Pagi yang begitu cerah diiringi oleh sinar surya yang masuk melalui tirai yang sedikit terbuka. Mengusik tidur seorang gadis cantik yang masih bergumul dalam selimut tebalnya. Bahkan suara kicauan burung, serta kicauan dari mommy nya tidak dihiraukannya. Gadis itu malah mencari posisi ternyaman, sambil memeluk guling kesayangannya.
"Sayang bangun," ujar seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sambil mengguncang pelan bahu putrinya. Namun ketika tidak merasa pergerakan dari putrinya, ia menarik selimut pelan dan menggelengkan kepalanya. Dengkuran halus masih terdengar dengan mata yang terpejam erat. Wanita itu bangkit sambil tersenyum, lalu menuju tirai dan menyibaknya perlahan.
"Hmm."
Hanya gumaman tidak jelas yang gadis tersebut lontarkan sambil mengerjap, ketika ibunya membuka tirai sepenuhnya yang membuat tidurnya terganggu dengan kedatangan sinar matahari pagi yang mengusik mimpi indahnya.
"Cepat bangun, dasar pemalas dia sudah menunggumu dibawah!"
Segala ocehan yang dilontarkan untuk membangunkan gadis itu masih saja tak dihiraukannya. Namun ketika wanita yang tak lain adalah mommy dari gadis itu, mengucapkan kalimat yang menyatakan 'dia' langsung saja membuatnya bangun dengan kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar dengan jantung yang berdetak kencang. Gadis itu dengan segera menyambar handuknya dan berlari ke kamar mandi.
Ibunya hanya tersenyum melihatnya dan berlalu dari kamar anak gadisnya. Kalimat yang ia ucapkan begitu spesial, hingga membuat putrinya langsung bangkit dari alam mimpinya.
"Matilah aku."
Gadis itu terus bergumam lirih yang dipenuhi oleh ketakutan yang mendalam. Ia dengan cepat menyelesaikan ritual mandinya, sebelum mendapat amukan di pagi hari yang cerah ini. Dengan cepat gadis itu memakai seragamnya, dan mengikat rambutnya asal. Make up? Lupakan, jika tidak ingin membangunkan singa yang tertidur di hari yang indah ini. Lagipula wajahnya sudah cantik alami tanpa polesan apapun.
Carla.
Carla Valeria Banner, seorang gadis cantik yang terlahir di keluarga Banner sebagai anak satu-satunya di keluarganya. Sebuah keluarga kecil yang diisi dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sehingga menjadikannya sosok gadis yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Gadis yang bertubuh tinggi proporsional, yang memiliki surai rambut blonde sepunggung. Iris mata hazel dengan tatapan penuh kehangatan yang membuatnya semakin cantik dan mempesona. Senyumnya yang setiap hari tidak pernah luntur, tapi akan hilang. Ketika berhadapan dan bertatapan dengan dia. Pemilik iris mata hitam pekat yang memiliki tatapan tajam, yang selalu memancarkan aura intimidasi khasnya.
The prince of darkness.
Carla dengan cepat keluar dari kamarnya dan menyambar tasnya, setelah selesai bersiap. Untung saja ia sudah menyiapkan buku pelajaran hari ini tadi malam. Jika tidak, ia akan memakan waktu lebih lama untuk bersiap. Ketika sampai tangga Carla menatap sosok yang dari tadi menunggunya di bawah dengan perasaan takut karna sudah membuatnya menunggu cukup lama.
"Morning mom, dad," ujar Carla menyapa kedua orang tuanya yang tengah sarapan begitu juga dia, orang yang tengah mengunggunya.
"Morning sayang," sahut kedua orang tua Carla sambil tersenyum hangat dan membalas sapaan putrinya dengan serempak.
"Ayo sarapan dulu," ajak Charissa seraya memberikan segelas susu hangat pada putrinya.
Dengan perlahan Carla menarik kursi dan duduk dengan perasaan yang campur aduk. Gadis itu dengan cepat menghabiskan sarapannya, yang membuat mommy nya menggelengkan kepala.
"Pelan-pelan aja," ujar Charissa lembut.
"Mom, dad aku berangkat dulu nanti takut telat."
Carla meneguk susunya cepat hingga tandas dan segera berpamitan pada orang tuanya. Ia dapat merasakan tatapan tajam di sampingnya yang membuat tubuhnya serasa terbakar. Tapi gadis itu, nampak masih memperlihatkan senyum cerianya karna masih ada keluarganya disini.
"Iya hati-hati sayang."
Dengan langkah kakinya yang tergesa Carla keluar dari mansionnya. Mengikuti langkah lebar dari laki - laki yang berjalan mendahuluinya itu.
"Masuk!"
Carla meneguk salivanya susah payah. Pintu mobil terbuka diiringi oleh perintah dari pemilik suara berat dan dingin itu. Gadis itu dengan segera masuk, dengan perasaan takut-takut.
Mobil mulai berjalan, membelah jalan raya yang cukup padat di pagi hari ini. Carla melirik seseorang di sampingnya dengan takut-takut. Karna sedari tadi hanya ada keheningan.
"Steve," Carla memanggil nama lelaki itu pelan, namun tetap saja hanya ada keheningan. Laki-laki itu tetap fokus mengemudi, tanpa menanggapi suara gadis itu.
"Sorry," Gumamnya pelan sambil menundukkan kepalanya. Ia harus mengucapkan kata itu, agar perkataannya ditanggapi.
"Kenapa?"
Suara dingin itu menyapa indra pendengarannya, membuat Carla menoleh.
"Kenapa lama?" tanyanya lagi sambil menatap Carla sekilas ketika gadisnya itu terdiam.
"Aku bangun kesiangan."
Gadis itu kembali menundukkan kepalanya, sambil meremas kedua tangannya.
"Kau ingat aturanku?"
"Iya ingat."
"Lalu?"
"Aku tidak bisa tidur kemarin malam. Jadi aku membaca novel sampai larut."
Tiba-tiba mobil terhenti begitu saja, membuat Carla mendongak dengan jantung yang berdetak kencang. Gadis itu menghela nafas panjang, ketika melihat sebuah lampu merah menyala. Rasanya fikiran baik tidak pernah menghampirinya jika berada di situasi seperti ini.
Di tengah keterkejutannya, Carla tersentak ketika tangannya diremas kuat. Gadis itu menoleh dan mendapati wajah datar laki-laki itu.
"Baby!"
"I-Iya."
Laki-laki itu menatap gadisnya intens, dengan tatapan datarnya. Sama sekali tidak menunjukkan emosi apapun, yang membuat Carla semakin bergerak gelisah. Ditatap intens seperti itu, serasa melumpuhkan tiap sarafnya.
"Jangan di ulangi."
"Forgive me."
Mobil kembali berjalan, dan Carla menghela nafasnya lega.
"Aku maafkan, jika kau melanggar lagi maka dengan senang hati aku menghukummu!"
Carla hanya mengangguk patuh, yang membuat lelaki itu tersenyum puas. Gadis itu kembali menunduk dengan perasaan yang dipenuhi rasa takut. Ia paham segala bentuk dari hukuman laki-laki itu.
Sangat paham.
Bukan hanya sebuah ancaman, ataupun teori belaka. Tetapi ini adalah tindakan yang nyata.
...tbc....
...vote komen...
Sebuah mobil mewah terlihat memasuki area sekolah yang bernama Burlington School. Kendaraan roda empat itu terlihat begitu menjadi pusat perhatian. Namun tak juga yang melayangkan tatapan kagum itu segera menyingkir. Laki - laki itu segera keluar dengan gaya angkuhnya. Carla yang melihatnya hanya meringis. Begitu banyak orang yang memandang kagum laki - laki itu. Tak bisakah dia menyunggingkan senyum walau sedikit saja?
Jangankan sebuah senyuman yang laki - laki itu tunjukkan, orang yang menghalangi jalannya saja akan ditendangnya. Dialah sosok yang paling dihindari, sosok yang miliknya tidak boleh disentuh oleh siapapun.
Menyentuh berarti mati.
Keduanya berjalan beriringan menuju kelas, tak sedikit siswa siswi yang menatap kagum pada keduanya. Carla yang tak biasa ditatap seperti itu hanya tersenyum canggung. Ia tidak ingin mencari masalah dengan di cap sombong.
Carla meringis pelan kala tangannya yang saling bertautan itu diremas kuat.
"Jaga mata."
"I-iya maaf."
"Jaga hati."
"Iya," jawab Carla lembut sambil mengelus punggung tangan Steve.
Steve.
Steve Roger Watford, laki - laki itu masih saja menunjukkan raut wajah datarnya. Namun dalam hati ia tersenyum puas. Lelaki itu beralih mengecup sekilas kening gadisnya, yang membuat para kaum hawa yang menyaksikan semakin menjerit tertahan.
"Jangan lirik sana - sini. Hindari interaksi dengan laki - laki lain. Masuklah, aku ada urusan sebentar!"
"Kemana?" tanya Carla penasaran.
Lelaki itu tidak menjawab apapun, ia pergi setelah mengecup kening gadisnya sekali lagi. Carla hanya menghela nafasnya pelan, dan segera memasuki kelasnya. Entah kemana perginya laki - laki yang berstatus kekasihnya itu.
Kelas yang tadinya ricuh, mendadak hening ketika kedatangan seorang gadis yang tak lain adalah dirinya. Carla yang melihatnya hanya acuh. Memang apa yang harus dikatakannya? Bukan pertama kali juga hal ini terjadi. Jadi dia harus bisa membiasakan dirinya.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya, dan menaruh tasnya di atas meja. Ia melirik jam tangannya, ternyata masih ada waktu untuk jam pelajaran pertama dimulai. Gadis itu memainkan ponselnya untuk mengusir rasa bosannya. Tidak ada yang bisa diajaknya bicara selain sahabat satu - satunya itu yang kini belum juga datang.
"Lama banget tuh anak," gumamnya pelan.
"Carla!!"
Suara pekikan yang begitu nyaring, membuat Carla menutup telinganya rapat - rapat. Namun gadis itu terlihat tersenyum bahagia. Sahabatnya telah datang.
"Jangan teriak - teriak juga kali!"
"Ehehehe. Kesempatan, mumpung dia juga nggak ada."
Carla memutar bola matanya malas, ketika mendengar perkataan dari sahabatnya itu.
"Dia kemana?" tanya Keisya penasaran.
"Nggak tau, katanya ada urusan."
"Baguslah!" cetus Keisya sambil tersenyum lebar.
"Apanya?" Carla mengernyit heran memandangi sahabatnya aneh. Karna gadis itu terus saja tersenyum.
"Setidaknya suasana disini tetap indah, di pagi hari yang cerah ini."
"Memang biasanya kenapa?" tanya Carla heran.
"Kenapa katamu? Kenapa lagi kalau bukan suasana yang begitu menyeramkan terjadi di kelas kita yang penuh cinta ini." celetuk Keisya yang terlihat begitu semangat.
Bahkan matanya terlihat menerawang jauh. Carla yang melihatnya tersenyum jahil, ia memiliki ide untuk mengerjai sahabatnya ini.
"Steve, kau sudah datang?"
Keisya yang masih terlihat berangan - angan, melototkan matanya ketika mendengar ucapan sahabatnya yang bagai belati bagi dirinya. Bisa habis dia jika laki - laki menyeramkan itu, mendengar perkataannya.
Carla yang melihat raut wajah sahabatnya terkikik geli. Tadi saja Keisya terlihat bersemangat, seolah gadis itu sangat berani dengan Steve.
"Hahahaha. Wajahmu lucu sekali!"
Melihat Carla yang tertawa membuat Keisya melotot tajam. Ternyata sahabatnya itu sedang membodohi dirinya.
"Carla, kau ini! Hampir saja jantungku copot." gerutu Keisya sambil mengelus dadanya, dan mendesah lega.
"Iya maafkan aku hab-"
"Apa yang kau tertawakan?"
Carla membeku di tempat ketika mendengar nada bariton yang sangat ia kenali itu. Ia menoleh perlahan dan mendapati wajah datar dari laki - laki yang tengah ia bahas tadi.
"Tidak aku hanya bicara dengan Keisya," jawabnya sambil melirik Keisya, dan ternyata kosong. Gadis itu telah pergi sejak tadi, ketika melihat kedatangan manusia datar itu telah kembali.
Carla mendelik ke Keisya yang hanya di balas cengiran lebar.
"Apa yang kau bahas dengannya hingga tertawa begitu keras?" seru lelaki itu seraya menatap Carla tajam.
Carla yang merasa terintimidasi oleh tatapan itu hanya bisa menundukkan kepalanya. Tertawa keras? Sungguh ini berlebihan. Jika memang benar ia tertawa keras, maka tawanya akan menggema hingga terdengar keluar. Bahkan temannya yang lain mungkin tidak mendengar ia pernah tertawa.
"Tidak ada, Keisya hanya menceritakan cerita lucu padaku."
"Carla!"
"Maaf, tidak akan terjadi lagi."
"Harus!"
Steve mengelus rambut Carla lembut, gadisnya masih saja menundukkan kepalanya. Laki - laki itu paling tidak suka melihat gadisnya tertawa di depan umum. Bukannya tidak ingin melihat Carla bahagia. Namun ia memiliki alasannya tersendiri.
Senyum.
Senyuman serta tawa itu hanya miliknya. Gadisnya bisa tertawa keras jika hanya bersamanya, dan oleh karnanya.
...tbc...
...vote komen...
...🧘♀...
Waktu berlalu dan tidak terasa sudah dua jam lebih guru yang akrab disapa Mr. Hadwin itu menerangkan materinya. Waktu istirahat pun sudah lewat sejak lima menit yang lalu. Namun nampaknya seorang pria paruh baya itu belum mau mengakhiri pelajarannya.
"Mr. Ini sudah lewat dan seharusnya kelas sudah berakhir!" celetuk salah satu siswa laki-laki yang duduk paling belakang yang terlihat menguap lebar.
Carla yang penasaran menolehkan kepalanya, namun matanya seketika ditutup oleh seseorang.
"Lupa hm?"
"Sorry i'm reflecting." cicit Carla sambil menyengir.
"Jangan lihat orang itu, nanti virusnya nular!"
"Hah?" tanya Carla cengo.
"Virus malas."
"Dekat kamu juga aku virusan. Virus anti sosial." seru Carla cepat yang sayangnya hanya bisa ia ucapkan dalam hati.
"Berakhir? Kalian ini akan segera ujian. Seharusnya kalian bersyukur saya berikan jam belajar tambahan!"
sungut Mr. Hadwin sambil menatap tajam Galen. Siswa yang berani mengkritik dirinya.
"Bersyukur apanya, perut udah keroncongan gini!" sanggah siswa yang bernama Galen itu. Sontak saja perkataannya mengundang tawa semua siswa siswi. Namun masih di tahannya, karna tatapan dari Mr. Hadwin yang terasa begitu menusuk.
"Ya sudah kita lanjutkan minggu depan!" Ujar Mr. Hadwin akhirnya. Ia malas berdebat, lagipula yang di katakan siswanya itu benar. Ini sudah jamnya istirahat.
"Masa mau dilanjutin tahun depan!" celetuk Galen lagi dan segera melengos pergi.
Mr. Hadwin tidak menanggapinya lagi. Berurusan dengan siswa tidak jelas itu memang tidak ada habisnya.
Carla merapikan bukunya dan kemudian dimasukkan ke dalam tas. Ia menghela nafas lelah karna pelajaran yang diajarkan gurunya terasa sangat ngebut yang membuat kepalanya terasa pusing. Maklum saja sebentar lagi ia akan segera lulus dan mengikuti ujian akhir. Tidak terasa hampir 3 tahun Carla menjalani hubungannya dengan Steve. Selama itu ia sabar menghadapi sifat kekasihnya yang dibilang abnormal dan sangat possesive.
Meski kadang Carla berada di puncak emosi dan sangat muak dan tidak tahan. Namun hubungannya dengan laki-laki itu tidak pernah putus nyambung. Aneh bukan? jawabannya sederhana. Karena ia tidak mempunyai nyali yang cukup untuk mengatakan hal itu.
Walaupun sifat kekasihnya yang begitu kasar, arogant, serta possesive. Tetapi dia sangat perhatian, romantis, dan kadang ada kalanya sifat manja dari lelaki arogant itu keluar. Itu yang membuat Carla semakin mencintainya.
Aneh memang.
Steve bangkit dari duduknya sambil menarik tangan gadisnya.
"Ayo!"
Carla dengan cepat bangkit dan mengikuti Steve. "kemana?"
"Makan."
"Tapi aku tidak lapar."
Mendengar ucapan gadisnya, Steve menghentikan langkahnya secara tiba-tiba yang membuat Carla menabrak punggung tegap itu.
Carla meringis sambil memegang keningnya. "Aww..."
"Katakan sekali lagi!"
"A-aku tidak lapar." lirih Carla terbata dengan suara yang hampir tidak bisa didengar. Mereka sedang berada di koridor. Meski ramai, karena jam istirahat. Tapi tidak seorangpun yang berani menatap apalagi melerai mereka.
Laki - laki itu tidak menanggapi perkataan Carla. Ia melanjutkan langkahnya sambil menarik tangan gadisnya dan mencengkramnya kuat.
Carla tidak mengatakan sepatah katapun dan tetap mengikuti langkah lebar Steve. Tangannya yang dicengkram kuat terasa begitu ngilu. Ia dapat melihat tatapan-tatapan siswa siswi yang berlalu lalang mengarah padanya. Tatapan seperti itu sudah seperti makanan sehari-harinya. Tatapan iba dan kagum.
"Duduk!"
Carla hanya mengikuti saja, karna ia sudah lelah untuk berdebat. Yah, meskipun bisa dibilang bukan berdebat. Laki-laki itu lah yang justru marah-marah padanya.Tidak lama kemudian seorang wanita paruh baya berseragam pelayan datang, dan menghidangkan seporsi risotto. Wanita itu membungkuk hormat, yang membuat Carla tersenyum hangat.
Carla mengambil sendok dan mulai menyuapi dirinya sendiri. Meski ia tidak lapar, tapi ia tetap akan menghabiskannya. Namun Carla tersentak ketika seseorang mengambil alih sendoknya.
"Apa lagi?" tanya Carla sambil menghela nafas lelah.
"Kita makan berdua dan aku yang akan menyuapi!"
"Ta-Tapi disini banyak orang Steve," lirih Carla dengan memelas berharap laki-laki itu mau mendengarkannya setidaknya kali ini saja. Meski juga tidak ada yang memperhatikannya. Namun tetap saja ia malu. Suap-suapan di depan umum, terlebih ini adalah area sekolah bukanlah hal yang benar.
Steve tiba-tiba beranjak dari duduknya, yang membuat jantung Carla berlarian karna takut lelaki itu akan marah. Segala fikiran buruk telah menghantuinya. Apakah ia akan diseret dan dihukum?
"Semuanya pergi dari sini. Kosongkan tempat ini dalam 10 detik?!"
Perkataan yang menggelegar bak petir itu membuat Carla terkejut. Ini sungguh berlebihan. Suasana seketika hening dalam 2 detik. Namun setelahnya semua siswa siswi berhamburan pergi. Mungkin jiwa mereka ikut terguncang, dan perlu untuk mencerna perintah itu.
Cafetaria kosong, tidak sampai dalam hitungan 10 detik. Carla hanya bisa menghela nafas, menghentikan pun rasanya ia tidak berani. Jika sudah laki-laki itu yang berbicara semua akan mati kutu dibuatnya. Auranya yang begitu dominan mampu membuat orang ketakutan, jika hanya mendengar namanya saja. Jangankan para siswa siswi akan bertegur sapa dengannya. Menatap pun rasanya mereka akan berfikir ratusan kali.
"Steve ti-tidak perlu sampai begitu," lirih Carla takut-takut.
Laki-laki itu tidak menanggapinya, ia beralih mengambil sendok dan menyuapi gadisnya. Namun Carla mengatupkan mulutnya rapat sambil menunduk. Ia merasa tidak enak pada siswa siswi yang di usir oleh kekasihnya itu.
"Buka mulutmu!" desis Steve tajam, yang membuat Carla merinding dan langsung membuka mulutnya.
Steve tersenyum puas melihatnya. Ia terus menyuapi Carla dan juga menyuapi dirinya sendiri dalam diam. Hanya dentingan sendok yang terdengar di tengah keheningan suasana Cafetaria, yang hanya diisi oleh dirinya dan gadisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!