"Pak sudah ya, nggak papa nggak usah dibantu lagi. Sebaiknya bapak temani Mila aja, dia sendirian bermain diruang tamu." Aku masih menggosok-gosok piring kotor yang ada ditangaku menggunakan sabun.
"Gimana donk, bapak masih ingin membantu kamu Dita. Bapak kasian liat kamu ngerjain semuanya sendirian." Sambil berdiri disamping ku, ia terus saja mengambil piring-piring itu dan membilasnya.
"Nggak usah. Kalau aku bilang nggak usah dibantu itu berarti nggak usah dibantu pak." Aku begitu kesal karena ia berdiri terlalu dekat denganku, dan terkadang tubuhnya tersenggol dengan tubuhku.
"Dita, masakan kamu selalu enak ya? Bapak bisa gendut nih kalau lama-lama tinggal bersama kalian disini." Dia mengalihkan pembicaraan, sedangkan tangannya meraba-raba kedalam air wastafel hingga menyentuh tanganku.
"Ah, apaan sih pak."
" Maaf nggak sengaja." Elaknya. Tapi aku melihat kalau itu memang sengaja.
"Yasudah bapak aja yang nyuci piringnya, aku mau nemenin Mila main aja." Aku meletakkan piring itu dan langsung membilas tanganku dengan gelagat kasar.
Kutinggal mertua tiriku itu sendiri didapur agar ia menyelesaikan pekerjaanku. Aku beranjak dari sana dan menuju ketempat anak ku bermain.
Mila, umurnya 2 tahun. Dia gadis cantik yang ku miliki dengan mas Tio suamiku. Ya, mas Tio Ramadan adalah suamiku. Sekarang mas Tio sedang bekerja dikantor. Dia meninggalkan aku dan Mila tinggal dirumah bersama pak Burhan bapak tirinya mas Tio.
Skiipp..
Ku ingat kejadian buruk seminggu lalu, ketika itu aku menolak pak Burhan untuk tinggal bersama kami.
"Mas, bukankah sebaiknya bapak dibiarkan saja tinggal dirumahnya? lagian kan dia masih kuat dan segar bugar gitu, umurnya juga belum tua-tua amat." Pintaku pada mas Tio suamiku yang sedang duduk di kursi teras.
"Hush,, udah ah jangan ngomong sembarangan. Lagian dia itu sudah seperti bapakku sendiri." Ujar mas Tio padaku dengan nada mempertegas.
"Mas,, tapi kan?"
"Nggak ada tapi-tapi Andita. Kamu harus ingat, pak Burhan itu sudah dua tahun lamanya menemani ibu ku yang sakit-sakitan hingga akhirnya ia meninggal. Jadi nggak mungkin dong sekarang aku terlantarkan dia sendirian?" Mas Tio, ia menunjukkan raut wajahnya dengan sedikit goresan kecewa karena penolakan ku tadi.
Andai dia tau siapa pak Burhan sebenarnya, dan bagaimana kelakuannya selama ini. Bisa kupastikan, Suamiku tidak akan pernah mau menerima bapak tirinya itu untuk tinggal bersama kami.
Sayangnya, aku tidak punya cukup bukti untuk membuat suamiku mengurungkan niatnya. Apalagi waktunya sangat mepet, karena ia memang sudah menunggu pak Burhan datang dalam beberapa menit kedepan.
Tapi sebisa mungkin, aku akan terus berusaha untuk membuat mas Tio mengubah keputusannya itu, karena aku benar-benar jijik jika harus tinggal satu rumah dengan pak Burhan.
Aku melangkah lebih dekat lagi dengan mas Tio dan duduk disampingnya. Aku memegang lengannya dan berbicara lebih lebih lembut lagi, semoga kali ini dia bisa mengerti ketakutan dengan pak Burhan.
" Begini saja mas,, kita akan ajak pak Burhan untuk tinggal bersama, Tapi jika memang nanti dia sudah membutuhkan kita. Toh kalau sekarang kan dia masih bisa mandiri, tokonya juga sangat maju, penghasilannya begitu banyak."
" Cukup Dita, aku tidak mau dengar apa-apa lagi. Keputusan ku sudah bulat, pak Burhan tetap akan tinggal bersama kita. Kamu benar-benar berubah Dita, jiwa penyayang kamu sudah sirna. Satu lagi, tolong panggil pak Burhan itu sebagai bapak. Hargai dia !"
"Iya mas." Jawab ku singkat.
Sekarang aku pasrah saja dengan kehadiran pak Burhan kedalam rumah tanggaku. Dan berharap semoga saja pak Burhan benar-benar menganggap kami sebagai anaknya. Walaupun aku tetap saja tidak bisa menganggap lelaki tua penzina itu sebagai bapak mertuaku.
"Jangan cemberut seperti itu didepan bapak !"
"Iya mas, yasudah aku masuk dulu ya mas mau cek Mila kekamar, takutnya dia sudah bangun."
"Nggak usah, kalau Mila bangun pasti tangisannya bakalan kedengaran sampai sini. Kita tungguin bapak sama-sama."
"Iya mas." Suamiku memiliki sifat yang keras, semakin dibantah maka dia akan semakin keras. Yasudah akhirnya ku ikuti saja keinginannya.
" Ah, itu dia bapak sudah datang." Suamiku langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut kedatangan pak Burhan.
"Tio,, cucu bapak kemana?" Ia menyalami mas Tio dan menanyakan anakku seakan sangat peduli.
"Ada pak dikamar lagi bobo siang."
"Wah, mantu bapak makin cantik aja." Pujian itu mungkin bagi mas Tio biasa saja. Tapi ditelingaku terdengar eneg ingin kumuntahkan.
Pak Burhan langsung menyodorkan tangannya ingin bersalaman denganku. Tangan ku terasa berat untuk bersentuhan dengan tangan pak Burhan. Demi mas Tio, akhirnya aku terpaksa juga memberikan salaman ku.
"Ia pak, Kesehatan bapak bagaimana,, sehat-sehat aja kan?" Tanyaku seadanya.
"Iya donk, bapak masih sangat kuat." Ia tersenyum puas dengan tangannya yang masih menggenggam erat jemari ku.
Perlahan aku menarik tangan ku, Rasanya sangat berat seakan tidak mau dilepaskannya. Sedangkan mas Tio, ia bahkan tidak memperhatikan kami, karena ia sedang sibuk mengambil tas perlengkapan baju pak Burhan.
Ah, aku semakin jijik dibuatnya. Akhirnya aku menarik dengan kuat tangan ku dari genggaman pak Burhan.
" Pak silahkan masuk dulu." Ku ucapkan kalimat itu dengan hati yang sangat berat.
" Hehe iya." Jawabnya sambil tersenyum.
Mas Tio mengangkat Tas pak Burhan, lalu ia masuk kedalam dengan langkah kakiku yang mengikutinya dari belakang. Sedangkan pak Burhan berjalan mengekoriku.
Aku benar-benar merasa tidak nyaman berjalan didepan pak Burhan. Perasaan batinku yang begitu kuat mengatakan bahwa Pak Burhan, ia sedang berjalan sambil menikmati pemandangan tubuhku dari belakang.
"Bapak mau kamar yang mana? kalau kamar yang ini lebih dekat dengan kamar kami, kalau yang belakang itu lebih dekat kolam renang."
" Yang ini saja ya Tio, nanti kalau bapak butuh apa-apa akan lebih mudah saat memanggil kalian, iya kan?"
"Hah, iya benar bangat pak." Jawab mas Tio yang sangat menyetujui.
Lain halnya denganku, aku benar-benar benci dengan situasi yang sekarang. Rumah ini terasa sudah tidak nyaman lagi bagiku semenjak kedatangan pak Burhan.
Sembari mas Tio membereskan barang pak Burhan, aku merasa gerah dan berpamitan pada mas Tio untuk mandi.
"Mas, aku mau mandi dulu ya? Sebentar aja gerah banget."
"Jangan lama-lama, kamu harus masak untuk bapak." Jawab Mas Tio.
"Iya mas." Aku langsung pergi dari sana, dan masuk kekamar ku untuk mandi.
Didalam kamar mandi. Dengan air yang mengalir deras dari shower, aku terus membasahi tubuhku yang terasa begitu penat. Rasanya begitu lelah setelah tadi berdebat dengan Suamiku.
Ketika aku berbalik badan. Dintara celah pintu yang terbuka, sekilas terlihat seperti ada bayangan wajah laki-laki yang mencoba menghindar dari tatapanku.
"Siapa disana?" Aku berteriak kencang.
Halo Readers ku yang tercinta, makasih ya karena kalian juga sudah mengikuti cerita ini.
Author tunggu komentar kalian, agar Athour semakin semangat dan tidak malas update.
"Siapa disana?" Aku berteriak kencang.
Kuambil handuk ku yang berbentuk baju dan berlari keluar mengejar laki-laki yang mengintipku mandi. Dirumah ini hanya ada mas Tio dan pak Burhan, tidak mungkin mas Tio kan? sudah jelas ini pak Burhan.
Pas sampai diruang tamu. Aku melihat pak Burhan duduk santai diatas sofa sendirian dengan rokok ditangannya. seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Pak,, Mas Tio mana? Bukannya tadi mas Tio bantuin bapak bawakan tas kedalam kamar ya."
"Oh, Tio. Dia keluar sebentar, katanya mau cari sayur buat kamu masak." Dia menghisap pangkal rokok yang dipengang kedua jarinya.
"Bapak lihat tidak? Apakah ada laki-laki yang masuk kekamar ku?"
"Tidak Dita. Dari tadi bapak duduk disini ngerokok dan bapak tidak melihat tuh ada yang datang." Kulihat keringat ada diantara kedua pinggiran dahinya pak Burhan.
"Bapak keringatan? AC nya kan nyala kenapa bapak bisa keringatan? Seperti orang habis olahraga aja." Aku mencoba sedikit mengintrogasinya.
"Haha bukan. Ini efek dari ngerokok." Bantahnya dengan santai.
"Oh yasudah pak." Aku tidak mau memperpanjang lagi, toh aku masih tidak punya bukti, yang ada mas Tio akan memarahi ku nanti jika membuat masalah dengan pak Burhan.
Aku berjalan meninggalkan pak Burhan dengan penuh keyakinan, bahwa dialah yang sudah mengintipku barusan.
Keren memang, Lelaki tua itu sangat pandai bersandiwara. Lagian mas Tio main pergi aja dengan pintu kamar terbuka. Nggak mungkin juga kan aku ngunci pintu dari dalam sedangkan mas Tio ada dirumah.
Padahal, bukan satu atau dua kali,, sampai puluhan kali aku sudah memperingatkan mas Tio untuk memperbaiki pintu kamar mandi. Dengan santai dia hanya menjawab.
"Untuk apa diperbaiki lagian dirumah ini hanya ada kita bertiga aja, aku kamu dan Mila. Ketika kamu kekamar mandi lebih baik pintunya nggak usah dikunci sekalian, karena Mila ada diluar dan dia masih kecil. Kalau sampai kamu ngunci pintu dan kelupaan bisa fatal akibatnya nanti."
Aku tidak tau bagaimana maksudnya mas Tio. Apa dia fikir kita nongkrong kekamar mandi sampai sejam lamanya, tapi ku anggap saja perkataan mas Tio itu benar adanya karena sudah menyangkut dengan Mila.
Yang jelas, kali ini pak Burhan sudah mulai berani dengan ku. Dengan kata lain dia sudah mengajakku untuk memulai peperangan. Aku bukan wanita lemah yang bisa dia coba permainkan, untuk memuaskan nafsu tua yang meronta didalam tubuhnya itu.
Skiipp..
"Dita,, kenapa melamun?"
"Nggak ada pak, lagi liatin Mila main." Ya ampun! dia datang lagi untuk mendekati ku.
" Mila kenapa tidak dititipkan ketempat pengasuhan anak-anak saja? Toh disana kan dia banyak teman bermainnya."
"Nggak usah pak ! Lagian aku nggak punya pekerjaan lain, jadi lebih baik aku ngasuh Mila aja dirumah." Aku menjawabnya tanpa menatap kearah wajah pak Burhan. Rasanya malas sekali melihat bola mata yang oleng itu ketika ia memperhatikan ku. Jadi mataku masih aku fokuskan kearah Mila saja.
"Dita, kamu itu masih muda,, masih sangat cantik. jadi lebih baik waktu luangnya,, kamu gunakan saja untuk merawat diri supaya lebih cantik lagi." Ucapnya menyakinkanku.
"Apa pak?" Jawabku terkejut.
Mendengar perkataannya barusan membuat mataku terbelalak menatap kearah wajahnya. Bagaimana tidak, Sudah seperti nggak ada kerjaan lain saja sampai dia mengurusi waktuku.
Benar saja. Dengan cepat aku bisa menangkap mata rubahnya itu yang sedang meneliti tubuhku. Entah apa yang dia inginkan sehingga ia menatap pekat disetiap jengkal bagian depanku.
"Tio banyak uang lho Dita. Kalau kamu tidak merawat kecantikan kamu itu dengan baik, bisa-bisa Tio akan mencari wanita lain."
"Baik pak terimakasih, aku keluar dulu ya pak mau kerumah tetangga."
Aku langsung mengangkat Mila dan menggendongnya untuk keluar rumah. Sudah ku bilang, Rasanya eneg banget selalu mendengar ocehan pak Burhan.
Bukan nasehatnya yang aku benci, karena nasehat itu memang terdengar benar adanya. Tetapi, tatapannya itu yang membuat ku jijik. Entah apa yang dia fikirkan hingga membuat matanya selalu oleng setiap Kali berbicara dengan ku.
Ah yasudah lah. Lebih baik aku tinggalkan dia sendiri disana. Terserah dia mau ngapain aja, yang penting aku tidak berdekatan lagi dengan laki-laki tua yang tidak bisa mengontrol libidonya.
Tiba-tiba handphone ku berbunyi. akhirnya kupustuskan untuk duduk di taman saja bersama Mila, sambil mengobrol dengan teman ku yang baru saja menelvon.
"Halo put?"
"Iya Dita, bagaimana kabar kamu?"
"Baik, Alhamdulillah. Kamu gimana?"
"Baik juga Dit. Kapan nih aku bisa main kerumah?"
"Kapan aja boleh put, sekarang juga boleh. Lebih baik setiap hari aja main kesini nggak papa." Sahutku dengan nada yang sedikit memaksa.
Rasanya begitu senang saat aku mendengar putri minta main kerumah, hitung-hitung ada yang nemenin aku biar nggak sama pak Burhan aja.
"Haha kenapa gitu Dit? memangnya dibolehkan sama suami kamu."
"Boleh banget. Pokoknya aku nggak betah di rumah put, karena ada mertua tiriku. Rasanya selalu was-was dan membuat hatiku merasa nggak nyaman lagi berada dirumah."
"Hah, pak Burhan ada dirumah? Sorry Dit nggak jadi, takut aku sama dia. Banyak orang bilang pak Burhan itu ada kelainannya, kamu harus hati-hati."
"Apaan sih kamu nakutin aja, Nggak mau tau.. pokoknya Kamu harus nemenin aku ya, Pliss."
"Maaf Dita, nggak bisa. Gini aja,gimana kalau kamu itu aku jemput kerumahku. Nanti kalau suami kamu udah pulang kantor, aku antar lagi kamu kesana."
"Nggak mau ah, nanti mas Tio marah besar."
"Yah, gimana dong? aku cuman bisa bantu kamu dengan cara itu aja. Memangnya pak Burhan sampai kapan mau tinggal sama kalian?"
"Selamanya put." Sahutku tak bersemangat.
"Lah, kenapa gitu? dia kan cuman bapak tirinya suami kamu. Lagian kok mau sih mas Tio bawa pak Burhan untuk tinggal bersama kalian."
"Mas Tio sibuk ngantor, mana tau dia tentang pak Burhan. Dia kasian put sama pak Burhan, katanya pak Burhan sempat ngerawat ibu sebelum dia meninggal."
"Yasudah Dit, aku nggak tau harus ngomong apa lagi, pokoknya kamu harus hati-hati dan jaga diri baik-baik."
"Iya put, Aku pulang dulu ya ini Mila sudah nangis."
Aku langsung menutup telvonnya putri, Lalu menggendong Mila untuk pulang kerumah.
Sesampai di rumah, pak Burhan tidak terlihat dimana-mana, Aku pun membawa Mila kekamar untuk menidurkannya.
Setelah anakku Mila tertidur lelap didalam ayunannya, Aku melangkah kedapur untuk mengambil air minum. Tiba-tiba pak Burhan mengejutkan ku dengan langkah grusah grusuhnya yang baru saja masuk dari taman belakang.
Wajah dan tubuhnya dipenuhi dengan cucuran keringat seperti habis lari maraton saja. Bahkan dia tidak memperdulikan aku dan langsung berjalan cepat menuju ke kamarnya. Aku penasaran dengan apa yang barusan dilakukan oleh pak Burhan dibelakang Rumah.
Untuk memastikan apa yang terjadi, aku pun langsung kebelakang rumah untuk mencari sesuatu.
"Kamu kemana aja Maisaroh? ngapain kebelakang rumah hah,, nyari tempat nyantai ya kamu?"
"Bukan bu, tadi mai nyari kunci lemari yang hilang, sepertinya jatuh disekitar sini."
Bentak tetangga ku kepada pembantunya Maisaroh. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajah mereka, karena ada pembatas pagar yang sangat tinggi. Jadi aku hanya bisa mendengar suara mereka saja.
"Kamu kalau sering keluyuran dan kerjaan nggak selesai, nanti aku pecat kamu Maisaroh. Sana masak dulu, bentar lagi bapak mau pulang."
"Iya bu."
Akhirnya suara Maisaroh dan majikannya sudah menghilang. Ah, sebenarnya itu bukan urusan ku. Aku kebelakang rumah karena mau mencari tau, kenapa pak burhan bisa ngos-ngosan seperti tadi.
"Dita,, ngapain kamu disana? " Tanya mas Tio yang sedang berdiri di pintu dapur.
"Kamu sudah pulang ya mas? Aku cuman lihat-lihat taman belakang aja kok."
"Yasudah cepat masuk, tolong bikinin kopi ya?"
"Baik Mas!"
"Oh iya, jangan lupa untuk bapak juga."
" Iya mas baik." Aku langsung masuk dapur dan bikinin dua kopi seperti yang disuruh mas Tio.
Iya, sekarang hanya sebatas itu saja komunikasi ku dengan mas Tio. Selain bertanya, menjawab, meminta dan dan menyuruh, tidak ada hal lain lagi. Mas Tio memang sudah sedikit berubah, ia sudah tidak semanis dulu.
Bukan wajahnya tetapi sikapnya yang sudah berubah. Apa mungkin benar yang dikatakan sama pak burhan jika aku sudah kurang merawat diri. Seburuk itukah penampilanku sekarang.
"Ini mas kopinya." Aku meletakkan kopi untuk mas Tio diatas meja.
"Punya bapak kamu antar kekamar ya? Seharusnya kamu itu tidak mesti disuruh dulu buat bikinin kopi untuk bapak."
"Apa mas?"
"Apanya yang apa? Kalau udah waktunya ngopi langsung bikinin buat bapak." Bentak mas Tio.
Aku tidak menyahutnya lagi. Langsung saja aku beranjak dari hadapan mas Tio dengan perasaan kecewa. Karena ucapan mas Tio, terdengar seperti racun yang dipaksakan untuk kutelan. Bagaimana tidak, dengan mudahnya dia membentak ku hanya karena pak Burhan. Dan lagi, mas Tio menyuruhku melayani pak Burhan agar selalu menyuguhkan kopi untuknya.
Bisa dikatakan pak Burhan itu bukan siapa-siapanya mas Tio, jika mengingat pak Burhan menikahi ibunya mas Tio selama dua tahun saja.
"Permisi pak, ini kopinya." Aku mengetuk pintu kamarnya tapi tidak ada jawaban.
"Pak, ini Dita bawain kopi." Masih tidak ada jawaban.
Ah, bodoh amat. Ngapain juga aku berlama-lama disini, Lagian memang pak Burhan nya yang nggak ada. Aku membawa kopi itu kembali kedapur.
Betapa terkejutnya ketika kudapati pintu dapur sedikit terbuka. Perasaan tadi pintunya sudah aku kunci rapat-rapat. kucoba melangkah perlahan dan mendekati celah pintu dapur, Aku mengintip lewat sana.
Hah, pak Burhan. Ngapain dia dipagar sana? apakah mungkin ada kaitannya dengan Maisaroh? nggak mungkin. Pak Burhan kan umurnya sudah 50 lebih, sedangkan Maisaroh baru 19 tahun, mana mungkin diantara mereka memiliki hubungan.
Ku perhatikan gelagat pak Burhan lebih detil lagi. Ia seperti kebingungan dan mondar mandir disepanjang pinggiran pagar, akhirnya kulihat pak Burhan menyelipkan secarik kertas pada pintu pagar.
"Apa yang kamu intipkan Dita?"
"Ini mas, aku nyariin bapak mau ngasih kopi."
"Memangnya bapak dimana?"
"Di belakang mas."
"Yasudah ngapain bengong, sana kebelakang antar kopi buat bapak."
"Iya!" Heran, apa sisa kelembutan mas Tio sudah benar-benar sirna.
"Sebentar Dita."
"Iya, kenapa mas?"
"Sekarang aku mau keluar karena ada keperluan sama teman kerja. Jadi mungkin malam ini aku pulangnya agak sedikit terlambat."
"Pulang jam berapa mas?"
"Jam 10 malam, makanya kamu itu tidak aku ajak. Nanti Mila pasti nangis-nangis disana karena ngantuk."
"Mas mau ketemu teman yang mana? perempuan atau laki."
"Laki-laki lah, Kamu mau menuduhku selingkuh?"
"Nanya aja mas buat jaga-jaga. Siapa nama laki-laki teman mas itu?"
"Itu lho si Rian. Ah, lagian kamu juga nggak akan kenal. Kenapa? awas ya kalau kamu berani mikir macam-macam."
"Mas, hidup ini nggak boleh dibawa terlalu santai. Tau-tau nanti punya kita udah jadi hak milik orang, nggak ada salah donk kalau aku menanyakan beberapa pertanyaan sebagai antisipasi untuk menjaga suamiku."
"Terserah kamu Dita. Yang penting kamu cemburunya tidak berlebihan, apa lagi sampai mikirin yang nggak-nggak."
Mendengar perkataan mas Tio, aku hanya bisa diam menatapnya. Rasanya malas sekali untuk menjelaskan lebih panjang lagi tentang kekhawatiran ku. Toh, mas Tio sepertinya juga tidak memihak pada apa yang kurasa.
Mas Tio langsung pergi tanpa sepatah katapun lagi. Bahkan hampir 5 bulan sudah, mas Tio menghilangkan kebiasaannya berpamitan sambil mengecup keningku. Ya, paling tidak seharusnya ia meninggalkan secercah senyumannya sebagai penyemangat.
Banyak laki-laki yang tidak mengerti. Para istri sangat butuh penyemangat dari suaminya, sebelum para suami meninggalkan mereka dirumah dengan segudang pekerjaan.
Kuatnya seorang istri dalam merawat anak, membersihkan rumah juga menyiapkan keperluan suami dan sebagainya. Semua itu mereka kerjakan, sedikit pun tidak mengharapkan bayaran mahal. Melainkan Kasih sayang dan perhatian dari suami sudah cukup membuat para istri merasa tangguh.
"Melamun disiang bolong, nanti suamimu diambil orang." Suara itu mengejutkan ku.
"Ini pak kopinya." Perkataan pak Burhan ku anggap angin yang berlalu. Aku langsung meletakkan nampan di atas meja.
"Dita.. saran bapak. kamu itu harus memakai baju yang lebih seksi untuk membuat Tio semakin cinta, Dan dia tidak akan bosan melihat penampilan kamu."
"Iya pak." Aku melangkahkan kakiku untuk pergi karena tidak ingin berlama-lama menatap mukanya.
"Sebentar Dita,"
"Lepaskan tangan Dita pak!"
"Bapak perhatikan, kamu tidak pernah mau menatap bapak, kenapa?"
"Iya, lepasin dulu tangan Dita ! ngapain bapak mengang-megang gini." Aku melotot marah kearahnya dan menarik tanganku dengan kuat hingga terlepas.
"Dengar ya pak ! Jangan pernah berani menyentuhku lagi. Kita ini bukan mahram, karena bapak itu hanya bapak tirinya mas Tio." Jariku menunjuk kearah pak Burhan, dan akupun langsung pergi secepatnya dari sana, ia menyentuh tanganku rasanya itu benar-benar jijik.
Dengan langkah yang sedikit berlari, aku bergegas masuk kedalam kamar. Ya, ada sedikit perasaan takut yang kurasakan dengan kalakuan pak Burhan yang mulai berani.
Apalagi ketika aku mengingat rumor tentangnya, yang tidak lama ini dikatakan putri. Beredar gosip kalau Pak Burhan pernah dituduh menghamili anak gadis orang, mirisnya gadis itu memiliki gangguan jiwa.
Mila sudah terbangun dari tadi. Untungnya dia bukan anak cengeng. Asalkan ada banyak mainan disampingnya, Kecuali kalau memang dia sudah lapar, barulah tangisannya akan terdengar sampai keluar kamar.
Aku merasa sendiri dirumah ini semenjak mas Tio selalu sibuk ngantor. Dulu sih tidak jadi masalah karena ada Mila sebagai penyemangatku. Tapi akhir-akhir ini aku merasa terancam dan ketakutan karena kehadiran pak Burhan.
"Hhhaaauuumm... Nak, mama bobok sebentar ya? sini mainnya lebih dekat sama mama."
Setelah menarik Mila kesamping ku,, akupun tertdur pulas dilantai dekat putriku bermain. Tidurku begitu nyenyak, mungkin karena tubuh yang sudah merasa begitu penat dengan beban. Bukan karena pekerjaan ku yang terlalu banyak, tetapi kenyamanan ku dirumah ini yang mulai bermasalah.
2 Jam kemudian, tepat jam 7 magrib aku terbangun karena rengekan Mila, Ia sudah haus dan lapar. Dengan perasaan was-was aku keluar lagi mengambil makanan untuk Mila.
Dan dengan cepat tanganku membuat susu lalu mengambil nasi, sedangkan mataku selalu Melirik kiri kanan untuk berjaga-jaga.
"Syukurlah, pak Burhan mungkin lagi dikamarnya." Langsung saja aku bergegas kembali masuk kamar.
Aku meletakkan piring nasi beserta airnya didepan Mila. Untungnya putri ku yang berumur 2 tahun sudah pandai makan sendiri, bahkan dia merasa kesal jika minta disuapi.
Setelah Shalat magrib, tiba-tiba terlintas diingatanku tentang bayangan kertas itu. Langsung ku gendong Mila yang baru selesai makan menuju kebelakang rumah.
"Ternyata kertas ini masih disini." Ku nyalakan lampu senter hp untuk membaca tulisannya.
"Maisaroh.. Nanti jam 1 malam pak Han tunggu dibelakang gudang ya?
kamu harus pakai baju bagus, tapi nggak usah pakai dalemannya ya? ingat, jangan pakai dalemannya.
kalau kamu nurut, pak Han akan cepat-cepat ngasih hadiah buat kamu. Masih ingat kan hadiah besar yang pak Han janjikan?
Oh iya Maisaroh, pak Han sangat kagum karena kamu masih perawan. Tadi siang kita sempat gagal, tapi malam ini pak Han janji , kita akan berhasil ya Maisaroh."
"Nah, terbongkar sudah kebusukan kamu pak Burhan. Lihat saja nanti jam 1 malam, Aku akan mengajak mas Tio untuk menangkap basah perbuatan kamu. Dan secepatnya ia akan mengusir kamu dari rumah ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!