Jawab Annisa lagi sambil memonyongkan bibirnya. Safa hanya tertawa sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Panas gini olah raga. Nanti kulit kamu item lagi" lanjutnya lagi. Lagi-lagi Safa hanya tertawa mendengar permintaan Annisa.
Mungkin bagi sebagian orang berpura-pura sakit atau menemani teman yang berpura-pura sakit adalah hal biasa. Namun Safa justru sebaliknya. Ini adalah tahun keduanya sekolah di sekolahan elite dengan hanya mengandalkan beasiswa, membuatnya tak ingin mengambil resiko jika nanti ada guru yang mengetahuinya. Karena beasiswa yang di dapatkannya dengan susah payah itu tak bersifat permanen. Bisa sewaktu-waktu di cabut. Atau lebih parahnya, harus mengembalikan semua biaya sekolah yang sudah di dapatkannya. Jika tidak bisa mengembalikan, di keluarkan dengan tidak hormat oleh sekolah. Dan tak akan ada satu sekolahpun yang akan menerima mantan murid Alexander International School. Sekolah terbaik sekaligus termahal di negara Alexander.
Meski letak sekolah ini berpuluh-puluh KM dari tempatnya dilahirkan, tapi tekadnya yang kuat membuatnya siap tinggal di asrama sekolah.
"Aku anterin kamu ke UKS aja ya. Nanti pas istirahat, aku temenin kamu" jawab safa dengan senyum yang mengembang.
"Hmm, iya deh anak beasiswa yang selalu taat aturan" jawab Annisa sambil menjebikan mulutnya. Lagi safa tertawa melihat sahabatnya sejak masuk sekolah ini 1 tahun yang lalu.
Jarak antara ruang ganti pakaian cukup jauh dengan ruang UKS. Harus melewati deretan kelas, lab bahasa juga perpustakaan dan ruang audio visual. Hingga tiba di depan UKS yang bangunannya hampir mirip dengan klinik kecil di kecamatan kota Safa di lahirkan. Ruangan dengan pintu kaca besar di depannya. Sebuah meja resepsionis berada di sudut ruangan. Dengan 4 buah hospital bed yang di setiap sisinya terdapat tirai yang bisa di buka atau di tutup. Ada seorang dokter wanita yang selalu berjaga, juga 2 perawat wanita yang sangat ramah. Beberapa anak organisasi dokter sekolahpun terkadang ada yang bergantian berjaga.
"Selamat pagi. Silahkan masuk" sapa seorang perawat ramah.
"Saya lagi periode" jawab Annisa tanpa basa-basi. Tampak dia menggigit bibir bagian bawahnnya, untuk lebih meyakinkan jika dia memang benar-benar merasakan sakit.
"Baik, silahkan berbaring disini. Sebentar saya panggilkan dokter" jawab perawat itu ramah. Tak lama seorang dokter muda datang menghampiri kami. Memeriksa sebentar kemudian tersenyum manis ke arah Annisa. Bersamaan dengan itu bell tanda masuk pelajaran berbunyi.
"Nisa, aku tinggal ya" kata safa pada Annisa yang sedang berbaring. "Dok, saya permisi dulu" Safa kini melirik pada dokter muda itu. Dokter itu hanya mengangguk sambil tersenyum ke arah Safa, yang kemudian Safa membalas senyumannya.
Dengan langkah tergesa safa meninggalkan ruang UKS untuk menuju lapangan olahraga terbuka. Safa langsung bergabung dengan murid lainnya di dalam lapangan.
Setelah pak herlambang, guru olahraga mengabsen para siswa di wajibkan mengelilingi lapangan olahraga untuk melakukan pemanasan.
Tak terasa bell tanda berakhir mata pelajaran berbunyi. Semua siswa yang sudah sangat kelelahan menyambut bell itu dengan suka cita. Tak terkecuali Safa. Mereka beriringan memasuki ruang ganti wanita yang di dalamnya juga di sediakan kamar mandi yang berjajar. Kamar mandi ini di sediakan dengan fasilitas yang cukup lengkap sehingga para siswa bisa membersihkan diri usai olahraga dengan nyaman. Ada 10 ruang kamar mandi di ruangan itu, membuat para siswa tidak perlu menunggu giliran lebih lama.
Setelah selesai membersihkan diri, safa kembali ke ruang UKS untuk menemui Annisa. Langkahnya yang tergesa membuatnya tak dapat menghindar ketika bertabrakan dengan seorang kakak kelas.
"Aduhh" ringis safa saat Azka, anak kelas 3 menabraknya di depan ruang UKS.
"Maaf.. maaf.. tadi saya buru-buru" kata Azka yang mencoba membantu Safa untuk bangkit.
"Gak apa-apa. Aku yang salah. Jalannya buru-buru" jawab Safa.
"Kamu safa ya? Pemenang lomba LKIR tahun ini" Tanya Imam saat pandangan mereka beradu.
"I..ya. Tapi maaf kamu siapa?" Tanya safa sambil mengernyitkan dahinya.
"Oh iya kenalin, saya Azka" jawab Azka seraya mengulurkan tangannya yang kemudian di sambut oleh Safa.
"Salam kenal" jawab Safa sembari tersenyum. Senyum yang indah, yang akan membuat hati siapa saja yang melihatnya akan tertarik.
"Selamat ya" jawab Azka lagi seraya membalas senyuman manis Safa.
"Terimakasih" jawab Safa lembut. "Maaf, aku tinggal. Temanku sakit. Saya mau menemuinya" kata Safa lagi yang di balas dengan anggukan oleh Azka. Dengan langkah hati-hati, Safa masuk ke dalam ruang UKS yang kini tampak lebih ramai. Ada seorang siswa lain yang juga di rawat di dalam UKS dengan di temani setidaknya 3 orang siswa lain.
"Maaf, nisa aku telat datengnya. Gimana udah baikan?" Kata safa sesaat setelah membuka tirai yang di biarkan tertutup tempat hospital bed yang di tiduri Annisa.
"Gak apa-apa. Gimana tadi? Pak herlambang nanyain aku gak?" Tanya Annisa lagi.
"Iya, tapi udah aku bilangin kamu lagi di UKS" kata safa seraya mendudukan dirinya di kursi samping hospital bed.
"Makasih. Aku juga sekarang udah agak mendingan, aku mau masuk kelas lagi" kata Annisa yang kemudian di jawab dengan anggukan oleh Safa.
"Jadi kita ke kelas sekarang nih?" Tanya Safa dengan senyum manis yang mengembang. Annisa hanya mengangguk. "Yakin? Emang kamu udah gak apa-apa?" Tanya Safa lagi. Lagi-lagi Annisa hanya mengangguk.
Annisa yang sedari tadi berbaring mencoba untuk bangkit. Merapikan seragamnya yang tampak terlihat kusut karena rebahan tadi.
"Sekarang?" Tanya safa lagi seraya memandang ke arah Annisa.
"Tunggu dokter dulu. Dokternya lagi meriksa kakak kelas yang tadi jatuh dari tangga" Jawab Annisa. "Ya ampun ganteng banget..." Kata annisa tiba-tiba. Membuat Safa dengan refleks melirik ke arah belakang.
"Siapa?" Tanyanya heran saat melihat 3 orang pria yang sedang berdiri di luar kamar ruang Annisa istirahat. Tirainya tadi memang lupa Safa tutup kembali. "Azka?" Tanya Safa lagi.
"Bukan, Azka. Itu Fahrul" tunjuk Annisa pada seorang pria yang berada di antara 2 pria lainnya.
"Yang mana?" Tanya Safa sambil terus memerhatikan ketiga pria itu.
"Itu yang gak pake jas almamater" kata Annisa lagi seraya matanya tak melepaskan pandangan dari orang yang tadi di maksud. "Eh, kamu kenal Azka?" Kini Annisa berbalik ke arah Safa. Matanya menatap Safa dengan heran. Mungkin Azka memang cukup populer di kalangan para siswa dan siswi SMA AIS, panggilan populer untuk menyebut Alexander International School yang populer di masyarakat. Tapi, Safa? Sejak kapan dia memperhatikan makhluk lain di sekolah ini selain teman sekelasnya dan juga Jenny teman berbagi kamar di asramanya.
"Oh, Azka? Tadi aku gak sengaja nabrak Azka di depan pintu UKS" kata Safa masih dengan wajah cueknya.
"Beneran?" Tanya Annisa yang langsung di jawab oleh anggukan. "Terus kalian kenalan?" Tanya Annisa lagi. Matanya berubah berbinar. Safa kembali menganggukan kepala. "Nanti kenalin aku ya sama Fahrul" jawabnya lagi seraya mengembangkan senyuman.
"Aku gak kenal sama Fahrul" jawab Safa cepat.
"Iya kamu minta tolong aja sama Azka, bisa kan?" Kata Annisa lagi.
"Hah? Gak ah. Aku gak berani" jawab Safa seraya membelo kan matanya.
"Please..." Annisa memohon dengan menempelkan kedua telapak tangannya. "Dari kelas satu aku suka sama Fahrul" cibirnya dengan pandangan yang kini tertunduk. "Maukan bantuin aku?" Lanjutnya lagi dengan suara lirih dan penuh harap. Safa yang tampak serba salah menatapnya bingung. Sementara otaknya di penuhi dengan berbagai strategi untuk memenuhi keinginan sahabat baiknya itu.
"Tapi aku gak janji ya" kata Safa masih dengan wajah bingung. Annisa menyambut jawaban Safa dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya. Seraya memandang langit-langit ruang UKS dengan wajah yang berbinar. Membayangkan bagaimana Annisa akan berkenalan nanti dengan Fahrul, seorang pria yang di sukainya secara diam-diam sejak pertama dia sekolah di AIS.
Fahrul, Robby, Azka dan Giano sedang saling berkejaran menuju ruang lab bahasa. Mereka sudah terlambat 3 menit dari jadwal masuk kelas Bahasa, karena sebelumnya mereka menghadiri pertemuan para petinggi OSIS di ruang OSIS yang berjarak cukup jauh dari ruang lab bahasa.
Karena terburu-buru Robby tak sengaja menendang tong sampah di samping tangga yang akan mereka turunin. Seketika saja tubuh Robby oleng ke samping, membuatnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk ke lantai tepat di anak tangga pertama. Membuat Robby menggelinding ke bawah. Luka sobek di dahinya, mengeluarkan banyak darah. Membuat Fahrul, Azka dan Giano panik dan lantas membawanya ke UKS.
"Siang sus, teman saya terluka. Jatuh dari tangga" kata Azka saat membuka pintu. Darah di dahi Robby terus menetes hingga ke kemeja yang di kenakannya. Bahkan menetes di lantai. Tanpa bertanya lebih jauh sang suster menyuruh mereka untuk membaringkan Robby di hospital bed no 1 atau 3 bed di depan Annisa.
Suster lainnya mulai mengambil peralatan dan juga manggil dokter di ruangan khusus di belakang meja receptionis.
Dengan langkah tergesa, dokter menghampiri Robby. Yang sudah tertidur di hospital bed dengan darah yang masih terus menetes. Dokter kemudian memeriksa luka di dahi Robby, dan kemudian menyuruh suster menyeka dan membersihkan lukanya.
Suasana yang tadi di dalam UKS hening berubah menjadi sangat tegang. Fahrul, Azka dan Giano berdiri agak jauh dari bed tempat Robby.
"Koq bisa sih, si Robby nyuksruk begitu tadi" tanya Fahrul dengan mimik muka cemas. Seragamnya di penuhi bercak darah Robby. Saat mengangkat robby tadi, Fahrul mengangkat bagian kepalanya. Sementara Azka di bagian pinggang dan Giano di kakinya.
"Gue liat sih. Tadi si Robby gak sengaja nendang tong sampah terus badannya oleng ke kiri. Jadi kepalanya nyium ujung tembok yang pas pegangan tangan itu" Jawab Giano sambil memamerkan muka tegangnya. "Tuh anak emang gak hati-hati" lanjutnya lagi.
"Lagian tadi elo sih lari-lari. Jadi begini kan?" kata Fahrul dengan wajah yang tak kalah tegang.
"Lha koq gue sih? Gue kan cuma takut terlambat masuk. Lo tau kan miss Carrol kayak gimana?" Jawab Giano. "Ngeri-ngeri sedep kalau marah. Hiyy..." lanjut Giano sambil bergidik.
"Udah, kita doakan aja yang terbaik. Gue yakin si Robby gak apa-apa. Gue ke toilet dulu ya" kata Azka sambil memamerkan darah di telapak tangannya, karena tadi Azka sempat menahan luka Robby dengan telapak tangannya. "Sekalian mau ke lab, mau minta izin" Fahrul dan Giano hanya mengangguk untuk mengiringi langkah kepergian Azka.
Setengah berlari Azka melewati deretan bangunan yang berjejer di sisi kanannya. Terus berjalan melewati beberapa ruang kelas, ruang ganti pria serta Gedung olah raga. Hingga berakhir di toilet pria. Azka kemudian membersihkan dirinya. Darah di tangannya yang sudah mengering merubah warna air menjadi merah yang mengalir di wastafel berwarna putih. Beberapa cipratan darah tampak menodai kemejanya. Setelah dirasa sudah sedikit bersih, Azka kemudian berlari menuju ruang lab bahasa untuk menemui Miss Carroll yang terkenal tegas dalam mendidik para murid AIS.
"Good afternoon, sir. May I come in? (Selamat siang, bu. Apa saya boleh masuk?)" Sapa Azka dengan wajah pucat pasi. Azka menyadari dia sudah terlambat 30 menit lebih yang tentu sudah tak lagi akan ada tolelir dari miss Carroll.
"Why did you come late, Azka?(Kenapa kamu datang terlambat, Azka)" tanya miss carrol dengan wajah yang paling kecut yang pernah di lihat Azka. Belum sempat Azka menjawab pertanyaan dari Miss Carrol, sebuah pertanyaan lain di lontarkan oleh miss Carroll. "What's with your uniform. I saw there was blood stain there(Ada apa dengan seragammu? Saya melihat ada noda darah disana)" Tanya Miss Carrol dengan mata yang kini tertuju pada noda darah di seragam Azka.
Dengan wajah menunduk Azka menceritakan noda darah itu berasal yang kemudian di jawab oleh anggukan kepala miss carrol dan Miss carroll juga memberikan Azka dan ketiga kawannya itu untuk tak mengikuti pelajaran saat ini. Tentunya dengan setumpuk tugas rumah sebagai gantinya.
Azka kemudian pamit pada Miss Carrol dan kembali menuju UKS. Langkahnya tergesa, pandangannya focus pada layar ponsel yang ada di genggamannya. Hingga tanpa sengaja dia menabrak seorang gadis cantik. Satu-satunya murid yang dapat mengalahkannya dalam perlombaan LKIR. Lomba Karya Ilmiah Remaja yang sudah beberapa tahun ini di juarai olehnya. Sebenarnya Azka sudah lama ingin berkenalan dengan Safa, sekedar ingin tahu latar belakang gadis yang sudah mengalahkannya. Namun selalu tak ada kesempatan bagi dirinya.
Murid AIS tak banyak yang tahu tentang Safa. Membuatnya sangat kesulitan mencari informasi tentang gadis itu. Seolah Safa hanya bagian kecil dari ribuan murid di AIS. Meski prestasi yang di raihnya cukup membanggakan, namun kehadiran dirinya yang memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa terlupakan begitu saja. Setelah beberapa bulan meraih kejuaraan itu. Begitu banyak murid berprestasi di Sekolah ini. Dan bahkan banyak siswa yang menangkan kejuaraan dalam berbagai bidang, membuat Safa yang memang bukan siapa-siapa mulai terabaikan.
Kalau saja Safa tak mendapatkan beasiswa itu, takan mungkin dia dapat berdiri di sekolah ini sekarang. Sekolah yang menjadi impian semua anak di negara Alexander. Yang sudah pasti biaya masuk sekolahnya setara dengan harga sebuah mobil kelas menengah. Belum lagi biaya perbulannya, yang setara jika di bandingkan dengan gaji bapak selama 6 bulan mengajar di SD swasta di Kalia.
Satu-satunya yang Azka tahu tentang Safa, hanyalah seorang anak Asrama dengan beasiswa full. Hanya itu. Tak ada yang lain.
Saat pertama Azka menyadari jika yang berhasil mengalahkannya dalam lomba LKIR, adalah seorang anak Asrama dengan full beasiswa membuatnya sangat murka. Namun sangat pertama kali dia melihat wajah rivalnya itu membuatnya sedikit tertegun. Gadis dengan paras cantik dan menawan yang berdandan sangat sederhana berhasil merubah rasa murkanya menjadi rasa penasaran.
Safa memang berbeda dengan kebanyakan murid wanita di AIS. Tampilannya sangat sederhana. Wajahnya polos tanpa riasan. Sangat kontras bila di bandingkan dengan kebanyakan murid wanita disini. Yang selalu berdandan dengan sangat mencolok juga seragam yang begitu mini.
Rasa penasaran itulah yang menuntun Azka untuk mengetahui sosok Safa yang kini telah berjongkok di hadapannya, karena tadi saat bertabrakan dengannya tubuh Safa terjatuh ke atas lantai putih.
Dengan segera Azka membantunya untuk bangun. Hingga wajahnya berubah saat melihat sosok Safa di hadapannya.
"Safa?" kalimat itu meluncur bebas dari bibirnya.
Safa sedang duduk di meja belajarnya, ketika Jenny masuk ke dalam kamar. Tugas Mr Anggoro membuatnya berkonsentrasi penuh dengan angka dan rumus di hadapannya. Hingga Safa tak menyadari kedatangan Jenny teman sekamarnya.
"Serius amat" kata Jenny sembari menepuk bahunya pelan.
"Ehh" kata Safa sembari mendongakkan kepalanya. "Aku kirain belum pulang. Tumben pulang cepet. Biasanya masih di kantin jam segini?" Tanya Safa lagi yang kemudian pandangannya kembali focus pada angka yang berderet rapih di buku tugasnya.
"Ini kan hari Sabtu. Sekolah bubar jam 12" Jawab Jenny seraya mengambil handuknya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Selain bersekolah, Jenny juga bekerja paruh waktu di kantin sekolah AIS. Sehabis pulang sekolah, Jenny akan mengambil alih pekerjaan mencuci perabotan dan membersihkan ruang kantin. Dia pula lah yang bertugas belanja di supermarket untuk olahan besok. Jenny biasanya akan berangkat ke kantin sekolah jam 3 pagi, lanjut sekolah dan setelah pulang sekolah dia akan kembali ke kantin. Dan akan pulang selepas pukul 18:30.
Sementara Safa bekerja paruh waktu di perpustakaan sekolah yang juga di buka untuk umum. Setiap hari sepulang sekolah Safa akan membantu Miss Betty di perpustakaan. Membantunya menulis semua peminjam buku, dan juga merapihkan buku dan menyusunnya di dalam rak yang berjajar rapih sesuai dengan genre nya. Perpustakaan ini memiliki ribuan judul buku. Dari mulai sastra, pengetahuan, hingga novel terkenal dari berbagai negara. Dengan upah yang tentunya cukup untuk memenuhi kebutuhan Safa selama tinggal di Asrama. Tentunya juga dengan hidup sangat berhemat. Safa dan Jenny memang tidak terlahir dari keluarga berada. Mereka tinggal dan bersekolah di AIS dengan penuh perjuangan selama 9 tahun sebelumnya. Dengan mendapatkan peringkat pertama di kelas setiap semester, membuat mereka mempunyai kesempatan untuk mengikuti seleksi ujian masuk AIS dengan jalur Beasiswa Full.
Hampir semua siswa dan siswi yang tinggal di asrama memiliki pekerjaan sampingan. Karena sebagian besar penghuni asrama berasal dari keluarga yang berkecukupan saja. Mereka semua hanya mengandalkan beasiswa untuk dapat menuntut ilmu di AIS. Beasiswa yang di berikan kepada murid berprestasi di AIS hanya pembebasan biaya sekolah, dan juga asrama. Mereka tak di berikan uang saku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Biaya hidup di ibu kota negara ini cukup mahal. Di bandingkan dengan biaya hidup di daerah tempat mereka berasal, bisa berkali-kali lipat besarnya.
"Kamu gak ke perpus?" Tanya Jenny yang sudah selesai mandi.
"Tadi miss betty suruh aku pulang. Baru nanti malem tempur lagi sama ribuan buku di perpus. Hari ini ada 200 judul buku baru yang dateng. Jadi nanti malem sepertinya aku akan pulang sangat larut" jawab Safa seraya menutup buku tugasnya dan kemudian membalikan tubuhnya ke arah Jenny.
"Hmm" guman Jenny. "Oh iya hampir lupa, tadi aku ketemu ma Azka di kantin. Terus dia nanyain kamu. Kamu kenal?" Tanya Jenny seraya menatap Safa dengan tatapan ingin tahu.
"Azka yang kakak kelas itu kan?" Safa balik bertanya.
"Iya. Kamu kenal?"
"Beberapa hari lalu aku gak sengaja nabrak dia di depan UKS"
"Beruntung banget kamu di tanyain ma Azka?"
"Lha emangnya kenapa?"
"Kamu beneran gak tau siapa Azka?"
"Siapa emang?" Tanya Safa sambil membereskan buku di meja belajarnya. Sebenarnya dia tak terlalu ingin tahu siapa Azka. Namun rasanya tak akan enak saja jika dia tak menanggapi Jenny.
"Dia itu anak Pak Suyoto. Penyumbang dana terbesar di yayasan ini. Dia punya 1 kakak laki-laki, cuma katanya udah meninggal saat si Azka ini masih kecil. Jadilah dia anak tunggal"
"Pak Suyoto pemilik PT Berlian Group? Orang terkaya no 1 di Alexander?" Kini Safa mulai membalikan badannya pada Jenny yang seolah sangat berapi-api menjelaskan latar belakang keluarga Azka.
"Ya betul sekali. Selain kaya, dia juga pinter. Cuma..." Kata Jenny yang kemudian menggantungkan kalimatnya.
"Cuma apa?" Tanya Safa penasaran.
"Bad boys"
"Maksudnya?"
"Ceweknya lusinan. Ganti pacar kayak ganti baju aja. Rebbeca, Alena, Nindia, Maya, Jihan, terus hmm..." Jenny menghentikan kalimatnya. Dahinya mengkerut seolah sedang mengingat sesuatu. "Mega, Cecilia, Rubby, Ghea, Zenita, Rhea, Anggita..."
"Itu semua pacarnya Azka?" Tanya Safa yang memotong pembicaraan Jenny.
"Yes. And any more"
"Realy? Terus mereka semua tau?"
"Maksudnya?"
"Iya tahu kalau mereka di selingkuhin sama banyak gadis"
"Ahhh, itu udah jadi rahasia umum kali"
"Aneh, koq mau ya? Pacaran sama cowok yang bad boys gitu. Malah bukannya bikin sakit hati?" Tanya Safa seraya menggelengkan kepalanya.
"Ya, secara lah pewaris tunggal kerajaan Pak suyoto yang hartanya gak mungkin habis 7 turunan meski hidup glamour setiap hari" kata Jenny sambil menyerungai.
"Ya tetep ajalah. Sakit hati, cemburu. Berasa hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Saat jaman kerajaan, permaisuri raja pasti jumlahnya puluhan. Tapi mereka akur aja hidup di zenana kerajaan. Hmm, menarik"
"Ya kali kalau pemikirannya begitu. Tapi kan orang macem Rebbeca gak mikir kesitu. Yang penting uang dan ketenaran"
"Macem Rebecca gimana?"
"Artis sensasi tanpa prestasi. Alasannya sudah jelas donk. Ingin mendongkrak popularitas dia. Syukur-syukur masuk infotaiment"
"Azka? Perasaan aku belum pernah liat dia ada di stasiun TV manapun"
"Iya Azka sih gak. Bapaknya yang sering berseliweran di stasiun TV. Apalagi ibunya yang beberapa kali pernah nongol di infotaiment" Kata Jenny yang kini sedang menyantap mie instan yang barusan telah di masaknya menggunakan kompor listrik. "Nih ada titipan dari Azka. Katanya kamu suruh hubungin dia" lanjutnya lagi seraya memberikan secarik kertas bertuliskan no telepon.
"Hubungin dia? Buat apa?"
"Ya mana aku tau. Dia cuma sampein kayak gitu aja" jawab Jenny tanpa melepas pandangannya dari mangkuk berisi mie yang masih mengepulkan asap.
"Hmm" jawab Safa sambil menyelipkan kertas itu di halaman tengah buku biologinya.
"Jadi?" Tanya Jenny dengan mulut penuh.
"Jadi apa?" Safa balik bertanya.
"Mau di telepon gak?" Tanya Jenny yang kini sedang memelototi Safa.
"Gak janji" jawab Safa sembari berlalu dari hadapan Jenny. Jenny yang kini sedang menikmati mie suapan terakhirnya hanya melotot tanpa berniat bertanya lagi. Meski dalam kepalanya di jejali berbagai pertanyaan. Namun semua pertanyaan yang sudah muncul di kepalanya jenny simpan tetap di tempatnya tanpa berniat bertanya apa-apa lagi pada Safa.
Bahkan hanya sekedar bertanyapun tidak. Sebagai teman yang memang sudah sangat dengan Safa, Jenny sudah faham betul bagaimana karakter sahabatnya itu. Mereka sudah kelas 2 SMA, namun Jenny tak pernah sekalipun melihat Safa berpacaran atau bahkan hanya sekedar dekat pun tak pernah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!