November 2005
Debby memapah Sarah memasuki IGD RS. Mitra Medika. Mereka baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas. Motor yang mereka tumpangi menabrak trotoar jalan karena menghindari pejalan kaki yang menyeberang tiba-tiba. Melihat kedatangan mereka, seorang suster langsung membantu Sarah. Dia membaringkan Sarah di ranjang yang kosong. Suasana IGD hari ini cukup ramai, suster pun meminta mereka untuk menunggu, karena dokter jaga masih memeriksa pasien lain.
Sarah meringis kesakitan. Dia memegangi lengan kanannya yang terluka karena terjatuh tadi.
“Ya ampun Sarah, kamu ga pa pa kan? Maaf ya gara-gara aku kamu jadi begini,” ucap Debby penuh penyesalan.
“Ga pa pa, namanya juga kecelakaan,” jawab Sarah sambil meringis menahan sakit. Tak berapa lama seorang dokter muda menghampiri dan langsung memeriksa Sarah.
“Apa keluhannya?” tanya dokter tersebut.
“Kecelakaan dok, tadi kita nabrak trotoar dan temen saya jatuh,” Debby menjelaskan.
Dokter memeriksa mata Sarah, khawatir ada cedera kepala.
“Bagian mana yang paling sakit?” tanya dokter itu lagi. Sarah hanya menunjuk pada lengan kanannya. Ketika dokter menyentuh lengan kanan bagian atas, Sarah menjerit kesakitan.
“Dokter gimana keadaan teman saya?” tanya Debby cemas.
“Sepertinya tulang selangkanya cedera saat jatuh tadi, kemungkinan retak atau patah.”
“Ya ampun Sarah gimana dong,” Debby menjadi semakin merasa bersalah.
“Ga usah khawatir, cedera nya ga terlalu parah,” dokter tersebut menenangkan. Di saat bersamaan datang suster dan seorang dokter lagi.
“Apa keluhannya?” tanya dokter yang baru datang.
“Kecelakaan lalu lintas dok, jatuh di sebelah kanan, kemungkinan cedera tulang selangka.”
Setelah mendengar penjelasan, dokter itu kembali memeriksa Sarah. Setelah selesai memeriksa dia berkata,
“Ok, kamu tahu harus gimana?”
“Tahu dok.”
“Ya sudah.. kamu yang tangani.”
“Siap dok..”
Setelah itu dokter tersebut segera pergi meninggalkan ranjang Sarah.
“Jadi gimana dok?” Debby kembali bertanya.
"Sekarang saya kasih obat penahan nyeri dulu ya. Untuk pemulihan nanti harus pakai arm sling atau penyangga lengan.”
“Kira-kira lama ga dok penyembuhannya?” kali ini giliran Sarah yang bertanya.
“Tergantung.. kalau kamu teratur minum obat, banyak istirahat dan ga banyak bergerak di bagian yang luka, kamu bisa cepat pulih.”
Sarah mengangguk. Dokter pun mulai menyuntikkan pereda nyeri pada Sarah, lalu mengobati luka lecet di tangan dan pipinya. Sesekali Sarah meringis saat dokter itu membersihkan luka lecetnya. Dia hanya tersenyum melihat Sarah yang kesakitan. Sesaat pandangan mereka bertemu, karena malu Sarah langsung memalingkan wajahnya. Selesai mengobati Sarah, dokter itu meninggalkan mereka.
“Masih sakit?” tanya Debby.
Sarah hanya menggeleng. Debby yang sedari tadi hanya berdiri, kini duduk di sampingnya sambil memeriksa luka-luka Sarah yang baru saja diobati.
“Sar.. itu tadi dokternya ganteng ya, gimana tadi pas diobatin deg-degan ga?”
Debby mulai menggoda Sarah. Tadi dia sempat melihat adegan tatapan mata di antara mereka. Sarah hanya tersenyum. Tak berapa lama dokter itu kembali lagi sambil membawa penyangga lengan. Dia membantu Sarah memakaikannya. Debby memperhatikan dengan seksama. Sesekali dia mencuri pandang pada kartu identitas dokter. Sayang namanya tidak bisa terlihat dengan jelas.
Saat dokter selesai memakaikan penyangga lengan, seorang suster datang menghampiri.
“Dokter Regan dipanggil dokter Wildan ke ruang tindakan.”
“Ini resep pereda nyerinya, kalau sudah tidak sakit tidak usah diminum lagi, sementara jangan banyak bergerak, sling armnya dipakai terus ya, seminggu lagi kontrol,” jelas dokter Regan.
“Nanti kontrolnya ke sini lagi dok?” tanya Debby.
“Kontrolnya langsung ke dokter spesialis tulang” jawab dokter Regan sambil tersenyum yang membuatnya terlihat makin menggemaskan.
“Ke sini aja boleh ga dok? Biar bisa liat dokter lagi gitu,” ujar Debby sambil cengar-cengir.
Sarah langsung memukul pelan Debby, suster pun tak bisa menahan senyumnya.
“Boleh aja kalau ada keadaan darurat lagi, misalnya ketabrak becak atau keseruduk domba,” dokter Regan malah bercanda.
“Ih amit-amit jabang bayi, jangan sampe dok..” Debby mengetuk-ngetuk pinggir ranjang tiga kali.
“Ok kalau gitu saya tinggal, jangan lupa obatnya diminum, mudah-mudahan cepat sembuh ya.”
Setelah itu dokter Regan pamit. Karena pengobatan sudah selesai, Sarah dan Debby pun pulang sehabis mengurus administrasi dan pembayaran.
Sepanjang jalan Debby tidak berhenti mengoceh tentang dokter Regan. Bagaimana wajah dokter Regan yang ganteng parah, cara dia mengobati luka Sarah, manisnya dia tersenyum, suaranya yang bikin hati dag dig dug. Sarah sampai pusing mendengar itu semua. Akhirnya ocehan Debby berhenti juga saat mereka sampai di kost-an. Tanpa memperdulikan panggilan Debby, Sarah langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sesampainya di kamar dia langsung duduk di atas kasurnya, sesekali dia memegangi lengannya yang terbalut sling arm. Ingatannya kembali pada ucapan Debby di motor tadi. Sejenak Sarah membayangkan wajah dokter Regan, tidak salah kalau Debby memujinya sampe setinggi langit karena semua yang dikatakan Debby itu benar. Diam-diam Sarah berharap dapat bertemu lagi dengan dokter itu.
❤️❤️❤️
Sarah sedang bersiap-siap di kamarnya, hari ini dia ada kuliah pagi. Sebenarnya Debby menyuruhnya untuk tetap istirahat dan akan memintakan ijin pada dosen, tapi Sarah yang jenuh selama dua hari hanya berdiam diri di kamarnya memilih untuk tetap pergi ke kampus. Setelah selesai, Sarah pun segera keluar kamar. Di halaman Debby sudah menunggu dengan Yamaha Mio nya, tak berapa lama mereka segera meluncur ke kampus.
Sesampainya di kampus mereka langsung berpisah karena berbeda kelas. Sarah pun langsung masuk ke kelasnya, tetapi ternyata dosennya tidak datang karena sedang sakit.
“Terus nih tugas gimana? Minggu depan aja dikumpulinnya?” tanya Anto pada Sarah.
“Tapi kalau diundur minggu depan, berarti diundur lagi dong ke lapangannya, kan harus dikumpulin sebelum uts,” jawab Sarah.
Mereka terdiam sejenak, tugas kelompok yang diberikan oleh bu Dina memang sudah seminggu mundur dari jadwal semula karena bu Dina harus menghadiri seminar di luar kota.
Akhirnya Anto berinisiatif untuk menelpon Bu Dina. Selesai menelpon Anto menjelaskan kalau tugas dikumpulkan hari ini dan langsung diserahkan ke bu Dina di rumahnya. Setelah berunding sejenak, mereka sepakat kalau Anto dan Sarah yang akan ke rumah bu Dina.
Setelah selama dua jam menembus kemacetan Jakarta, akhirnya mereka sampai di rumah bu Dina. Setibanya di rumah bu Dina, Sarah baru saja akan turun dari mobil ketika ponsel Anto berdering, telepon dari pacarnya.
“Dari Anggi?”
“Iya.”
Melihat ekspresi Anto yang bingung, Sarah langsung menebak kalau Anggi minta bertemu. Temannya ini memang tidak pernah bisa menolak permintaan pacarnya.
“Ya udah kamu pergi aja, biar aku aja yang masuk.”
“Ga pa pa Sar? Aku jadi ga enak, mana kamu masih sakit kaya gini,” Anto melihat lengan Sarah yang masih terbalut slim arm.
“Santai aja, ya udah aku turun ya, salam buat Anggi.”
Sarah segera turun dari mobil dan tak berapa lama mobil Anto sudah melaju meninggalkannya. Setelah menarik nafas sebentar, dia segera memasuki halaman rumah bu Dina.
Rumah bu Dina tampak sepi. Sarah terus berjalan sampai ke teras rumah. Kemudian dia memencet bel yang terletak di dekat pintu. Terdengar suara bel berbunyi dan tak berapa lama pintu terbuka. Muncul wanita setengah baya, sepertinya asisten rumah tangga bu Dina terka Sarah.
“Bu Dina nya ada?” tanya Sarah pada wanita itu. Dia hanya mengangguk lalu mempersilahkan Sarah untuk masuk. Sarah masuk dan duduk di ruang tamu menunggu bu Dina datang.
“Aduh Sarah maaf ya kamu jadi repot harus mengantarkan tugas ke sini.”
Terdengar suara bu Dina dari dalam. Tak lama dia muncul.
“Loh Sarah kamu kenapa?” bu Dina kaget melihat tangan Sarah.
“Abis kecelakaan motor bu, tapi ga apa-apa kok.”
“Aduh kamu hati-hati makanya.”
Dosen yang satu ini memang terkenal ramah pada semua mahasiwanya. Sarah menyerahkan tugas yang sudah dikumpulkan padanya.
“Ok, saya pelajari dulu nanti saya kabari. Oh iya kamu mau minum apa?”
“Apa aja bu,” jawab Sarah sungkan. Bu Dina memanggil asisten rumah tangganya, bi Inah dan memintanya membuatkan minuman untuk Sarah.
“Ibu sakit apa?” Sarah kembali membuka percakapan.
“Biasa kecapean, kan kemarin baru pulang dari Semarang. Sebenernya sih ga apa-apa cuma sama dokter disuruh istirahat dulu, dokter yang satu ini bawelnya minta ampun kalau ga nurut,” cerocos bu Dina panjang lebar. Sarah hanya diam mendengarkan.
Bu Dina menceritakan studi bandingnya ke Semarang, tentang kurikulum yang sedikit berbeda dengan kampusnya. Dia juga berbicara tentang rencananya membuat lab film untuk jurusannya. Di saat bersamaan bi Inah datang membawakan segelas jus jeruk dan makanan kecil. Bu Dina mempersilahkan Sarah untuk mencicipi. Kemudian mereka melanjutkan percakapan.
Di saat asik berbincang terdengar suara mobil memasuki halaman rumah dan tak berapa lama muncul seorang lelaki muda.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Sarah dan bu Dina berbarengan. Sarah melihat ke arah lelaki yang baru datang. Dia terdiam sejenak karena tidak percaya siapa yang dilihatnya. Itu dokter Regan.
Regan langsung masuk ke dalam kemudian mencium punggung tangan bu Dina. Setelah itu ikut duduk di ruang tamu.
“Tante udah baikan?” tanya Regan. Bu Dina adalah adik mamanya Regan.
“Udah.. o iya kenalin ini mahasiswi tante. Sarah ini ponakan ibu, dokter bawel yang tadi ibu ceritain,” bu Dina memperkenalkan keduanya. Saat Regan melihat Sarah, dia pun teringat.
“Kamu yang waktu itu di IGD kan karena kecelakaan motor?” tanya Regan pada Sarah. Sarah hanya menjawab dengan anggukan. Sebenarnya Sarah salah tingkah. Dia tidak menyangka bisa bertemu di rumah dosennya.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya bu Dina.
“Dia pasien yang dateng ke IGD tan.”
“Pasien spesial ya sampe masih keingetan,” goda bu Dina pada Regan. Sarah tersipu malu, geer.
“Waktu itu dia satu-satunya pasien kecelakaan yang aku tangani tan, jadi ingetlah,” Regan membalas godaan tantenya.
“Jangan-jangan jodoh nih..” bu Dina kembali menggoda.
“Bisa jadi..” jawab Regan singkat sambil tersenyum ke arah Sarah. Jantung Sarah semakin tidak karuan. Kalau saja dia bisa melihat wajahnya, pasti pipinya sudah seperti tomat karena malu, geer, salah tingkah, semua bercampur menjadi satu.
Regan lalu berbicara pada bu Dina. Dia bermaksud memeriksa keadaan tantenya, memastikan tantenya berisitirahat dan meminum vitamin yang diberikan. Sarah hanya diam melihat percakapan akrab antara tante dan keponakannya ini. Dia memandangi wajah Regan yang tampak sempurna secara fisik, ditunjang tubuhnya yang tinggi, senyumnya yang manis, suaranya, semuanya persis seperti gambaran Debby.
“Oh iya, Sarah kamu makan di sini ya, bentar lagi jam makan siang.” Suara bu Dina membuyarkan lamunan Sarah, sesaat Sarah tergagap.
“Makasih, ga usah bu, saya mau langsung pulang aja sekarang.”
“Bener ga mau makan di sini?” bu Dina kembali bertanya. Kali ini Sarah hanya menjawab dengan anggukan sambil tersenyum.
"Kamu gimana?” bu Dina bertanya pada Regan.
“Sama tan, aku juga ga bisa, harus ke rumah sakit.”
“Ya udah deh, eh kamu sekalian anter Sarah pulang bisa kan?”
“Eh ga usah bu..” buru-buru Sarah menjawab.
“Ga pa pa, bisa kan Gan?” tanya bu Dina lagi.
“Bisa tan..” Regan menyanggupi.
Sarah sebenarnya tak enak hati harus merepotkan Regan tapi bu Dina tetap memaksa ponakannya mengantar Sarah pulang. Bu Dina mengantar mereka sampai ke teras, setelah berpamitan mereka pun masuk ke dalam mobil dan tak berapa lama mobil meluncur meninggalkan kediaman bu Dina.
Suasana di dalam mobil hening. Sarah sendiri bingung harus berbicara apa. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ponsel Regan. Regan segera menjawab ponselnya. Setelah berbicara sebentar dia pun mematikan ponselnya.
“Udah jam makan siang nih, kalau kita makan dulu gimana?”
Sarah yang terkejut tak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak lalu,
“Bukannya mau ke rumah sakit?” Sarah balik bertanya.
“Oh.. tadi temen telepon katanya mau tukeran shift, jadi aku masuk malem. Gimana mau?” Sarah masih belum menjawab, dia bingung antara iya dan malu.
“Ok, diam berarti setuju ya,” ucap Regan. Setelah lampu merah dia berbelok ke arah kanan, dan mobilnya memasuki sebuah cafe. Setelah memarkir mobilnya. Dia turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Sarah. Sarah keluar dari mobil lalu bersama-sama memasuki cafe.
Suasana cafe tidak begitu ramai, mereka memilih duduk di dekat jendela. Tak berapa lama seorang pelayan menghampiri. Setelah melihat-lihat menu, mereka sepakat untuk memesan tenderloin steak dan lemon squash.
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang-bincang. Regan adalah seorang dokter magang yang baru menyelesaikan tugas koasnya. Sarah pun bercerita tentang tentang dirinya yang mengambil jurusan komunikasi dan bu Dina adalah salah satu dosennya.
Sedang asik berbincang-bincang, pesanan mereka datang. Sarah terdiam menatap pesanannya. Dia bingung bagaimana harus memakannya karena masih belum bisa menggunakan tangan kanannya. Sedangkan Regan terlihat langsung memotong-motong steak pesanannya lalu mengambil piring Sarah dan menaruh piringnya di depan Sarah. Regan memberi isyarat pada Sarah untuk segera makan. Gadis itu menatap takjub, baru kali ini dia diperlakukan seperti ini.
Sambil makan mereka meneruskan pembicaraan, suasana di antara keduanya sudah menjadi cukup akrab. Sesekali Sarah tertawa mendengar cerita pengalaman Regan saat menangani pasien di IGD. Begitu pula Regan yang tak bisa menahan tawa mendengar cerita Sarah tentang Debby, sahabatnya yang sering bersikap konyol.
Selesai makan, Regan mengantarkan Sarah pulang. Sesampainya di kost-an, Sarah yang hendak turun ditahan oleh Regan.
“Aku boleh minta nomer telepon kamu?” tanya Regan.
Sarah mengangguk. Regan lalu menyerahkan ponselnya dan Sarah pun memasukkan nomor ponselnya lalu memberikannya lagi padanya. Regan langsung menekan tombol menelpon dan tak lama ponsel Sarah berdering.
“Di save ya nomer aku” ucap Regan. Sarah langsung menyimpan nomer Regan.
“Makasih ya buat hari ini” ucap Sarah.
“Sama-sama.”
Sarah segera turun dari mobil. Regan menurunkan kaca mobilnya.
“Aku boleh tetep ketemu kamu kan?” tanya Regan. Sarah mengangguk sambil tersenyum padanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Regan melambaikan tangannya sebelum pergi. Sarah tetap berdiri melihat kepergian Regan. Hatinya benar-benar bahagia. Dia tersenyum kegirangan saat masuk ke dalam rumah kostnya.
Regan baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Telepon dari tante Dina.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikusalam, Gan nanti makan siang di rumah ya, tante udah masak menu kesukaan kamu,” terdengar suara tante Dina.
“Iya In Sya Allah tan.”
“Awas jangan sampe ga dateng ya, assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Panggilan berakhir. Regan membuka lemari baju, memilih pakaian yang akan dikenakannya. Dia menjatuhkan pilihan pada kemeja lengan pendek berwarna hijau telur asin dipadankan dengan jeans.
Regan melihat ke jam dinding, masih pukul sembilan pagi. Dia turun ke bawah dan langsung menuju dapur. Di sana bi Parmi baru selesai menyapu.
“Mau bibi bikinin kopi?”
“Ga usah bi, biar aku bikin sendiri,” jawab Regan sambil tersenyum.
Bi Parmi adalah asisten rumah tangganya. Tapi dia hanya datang dua kali seminggu untuk mencuci dan membersihkan rumah. Regan sendiri setiap harinya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit.
Regan mengambil sebungkus kopi instan lalu menyeduhnya. Setelah meletakkan kopi di atas meja, dia menarik kursi dan mulai menikmati kopi kesukaannya. Bi Parmi sudah menyiapkan roti bakar untuknya di atas meja. Regan menikmati kopi dan roti bakar sambil mengutak-atik ponselnya. Dia teringat beberapa hari lalu sempat meminta nomor kontak Sarah. Regan melihat ke arah kalender, lalu menghitung hari dimana Sarah mengalami kecelakaan sampai hari ini.
Berarti ini sudah seminggu, gumam Regan dalam hati.
Regan menghabiskan sarapannya, lalu kembali ke kamarnya. Mengambil kunci mobil lalu bergegas turun keluar rumah.
“Bi, aku pergi dulu,” pamit Regan seraya membuka pintu mobil.
“Iya mas.”
Tak berapa lama mobil yang dikendarai Regan meluncur, tujuannya kost-an Sarah.
Sarah dan Debby sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Hari ini mereka tak ada jadwal kuliah. Sarah masih mengenakan sling arm, rencananya siang ini dia akan ke rumah sakit untuk kontrol.
“Nanti pas ke rumah sakit kita mampir ke IGD yuk,” ajak Debby.
“Ngapain?”
“Ngeliat dokter Regan, kan kangen katanya,” Debby mulai menggoda Sarah.
“Apaan sih, siapa juga yang kangen.”
“Udah ngaku aja, tiap hari liatin hp mulu, ngarep ditelpon kan.”
Debby semakin senang menggoda sahabatnya ini. Tiba-tiba ponsel Sarah berbunyi. Tertera nama Regan di layar ponselnya. Sarah terkejut, dia memperlihatkan ponselnya pada Debby. Debby langsung memberi isyarat untuk mengangkat.
“Assalamu’alaikum,” hati Sarah berdebar-debar.
“Waalaikumsalam,” terdengar suara Regan. Degup jantung Sarah semakin tidak beraturan.
“Kamu lagi ada di kost-an?”
“Iya dok, kenapa?”
“Aku mau pelayanan home care nih.”
“Hah?” Sarah tidak mengerti apa yang dimaksud dengan dokter itu.
“Aku udah di depan kost-an kamu.”
Sarah terkejut mendengarnya. Dengan cepat dia melihat ke jendela. Benar saja, Regan sedang berdiri bersender di mobilnya. Dia melihat ke arah jendela tempat Sarah melihatnya lalu melambaikan tangannya. Debby yang penasaran ikut melihat ke jendela.
“Cepet turun..”
Debby mendorong Sarah untuk segera turun. Sarah menuruni tangga, dengan cepat melewati ruang tamu, membuka pintu dan berjalan ke arah Regan membuka pagar.
“Ada apa ke sini dok?” tanyanya begitu sampai di depan Regan.
“Kan tadi udah bilang, pelayanan home care. Aku mau periksa keadaan kamu.”
Regan menunjuk pada lengan Sarah yang terbalut arm sling.
“Rencananya nanti siang aku mau kontrol ke rumah sakit.”
“Ga usah, biar aku periksa aja sekarang, gimana?”
Sarah mengangguk sambil tersenyum. Dia mempersilahkan Regan masuk. Sarah langsung mengajak Regan ke lantai dua. Mempersilahkan Regan duduk di ruang tengah.
“Mau minum apa?” tanya Sarah.
“Apa aja boleh.”
“Biar aku aja yang buat.”
Debby berinisiatif. Dia segera turun ke bawah untuk membuatkan minuman. Regan meminta Sarah untuk duduk. Dia mulai memeriksa lengan dan juga bahu Sarah. Dengan perlahan melepaskan arm sling lalu meminta Sarah menggerakkan tangan dan bahunya.
“Gimana, masih sakit?”
Ngga sih dok, udah bisa digerakin sekarang.”
“Alhamdulillah, kamu ngga usah pake ini lagi.”
“Makasih ya dok,” ucap Sarah sambil tersenyum.
“Jangan panggil dok, emangnya kodok,” Sarah tertawa mendengarnya.
“Terus panggil apa dong.”
“Panggil nama aja.”
“Mas Regan aja gimana?”
“Itu lebih baik.”
Regan tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya, membuatnya semakin terlihat tampan. Hati Sarah kembali dag dig dug melihat senyumnya.
Debby datang dengan membawa tiga gelas berisikan sirup jeruk lalu meletakkannya di atas meja. Sarah mempersilahkan Regan untuk minum.
“Eh udah bisa dilepas arm slingnya.”
Debby baru menyadari sarah sudah tidak mengenakan arm sling lagi.
“Kayanya dokternya cocok makanya cepet sembuh, ngobatinnya pake hati,” Debby mulai menggoda, membuat wajah Sarah memerah.
“Tapi perawatan home care ini ngga gratis loh,” ujar Regan sambil melihat pada Sarah.
“Bener itu, ga ada yang gratis di dunia ini,” Debby mendukung Regan.
“Bayarannya apa?” tanya Sarah malu-malu.
“Bayarnya cukup pake hati kamu aja Sarah.”
Debby kembali menjawab sambil cengar cengir. Sarah melotot ke arahnya. Regan tertawa.
“Bayarannya temenin aku makan siang, gimana?”
“Sama Debby juga?” Sarah balas bertanya.
“Oh no.. no.. no.. dengan segala hormat ekkeh ga mau jadi kambing conge. Silahkan nikmati makan siang kalian, tapi jangan lupa oleh-olehnya ya,” sambar Debby. Regan hanya menjawab dengan senyuman.
Debby langsung mengajak Sarah ke kamar untuk bersiap-siap. Di dalam kamar, Debby dengan cepat memilih baju yang akan dikenakan Sarah. Setelah itu dia mendudukan Sarah di depan meja rias dan mulai mendandaninya. Debby memoles bibir Sarah dengan lipstik berwarna pink, cocok dengan kulit Sarah yang putih. Tak lupa dia menyemprotkan parfum. Sejenak memperhatikan Sarah, kalau-kalau ada yang kurang. Setelah dirasa cukup dia mengangkat kedua jempolnya.
Sarah mengambil tas selempangnya lalu memakai flat shoes berwarna cream, senada dengan warna bajunya hari ini. Dia mengambil nafas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang tak beraturan. Setelah itu membuka pintu dan perlahan keluar dari kamar. Regan menoleh ke arah Sarah. Dilihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Perempuan di hadapannya ini terlihat cantik. Hatinya berdebar ketika beradu pandang dengannya. Regan bangun dari duduknya.
“Kita pergi sekarang?”
Sarah hanya menjawab dengan anggukan. Mereka lalu turun ke bawah, langsung keluar rumah dan menaiki mobil.
Selama perjalanan mereka hanya terdiam. Baik Regan maupun Sarah tidak tahu harus berkata apa. Sibuk dengan perasaannya masing-masing. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, Regan membelokkan mobilnya memasuki kompleks perumahan. Ini adalah kompleks perumahan bu Dina.
“Mas, sebenernya kita mau kemana?”
“Tante Dina ngundang makan siang di rumahnya.”
Badan Sarah terasa lemas mendengar jawaban Regan. Oh my God, makan di rumah bu Dina, aduh gimana nih, batin Sarah. Dia langsung panik, grogi, semua bercampur jadi satu.
Mobil berhenti di depan rumah tante Dina. Regan segera turun dari mobil. Sarah masih terdiam, bingung harus bagaimana. Regan membukakan pintu lalu meminta Sarah untuk turun. Sesaat Sarah masih ragu. Tampak memegang sit beltnya erat-erat. Akhirnya dia membuka sit beltnya lalu turun dari mobil. Mereka pun mulai memasuki halaman rumah tante Dina. Telapak tangan Sarah mendadak terasa dingin.
“Assalamu’alaikum,” ucap Regan seraya masuk ke dalam rumah. Pintu rumah memang dibiarkan terbuka. Sarah berhenti di depan pintu, ragu-ragu untuk masuk. Regan langsung menggandeng tangannya dan masuk ke dalam.
Tante Dina yang sedang berada di dapur langsung keluar menyambut keponakan tersayangnya ini. Dia terkejut melihat Regan datang bersama Sarah.
“Eh Sarah..”
“Iya bu..”
Sarah tersenyum kikuk pada tante Dina seraya melepaskan genggaman tangan Regan. Tak lama om Firman dan Karin, anak tante Dina bergabung.
“Siapa ini Gan?”
"Ini mahasiswi mama pa, tapi kayanya sebentar lagi bakal ganti status deh, jadi keponakan,” tante Dina mulai menggoda. Wajah Sarah langsung memerah.
“Ayo kita langsung ke belakang, kita makan di taman belakang. Hari ini ulang tahun Regan.”
Sarah melihat pada pria di sebelahnya ini. Tante Dina menuntun Sarah menuju taman belakang. Di sana meja dan kursi sudah tertata rapi, makanan pun sudah siap tersaji di atas meja. Dia mempersilahkan Sarah untuk duduk di samping Regan. Kemudian duduk di samping Karin yang duduk berhadapan dengan Sarah.
“Ini semua menu favorit Regan, sop buntut, perkedel jagung, udang saus padang, sapo tahu sama emping. Inget ya Sarah, nanti ibu ajarin cara masaknya. Eh sekarang panggilnya tante aja,” cerocos tante Dina. Sarah semakin salah tingkah.
Tante Dina mengambil mangkok lalu memasukkan sop buntut ke dalamnya, setelah itu memberikannya pada Regan. Kemudian mengambilkan nasi untuk suami dan juga anaknya. Sarah mengambil nasi lalu mengambil sapo tahu dan udang saus padang. Tak berapa lama mereka mulai menikmati makan siang bersama.
Regan memakan sop buntut terlebih dahulu, baru kemudian dia memakan nasi lengkap dengan sapo tahu, udang saus padang, perkedel jagung dan emping. Selama makan Karin terus melihat ke arah Sarah, membuatnya jadi salah tingkah.
“Kenapa kamu ngeliatin kak Sarah terus, liat tuh kak Sarah jadi susah nelen makanannya,” tanya Regan pada Karin.
“Abis kak Sarah cantik kaya putri salju,” jawab Karin polos. Sarah tersenyum.
“Kalau kak Sarah putri salju, berarti kak Regan pangerannya, Karin kurcacinya ya,” goda Regan.
“Gak mau, enak aja, aku tuh cinderella tau,” Karin menyilangkan tangannya di dada.
“Cinderella hidungnya mancung ga pesek kaya kamu.” Regan terkekeh. Sontak adik sepupunya ini memegang hidungnya.
“Hidung Karin mancung kok.”
“Iya mancung ke dalem.”
Ucapan Regan langsung mengundang tawa orang tuanya. Gadis kecil ini mulai ngambek. Dia tidak mau menghabiskan makanannya.
“Karin cantik kok, kalau dibandingin sama kak Regan, ibaratnya beauty and the beast.”
Sarah mencoba menghibur Karin. Menunjuk Karin ketika menyebut kata beauty dan menunjuk Regan ketika menyebut kata beast. Wajah Karin kembali ceria mendengar pujian Sarah.
Selesai makan siang, mereka menunaikan shalat dzuhur berjamaah. Selesai shalat, om Firman mengajak Regan ke ruang kerjanya. Hendak membicarakan beberapa urusan terkait aset yang dimiliki oleh papa Regan yang kini sudah dialihkan pada Regan. Sedang tante Dina mengajak Sarah mengobrol di teras rumah. Mulai bercerita tentang keponakannya yang kini menjadi tanggung jawabnya setelah mama Regan meninggal dunia.
Selesai berbicara dengan om Firman, Regan mencari Sarah yang masih asik berbincang dengan tante Dina. Dia segera bergabung dengan mereka.
“Abis dari sini kalian mau kemana?” tanya tante Dina.
“Ga tau, tanya aja ke Sarah.”
Sarah kaget. Bukannya dia yang tadi menculiknya dari kost-an.
“Regan pamit ya tan, makasih buat makan siangnya,” ucap Regan seraya berdiri diikuti Sarah.
“Ibu eh tante, Sarah pamit dulu.”
Sarah mencium punggung tangan tante Dina. Setelah itu berjalan mengikuti Regan menuju mobil. Mereka masuk ke dalam mobil. Sarah melambaikan tangannya. Tak berapa lama mobil meluncur pergi.
“Sekarang kita mau kemana?”
“Hmm.. kalau ke Balai Kartini gimana, di sana ada pameran.”
“Hmm.. okey.”
Regan segera mengarahkan mobilnya ke tempat yang dimaksud. Memakan waktu satu jam lebih untuk sampai ke tujuan. Mobil memasuki pelataran parkir. Tempat parkir hampir terisi penuh. Perlu waktu baginya untuk memarkirkan mobil. Setelah berkeliling akhirnya dia menemukan tempat yang kosong. Usai memarkir mobilnya, Regan dan Sarah segera turun kemudian berjalan memasuki gedung.
Suasana ramai langsung terasa ketika mereka masuk ke dalam gedung. Di dekat pintu masuk terdapat baliho berukuran besar bertuliskan Wedding Expo 2005. Terdapat banyak stand dari berbagai Wedding Organizer, usaha catering, butik pakaian pengantin atau salon kecantikan yang memamerkan produk mereka.
Sarah berjalan sambil melihat-lihat stand-stand yang ada. Sesekali dia mengambil brosur yang diberikan. Membacanya dan membandingkan fasilitas yang ditawarkan masing-masing WO.
“Ini pameran wedding ya?” tanya Regan.
“Iya.”
Oh jadi kamu ngajak ke sini karena mau ngajak aku nikah?” Regan menggoda. Membuat Sarah terkejut.
“Ih ngga.. ngga.. bukan gitu.”
“Oh jadi kamu ngga mau nikah sama aku?”
“Hah?”
Sarah kembali tercengang mendengar ucapannya. Regan tertawa melihat Sarah yang tampak kebingungan.
“Jadi kamu pengen usaha bikin WO ya?” kali ini Regan mulai serius bertanya.
“Iya, maunya sih mas.. beres kuliah nanti aku sama Debby mau ngerintis bikin WO gitu.”
“Bagus tuh idenya, jadi wirausahawan, membuka lapangan pekerjaan buat orang lain.” Sarah tersenyum senang mendengar pujian Regan.
“Kalau gitu aku daftar ya jadi klien pertama kalian.”
Sarah cukup terkejut mendengarnya. Musnah sudah harapannya. Ternyata lelaki ini sudah punya calon istri.
“Mas Regan mau nikah?” tanya Sarah ragu-ragu.
“Mau dong, aku kan ngga mau jadi jomblo seumur hidup,” jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang tak dapat diartikan kemana arahnya. Sarah menjadi bingung.
Setelah selesai melihat-lihat mereka memutuskan untuk pulang. Regan mengantarkan Sarah sampai kost-an dengan selamat.
“Makasih ya mas buat hari ini dan Happy birthday. Maaf ya aku ngga kasih apa-apa,” ucap Sarah sebelum turun dari mobil.
“Aku yang makasih, karena kamu ulang tahun aku tahun ini jadi lebih berkesan.”
Sarah tersenyum, senang sekali mendengar apa yang barusan dikatakan Regan. Dengan berat hati Sarah turun dari mobil. Regan menurunkan kaca mobilnya lalu melambaikan tangannya. Tak lama roda kendaraannya meluncur pergi. Sarah melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Pikirannya campur aduk. Di satu sisi dia senang bisa dekat dengan Regan, tapi di sisi lain dia tidak mau berharap terlalu banyak karena takut kalau akhirnya kecewa.
❤️❤️❤️
Bu Dina baru saja menyelesaikan materi perkuliahannya. Dia mengingatkan mahasiswanya untuk segera mengumpulkan tugas yang telah diberikan sejak minggu kemarin. Sarah membereskan buku-bukunya, memasukkanya ke dalam tas. Setelah itu berjalan keluar kelas.
“Sarah..”
Sarah menengok dan ternyata bu Dina yang memanggil. Dia berhenti menunggu bu Dina yang berjalan ke arahnya.
“Masih ada kuliah?”
“Ga ada bu.”
“Gimana acara jalan-jalannya sama Regan?” bu Dina bertanya tanpa basa-basi. Sarah jadi salah tingkah dibuatnya.
“Ya gitu deh bu,” hanya itu jawaban yang mampu Sarah berikan. Bu Dina tersenyum.
“Aah kamu biasanya cerewet kenapa jadi grogi gini. Hmm menurut kamu Regan gimana?”
“Hmm... Mas Regan baik, perhatian, ganteng juga,” jawab Sarah malu-malu.
“Ibu setuju kok kalau kalian pacaran.”
Sarah terkejut mendengarnya, ada perasaan senang sekaligus malu.
“Ah ibu bisa aja, jangan bikin saya geer bu, siapa tau mas Regan udah punya pacar.”
Sebisa mungkin Sarah berusaha berbicara dan bersikap normal padahal hatinya meledak-ledak saking senangnya.
“Eh kamu tuh perempuan pertama yang dia ajak makan di rumah ibu.”
Sarah bertambah senang mendengarnya, geer tingkat tinggi.
“Cuma ya kamu jangan berharap bisa sering ketemu atau jalan bareng sama dia. Sekarang ini dia kan berstatus dokter magang, pastinya sibuk banget. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Ke rumah ibu juga sebulan sekali aja udah bagus. Jadi kalau tiba-tiba dia jarang kontak kamu ya harap dimaklum aja.”
Bu Dina tersenyum pada makasiswinya ini yang sebentar lagi diyakini akan berganti status. Sarah balas tersenyum. Kini dia mengerti, sudah hampir dua minggu semenjak terakhir mereka bertemu Regan belum menghubunginya lagi. Padahal dia sudah berpikir macam-macam.
“Ibu ke ruangan dulu ya,” ucapan bu Dina membuyarkan lamunan Sarah.
“Iya bu.”
Sepeninggalnya bu Dina, Sarah berjalan menuju kantin. Dia bermaksud menunggu Debby selesai kuliah. Seperti biasa nebeng pulang ke kost-an. Lumayan buat menghemat ongkos. Sesampainya di kantin, Sarah memesan milkshake dan mengambil snack, lalu duduk menunggu Debby sambil memakan snacknya.
Pesanan Sarah datang, milkshake coklat kesukaannya. Tanpa menunggu lama dia langsung menyeruputnya. Sarah merasakan getaran di tasnya, ada panggilan di ponselnya. Dia mengambil ponselnya. Matanya membelalak melihat nama yang tertera. Dengan cepat dia mengangkat telepon.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam, hai.. lagi ngapain?” terdengar suara Regan. Suara yang sangat dirindukannya akhir-akhir ini.
“Baru beres kuliahnya bu Dina.”
“Oh ya.. terus sekarang masih ada kuliah atau udah beres?”
“Udah beres, ini lagi nunggu Debby, mau pulang bareng.”
“Hmm.. ya udah nanti abis maghrib aku jemput ya.”
“Hah? Apa?”
“Nanti abis maghrib aku jemput, jangan pura-pura ga denger deh.”
Sarah tersenyum. Setelah mengiyakan, Regan mengakhiri panggilannya. Di saat yang bersamaan Debby datang. Baru saja dia akan duduk, Sarah langsung berdiri dan menarik tangannya.
“Ayo cepetan pulang.”
“Eh ntar dulu aku mau minum dulu, haus.”
Sarah memberikan milkshakenya pada Debby. Menyuruhnya menghabiskannya dengan cepat.
“Ayo..” Sarah menarik tangan Debby.
“Mau kemana sih cepet-cepet,” sewot Debby.
“Pulang.”
❤️❤️❤️
Sudah setengah jam yang lalu Sarah selesai berhia. Sebisa mungkin dia ingin tampil cantik malam ini. Sarah melihat jam tangannya, sudah pukul setengah tujuh, tapi Regan belum menelpon juga. Sesekali dia menengok ke jendela, melihat kalau-kalau Regan sudah datang. Tak lama nampak mobil Regan berhenti di depan rumah. Sarah segera mengambil tasnya lalu keluar kamar. Dengan cepat dia menuruni tangga dan keluar rumah.
Di dalam mobil, Regan baru saja akan menelpon ketika melihat pintu rumah terbuka. Muncul Sarah dari dalam. Setelah menutup pintu pagar pun masuk ke dalam mobil.
“Cepet juga datengnya, udah nungguin ya,” goda Regan.
“Ehem.. ngga juga.”
Tak berselang lama roda kendaraan mulai bergulir. Sarah tidak menanyakan mereka akan kemana. Hanya menunggu akan dibawa kemana dia malam ini oleh Regan, biar surprise. Rupanya Regan menuju sebuah mall yang letaknya tidak begitu jauh dari kost-an Sarah.
Setelah memarkir mobilnya, mereka masuk ke dalam mall. Keduanya menaiki eskalator menuju lantai paling atas. Regan mengajak Sarah masuk ke bioskop. Mereka melihat-lihat deretan poster film yang terpajang.
“Mau nonton apa?”
“Apa ya..” Sarah bingung.
“Hmm.. kalau yang ini gimana?” Regan menunjuk salah satu poster film, Sarah berpikir sejenak.
“Boleh juga.”
Akhirnya mereka sepakat untuk menonton The Chronicle of Narnia. Regan membeli tiket bioskop, dia kembali bertanya pada Sarah.
“Mau duduk dimana?”
“Di atas tapi kursi yang di tengah.”
“Kursi A 7 dan 8 mba,” ucap Regan. Petugas itu segera memencet tombol nomor kursi yang dimaksud. Dua buah tiket keluar lalu diberikannya pada Regan.
Sebelum masuk ke studio, mereka membeli popcorn dan minuman terlebih dahulu. Lampu bioskop masih menyala, keduanya langsung menuju kursi. Beberapa penonton mulai masuk. Dua orang penonton yang sepertinya pasangan kekasih, berjalan naik ke jajaran mereka kemudian duduk di kursi paling ujung. Hanya seperempat kursi yang terisi dari kapasitas yang disediakan. Tak lama lampu studio padam, film pun dimulai.
Sarah serius menonton sambil tangannya tak henti meraup popcorn. Sesekali dia berbicara dengan Regan membahas adegan film. Tak terasa durasi film sudah memasuki pertengahan. Popcorn sudah hampir habis, begitu pula dengan minuman sodanya. Sarah melemaskan lehernya dengan menggerak-gerakkan ke kanan dan kiri. Ketika dia menoleh ke arah kanan, tak sengaja melihat pasangan yang duduk di paling ujung sedang sibuk bercumbu. Sontak Sarah langsung memalingkan wajahnya kembali ke layar seraya mengucap istighfar. Dia melirik sebentar ke arah mereka dan adegan mesra masih berlanjut di antara keduanya.
Pertunjukkan pun usai, lampu studio kembali menyala. Sekilas Sarah melihat pada pasangan itu. Sang wanita sibuk merapihkan pakaiannya. Regan segera mengajak Sarah keluar dari studio. Suasana mall sudah sepi karena sudah lewat jam sepuluh malam. Bersama pengunjung lain mereka turun menuju tempat parkir dan tak berapa lama mobil mereka meninggalkan area parkir mall.
“Laper ga?” tanya Regan. Karena memang mereka belum sempat makan malam. Sarah hanya menjawab dengan anggukan.
“Mau makan dimana?”
“Terserah.”
“Kamu mau makan apa?”
“Hmm.. nasi goreng enak kayanya.”
“Ok.”
Regan mengarahkan mobilnya menuju jalan yang biasa dijadikan tempat mangkal warung tenda kaki lima. Setelah memarkirkan mobilnya, keduanya turun lalu masuk ke dalam tenda yang menjual nasi goreng. Regan langsung memesan dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh manis. Sambil menunggu makanan siap, mereka berbicara membahas film yang baru saja ditonton.
Lima belas menit kemudian pesanan mereka siap. Tak menunggu lama mereka langsung menyantap nasi gorengnya.
“Kapan-kapan kita nonton lagi ya,” ucapan Regan langsung diangguki oleh Sarah.
“Nanti kita pilih tempat duduk paling atas dan paling ujung. Biar kita juga bisa bikin adegan sendiri, kaya pasangan tadi.”
Uhuk.. uhuk..
Sarah langsung terbatuk mendengarnya. Dia mengambil gelas minuman. Regan terkekeh, senang sekali menggoda Sarah. Dia tampak menggemaskan saat kebingungan atau grogi, membuat Regan semakin senang untuk menggodanya.
Semakin lama kedekatan Regan dan Sarah kian terjalin. Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter magang, dia selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan Sarah. Walau hanya sekedar mengobrol atau pergi jalan-jalan.
Seperti pagi ini, Regan baru saja selesai piket malam. Sebelum pulang ke rumah dia menyempatkan diri datang ke kost-an Sarah sambil membawa bubur ayam yang dibelinya saat di perjalanan. Mereka menikmati bubur ayam di depan teras kost-an. Regan bercerita kalau malam kemarin adalah malam yang sangat sibuk di IGD, ada tabrakan beruntun dan semua korbannya dilarikan ke rumah sakit tempatnya magang. Hampir tak ada waktu beristirahat, beruntung semua korban tabrakan berhasil selamat dan tidak mengalami luka yang parah.
Sarah juga bercerita tentang kesibukannya menjelang tugas akhirnya. Dia beberapa kali harus bolak balik merevisi judul, belum lagi harus melakukan observasi untuk pengajuan proposal penelitian. Regan menyemangati Sarah agar tetap fokus menyelesaikan skripsinya. Saat mereka sedang asik berbincang, Debby datang sambil membawa ponsel Sarah.
“Sar, telpon dari mami nih.”
Debby memberikan ponsel pada Sarah yang segera menjawab panggilan dari maminya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam, Sar.. kamu kapan mau ke Bandung?”
“Belum tau nih mi, Sarah masih sibuk persiapan skripsi.”
“Oh gitu, tapi nanti kalau ada waktu kamu ke Bandung ya, mami kangen.”
“Iya In Sya Allah mi..”
Mami pun mengakhiri panggilannya. Sarah meletakkan ponsel di atas meja.
“Dari mami?” tanya Regan, Sarah mengangguk.
“Kamu kapan mau ke Bandung?”
“Ga tau mas, abis seminar UP kali.”
“Ya udah kamu jadwalin aja kapan, nanti aku juga liat jadwal libur biar kita bisa ke Bandung sama-sama.”
“Serius?” tanya Sarah tak percaya.
“Iyalah..” Sarah tersenyum senang mendengarnya.
❤️❤️❤️
Tiga minggu kemudian, Regan menepati janjinya mengantar Sarah ke Bandung menemui maminya. Mereka berangkat jam enam pagi untuk menghindari kemacetan. Semenjak ada tol cipularang, jarak Jakarta – Bandung menjadi lebih dekat. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam bagi Regan untuk sampai di kota Kembang ini.
Sebelum ke rumah mama, mereka mampir terlebih dahulu ke toko mainan untuk membeli kado. Hari ini adalah ulang tahun adik tiri Sarah. Setelah memilih mainan, mereka meminta pegawai toko untuk membungkusnya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke rumah mami.
Sesampainya di rumah, mereka langsung disambut oleh mami dan juga Tiara yang hari ini genap berusia enam tahun. Sarah lalu memperkenalkan Regan pada mami dan juga papi Chandra, suami mami yang sekarang. Sarah dan Regan memberikan kado yang baru saja mereka beli pada Tiara. Dengan senang Tiara menerima kado tersebut dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Tepat jam sepuluh, teman-teman Tiara mulai berdatangan untuk merayakan hari jadinya. Sebuah kue ulang tahun dengan lilin angka enam telah siap di atas meja. Papi Chandra sudah bersiap-siap dengan kameranya untuk mengabadikan perayaan hari ini. Mami duduk di samping Tiara yang berdiri menghadap kue ulang tahunnya. Semua yang hadir menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama. Setelah lagu berakhir, Tiara langsung meniup lilin yang disambut tepuk tangan dari teman-temannya. Mami membantu Tiara memotong kue, kemudian menyuapi mami dan papinya. Mereka mencium pipi Tiara.
Sarah yang berdiri di pojok ruangan melihat pemandangan di depannya dengan perasaan miris. Perayaan ulang tahun yang tidak pernah dia rasakan. Orang tuanya bercerai saat Sarah masih berusia tiga tahun, sejak saat itu dia tinggal bersama papa dan neneknya di Bogor. Mami adalah seorang pebisnis, jadi dia memilih untuk terus berbisnis dan mempercayakan Sarah pada mantan suaminya.
Selepas bercerai dari papa, mami tidak pernah menetap di satu kota. Dia selalu berpindah-pindah. Sebelum dengan papi Chandra, mami sudah menikah dua kali dan bercerai kembali. Papi Chandra merupakan pelabuhan terakhir mami, dan dari dialah mami memperoleh keturunan lagi.
Masa kecil Sarah hanya dihabiskan bersama papanya. Hampir setiap hari dia merindukan kehadiran ibunya, namun mami jarang sekali menengoknya. Setahun sekali pun itu sudah hal yang luar biasa. Sarah tidak pernah merasakan belaian lembut mami menjelang tidur. Merasakan pelukan hangat seorang ibu ketika dirinya sedang sakit atau bersedih. Yang membuat hatinya iri adalah ketika melihat teman-temannya menceritakan tentang kedekatan mereka dengan ibu mereka, bagaimana mereka membanggakan masakan ibu-ibu mereka.
Kesedihan Sarah mencapai puncaknya ketika papa, satu-satunya orang yang menyayangi dan memperhatikan dirinya harus berpulang ke Rahmatullah, enam tahun lalu. Mami pun tidak bisa mendampingi dirinya karena baru saja melahirkan Tiara. Hanya Debby, sahabatnya yang setia menemaninya, berbagi duka dengannya. Melihat Tiara sekarang, benar-benar membangkitkan kenangan pahitnya. Rasa marah pada maminya kembali muncul. Kesedihan yang selama ini berusaha dia kubur kembali menyeruak ke permukaan.
Sarah sudah tidak kuat, dia beranjak menuju kamar mandi. Matanya berkaca-kaca, sekuat mungkin untuk menahan dirinya agar tidak menangis. Beberapa kali dia mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku harus kuat, aku harus kuat, ucapnya dalam hati. Setelah merasa sedikit tenang, dia keluar menghampiri mami.
“Mi, aku pulang sekarang,” ucap Sarah. Mami terkejut mendengarnya.
“Kenapa cepet-cepet, kamu juga belum makan. Ayo kita makan dulu,” mami mencoba menahan Sarah.
“Mas Regan tugas jaga malam ini mi, takutnya dia kecapean.”
Sarah berbohong, sebenarnya hari ini Regan libur. Mami tetap berusaha menahan Sarah. Namun gadis itu tetap bersikeras untuk pulang. Mami hanya bisa pasrah. Sarah kemudian pamit pada papi Chandra. Regan yang bingung dengan keputusan Sarah memilih diam dan mengikuti kemauannya.
Selama dalam perjalanan pulang Sarah hanya terdiam. Semakin dipikirkan, semakin dia ingin menangis. Sarah mengepalkan tangannya kuat-kuat berusaha menahan airmatanya.
“Mas, bisa berhenti dulu di rest area, aku mau ke toilet,” pinta Sarah dengan suara pelan, Regan pun menuruti.
Mereka berhenti di rest area. Regan menghentikan mobilnya di depan toilet. Dengan cepat Sarah turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam toilet. Airmata Sarah langsung jatuh bercucuran, menutup mulut dengan tangannya agar tangisnya tak terdengar.
Regan tetap menunggu di dalam mobil. Lima menit berlalu, namun Sarah tak kunjung keluar. Regan keluar dari mobil, berjalan menuju toilet. Dia berdiri di depan pintu namun ragu untuk memanggil Sarah, akhirnya memilih menunggu. Sarah mencuci mukanya, mengeringkannya menggunakan tisu, lalu memulas wajahnya dengan bedak, terutama di bagian mata. Tidak mau terlihat habis menangis. Setelah dirasa cukup tenang, dia pun keluar. Sarah terkejut melihat Regan yang sudah ada di depannya.
“Sudah?” tanya Regan sambil terus memandangi wajah Sarah.
Mata Sarah nampak merah. Dia hanya mengangguk dan langsung berjalan menuju mobil. Tak lama kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju Jakarta.
Begitu banyak pertanyaan dalam benak Regan namun dia memilih untuk tetap diam. Menunggu sampai Sarah sendiri yang menceritakan padanya. Akhirnya mereka sampai di kost-an. Sarah turun dari mobil diikuti oleh Regan.
“Kamu istirahat ya, kalau ada perlu telpon aku aja.”
“Iya mas, makasih,” jawab Sarah pelan.
Regan menghampiri Sarah, memandangi wajahnya lekat-lekat. Ingin rasanya memeluk Sarah saat ini. Tapi dia hanya membelai lembut puncak kepala Sarah seraya berkata,
“Aku pulang ya, assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Regan masuk ke dalam mobil dan tak lama segera meluncur. Setelah mobil Regan melaju, Sarah masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju kamarnya. Di depan kamar dia berpapasan dengan mba Tari teman sekost-nya.
“Loh udah pulang lagi Sar?” tanya Tari heran.
“Iya mba.”
Sarah langsung masuk ke dalam kamar. Dihempaskannya tubuhnya ke atas kasur. Membenamkan wajahnya ke bantal lalu menangis sejadi-jadinya.
❤️❤️❤️
Waktu sudah jam delapan malam, namun Sarah tak kunjung keluar dari kamarnya. Tari yang merasa aneh dengan sikap Sarah tadi merasa cemas. Dia mengetuk-ngetuk pintu kamar Sarah namun tak ada jawaban. Tari mondar-mandir di depan kamar Sarah. Ayu yang baru pulang sehabis membeli makan malam langsung menghampiri Tari.
“Kenapa mba?”
“Ini Sarah dari tadi siang ga keluar kamar, aku takut ada apa-apa.”
Ayu langsung menuju kamar Sarah. Mengetuk pintu dan memanggil-manggil Sarah. Tetap tidak ada jawaban. Ayu memberanikan diri membuka pintu kamar, ternyata tidak dikunci. Perlahan Ayu dan Tari masuk ke dalam kamar. Suasana kamar gelap. Tari langsung menyalakan lampu, dia melihat Sarah sedang berbaring di atas kasur. Mereka langsung menghampiri.
“Sar.. Sar..”
Tari mencoba membangunkannya sambil mengguncang-guncang badannya, namun Sarah tak bereaksi. Keringat dingin memenuhi kening Sarah. Tari menempelkan telapak tangannya di kening Sarah.
“Ya ampun Sarah panas banget.”
Tari pun meminta Ayu mengambil termometer di kamarnya. Ayu langsung berlari dan segera kembali membawa termometer. Tari menempelkan termometer di ketiak Sarah, ketika suara bip terdengar, dia segera mengambilnya. Termometer menunjukkan angka 38,5 derajat celcius.
“Sarah demam,” gumam Tari.
Dia memegang tangan dan kaki Sarah yang terasa dingin, pakaian Sarah pun telah basah oleh keringat. Tari sedikit panik, dia bingung apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Yang diingatnya hanya Debby. Tari langsung menelpon Debby dengan ponselnya.
“Halo Deb, Sarah sakit, dia demam kayanya. Panasnya tinggi, tapi tangan dan kakinya dingin, aku harus gimana ya?”
“Ya ampun, hmm.. oh telpon dokter Regan aja mba. Coba lihat di ponsel Sarah nomernya pasti ada.”
“Oke.. oke.”
Tari mematikan ponselnya, lalu dia membuka tas Sarah. Mengambil ponsel kemudian mencari nama Regan di kontak.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Regan.
“Waalaikumsalam, ini dengan dokter Regan kan, aku Tari teman kost-nya Sarah. Sekarang Sarah lagi demam, badannya panas sampe 38,5 tapi tangan dan kakinya dingin. Aku harus gimana dok?”
“Pertama tolong ganti pakaian Sarah. Sebaiknya pakaian yang tipis atau yang berbahan dingin. Lalu kompres menggunakan air hangat, kalau Sarah bangun tolong kasih minum air hangat yang banyak. Sekarang saya ke kost-an.”
Regan mengakhiri panggilannya, Tari pun segera melakukan yang diperintahkan padanya. Dibantu Ayu dia mengganti pakaian Sarah, lalu mengompres kening Sarah dengan air hangat. Tari meminta Ayu menunggu Regan di bawah.
Setengah jam kemudian Regan datang, ditemani Ayu dia langsung naik ke atas dan masuk ke kamar Sarah. Regan memeriksa kondisi Sarah dengan stetoskopnya, lalu mengukur denyut nadi Sarah. Dia mengeluarkan termometer dari tasnya, lalu menaruhnya di dekat telinga Sarah, angka 37,5 muncul, panasnya sudah mulai turun.
“Sarah ga pa pa dok?” tanya Tari cemas.
“Alhamdulillah panasnya udah mulai turun.”
Sarah mulai membuka matanya, samar-samar dia melihat Tari, Ayu dan Regan. Dia hendak berbicara tapi Regan melarangnya. Regan meminta segelas air hangat, dengan cepat Ayu memberikannya. Dia membantu Sarah bangun, menahan badannya lalu memberinya minum.
“Minum yang banyak.”
Sarah menghabiskan satu gelas air hangat. Setelah itu Regan kembali membaringkan Sarah. Dia mengambil kain kompres, meletakkannya di kening Sarah.
“Dia gak keluar kamar dari siang makanya aku khawatir. Kayanya dia juga belum makan apa-apa,” jelas Tari.
“Aku bikinin bubur gimana?” tanya Ayu.
“Ya boleh,” jawab Regan.
“Ya udah kita bikin bubur dulu ya, titip Sarah ya dok.”
Tari dan Ayu bergegas ke dapur membuatkan bubur untuk Sarah.
Regan menarik kursi ke dekat tempat tidur Sarah, lalu duduk tepat di sampingnya. Dia memegangi tangan Sarah, membelai lembut rambutnya. Sarah memandang Regan dengan mata sayu, tubuhnya terasa sangat lemah.
“Kamu kenapa?” tanya Regan dengan nada lembut.
Sarah tak mampu menjawab pertanyaan. Matanya kembali memanas, perlahan airmata mengalir dari sudut matanya. Regan menghapus airmata Sarah yang jatuh membasahi pipinya.
“Sekarang kamu istirahat aja, jangan banyak pikiran, aku di sini nemenin kamu, hmm..”
Sarah mengangguk lemah, dipejamkan matanya. Mencoba untuk tidur kembali. Regan tak beranjak dari duduknya, tangannya terus memegangi tangan Sarah.
❤️❤️❤️
September 2006
Semenjak ulang tahun Tiara, Sarah belum mengunjungi maminya lagi. Dia sibuk menyelesaikan skripsinya, mengejar target wisuda akhir tahun ini. Regan pun tak kalah sibuk. Setelah menyelesaikan magangnya dia langsung mengambil program residensi. Mereka menjadi jarang bertemu dan hanya berkomunikasi melalui ponsel.
Sarah duduk melamun di balkon, diam-diam Debby menghampiri dan mengagetkannya.
“Hayo lagi ngelamun jorok ya,” ucap Debby.
“Apaan sih.”
Debby duduk di samping Sarah lalu melihat padanya.
“Kenapa sih manyun mulu, lagi kangen ya sama ayang Regan,” Debby kembali menggodanya.
“Deb, aku tuh bingung sama mas Regan, dari awal kita kenal sampai sekarang sikapnya tuh baik dan manis banget. Tapi dia tuh ga pernah bilang langsung I love you kek atau mau gak kamu jadi pacar aku. Aku tuh jadi bingung, sebenernya hubungan kita apa sih, temen, pacar, hanya sekedar adik kakak atau apa?” Sarah mulai mengeluarkan uneg-unegnya. Alih-alih menjawab, Debby malah memilih untuk bernyanyi.
“Sampai kapan kau gantung cerita cintaku memberi harapan, hingga mungkin ku tak sanggup lagi dan meninggalkan dirimu huoo..”
Sarah membekap mulut Debby.
“Debby.. serius ih.”
“Ya gampang, tinggal tanya aja dong. Mas Regan sebenernya kamu tuh anggap aku apa sih? Aku tuh ga bisa digantung terus menerus seperti ini. Kalau jemuran aku tuh udah kaya kerupuk, kering karena terlalu lama dijemur.”
Sarah tak dapat menahan tawanya melihat sikap Debby yang konyol. Sebenarnya dia sudah lama ingin menanyakan hal ini pada Regan, tapi takut kalau ternyata jawaban yang diterimanya mengecewakan.
“Udah sana telpon mas Regan.”
“Ngga ah, aku takut dia lagi sibuk.”
“Kalo gitu datengin ke rumah sakit, gitu aja kok repot. Usaha dong, cari tahu, biar kamu juga dapet kepastian.”
Sarah terdiam, memikirkan sejenak apa yang dikatakan Debby barusan. Akhirnya dengan tekad bulat dia memutuskan untuk menuruti saran Debby. Pergi menemui Regan di rumah sakit. Sarah meminjam kunci motor Debby. Dengan cepat memacu motor menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, dia langsung menuju meja informasi dan menanyakan tentang keberadaan Regan. Tapi Sarah terkejut ketika perawat mengatakan kalau hari ini Regan libur. Sarah mencoba menelpon Regan tapi tidak diangkat. Dicobanya lagi, namun tetap tak diangkat. Akhirnya dia memutuskan pulang ke kost-annya.
Sarah baru sampai di kost-annya ketika ponselnya berdering. Melihat Regan yang menelpon dia menjawab dengan cepat.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam, kamu tadi nelpon?”
“Iya, mas Regan dimana?”
“Ooh aku lagi di rumah, tadi ketiduran. Ada apa?”
“Hmm.. ga pa pa sih, kalau ketemuan bisa ga?”
“Maaf ya Sar, hari ini aku cape banget mau istirahat, ga pa pa kan?”
Sebenarnya Sarah kecewa tidak dapat bertemu Regan hari ini, tapi dia juga tidak bisa memaksanya.
“Ya udah ga pa pa,” jawab Sarah.
Setelah berbicara sebentar, Regan mengakhiri panggilannya. Sarah lagi-lagi melamun. Sudah dua bulan dia tidak bertemu dengan Regan, telpon pun jarang. Dalam hati kecilnya merasa Regan sedang berusaha menghindarinya.
❤️❤️❤️
Sarah sedang membereskan kamar ketika terdengar ketukan di pintunya. Tak berapa lama Tari masuk ke dalam kamar.
“Sar, temenin aku ke rumah sakit dong.”
“Kenapa mba, mba sakit?”
“Aku udah tiga bulan ga mens, kemarin ke dokter disuruh periksa ke dokter kandungan, harus di usg takutnya ada apa-apa. Mau ya?”
“Hmm.. boleh, ke rumah sakit mana?”
“Ke rumah sakit tempat pacar kamu kerja aja.” jawab Tari sambil tersenyum.
“Aku siap-siap dulu ya.”
“Iya mba.”
Sarah buru-buru membereskan pekerjaannya, lalu berganti baju. Ini kesempatan dia bisa bertemu dengan Regan. Mudah-mudahan hari ini Regan ada di rumah sakit. Setelah keduanya siap, mereka berangkat menuju rumah sakit mengendarai mobil Tari.
Sesampainya di rumah sakit, Tari langsung mendaftar. Setelah menyelesaikan administrasi pendaftaran, mereka menuju ruang praktek dokter kandungan yang terletak di lantai dua. Sudah ada pasien yang mengantri di ruang tunggu. Tari dan Sarah ikut duduk di sana.
Sarah berkali-kali ingin menelpon Regan tapi dibatalkannya. Takut-takut kalau dokter tampan itu sedang menangani pasien. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya giliran Tari diperiksa. Dia masuk ke ruang pemeriksaan sedangkan Sarah tetap menunggu di ruang tunggu.
Sarah yang merasa haus memutuskan ke kantin yang terletak di lantai satu untuk membeli minuman. Sesampainya di sana dia langsung membeli minuman kemudian segera kembali ke lantai dua, takut Tari mencarinya. Ketika sedang berjalan, terdengar suara yang tidak asing lagi. Sarah pun membalikkan badannya, dan benar saja dia melihat Regan sedang berbicara dengan temannya. Sarah baru saja akan memanggil Regan ketika tiga orang dokter muda menghampirinya, dua di antaranya adalah wanita.
Mereka langsung bergabung dengan Regan dan rekannya. Ketiga orang itu adalah mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani masa koasnya. Mereka melaporkan kondisi pasien yang baru saja mereka periksa pada Regan. Tapi yang mengganggu Sarah adalah salah seorang koas perempuan yang bersikap tidak biasa pada Regan. Dia seperti mencari perhatian Regan, tatapan matanya pada lelaki itu benar-benar membuat Sarah gerah. Api cemburu mulai berkobar di hati Sarah, terlebih melihat sikap Regan yang begitu baik padanya.
“Mas Regan,” panggil Sarah.
Regan menengok ke arah datangnya suara. Dia terkejut melihat Sarah. Lalu menghampirinya.
“Sarah.. kamu lagi ngapain di sini?”
“Nganter mba Tari berobat. Lagi sibuk mas?” ketus Sarah. Matanya terus menatap ke arah koas perempuan tadi.
“Iya, kamu kenapa sih kok aneh gitu?” Regan bingung melihat sikap Sarah yang tidak seperti biasanya.
“Mas aku...”
Belum selesai Sarah berbicara, tiba-tiba koas perempuan itu datang menghampiri mereka.
“Dok, bisa lihat pasien aku ga? Kasian udah nunggu lama,” ucap koas tersebut seraya melirik ke arah Sarah.
“Sar, kita bicara lagi nanti ya.”
Tanpa menunggu jawaban Sarah, Regan segera pergi dengan koas itu membuat hati Sarah semakin kesal.
❤️❤️❤️
Bu Dina sedang memeriksa hasil penelitian Sarah. Dia mengoreksi beberapa kekurangan dalam laporan penelitian Sarah. Tapi bukan memperhatikan, Sarah malah melamun. Dia belum melupakan kejadian kemarin. Masih tergambar dengan jelas bagaimana cara koas itu menatap Regan.
“Sar.. Sar..”
Bu Dina memanggil Sarah seraya melambaikan tangannya di depan wajahnya. Sarah terkesiap.
“Eh iya bu..”
“Malah ngelamun. Ini harus diperbaiki, coba ditambah teorinya dikit lagi. Terus yang bagian ini dihilangkan saja, ga penting dan di pembahasan kamu harus lebih kuatin lagi analisisnya, oke?”
“Iya bu, itu aja?”
“Iya itu aja, minggu depan kita ketemu lagi, ibu tinggal acc.”
“Iya, makasih bu,” ucap Sarah senang.
“Sekarang ikut ibu yuk.”
“Kemana bu?”
“Udah ayo ikut.”
Sarah pun mengikuti bu Dina. Mereka berjalan menuju pelataran parkir. Bu Dina membuka pintu mobil dan menyuruh Sarah naik ke dalamnya.
“Kita mau kemana bu?”
“Tante.”
“Iya tante.”
“Ke rumah sakit, tante mau ambil obat hipertensi buat om.”
Tante Dina menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat Regan bekerja. Kebetulan dokter yang bertanggung jawab atas kesehatan suaminya bekerja di rumah sakit yang sama dengan Regan.
Setelah mengalami sedikit kemacetan, mereka sampai di rumah sakit. Tante Dina langsung menemui dokter Farhan. Sedangkan Sarah memutuskan menunggu di kantin. Tante Dina naik ke lantai tiga, langsung menuju ke ruangan dokter Farhan. Setelah berbincang sebentar tentang kondisi suaminya dan menerima resep obat. Tante Dina pamit pulang. Saat keluar ruangan, Regan yang baru saja selesai bertugas melintas di depannya.
“Eh tante,” Regan mencium punggung tangan tante Dina.
“Kamu kemana aja ga ke rumah-rumah?”
“Sibuk tan.”
“Masih tugas apa udah selesai?”
“Baru beres.”
“Oh bagus deh. Tante sama Sarah ke sininya, dia lagi nunggu di kantin. Sarah kamu aja yang anterin ya, soalnya Karin udah nungguin di rumah.”
“Iya tan, Sarah biar aku aja yang anter.”
Setelah itu tante Dina pulang. Regan langsung turun ke lantai satu, menuju kantin untuk menemui Sarah. Sesampainya di sana, terlihat Sarah sedang duduk sambil menikmati minuman dingin. Dia langsung menghampiri.
“Hai..”
Sarah terkejut melihat kedatangan Regan sekaligus senang.
“Aku ke sini nganter tante Dina.”
“Iya barusan ketemu tante. Tapi langsung pulang, Karin nunggu di rumah katanya.”
“Loh, kok aku ditinggalin.”
“Tenang aja, aku yang anter kamu pulang. Piket hari ini udah selesai. Kamu tunggu ya, aku ganti baju dulu.”
Sarah hanya mengangguk. Setelah itu Regan berlalu. Di depan pintu masuk kantin dia berpapasan dengan koas perempuan yang kemarin membuat Sarah cemburu berat. Mereka berbicara sebentar. Perasaan Sarah kembali tidak enak melihat pemandangan itu. Syukurlah Regan tak berlama-lama dengannya.
Koas itu beserta dua orang temannya masuk ke kantin lalu duduk di dekat meja Sarah. Mereka menunggu minuman yang tadi sudah dipesan. Terdengar pembicaraan di antara mereka.
“Van.. kayanya kamu makin lama makin deket aja sama dokter Regan.”
“Udah pepet terus Van, kayanya dokter Regan belum punya pacar.”
“Tenang aja, aku kan masih punya banyak waktu buat pedekate sama dokter Regan. Oh iya kemarin aku dianterin pulang loh sama dia.”
“Terus.. terus kalian ngapain aja?”
“Ya cuma ngobrol-ngobrol aja, udah aku kenalin juga sama mama aku.”
Mereka bertiga tertawa senang, kedua temannya terus menyemangati.
Darah Sarah mendidih mendengar percakapan mereka. Dia langsung pergi meninggalkan kantin. Tak berapa lama Sarah pergi, Regan datang. Dia melihat sekeliling tapi tak menemukan sosok yang dicarinya. Regan menelpon ponsel Sarah tapi tak diangkat. Vanya yang melihat Regan segera memanggilnya, tapi diabaikannya dan langsung pergi mencari Sarah.
Regan berlari menuju pintu keluar, menengok ke kanan dan kiri. Dia kembali menelpon Sarah tapi tetap tak diangkat. Regan berjalan keluar rumah sakit, menuju halte busway yang tak jauh letaknya dari rumah sakit. Dia mempercepat langkahnya. Benar saja, dia melihat Sarah sedang menaiki tangga halte busway. Regan segera berlari mengejarnya. Sesampainya di dekat Sarah.
“Sarah,” panggilnya.
“Kenapa pergi, aku kan udah bilang mau anter kamu, ayo,” lanjutnya.
Regan menarik tangan Sarah. Tapi Sarah segera menepis tangannya.
“Aku pulang sendiri aja,” ketus Sarah. Dia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi.
“Kamu kenapa sih, udah ayo.”
“Gak mau!” kali ini suara Sarah mulai meninggi. Regan terdiam menatap Sarah.
“Aku udah janji sama tante Dina mau nganter kamu pulang.”
“Gak perlu, aku bisa pulang sendiri.”
“Kamu kenapa sih?”
Regan mulai kesal dengan sikap Sarah. Namun tak digubrisnya. Dia kembali berjalan, namun kembali ditahan Regan.
“Kamu pulang sama aku sekarang atau..”
“Atau apa?” tanya Sarah sambil menatap tajam. Regan melihat sebentar ke arah Sarah lalu berjalan mendekatinya.
“Atau aku bakal cium kamu di sini.”
Sarah yang tak percaya ucapan Regan balik menggertaknya.
“Coba aja kalau berani.”
Regan tak menjawab. Dia terus mendekatkan tubuhnya ke arah Sarah. Semakin dekat dan semakin dekat hingga akhirnya,
“Iya aku ikut kamu pulang.”
Sarah mengalah. Regan pun langsung menarik tangannya kembali ke rumah sakit untuk mengambil mobilnya.
Suasana hening selama dalam perjalanan. Baik Sarah maupun Regan tidak berniat untuk memulai percakapan. Akhirnya mereka tiba di kost-an. Sarah buru-buru turun dari mobil. Saat hendak masuk, Regan memanggilnya.
“Sarah tunggu..”
Sarah menghentikan langkahnya, membalikkan badannya. Regan menghampiri Sarah, lalu berdiri di depannya.
“Bisa bicara sebentar?” tanya Regan lembut.
“Soal apa?” Sarah balik bertanya dengan nada ketus.
Sebetulnya dalam hati dia penasaran sekaligus takut mendengar apa yang akan dikatakan Regan. Pria itu mengambil nafas sejenak sebelum berkata.
“Aku minta maaf kalau akhir-akhir ini aku berusaha menghindari kamu.”
DEG
Ternyata benar kecurigaan Sarah selama ini. Alasan mereka tidak bisa bertemu bukan karena kesibukan tapi karena Regan sengaja menghindarinya.
“Alasan aku mencoba menghindari kamu..”
“Aku tahu,” belum sempat Regan menyelesaikan kalimatnya Sarah langsung memotong.
“Kamu tahu? Apa?”
“Ya tau aja, mas ngga usah bilang aku udah tau kok.”
Regan menghela nafas, sepertinya Sarah sudah salah sangka padanya. Dipegangnya kedua tangan Sarah seraya berkata,
“Alasan aku..”
“Ngga.. ngga.. aku ngga mau denger..”
“Sarah, please tolong denger.”
Sarah terdiam, mau tak mau harus mendengarkan. Walaupun mungkin hari ini adalah akhir hubungannya dengan Regan. Dia menguatkan diri untuk mendengar alasannya.
“Alasan aku menghindari kamu karena aku takut. Aku takut ngga bisa menahan diri lagi. Semakin sering kita bertemu, semakin sayang aku sama kamu, semakin ingin aku memiliki kamu. Aku takut akan melakukan hal-hal yang ngga seharusnya aku lakukan sama kamu.”
Regan terdiam sebentar, Sarah masih belum mengerti arah pembicaraan Regan.
“Dari awal kita ketemu, aku yakin kalau kamu adalah tulang rusuk aku yang hilang. Aku sayang kamu, aku cinta kamu dan aku ingin melindungi orang yang kucintai. Tapi yang paling sulit adalah melindungi kamu dari diri aku sendiri. Jadi, aku mohon kamu tunggu sebentar lagi. Kasih aku waktu dua minggu untuk mempersiapkan semuanya. Baru setelah itu aku akan ke Bandung menemui mami untuk melamar kamu.”
Sarah tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Regan akan melamarnya.
“Mas serius?” Sarah memastikan.
Regan mengangguk dengan pasti. Hati Sarah seakan mau meledak karena bahagia. Hal yang ingin dia dengar tentang perasaan Regan padanya akhirnya terjawab sudah. Sarah tersenyum bahagia seraya berkata,
“Aku juga sayang sama mas Regan. Cuma aku bingung aja kenapa mas Regan seperti sedang menghindariku.”
“Jujur, aku tuh kangen banget sama kamu. Tapi bukan hal yang baik juga kalau kita sering bertemu sebelum aku resmi menjadi mahrom kamu. Jadi, aku mau kamu bersabar sedikit lagi. Tunggu aku dan please jangan mikir macem-macem atau salah paham lagi.”
Sarah mengangguk, perlahan Regan melepaskan tangannya. Sarah membuka pintu pagar. Sebelum masuk dia membalikkan badannya ke arah Regan.
“Hati-hati di jalan ya mas.”
Regan mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu masuk ke dalam mobilnya. Tak berapa lama mobilnya sudah pergi meninggalkan Sarah yang berlari masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak sabar ingin menceritakan ini semua pada Debby.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!