Keheningan kembali terjadi seperti biasa saat Rengga Cafanza melangkah memasuki perusahaannya, seluruh karyawan yang melihat Rengga dari kejauhan bergegas memulai pekerjaanya tanpa ada yang berani berbicara satu sama lain.
Setelah Rengga Cafanza memasuki ruangan kantornya seluruh karyawan menghela nafas lega, mereka semua tahu sifat Rengga yang tidak perduli kapan, dimana, benar atau salah Rengga akan memarahi siapa saja yang menurutnya mengganggu pemandangannya.
Di dalam ruangannya, Rengga duduk dengan serius sambil menatap layar laptop di depannya. Rengga memandangi sebuah foto seorang wanita pujaannya sambil tersenyum, dua bulan lagi akhirnya dirinya mengakhiri masa lajangnya.
"Tuan, gawat Tuan!" asisten Rengga yang bernama Ian langsung masuk ke ruangan Rengga tanpa mengetuk pintu.
"Apa yang terjadi? dimana sopan santun mu? apa kamu sudah tidak ingin bekerja lagi?" bentak Rengga sambil menatap Ian dengan serius.
"Maaf Tuan, tapi ini benar-benar gawat, ini tetang Nona Anggi" ucap Ian sambil menatap Rengga, Ian tidak perduli jika ketidak sopanannya membuatnya harus kehilangan pekerjaannya.
"Kalau begitu katakan, apa yang terjadi dengan Anggi" sahut Rengga yang langsung memasang wajah seriusnya.
"Nona Anggi kecelakaan dan meninggal dunia" ucap Ian sambil menundukan kepalanya.
"Apa!" sahut Rengga yang merasa sangat terkejut mendengar perkataan Ian.
"Nona Anggi kecelakaan setengah jam yang lalu, sekarang jasadnya masih ada di rumah sakit Mega Bangsa" ucap Ian.
Rengga yang mendengar kabar buruk tentang calon istrinya bergegas pergi, tanpa banyak bicara Rengga keluar kantornya menuju rumah sakit di mana jasad calon istrinya berada.
Hanya membutuhkan sepuluh menit perjalanan Rengga sampai di rumah sakit, Rengga mendatangi kamar mayat sesuai yang di katakan suster saat dia bertanya sebelumnya.
Banyaknya mayat yang terbaring tidak membuat Rengga ketakutan, Rengga membuka satu-persatu kain penutup mayat hingga akhirnya menemukan apa yang di carinya.
"Anggi, kenapa kamu meninggalkan ku. Dua bulan lagi hari pernikahan kita, kenapa kamu pergi meninggalkan aku sendiri" ucap Rengga sambil menangis menggengam tangan calon istrinya yang sudah tidak bernyawa.
"Aku mencintaimu Anggi, bangunlah" sambung Rengga yang masih terus menangis tersedu-sedu mengalahkan tangisan wanita.
"Yang sabar, Anggi mungkin bukan jodoh mu" ucap wanita paruh baya sambil menepuk pundak Rengga.
Rengga memutar badannya menatap Ibu Anggi, Ibu Anggi selama ini sangat baik padanya, hubungannya dengan Anggi mendapat restu Ibunya dari pertama kali dirinya datang ke rumah Anggi.
"Pulanglah nak, Kami akan membawa jenasa Anggi untuk di makamkan" ucap Ibu Anggi.
"Bagaimana dengan pernikahan ku?" sahut Rengga.
"Anggi sudah tidak ada, kamu harus bisa melupakannya, ku harap kamu bisa mendapat wanita yang lebih baik dari putri ku" ucap Ibu Anggi.
Rengga yang mendengar perkataan Ibu Anggi langsung berjalan keluar, Rengga tidak menyangka Ibu Anggi berbicara seperti itu di saat dirinya merasa kehilangan dan terpukul berat setelah kepergian Anggi.
Kesedihan yang di rasakan Rengga membuatnya tidak bisa melakukan apapun, seharian mengurung diri di kamar sama sekali tidak bisa membuatnya lepas dari kesedihannya.
Anggi masih hidup, aku percaya yang tadi ku lihat hanya ilusi. Anggi sering mengajak ku pergi ke Bar Anggrek, aku yakin saat ini dia pasti menunggu ku di sana" dalam hati Rengga.
Rengga bergegas mengganti bajunya, mobil berwarna silver kesayangan di bawanya melaju ke sebuah Bar yang telihat sangat ramai.
Rengga memasuki Bar sambil memperhatikan sekelilingnya, Rengga mencari Anggi ke setiap sudut ruangan sambil berharap bisa menemui calon istrinya di sana.
Pemilik Bar yang masih teman Rengga langsung menghampiri Rengga, Aldo merasa kebingungan, tidak biasanya Rengga terlihat sedang mencari seseorang di tempatnya.
"Hey, Siapa yang kamu cari?" tanya Aldo.
"Anggi kemana? kenapa dia tidak datang?" tanya Rengga balik sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Anggi calon istrimu, bukannya dia meninggal dunia tadi siang" sahut Aldo.
Braaaaaak...
Rengga memukul meja di depannya sambil menatap Aldo dengan serius, Rengga tidak menyangka Aldo berkata seperti itu di depannya.
"Cari mati, apa maksudmu bicara seperti itu" teriak Rengga sambil mencengkram kerah baju Aldo.
Aldo hanya diam sambil menatap Rengga, Aldo bisa memahami bagaimana perasaan Rengga yang baru saja kehilangan orang yang di sayangnya.
"Haaaah, lupakan saja, ambilkan yang sering ku minum" ucap Rengga yang langsung melepaskan tangannya dari baju Aldo.
Aldo memanggil pelayannya dengan cepat, Aldo meminta pelayannya mengambilkan minuman yang biasa di minum oleh Rengga.
Sepuluh botol yang di minta Rengga kosong hanya dengan hitungan menit, Rengga yang mulai mabuk terus berbicara yang sama sekali tidak di mengerti oleh Aldo.
"Aku mau wanita yang di sana, bawakan dia untuk ku" ucap Rengga sambil menunjuk seorang wanita.
"Apa kamu yakin, tapi kamu baru saja" sahut Aldo yang tidak melanjutkan perkataannya.
"Aku mau wanita itu, kalau Bar mu masih mau buka lebih baik cepat bawa wanita itu padaku" ucap Rengga sambil berjalan ke arah Kamar yang biasa di pesannya.
Aldo menghela nafas panjang, wanita yang di tunjuk Rengga bukanlah pelayannya, jika ingin wanita itu jalan satu-satunya hanya dengan meminta anak buahnya menculik wanita itu dan membawanya ke Rengga.
Aldo yang bingung bagaimana cara membawa Vina Aulia, wanita yang di minta Rengga terpaksa terus memperhatikan gerak gerik Vina. Tidak butuh waktu lama ternyata keberuntungan berpihak padanya, Aldo yang melihat Vina berjalan ke toilet bergegas meminta anak buahnya membius Vina dan mengantarkannya ke Rengga.
"Emmmm, Emmmm"
Suara teriakan yang tiba-tiba menghilang membuat Aldo tersenyum puas, anak buahnya yang keluar dari kamar Rengga setelah mengantar Vina membuatnya menjadi semakin lega.
Di dalam kamar, Rengga yang masih di bawah pengaruh minuman keras langsung menatap tubuh Vina, Walau tidak sebagus tubuh Anggi Rengga cukup puas melihat wanita yang terbaring di depannya itu.
Rengga menarik baju Vina dan merobeknya dengan sangat cepat, hanya dengan hitungan detik tubuh Vina yang mulus bisa di pandangi Rengga sampai puas.
Tanpa menunggu lebih lama Rengga menerjang tubuh Vina yang masih terbaring tidak sadarkan diri, perasaan berbeda saat dirinya melakukannya dengan Anggi tidak membuat Rengga menghentikan apa yang di lakukannya saat itu.
Pergulatan yang melelahkan akhirnya selesai, Aldo yang melihat Rengga keluar dari kamar langsung menghampirinya.
"Aku akan mengantar mu pulang" ucap Aldo.
"Cih, aku bisa sendiri" sahut Rengga sambil berjalan melewati Aldo.
Aldo menatap Rengga sambil bertanya-tanya di dalam hati apa Rengga sudah mendapatkan kesadarannya kembali, tapi jika di pikir lagi orang seperti Rengga tidak mungkin mati hanya karena menyetir mobil dalam keadaan setengah sadar.
Di dalam kamar, Vina membuka matanya perlahan. Di lihatnya dirinya berbaring di tempat asing yang sama sekali tidak di ketahuinya, Vina bergegas duduk sambil memperhatikan sekelilingnya, bajunya yang berhamburan di lantai membuatnya merasa sangat terkejut.
"Apa yang terjadi padaku" ucap Vina sambil melihat tubuhnya yang di tutupi selimut.
Vina yang masih kebingungan hanya bisa diam, suara pintu terbuka membuat Vina menarik selimutnya menutupi tubuhnya.
"Kamu sudah sadar" ucap Aldo sambil berjalan memasuki kamar.
"Apa yang terjadi pada ku?" tanya Vina.
"Pakailah ini" sahut Aldo yang langsung melemparkan satu set baju ke samping Vina.
Aldo meninggalkan Vina dan kembali menutup pintunya. Vina sendiri yang tidak memiliki pilihan lain terpaksa memakai baju yang di berikan Aldo, setelah memakai baju Vina bergegas keluar kamar menghampiri Aldo yang masih berdiri di depan pintu kamar.
"Jawab aku, siapa yang meniduri ku?" tanya Vina.
"Ambillah kartu ini, di dalamnya ada 350 juta, ku harap kamu melupakan apa yang terjadi" sahut Aldo sambil memberikan kartu berwarna abu-abu kepada Vina.
Vina yang mendengar perkataan Aldo langsung terdiam, saat ini dia memang membutuhkan uang untuk kuliah ke luar negeri bersama sahabatnya, dan uang yang di berikan Aldo cukup untuknya bahkan bisa di bilang lebih.
"Kalau begitu aku akan melupakannya" ucap Vina sambil berjalan keluar Bar.
Walau uang yang di dapatnya bukan uang bersih Vina merasa sangat senang, Vina kembali ke kosannya berharap Lidia juga merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan.
Sampai di depan kosannya Vina memasang wajah suram, sepatu pria yang berada di depan kosannya sangat tidak asing baginya.
Vina yang memiliki kunci cadangan langsung membuka pintu kosannya, betapa terkejutnya dia melihat sahabatnya dan pacarnya tidur di kasur yang sama tanpa memakai selembar pakaian.
"Bagus, bagus, aku benar-benar tidak menyangka" teriak Vina sambil bertepuk tangan.
Suara Vina yang sangat keras membangunkan dua sejoli yang tertidur lelap, keduanya menatap Vina sambil bergegas mengambil pakaian masing-masing dan memakainya.
"Vin, ini tidak seperti yang kamu bayangkan" ucap Lidia.
"Memangnya apa yang ku bayangkan" sahut Vina sambil menatap sahabatnya dengan penuh rasa jijik.
"Sayang biar aku jelaskan sebenarnya aku hanya mabuk, kami melakukannya tidak sadar" ucap Bram, pacar Vina.
"Oh begitu, aku bisa mengerti itu" sahut Vina.
"Aku tahu kamu yang terbaik" ucap Bram yang langsung ingin memeluk Vina.
"Kita putus, Silahkan kalian lakukan apa yang kalian suka" sahut Vina yang langsung berjalan keluar.
"Vin tunggu, bagaimana dengan kuliah, bukannya kita akan kuliah di luar negeri bersama" ucap Lidia.
"Aku tidak akan kuliah, lebih baik aku menjadi orang yang tidak berguna dari pada harus bersama dengan penghianat" sahut Vina.
Braaaaaaaak...
Vina membanting pintu kamar kosnya lalu berjalan pergi, untung saja di kosnya hanya ada beberapa lembar bajunya, meninggalkan kosan yang pernah di tinggali para penghianat adalah pilihan yang terbaik baginya.
"Bodohnya aku dulu berharap bisa kuliah bersama dengannya, hahaha" ucap Vina sambil tertawa sepanjang jalan.
Vina yang merasa sangat kecewa membuatnya mengingat bahwa kesuciannya hilang semalam, dan betapa bodohnya dia setelah kehilangan kesuciannya dirinya tidak menyesal hanya karena uang agar bisa kuliah bersama sahabatnya.
Vina yang merasa kelelahan karena terus berjalan memutuskan duduk di kursi taman, di sandarkannya tubuhnya sambil menutup matanya, Vina berharap dirinya bisa melupakan apa yang di lihatnya tadi.
"Kak Vina" sapa suara pria tepat di samping Vina.
Vina membuka matanya menatap pria muda yang berdiri di sampingnya, senyum pria itu seakan membuat Vina merasa tidak asing dengan pria yang menyapanya itu.
"Kak Vina, ini aku Andreas" ucap pria muda itu sambil terus menatap Vina.
"Andreas" sahut Vina. Vina mencoba mengingat kembali di mana dia pernah bertemu pria bernama Andreas.
"Aku adik kelas kakak" ucap Andreas.
"Oh" sahut Vina singkat, pantas saja dirinya merasa tidak asing ternyata Andreas adalah mantan adik kelasnya.
"Kakak kenapa?" tanya Andreas sambil menatap mata Vina yang terlihat bengkak.
"Tidak ada apa-apa" sahut Vina yang langsung memalingkan wajahnya.
Andreas bisa melihat dengan jelas bahwa Vina baru saja selesai menangis, Andreas yang merasa kasihan dengan Vina langsung menarik tangannya membawa masuk ke dalam mobilnya.
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanya Vina.
Andreas tidak menjawab pertanyaan Vina, karena jika Vina tahu dirinya membawa ke rumahnya Vina tidak akan mau mengikutinya.
Tidak butuh waktu lama Andreas memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah besar, Andreas membuka pintu mobil Vina sambil tersenyum.
"Ini rumahku, aku tinggal dengan paman ku" ucap Andreas yang langsung menarik tangan Vina.
Vina hanya diam melihat Andreas menarik tangannya dengan penuh semangat, Andreas meminta Vina duduk di ruang tamu, setelah itu dirinya bergegas pergi meninggalkan Vina sendirian.
Andreas kembali menghampiri Vina membawa sebaskom air hangat dan kain, Andreas duduk di samping Vina sambil memeras kain yang baru di celupkannya ke air hangat.
"Tidak perlu, aku tidak apa-apa" ucap Vina menahan tangan Andreas.
"Aku hanya tidak ingin melihat mata Kakak bengkak" sahut Andreas.
"Kalau begitu aku akan melakukannya sendiri" ucap Vina yang langsung mengambil kain di tangan Andreas.
Vina bergegas mengusap matanya dengan kain tanpa menoleh ke arah Andreas, setelah tiga usapan Vina menaruh kembali kain ke dalam baskom di depannya.
"Terima kasih, aku pergi dulu" ucap Vina yang langsung berdiri.
"Tunggu, aku baru saja ingin masak, Kakak tinggal sebentar di sini setelah makan aku akan mengantar Kak Vina" sahut Andreas, memasang wajah memohonnya.
"Kalau begitu maaf merepotkan mu" ucap Vina sambil kembali duduk.
Andreas tersenyum lalu berjalan pergi, saat di sekolah dulu Vina terkenal sebagai cewek baik yang tidak tegaan, Andreas merasa sangat senang rencananya membuat Vina tinggal lebih lama berhasil.
"Haaaaah" Vina menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya.
Vina yang baru saja menyandarkan tubuhnya tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang berjalan ke arahnya, tidak lama dari suara yang di dengarnya seorang pria berdiri di depannya menatapnya dengan tajam.
"Siapa kamu?" tanya Rengga yang ternyata paman Andreas.
"Aku" sahut Vina yang langsung berdiri.
"Aku penasaran bagaimana bisa pencuri berhasil memasuki rumah ku" ucap Rengga.
"Aku bukan pencuri" sahut Vina sambil mengepalkan tangannya.
"Kalau bukan pencuri lalu apa, atau kamu mata-mata yang di kirim pesaing ku" ucap Rengga yang langsung mencekik leher Vina.
"A ku" lehernya yang di cekik Rengga membuatnya tidak bisa berbicara, Vina tidak menyangka hari ini ternyata bukan hanya hari kesialannya namun juga hari kematiannya.
"Paman lepaskan teman ku" teriak Andreas yang menarik tangan Rengga.
"Apa maksudmu, bagaimana bisa kamu membawa wanita murahan ke dalam rumah" sahut Rengga sambil menatap Andreas dengan tajam.
Vina yang tidak ingin menambah beban untuk Andreas langsung berlari keluar, Vina merasa itu memang kesalahannya bagaimanapun juga dia tidak dekat dengan Andreas kenapa tadi dia pasrah mengikuti Anderas yang membawanya ke rumahnya.
"Paman keterlaluan dia teman ku, mau aku bawa siapa saja itu urusanku" teriak Andreas.
"Bagus, ternyata kamu sekarang berani berteriak di depan ku" sahut Rengga.
"Cih"
Andreas meninggalkan Rengga sambil mengepalkan tangannya, Andreas merasa semakin kasihan sama Vina karena dirinya hari Vina menjadi tambah buruk.
Di dalam kamarnya Rengga merasa sangat kesal, Rengga tidak menyangka Andreas berani berteriak padanya hanya karena seorang wanita.
"Wanita murahan sialan, aku tidak akan melepaskan mu" ucap Rengga.
Di tempat lain, Vina berjalan sambil memegangi lehernya yang masih terasa sangat sakit. Vina bergidik ngeri sepanjang jalan, dirinya tidak menyangka ada pria yang sangat kejam seperti Rengga.
Vina yang masih terus berjalan tiba-tiba di hadang sebuah mobil berwarna hitam, tiga pria berbadan besar yang keluar dari mobil berjalan ke arahnya bersiap menangkapnya.
"Kalian siapa?" tanya Vina yang langsung berjalan mundur.
Ketiga pria yang berjalan ke arah Vina tidak menjawab apa yang di tanya Vina, salah satu pria itu langsung membius Vina hingga membuatnya tidak sadarkan diri.
"Bos, kami sudah berhasil membawanya" ucap salah satu pria itu yang berbicara di telepon.
"Bagus, bawa dia ke gudang" sahut suara di telepon yang langsung mematikan teleponnya.
Ketiga pria yang membawa Vina tidak lagi berbicara, mereka bergegas membawa Vina ke sebuah gudang yang menjadi markas persembunyian mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!