"Lari Tuan Muda...Biarkan saya yang menghadapi mereka." teriak pria yang tengah berlari tertatih-tatih kepada tuan kecilnya.
Anak kecil itu menggelengkan kepalanya, "Tidak Zen, aku tidak akan meninggalkanmu, kita akan melawan mereka bersama-sama." Anak kecil itu berjalan menghampiri pria dewasa yang sudah dianggapnya seperti ayahnya sendiri.
"Jangan kembali Tuan, ini adalah perintah, perintah dari ayah kepada seorang anak, bukan sebagai pengawal." lelaki itu merintih kesakitan, memegangi lengannya yang sudah berlumur darah.
"Zen...." terlambat sudah, sebuah peluru sudah melesat tepat menembus jantung pria itu. Pria itu terkapar di atas tanah yang sudah berlumur darah yang merembes dari dadanya.
"Zen..." dunianya seakan hancur, kedua kalinya dia kehilangan sosok ayah yang sangat menyayanginya.
Ayahnya baru saja meregang nyawa di depan matanya sendiri sebelum pelarian mereka yang cukup memakan tenaga.
Dan sekarang Zen, lelaki yang selalu menjaganya sejak dirinya masih belum pandai bicara, lelaki yang selalu menemaninya di saat sang ayah sedang bepergian, lelaki yang selalu mengajarinya menjadi anak yang mandiri, kini juga telah meninggalkannya.
Pandangannya menggelap, tidak sanggup menerima takdir yang telah digariskan kepadanya. Tubuhnya perlahan limbung, merosot di atas tanah dan akhirnya tidak sadarkan diri.
***
"Kau sudah sadar nak?" seorang wanita paruh baya duduk di sebelah anak laki laki yang ditolongnya kemarin.
Anak itu terlihat linglung, matanya yang memerah menelusuri setiap sudut ruangan itu. Dan pandangannya berhenti pada wanita yang duduk di sebelahnya.
Anak itu mencoba bangkit, tapi tidak bisa, tubuhnya terasa lemas. "Biar bibi bantu, kau masih sangat lemah." Anak itu tidak menolak, pikirannya masih berusaha mengingat ingat apa yang dialaminya sampai bisa terbangun di tempat ini.
"Aku dimana?" kepalanya masih sangat pusing.
"Kau ada di rumahku." wanita itu mengedarkan pandangannya ke ruangan yang terasa sempit menurut anak itu.
"Kemarin aku menemukanmu di pinggiran hutan tidak sadarkan diri, kenapa anak sekecil dirimu ada di sana, itu berbahaya..."
Anak itu masih mencoba mengingat, hingga beberapa saat kemudian, sekelebat bayangan kejadian mengerikan menghantam pikirannya. Anak itu histeris, menangis sejadi jadinya sambil memanggil dua pria yang selalu menyayanginya.
"Kenapa nak, apa yang terjadi?" wanita itu kebingungan melihat anak itu.
"Ayah... Zen.. mereka sudah...sudah..." Anak itu tidak sanggup melanjutkan kata katanya lagi dan hanya bisa menangis histeris.
Wanita itu segera meraih dan mengapit anak itu ke dalam pelukannya. Wanita itu kasihan padanya, mungkin anak ini telah mengalami kejadian yang buruk.
Dengan penuh kasih memeluk seakan memberikan kenyamanan. Walaupun anak semata wayangnya sudah meninggal bertahun-tahun lalu, tetapi jiwa keibuan masih melekat dalam dirinya.
"Tenanglah nak, apapun yang baru saja kau alami, ibu tau pasti itu adalah sesuatu yang buruk. Tapi percayalah, setelah ini semua akan baik baik saja, Tuhan pasti melindungimu."
Anak itu terdiam, seakan ucapan wanita itu barusan seperti nyanyian indah yang diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya.
Wanita itu mengelus surai hitam anak itu dengan sayang, menyalurkan rasa aman dan nyaman kepada anak itu.
Setelah anak itu tenang, wanita itu mencoba membuka pembicaraan dengan lelaki kecil itu.
"Namamu siapa?"
"Namaku Aaron?" cicit anak kecil itu.
Ya, Aaron, Aaron Leonid Vladimir Lisin. Anak semata wayang yang terlahir dari pasangan Chloe Vladimir dan Gennady Lisin.
Gennady Lisin, seorang pengusaha hebat yang menjadikannya menjadi salah satu orang terpenting di negaranya. Bisa dikatakan, Gennady adalah orang nomor satu di negara itu.
Menjadi seorang yang selalu hebat dalam segala hal, pasti akan membuat banyak orang yang iri kepadanya. Keberhasilan Gennady pastilah tidak luput dari mereka yang berusaha menyaingi dan bahkan ingin menghancurkan kejayaan yang dicapainya, dengan mengundang permusuhan secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.
Oleh sebab itu, lelaki itu harus memastikan keamanan ekstra untuk dirinya sendiri, tidak terkecuali anak semata wayangnya, yang bisa saja dijadikan sandera oleh para musuhnya.
Karena jika tidak, begitu dia lengah sedikit saja, sudah dipastikan salah satu dari musuhnya akan mengambil kesempatan untuk mencelakainya.
Lelaki itu sudah cukup trauma, saat istri yang sangat dicintainya, berakhir di tangan salah satu dari musuhnya.
Kejadian kelam itu terjadi beberapa tahun lalu, saat Aaron masih berusia lima tahun. Karena itulah Aaron berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya. Anak itu berubah menjadi anak yang introvert banyak berdiam diri. Dibandingkan dulu saat ibunya masih hidup, Aaron merupakan termasuk anak yang aktif dan ceria.
Beruntung ada Zen, sang pengawal pribadinya, yang selalu menghiburnya, dan perlahan dapat mengembalikan keceriaan Aaron, walaupun tidak sepenuhnya.
Dan di sinilah Aaron sekarang, anak yang menjadi korban permusuhan dari sang ayah dengan orang-orang yang tidak bertanggungjawab, sedang menangisi musibah yang baru saja menimpanya.
Beruntungnya anak itu ditemukan oleh Chlarent, sang malaikat penolongnya.
Kalau saja wanita itu terlambat sedikit saja menemukannya, mungkin saja Aaron akan berakhir sama seperti sang ayah dan Zen
Back to the story...
"Nama yang bagus, sesuai dengan pemiliknya, tampan." wanita itu mengelus wajah Aaron dengan lembut.
"Umurmu?"
"Sembilan tahun."
"Ya Tuhan, kenapa anak sekecil dirimu bisa mengalami hal buruk ini?"
Aaron hanya diam menundukkan kepalanya tidak menjawab wanita ini.
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi, sekarang kau aman di sini, ok?"
"Kenalkan, namaku Chlarent, panggil aku sesukamu." wanita itu menatap lembut Aaron. Kehadiran Aaron membuatnya teringat kembali pada anaknya, mungkin jika dia masih hidup, pasti sudah sebesar Aaron.
"Ibu..?"
"Ibu?"
Chlarent tertegun, panggilan yang selalu dirindukannya, terucap dari bibir anak ini.
"Ibu...?"
"Tidak bolehkah?"
Chlarent terkekeh, "Tentu saja boleh, kan sudah kubilang tadi, kau boleh memanggilku sesukamu."
"Terima kasih, Ibu...."
***
"Aaron... kau dimana Nak?" Chlarent setengah berteriak memanggil anak laki-laki itu.
"Aku di sini ibu." Aaron membesarkan suaranya, agar dapat didengar oleh Chlarent. Wanita itu muncul dari balik pintu rumahnya dan segera menghampiri Aaron.
"Dia siapa Kak Aalon." gadis kecil yang sedari tadi berdiri di samping Aaron bertanya pada dengan suara cadelnya. Anak itu terlihat manis, tubuhnya mungil sepertinya baru berumur lima tahun, tingginya hanya sebatas bahu Aaron.
Chlarent terlihat cemas, "Ternyata kau di sini Nak, kau membuat Ibu takut." mengusap kepala Aaron. Chlarent memperhatikan gadis kecil itu, "Siapa gadis manis ini?" tersenyum pada gadis kecil itu.
"Namaku Elin, aku calon istli Kak Aalon." ucap anak itu bersemangat memperkenalkan dirinya.
Chlarent terkekeh, "Kau lucu sekali gadis manis." sambil mencubit pipi gembul Elin.
"Kau masih kecil, nanti kalau sudah besar baru bisa menikah." Chlarent terlihat sangat menyukai gadis
"Kau ibu Kak Aalon?" mata gadis itu menatap Aaron dan Chlarent bergantian.
"Iya, aku ibunya Aaron." Aaron menatap lekat wajah Chlarent, tidak menyangka wanita akan mengakuinya sebagai anaknya.
Sungguh, Aaron begitu terharu mendengar itu, bukan tanpa alasan, selama ini dia sangat merindukan sosok seorang ibu dalam hidupnya. Dan wanita ini, Chlarent, memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Selama dua minggu tinggal bersama wanita ini, membuat kerinduannya pada mendiang ibunya sedikit terobati.
"Belalti, ibu akan menjadi ibuku nanti." gadis cadel itu mencebikkan senyumnya.
Chlarent tergelak melihat tingkah gadis kecil ini, "Jangan memikirkan menikah dulu, hilangkan saja dulu cadelmu baru kau menikah, oke?" Chlarent terkekeh.
"Kalian bermainlah dulu, ibu akan memasak untuk kalian." bergerak meninggalkan kedua anak itu menuju rumah.
"Kenapa kau mengatakan seperti itu? Aku tidak akan menikah denganmu." Aaron terlihat kesal dengan gadis kecil itu.
"Kenapa, Kak Aalon tidak menyukaiku?" wajah Elin terlihat sedih membuat Aaron tidak tega melihatnya.
"Baiklah, aku akan menikahimu, tapi...."
"Yeayy... Kak Aalon akan menikahiku, yeay..." Elin meloncat loncat bahagia.
"Diam Elin..." bentak Aaron, seketika gadis kecil itu terdiam, lalu mengerucutkan bibirnya.
"Aku akan menikah denganmu, kalau kau sudah tidak cadel lagi. Kau dengar tadi, Ibuku bilang hilangkan dulu cadelmu." Aaron terlihat malas meladeni gadis kecil itu.
Selama dua minggu di rumah Chlarent, Elinlah yang selalu menemani Aaron ketika Chlarent sedang mengerjakan sesuatu.
Terkadang Aaron merasa jengkel, dengan tingkah Elin yang kadang menyebalkan.
Aaron yang notabenenya seorang introvert, tentu saja tidak suka dengan sifat aktif Elin. Tapi gadis kecil itu tidak pernah menyerah, walaupun sudah berulangkali Aaron menghindarinya, dia selalu menempel padanya, sampai Aaron sendiri jengah melihatnya. Tapi akhirnya, Aaron membiarkannya saja, dia sudah malas meladeni sikap menjengkelkan Elin.
"Iya, aku tidak akan cadel lagi, supaya aku bisa menikah denganmu." ucap Elin ceria.
"Hmm."
"Tapi kakak halus melamalku dulu. Nanti kak Aalon menikah dengan olang lain."
Aaron menatap heran pada Elin, dari mana gadis sekecil ini tahu tentang itu semua, bahkan dia sendiri saja tidak pernah memikirkan itu.
"Kata bibiku, sebelum kita menikah, kita halus tunangan dulu, jadi ayo kita tunangan sekalang." Aaron semakin heran dengan Elin.
Melihat Aaron hanya diam saja Elin mengerucutkan bibirnya, "Kak Aalon, sebental lagi aku akan pelgi dali desa ini, jadi lamal aku sekalang." wajah Elin berubah menjadi sedih.
Aaron hanya diam saja, hatinya sedikit sedih mendengar bahwa Elin akan pergi, "Kak Aalon, ayo lamal aku sekalang." Elin memegang lengan Aaron supaya cepat melamarnya. Karena dari jauh dia sudah melihat beberapa orang pria berjas hitam dan kacamata hitam melekat menutupi mata mereka.
"Tapi aku tidak punya cincin untuk melamarmu, Elin." Elin terlihat berpikir, lalu mengamati tubuh Aaron, mencari sesuatu yang setidaknya bisa dipakai Aaron untuk melamarnya. Pandangannya berhenti pada sebuah kalung dengan permata hitam mengkilat sebagai mata kalung itu, melekat di leher Aaron.
"Belikan aku kalungmu itu kak." Elin menunjuk leher Aalon.
Aaron menunduk, tangan kanannya menyentuh kalung itu. "Tidak Elin, kalung ini peninggalan terakhir ibuku, aku tidak boleh memberikannya kepada orang lain." wajah Aaron tiba tiba menjadi sedih.
"Belikan saja padaku Kak Aalon, kalau kita menikah, aku akan mengembalikannya padamu." Elin semakin cemas karena segerombolan pria berjas itu semakin mendekat.
"Jangan Elin." Aaron menahan tangan Elin yang hampir melepaskan kalung itu dari lehernya.
"Belikan saja, aku janji akan mengembalikannya kalau kita menikah." akhirnya kalung itu terlepas dari leher Aaron.
Dan saat itu juga segerombolan pria berjas itu sampai di hadapan kedua anak kecil itu. Elin segera memasukkan kalung itu ke dalam kantung celananya.
"Nona Eve, mari kita kembali, Tuan besar sudah mencari." ucap seorang dari pria berjas itu sambil menunduk hormat kepada Elin.
"Tunggu sebental." Elin mencebik kepada pria.
"Kak Aalon, aku akan pelgi. Kita akan menikah kalau aku tidak cadel lagi."
"Iya, pergilah." ucap Aaron dingin.
Tanpa diduga, Elin langsung mengecup pipi pipi Aaron.
"Sampai jumpa lagi Kak Aalon." ucapnya setelah melepaskan tangan Aaron.
"Mari Nona." pria tadi langsung membawa Elin dalam gendongannya. Dan berlalu meninggalkan Aaron sendirian di sana.
Dari jauh Aaron dapat melihat Elin yang masih melambai lambaikan tangan ke arahnya. Walaupun selama dua minggu ini dirinya selalu dibuat repot oleh Elin, Aaron menjadi sedih saat melihat kepergian Elin.
"Semoga kita bertemu lagi." gumam Aaron, sambil melihat bayangan Elin yang sudah menghilang termakan jarak.
•••
Di dalam rumah Chlarent, Aaron dan Chlarent terlihat sedang menikmati makan malamnya. Meski hanya makanan sederhana, Aaron tetap bersyukur, setidaknya dia masih dapat bernafas sampai saat ini, itu sudah cukup.
"Kau sedang sedih dia pergi?" Chlarent bertanya disela makannya.
"Tidak." Aaron tetap melanjutkan makannya.
"Lalu kenapa kau terlihat tidak bersemangat hmm..?" Chlarent menatap lekat wajah Aaron. Beberapa hari tinggal bersama Aaron sedikitbanyaknya dia cukup mengerti kepribadian anak ini.
"Aku hanya merindukan Ayah, Ibu dan Zen." Aaron menghentikan makannya, raut wajahnya terlihat lesu menyimpan sejuta kerinduan dan kesedihan.
"Bersabarlah Nak, mungkin ini sudah takdir, kita tidak boleh menolaknya. Kita hanya bisa berdoa kepada yang Kuasa, agar kita selalu diberi kekuatan dan juga ayah, ibu dan Zen mendapat tempat di atas sana."
Chlarent merengkuh Aaron lalu mengusap punggung anak itu.
Aaron terisak dalam pelukannya, meluapkan mungkin hanya itu yang bisa dilakukannya untuk meluapkan kesedihannya yang begitu mendalam.
Aaron melepaskan pelukannya, menggenggam erat tangan Chlarent.
"Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membalaskan dendamku kepada orang yang telah merenggut nyawa orang yang kusayangi, siapapun dia aku tidak peduli, aku akan balas dendam!!" ucap Aaron tegas.
TBC ☘️☘️☘️
Sebulan sudah Aaron tinggal di rumah Chlarent, bersamaan dengan itu kasih sayang di antara mereka berdua tumbuh semakin besar. Chlarent yang begitu mendambakan seorang anak dan Aaron yang juga membutuhkan sosok orang tua membuat keduanya saling membutuhkan.
Pagi itu, Aaron sedang membantu Chlarent membersihkan sayur di dapur. Keduanya terlihat bercengkerama, dan terkadang terdengar tawa dari kedua anak manusia itu.
Disela obrolan hangat mereka, terdengar suara ketukan pintu rumahnya. Keduanya saling memandang, bertanya tanya siapa yang datang. Disertai rasa penasaran, Chlarent berjalan ke ke pintu rumahnya diikuti Aaron di belakangnya.
Chlarent membuka pintu lebar lebar, segerombolan pria berjas berbaris rapi di depan rumahnya. Membuat Chlarent kebingungan melihat kedatangan segerombolan itu.
"Kalian siapa." Chlarent sedikit takut melihat wajah sangar pria paling depan.
"Paman Lee..." Aaron muncul dari balik tubuh Chlarent, kemudian berlari memeluk pria itu.
"Tuan Muda, Anda baik baik saja?" wajah pria itu seketika senang saat melihat Aaron dan menyambut hangat pelukan Aaron.
Aaron melepas pelukannya, "Aku baik baik saja paman. Itu semua berkat ibu, dia menyelamatkanku dari penjahat itu dan merawatku dengan baik di sini." ucap Aaron polos.
"Ibu?"
"Iya, Ibu Chlarent." sambil menunjuk Chlarent yang berdiri di belakangnya dengan senyum tulus terbit di bibirnya.
Pria berjas itu menghampiri Chlarent, "Terima kasih telah menjaga Tuan Muda kami, Nyonya. Kami tidak tau apa yang akan terjadi jika tidak ada Nyonya pada saat itu."
Chlarent tersenyum, tadinya dia berpikir orang orang ini akan berbuat jahat, ternyata dia salah sangka. "Tidak masalah Tuan, sudah seharusnya saya menolongnya pada saat itu. Dan aku juga senang merawatnya di sini, Aaron anak yang baik."
"Sekali lagi terima kasih Nyonya, kami berjanji setelah ini kami akan memberikan apa yang Nyonya inginkan." ucapnya dengan sopan sembari menundukkan kepalanya.
"Ah.. tidak usah Tuan, saya tulus menolong Aaron, dia sudah kuanggap seperti anak sendiri."
"Paman Lee, aku ingin Ibu ikut dengan kita ke mansion." pinta Aaron disela percakapan orang dewasa itu.
"Tuan Muda?"
"Aku tidak mau berpisah dengan Ibu, Ayah dan Zen sudah pergi, aku tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ibu Chlarent."
Chlarent tertegun mendengar permintaan Aaron, sesayang itukah anak ini padanya, pikirnya.
"Baiklah Tuan Muda, kalau itu permintaan Anda." Lee pasrah dengan permintaan Tuan Mudanya, dia sama sekali tidak punya hak untuk menolaknya.
"Bagaimana Nyonya Chlarent, Tuan Aaron ingin anda ikut dengan kami, apakah Anda bersedia?"
Chlarent melihat Aaron, wajah anak itu terlihat seolah memohon. Dia menjadi tidak tega menolak permintaan anak itu. Lagi pula dia pasti akan sangat sedih kalau dia sampai berpisah dengan Aaron, dia pasti akan merindukan anak itu.
"Ibu.." lirih Aaron hampir menangis, takut Chlarent tidak mau ikut dengannya.
"Baiklah saya akan ikut, berat rasanya berpisah dengan Aaron, saya terlanjur menyayanginya."
Seketika Aaron langsung berlari ke pelukan Chlarent, "Terima kasih Ibu, aku pikir ibu tidak mau. Terima kasih." Aaron memangis dalam pelukan Chlarent."
Chlarent terkekeh, "Jangan menangis Nak, Ibu sangat menyayangimu. Sudah hentikan air matamu itu. Kau itu laki laki, jangan menangis lagi."
"Iya Bu, aku tidak menangis lagi." Brian langsung mengusap air matanya.
Paman Lee dan Chlarent terkekeh melihat tingkah polos Aaron.
Akhirnya Chlarent ikut bersama Aaron untuk tinggal bersama. Aaron sudah mengatakan pada Lee bahwa Chlarent akan menjadi Ibu angkatnya, dan tentu saja Chlarent senang, wanita itu sangat menyayangi Aaron seperti anak kandungnya sendiri.
•••
Waktu berlalu dengan sangat cepat, kini Aaron sudah berubah menjadi lelaki dewasa. Sifatnya yang dingin dan introvert masih saja melekat dalam diri pria itu. Hanya pada Chlarent dan Paman Lee lah Aaron akan berubah menjadi seorang yang hangat.
Ya, selama lima belas tahun ini hanya kedua orang tua itulah yang menjadi sandaran hangat bagi Aaron. Paman Lee membimbing Aaron menjadi lelaki kuat, mandiri dan dewasa, sedangkan Chlarent memberikan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya. Walaupun tidak ada hubungan darah sama sekali, tetapi rasa sayang Aaron kepada kedua orang tua itu seperti sudah mendarah daging.
TBC ☘️☘️☘️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!