Happy reading...
Langit sore yang berwarna jingga menjadi pengiring langkah besar Maliek memasuki sebuah gedung rumah sakit ternama. Beberapa saat yang lalu ia menerima telepon dari adik iparnya, Amiera.
Gadis itu memberitahunya bahwa istrinya Meydina dibawa menuju rumah sakit karena sudah merasakan kontraksi hebat pada kandungannya.
"Suster, dimana ruang bersalin?" tanya Maliek dengan raut wajah yang cemas.
"Disebelah sana, Pak!" tunjuk Perawat itu.
"Terima kasih," ucap Maliek sambil berlari ke arah yang di tunjukkan.
Dari kejauhan Maliek bisa melihat Amiera yang sedang cemas berdiri menunggu di luar ruangan.
"Kak Maliek!" seru Amiera.
"Amie, bagaimana keadaan Meydina?"
"Kak Mey baru saja masuk. Tadi dokter menanyakan Kakak." Sahutnya.
Maliek mengetuk pintu ruangan itu berkali-kali sampai seorang perawat dari dalam membukakannya.
"Mey, Sayang!" seru Maliek yang langsung menghampiri istrinya.
"Kak," sahut Meydina dengan mimik wajah meringis dan kedua maniknya yang berkaca-kaca.
"Pak Maliek bisa bicara sebentar? Mari ikuti saya," pinta Dokter Yuli.
"Baik, Dok."
"Sayang, tunggu sebentar ya!" Maliek mengecup kening Meydina sebelum meninggalkannya.
Meydina yang sedang merasakan sakit luar biasa hanya bisa mengangguk pelan dengan senyum yang dipaksakan.
Maliek mengekor di belakang Dokter Yuli. Dalam hatinya Maliek khawatir melihat sikap Dokter Yuli yang berbeda dari dua persalinan Meydina sebelumnya.
Saat berada di ruangan, Dokter Yuli menyodorkan secarik kertas pada Maliek.
"Apa ini, Dok?"
"Silahkan di baca dulu! Persalinan Ibu Meydina kali ini harus dilakukan secara caesar. Posisi bayinya sungsang. Jadi satu-satunya cara hanya dengan operasi caesar. Kami meminta persetujuan anda, Pak Maliek." Jelasnya.
"Kondisi istri saya bagaimana? Apakah memungkinkan untuk di lakukan operasi?"
"Ibu Meydina dalam kondisi baik walaupun agak lemah. Sepertinya beliau kelelahan," sahut dokter itu.
"Baiklah, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri dan anak saya," ucap Maliek sambil membubuhkan tanda tangannya di atas kertas yang di pegangnya.
Dokter Yuli mengangguk pasti. Sedangkan Maliek dalam hatinya merasa bersalah atas keadaan Meydina. Kedua putranya pasti sangat menguras tenaga dan pikiran istrinya. Walau sudah ada dua babysitter untuk setiap anaknya, tetap saja peran Meydina sebagai ibu mereka tidak bisa digantikan.
"Ada apa, Kak?" tanya Meydina pelan. Ia merasa heran karena perawat sedang menyiapkan beberapa alat medis yang membuatnya bergidik ngeri.
"Sayang, kamu hanya harus tenang. Babynya mau keluar lewat sini, jadi dokter akan melakukan operasi." Maliek mengusap lembut perut istrinya.
"Operasi? Anak kita nggak apa-apa kan, Kak?" tanya Meydina cemas.
"Tidak apa-apa, Bu. Bayinya normal, tapi karena posisinya yang sungsang jadi kami harus melakukan operasi caesar," sahut Dokter Yuli dengan senyum tipis di wajahnya.
"Kamu tenang ya, Kakak akan menunggu di luar bersama Amiera. Oke, Mami Sayang?"
"Iya," angguk Meydina.
Maliek mengusap pucuk kepala istrinya. Kedua tangannya menangkup wajah cantik Meydina.
Satu kecupan didaratkan pada bibir Meydina. Menghadirkan rona merah di pipi istrinya. Bagaimana tidak, Dokter Yuli dan beberapa perawat yang menyaksikannya sampai melengoskan wajah mereka.
***
Sementara itu di kediaman Salman, Resty sedang membantu mengasuh dua putra Maliek. Wanita itu merasa cemas saat mendengar Meydina harus menjalani operasi.
"Oma! Mami ana?" tanya Zein yang naik ke pangkuan Resty. Jari-jari mungilnya mulai memainkan aksesoris yang kenakan neneknya.
"Sayang, Mami ke dokter. Zein mau punya adik," sahut Resty yang mengusap rambut cucunya.
"Amal?"
"Bukan Dede Amar, tapi adik baru."
"No. Zein mau Mami," ucap Zein dengan mimik wajah akan menangis dan mata yang berkaca-kaca.
"Zein, sayangnya Oma. Kita tunggu Opa pulang ya. Sebentar lagi kita ke Mami," bujuk Resty.
"Huaa, Mami!"
Tangisan Zein yang tiba-tiba dan sangat keras membuat Amar terkejut dan menatap bingung pada kakaknya. Amar pun berjalan cepat dengan mainan di sebelah tangannya menuju Resty. Di belakang Amar, babysitter-nya mengikuti karena khawatir terjatuh.
Melihat Zein menangis, Amar tiba-tiba terisak. Putra kedua Meydina itu ingin di pangku neneknya.
"Uu, sayang Oma. Sini, sini!" sambut Resty.
Amar memberikan mainan yang di pegangnya pada Zein. Dan perlahan tangisan Zein pun mereda. Resty menatap haru kedua cucunya. Kemudian ia memeluk dan mengecup mereka satu persatu.
***
Menit demi menit yang dilalui terasa lama bagi Maliek yang menunggu kabar dari dalam ruangan dengan rasa cemas. Hal serupa tidak jauh berbeda dirasakan oleh Amiera. Salman yang sedang berada di Timur Tengah untuk urusan pekerjaan, terus saja meneleponnya untuk menanyakan keadaan Meydina dan juga bayinya.
Suara tangisan bayi yang terdengar mengalihkan pandangan mereka. Keduanya sontak berlari ke arah pintu untuk melihatnya dari kaca. Tanpa disadari, air mata Maliek menetes begitu saja.
Pria itu tertegun melihat beberapa orang perawat sedang mengurus bayinya. Sedangkan dokter dan perawat lainnya sibuk menyelesaikan tugasnya.
**Meydina menatap kagum keindahan taman dengan hamparan bunga di depannya. Kupu-kupu yang beterbangan diatasnya menandakan aroma bunga yang menggoda.
"Badr, jangan lari Nak!" seru seorang wanita dari arah belakang Meydina.
Meydina segera menoleh karena merasa suara itu tak asing baginya.
"Ibu," gumam Meydina.
Gelak tawa yang terdengar dari dua orang berpakaian putih itu sesaat menghipnotis Meydina. Setelah tersadar dari keterpanaannya, Meydina menghampiri mereka.
"Bu, Ibu!" seru Meydina dengan raut wajah bahagia.
Wanita muda berwajah ibunya itu seolah tidak menyadari keberadaan Meydina. Begitupun anak lelaki yang bermain dengannya.
Meydina mencoba menggapai sosok dihadapannya namun sia-sia. Setelah mencoba beberapa kali, ia pun menyerah juga.
"Bu, Mey merindukan Ibu." Gumamnya.**
"Mey! Sudah sadar, Sayang?" tanya Maliek yang berada di sampingnya.
Meydina yang mulai membuka kelopak mata tertegun menatap suaminya. Ia tersenyum tipis pada suaminya itu. Kemudian ia merasakan seseorang menarik-narik lengannya.
"Mami, Mami!" suara nyaring milik putra sulungnya mengalihkan perhatian Meydina.
Maliek mengangkat putra sulungnya itu agar Meydina bisa melihatnya. Senyum bahagia terpancar jelas di wajahnya. Meydina menoleh pada Amar, putra keduanya. Bram yang sedang memangkunya mandekatkan anak itu pada ibunya.
"Mey, lihat deh! Babynya cantik banget," ucap Resty.
"Iya, Kak Mey. Cantik seperti Maminya," timpal Amiera.
"Cantik? Babynya perempuan?" gumam Meydina. Ia menatap Maliek yang mengangguk sambil tersenyum.
"Selamat ya, Sayang!" ucap Bramasta.
"Terima kasih, Pa." sahut Meydina.
"Amar punya dede," ucap Meydina sambil memainkan tangan mungil Amar. Melihat senyum di wajah Sang Mami, Amar pun ikut tersenyum.
Resty mendekatkan bayi perempuan Meydina yang terlihat ingin menyusu pada ibunya. Bram membujuk Amar agar mau di pangku olehnya. Dan saat bayi itu sudah dalam dekapan Meydina, Maliek menjauhkan Zein karena sudah berniat ingin mengganggu bayi cantiknya.
"Kak Maliek, baby girl diberi nama siapa?"
Hai, readers...
Jumpa lagi dengan author 🤗
Kira-kira Maliek akan menamai putrinya siapa ya?
Di tunggu episode selanjutnya ya!
Happy reading...
"Kak Maliek, baby girl diberi nama siapa?"
"Fatima. Fatima Maliek Bramasta," sahut Maliek. Ia menatap Meydina yang tersenyum sambil mengangguk.
"Fatum," panggil Meydina pada bayi yang sedang belajar menyusu itu.
"Kakak Zein suka nama itu?" tanya Maliek.
"Tuka," sahut Zein sambil mengangguk cepat.
Zein yang melihat adik barunya dalam dekapan Maminya meronta ingin melepaskan diri. Ia menatap pada sang Mami dengan mata berkaca-kaca. Meydina yang menangkap tatapan itupun berkata, "Sebentar ya Sayang."
"Mami," rengek Zein.
"Zein sama auntie dulu ya," bujuk Amiera.
"Lihat nih, Kakek nelpon sayang." Bujuknya lagi.
"Nggak mau. Mami!" Zein semakin meronta.
Bahkan sapaan Salman dari ponsel Amiera tidak bisa meredakan keinginan anak itu akan Maminya. Maliek mendekatkan Zein pada Meydina saat melihat istrinya itu selesai menyusui.
"Sini, Dede Fatum sama Oma, Sayang."
Zein terlihat senang saat berhasil mendapatkan dekapan Maminya. Ia memeluk erat Meydina seakan tak ingin berbagi dengan siapapun. Sementara Amar yang berada dalam dekapan Bram melihat kegembiraan sang kakak hanya berucap, "Mi?"
"Amar sama Opa aja ya," ucap Bram yang mengecup gemas cucunya dan menghampiri istrinya.
Amiera dan Resty sedang memamerkan anggota baru dalam keluarga mereka pada Salman. Terlihat dari layar ponsel, wajah pria Timur Tengah itu merasa sangat terharu.
📱 "Dia mirip sekali kamu waktu bayi, Mey." Ucapnya.
Meydina hanya tersenyum dari kejauhan sambil berucap, "Ayah kapan pulang?"
📱 "Mungkin lusa. Masih ada yang harus Ayah urus disini."
Setelah berbicara panjang lebar, Salman pun menutup panggilannya.
Amiera tidak menyia-nyiakan kedatangan seorang perawat dalam ruangan itu. Ia kemudian meminta semua berkumpul di dekat Meydina untuk berfoto. Dan sudah pasti perawat itu yang menjadi juru fotonya.
Seolah belum puas, Amiera berselfie ria dengan Mama Resty dan Baby Fatum. Yang kemudian di posting di sosial media (sosmed) miliknya. Hanya butuh sepersekian detik akun sosmednya di banjiri kamentar yang memberikan ucapan selamat dan mengagumi bayi mungil yang menggemaskan tersebut.
Drtt..
Maliek mengangkat ponselnya, Alvin melakukan panggilan video.
📱 "Mey. Selamat, Sayang!"
📱 "Terima kasih, Kak. Kak Alvin masih di kantor?"
📱 "Iya. Siapa nama Babynya?"
📱 "Fatima."
📱 "Nama yang bagus. Fatum... Bramasta dong ya?"
📱 "Pastinya," jawab Maliek.
📱 "Biar adil satu lagi ya, Liek. Bramasta sepasang, Al-Azmi sepasang."
📱 "Emang loe kira sepatu. Kan udah ada Queena Al-Azmi satu laginya."
📱 "Oh iya, ya. Emang loe udah nggak mau nambah lagi?" kekeh Alvin.
📱 "Enggak ah. Ngeri gue, yang ini caesar."
📱 "Oh, ya!"
Maliek mengangguk dan Meydina hanya tersenyum tipis. Kemudian Amiera mengambil alih ponsel Maliek. Gadis itu terlihat sangat senang dan bangga pada keponakan cantiknya. Sampai-sampai Alvin berucap, "Nikah dong Amie, kalau ingin yang cantik begitu."
Kalimat Alvin langsung merusak mood Amiera. Ia memasang wajah cemberut pada Alvin dan pastinya Alvin menertawakannya.
Malam itu, Resty dan Suaminya menginap di kediaman Salman. Ia dan Amiera kesusahan menghadapi kedua anak Maliek yang merengek ingin ditemani Maminya. Mereka baru bisa terlelap saat Maminya menemani lewat panggilan video. Bahkan Zein tertidur sambil memeluk ponsel Neneknya.
Sementara itu di rumah sakit, Meydina mengusap air matanya setelah menutup panggilannya. Ini pertama kalinya ia jauh dari kedua putranya. Karena saat Amar lahir, Zein diperbolehkan menginap di ruangannya. Sedangkan kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk meminta hal yang sama.
"Sayang, maaf ya!" ucap Maliek sambil memeluk Meydina.
Ia tahu Meydina pasti merasa sedih melihat putranya menangis dan memanggil-manggil Maminya.
"Kak, besok pulang ya." Pintanya.
"Tapi kamu harus pemulihan dulu beberapa hari, Sayang."
"Kak," rengek Meydina.
"Besok kita konsultasikan dulu dengan Dokter Yuli, ya."
Meydina mengangguk. Maliek mengusap pucuk kepala istrinya lalu mengecupnya. Melihat Meydina menangis adalah hal terberat baginya.
***
Dengan berat hati Dokter Yuli mengijinkan Meydina pulang pagi itu. Maliek meminta seorang perawat membantu selama proses pemulihan Meydina di rumah. Juga meminta Dokter Yuli untuk rutin memeriksa kondisi istrinya.
"Jangan terlalu lelah ya, Bu! Kedua kakaknya pasti akan menguras energi Bu Meydina. Jadi sebisa mungkin untuk tidak merasa stress dan juga kelelahan," pesan Dokter Yuli.
"Baik, Dok."
***
Maliek menepikan mobilnya di halaman rumah. Kedatangan mereka disambut gembira terutama oleh kedua putra mereka. Disana juga ada Evan dan juga Alena.
Maliek yang menghawatirkan keadaan Meydina, membopong istrinya ke kamar mereka yang ada di bawah. Meydina sampai menutup wajahnya karena malu pada Alena dan Amiera yang menggodanya. Sedangkan Baby Fatum di gendong perawat yang datang bersama mereka.
Di tempat lain...
Rendy menatap sendu layar ponselnya. Pria itu menggerakkan dua jarinya untuk memperbesar tampilan foto seorang wanita dalam layar ponselnya itu.
"Mey," gumam Rendy.
Ia menatap lekat wajah sahabat sekaligus wanita yang sangat dicintainya itu. Dalam foto yang dilihatnya dalam akun sosial media milik Alena, Meydina terlihat bahagia atas kelahiran anak ketiga dalam pernikahannya dengan Maliek Putra Bramasta.
"Terima kasih karena senyum ini masih ada. Dan semoga selalu ada, Mey." Ucapnya.
Rendy mengingat terakhir kali ia bertemu Meydina saat pemakaman Ibu Anita. Ia merasa sedih melihat sahabatnya itu sangat berduka atas kepergian ibunya. Dan di tahun yang sama, Rendy memutuskan melanjutkan pendidikan S2nya di London.
Setahun ini, Rendy juga mulai bekerja sambil menunggu kelulusannya yang sudah di depan mata. Ia bertekad untuk meraih kesuksesan dan mengesampingkan urusan asmara.
Di kampusnya, Rendy cukup menjadi idola. Apalagi dalam olah raga basket yang memang sangat di gemarinya itu. Tidak hanya wanita asia yang memuja dan berharap bisa menjadi kekasihnya, tapi juga beberapa wanita eropa mengaguminya.
Rendy kemudian melangkah menuju kamar mandi. Ia harus bersiap untuk berangkat kerja. Ia harus pandai mengatur waktu bekerja dan pendidikannya. Dan sejauh ini, pria itu berhasil melakukannya.
Setelah selesai mengenakan pakaian formalnya, Rendy punya kebiasaan yang selama ini jadi rutinitasnya. Kabiasaan itu adalah memandang foto yang menempel di cermin dalam kamarnya.
Foto yang memperlihatkan wajah dua orang yang mengenakan seragam SMU sedang tersenyum bahagia. Foto dirinya yang sedang bersama Meydina, cinta pertamanya.
"Mey, aku berangkat dulu ya!" ucap Rendy sambil mengusap lembut wajah Meydina dalam foto itu.
Melakukan hal demikian dirasa Rendy mampu menyemangati dirinya yang sendirian di negara itu. Setelah memastikan semua siap, Rendy melangkah keluar apartemennya.
Pria itu melangkah pasti menyongsong masa depannya yang kelak entah dengan siapa ia akan menjalaninya. Karena cinta pertamanya hanya menganggapnya sebatas sahabat saja. Dan bagi Rendy, melihat senyum Meydina adalah hal yang bisa mengobati lelah dan juga rindunya.
Happy reading...
Dinginnya semilir angin malam mulai terasa menusuk pertanda malam mulai larut. Meydina belum juga terlelap karena baru saja selesai menyusui bayi mungilnya.
Ia lalu membetulkan selimut kedua putranya yang tersingkap. Ditatapnya wajah lelah suaminya yang tidur di sisi lain tempat tidurnya. Walau terlihat lelah, wajah itu sangat tenang seolah tanpa beban.
Dalam hati Meydina sangat bersyukur memiliki pria yang menganggapnya begitu berharga. Ia berharap anak-anaknya kelak bisa seperti ayah mereka.
***
Maliek mengerjapkan kelopak matanya saat mendengar suara Amar yang terisak. Ia menoleh pada putranya yang berbaring tepat di sampingnya.
"Amar mau susu? Sebentar ya, Papi buatkan dulu," bujuk Maliek mencoba menghentikan isakan putranya.
Maliek bangkit dari tidurnya menuju ruang khusus dalam kamar itu yang biasa digunakan untuk menyiapkan susu kedua putranya.
Kamar itu sangat luas. Karena di dalamnya ada ruangan khusus bermain yang cukup luas, pantri kacil untuk menyiapkan susu, kamar mandi dan ruang tidur dengan kasur besar yang sengaja dibiarkan di lantai beralaskan karpet empuk. Pasangan muda itu sengaja merancang sedemikian rupa untuk kenyamanan anak-anak mereka.
Setelah memberikan susu botol pada Amar, ia menyangka putranya itu akan kembali tertidur. Sesaat ia menatap wajah Meydina yang terlihat cantik saat tertidur. Lalu keluar menuju kamarnya yang di atas untuk bersiap pergi ke kantor.
Amar yang selesai minum susu merangkak menuju Maminya melewati Zein yang masih tidur. Dan sudah pasti karena ulahnya, Kakaknya itupun terbangun.
Beruntung Zein tidak menangis. Melihat Amar yang ingin mengganggu sang Mami, Zein merangkak melewati Maminya. Dan mulailah mereka berbagi tugas mengganggu kenyamanan tidur Mami dan juga adik bayi mereka.
"Mi, mi," panggil Amar yang sedang menciumi wajah Maminya yang baru saja mengerjapkan mata.
"Pagi, Sayang. Amar sudah bangun? Sudah minum susu?" tanya Meydina yang kesulitan berucap karena Amar kini sedang bermain dengan wajahnya.
Suara kekehan kecil milik Zein mengalihkan perhatian Meydina. Ia sangat tahu bagaimana putra sulungnya itu. Jika Zein bahagia, pasti ada sesuatu yang dilakukannya.
"Amar, Mami mau duduk. Boleh?" tanya Meydina. Mendengar pertanyaan dari sang Mami, Amar beringsut dari wajah Maminya seolah mempersilahkan.
"Terima kasih, Sayang!"
Meydina melirik kearah Zein yang ada di sisi lainnya. Dan benar saja, Zein dengan senang hati mengeluarkan tisu dari tempatnya untuk menutupi adik bayinya yang mulai menangis.
"Kakak Zein, nggak gitu dong sayang." Meydina yang kini bersandar mengangkat Baby Fatum dalam dekapannya untuk diberi ASI.
Zein merangkak dan menduduki kaki Maminya yang berselonjor. Ia berusaha sebisa mungkin mengganggu kenikmatan adiknya yang sedang menyusu. Saat Meydina mencoba menghalangi keusilan Zein dengan sebelah tangannya, Amar bergerak mendekatinya.
Amar mencoba berdiri dengan berpegangan pada lengan hingga pundak Meydina. Ia terlihat senang saat berhasil tegak sambil berpegangan pada pundak Maminya.
Meydina mulai kewalahan saat sebelah tangannya harus menahan Amar dan menahan Zein sekaligus. Amar yang berdiri sambil bertepuk tangan dengan senangnya. Sedangkan sang kakak masih dengan misinya mengganggu adik bayinya.
Meydina juga kesulitan mengambil tombol bel yang berada tidak jauh darinya. Bel yang biasa ia gunakan untuk memanggil babysitters anak-anaknya. Lalu kemana Maliek?
"Waah, Papi kira kalian masih tidur." Ucapnya.
Maliek langsung duduk dan memangku kedua putranya.
"Kakak mau minum susu?"
"Ya," angguk Zein.
"Oke, kita buat yuk. Amar duduk dulu ya!" Pintanya.
Maliek berjalan munuju pantri di ikuti Zein yang terlihat senang. Amar yang tak mau di tinggalkan mengikuti langkah Zein walau harus terjatuh beberapa kali.
"Amar mau lagi?" tanya Maliek.
Melihat anggukan Amar, ia pun berkata, "Oke."
Dan akhirnya, kedua jagoan kecil itu tersenyum bahagia dengan susu botol dalam genggaman mereka.
"Cantik belum kenyang? Sisain dong buat Papi," goda Maliek pada bayinya.
"Papi kalau mau buat sendiri," sahut Meydina menirukan suara anak kecil.
"Mau punya Mami," ujar Maliek dengan tatapan menggoda.
"Ish, nggak boleh. Ini punya Fatum, Papi."
"Hmm." Maliek berekspresi kecewa, tapi tentu saja itu hanya pura-pura.
Mereka berdua tersenyum dan Maliekpun mengecup bibir istrinya.
Sambil menunggu susu kedua putranya habis, Meydina beranjak ke kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, ia terkejut karena Maliek tiba-tiba menarik pinggangnya.
"Kak, mau ngapain?" tanya Meydina pelan. Saat ini mereka sedang berada di pantri yang letaknya bersebelahan dengan kamar mandi.
"Bentar aja, Sayang."
Maliek merengkuh tubuh istrinya dan langsung mencium lembut bibirnya. Ciuman lembut itupun perlahan menjadi lum*tan menggairahkan. Namun sayangnya, cumbuan singkat itu hanya sesaat. Karena suara si kecil Zein mengagetkan keduanya.
"Kena! Cekalang Zein cama Amal yang cembunyi. Mami cama Papi yang nyali," ujar Zein yang sudah mulai berlari kecil mencari tempat persembunyian. Begitu juga Amar yang mengikuti gerakan kakaknya.
"Aww! Sakit, Sayang!" pekik Maliek pelan karena Meydina mencubit perutnya.
Meydina tidak berkata apa-apa. Ia hanya mendelik gemas kearah suaminya. Dan Maliek membalas dengan tatapan yang tak kalah menggemaskannya sambil berseru, "Mi, Kakak sama Amar sembunyi dimana ya?"
***
Di ruangan utama, Riky yang sedang menunggu bosnya terlihat fokus pada ponselnya. Sampai ujung matanya menangkap sosok gadis yang mengalihkan pandangannya.
"Pagi Amiera!" sapanya dengan raut wajah yang ceria.
"Pagi, Kak!" sahut Amiera datar. Gadis itu terduduk di sofa dan membereskan isi tasnya.
"Kapan pergi ke London?"
"Minggu depan, Kak."
"Mau ku temani?" Tawarnya.
"Nggak usah, terima kasih."
"Kenapa nggak mau? Daripada sendirian," ujarnya.
"Amie nggak sendirian kok," ucap Meydina yang mendengar percakapan mereka.
Melihat Meydina yang menggendong Fatima, Amiera segera menghampirinya. Dari arah pintu kamar, Maliek datang dengan kedua putranya yang perpegangan pada jari-jarinya.
"Halo, baby girl! Siapa namamya? Fatima ya kan? Uwu cantiknya," ujar Riky yang mendekati bayi Meydina yang dipangku Amiera.
"Memangnya kamu pergi sama siapa kesana?" tanya Riky yang sekilas beradu pandang dengan Amiera.
"Sama Alena juga Om Wira dan Tante Nura," jawab Amiera datar.
"Mau ngapain mereka kesana?"
"Om Wira dan Tante Nura akan menghadiri wisuda Rendy. Sedangkan kalau Alena, ya ingin ikut aja sekalian jalan-jalan." Meydina yang datang dengan gelas susu di tangannya menjawab pertanyaan Riky.
"Oh, aku boleh ikut?"
"Nggak!" sahut Amiera cepat.
"Kenapa?" Riky terlihat kecewa.
"Amie sama Alena dan Tante Nura mau shopping, Kak Riky. Terus Kakak kesana mau ngapain?"
"Mau bawain belanjaan kamu,"jawab Riky spontan.
"Idih, nggak usah ya."
"Hehehe... Ya udah kalau nggak boleh, Om sama Zein aja ya." Riky mulai membalas keusilan Zein padanya dan berlari pelan mengejar putra sahabatnya itu.
"Semangat, Rik! Jangan kasih kendor," ucap Maliek yang melintas diantara mereka dan mendudukkan dirinya di samping Meydina.
"Mau pergi sekarang?"
"Iya," bisik Maliek yang sedang menghirup aroma rambut Meydina. Pria itu mendekatkan kepalanya lalu mencium pipi istrinya.
"Malu Kak," bisik Meydina.
Maliek tersenyum melihat wajah istrinya yang merona. Pria itupun meninggalkan rumah setelah drama Zein yang ingin ikut naik mobil Papinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!