"Kamu tidak tertarik menjadi pengusaha?"
"Tidak, Yah."
"Kenapa? Biar seperti Ayah."
"Aku tidak memiliki minat di bidang itu,"
"Tapi menurut ayah kamu harus menjadi pengusaha,"
Raihan yang awalnya menjadi anak baik, berubah ketika Christ memaksa nya untuk menjadi apa yang dia kehendaki.
"Dan menikah dengan perempuan pilihan ayah juga."
Raihan selalu memiliki prestasi selama bersekolah, tapi ketika sudah masuk ke dunia perkuliahan dan mendapat tekanan yabg sedemikian rupa dari Christ, akhirnya Raihan berubah menjadi mahasiswa yang begitu buruk. Hobi mabuk, pulang malam, banyak memiliki mantan kekasih yang hanya dipacarinya untuk bersenang-senang.
"Denrio menantangmu untuk balapan lagi nanti malam,"
Di jam yang seharusnya menuntut ilmu, Raihan dan ketiga temannya yang bernama Sergi, Gion, dan Edrick malah sibuk menghabiskan waktu di cafetaria kampus.
"Terima saja. Kalian tahu, aku tidak akan pernah takut."
"Dia bawa pasukan yang tidak sedikit malam ini, Rai."
Raihan terkekeh menyeramkan. Setelah menghembuskan asap rokoknya, dengan tegas Ia menjawab. "Sebanyak apapun orang yang akan melawanku, tidak ada ada kata 'takut' bagiku. Mereka payah karena tanding ramai-ramai,"
"Kalian akan satu lawan satu. Tapi kalau Denrio butuh bantuan, mereka akan maju. Kau membutuhkan kita tidak?"
"Tidak, aku bisa sendiri."
Seorang gadis datang ke meja mereka mengantarkan minuman yang mereka pesan.
Ketiga temannya baru menyadari kalau gadis itu sepertinya pelayan baru di kafe tersebut.
"Aku tidak pernah melihatnya,"
"Aku pun begitu,"
Raihan memukul bahu Sergi dan Gion yang bergumam seraya tidak berkedip padahal gadis yang berperan sebagai waitress itu sudah pergi dari hadapan mereka.
"Selera kalian hanya sebatas waitress?"
"Tidak apa, selagi dia cantik dan bisa diandalkan."
"Diandalkan untuk? Melayani mu? Gila!"
"Tujuan kita menyukai perempuan karena hal itu, Rai. Jangan munafik lah."
Gadis bernama Rena yang sedang dibicarakan itu tampak gugup setelah selesai menyajikan minum. Mereka tampan dan sangat berkelas walaupun terlihat bukan laki-laki yang baik.
"Hey Rena! Kerja! Kamu kenapa diam di balik meja kasir begitu? Memperhatikan siapa sih?!"
Cara menegur Rena dengan keras. Rena adalah pegawai baru di kafe itu. Cara sebagai pegawai yang sudah lebih dulu bekerja, terlihat sangat senioritas dalam memperlakukan Rena.
"Aku akan mengatakan pada Boss kalau kamu sudah berani malas-malasan di hari pertama bekerja,"
"Carra, ada apa sih? Rena bukan malas, dia mungkin hanya sedang istirahat sebentar. Lagipula dia tidak duduk. Hanya berdiri menatap ke depan,"
"Tetap saja. Kalau diam, artinya tidak mau bekerja,"
Angeline menggeleng pelan saat ditanggapi dengan kasar oleh Carra. Sudah biasa sebenarnya melihat perilaku Carra. Tapi Ia kasihan dengan Rena yang bahkan baru satu hari bekerja di sini sudah mendapat perlakuan kejam seperti itu. Padahal mereka sama-sama karyawan.
"Jangan kamu kira aku tidak tahu ya! Kamu memperhatikan mereka 'kan?!"
Rena terhenyak saat Carra bicara seperti itu. Ia tidak bisa mengelak. Karena memang begitu kenyataannya. Ia menatap mereka karena ingin sekali hidupnya beruntung seperti mereka. Penampilan menarik, terlihat mapan dan hidupnya bahagia. Mereka bisa berkumpul dengan teman-teman dan berkunjung ke kafe yang menurut Rena luar biasa. Terlihat sempurna sekali hidup mereka.
****
"Siap untuk nanti malam?"
"Siap, kau datang ramai-ramai, aku sendiri dan tidak masalah,"
"HAHAHAHA selalu seperti itu. Lalau kalau kalah, siapa yang akan membantumu? Seandainya kamu hampir mati di arena balap, siapa yang akan membawamu pulang?"
Raihan melewati Denrio dan sengaja menabrak bahu musuhnya sejak awal masuk kuliah dulu.
Raihan memasuki kelasnya dan duduk dengan tenang seperti biasa. Ketiga temannya sedang berkumpul dengan para wanita sementara dia hanya menyendiri. Tak lama, seorang gadis datang menghampirinya. Gadis yang selalu mengejar Raihan tapi tidak pernah digubris oleh Raihan.
"Raihan, kamu ada waktu untukku nanti malam?"
"Ada, mau apa?"
"Temani aku ke kelab,"
"Okay,"
Sekalipun Raihan tidak benar-benar menaruh perasaan pada Nenna, tapi Raihan selalu memperlakukan Nenna bak kekasih. Itulah yang membuat Nenna berharap lebih. Sayangnya sampai kapanpun Raihan hanya memanfaatkan Nenna untuk memenuhi kebutuhannya. Ia tidak mencintai Nenna sama sekali seperti apa yang diinginkan gadis itu sejak awal mereka dekat.
Nenna tahu alasan Raihan baik padanya. Ia tahu kalau Ia dimanfaatkan untuk segala hal. Tapi tetap saja Ia tidak bisa marah, tidak bisa menjauh justru senang karena Ia masih memiliki alasan untuk selalu dekat dengan Raihan.
"Sampai pagi ya, Sayang?"
"Okay,"
Hanya satu kata itu yang sering diucapkan Raihan setiap Nenna memiliki permintaan. Ia memenuhi semata-mata untuk mengganti kebaikan Nenna selama ini. Yang mau mengorbankan waktu dan perasaan demi dirinya.
****
Suasana malam ini begitu panas. Karena Raihan dan Denrio bersaing ketat untuk mencapai start lebih awal.
Raihan sudah mengatakan pada ketiga temannya agar tidak datang, tapi tetap saja mereka datang karena mereka khawatir dengan Raihan. Setiap balapan Raihan datang sendiri tanpa mengajak teman-temannya. Mereka yang datang memberi dukungan tanpa diminta oleh Raihan.
Raihan keluar sebagai pemenang. Ia melepas pelindung kepala, keringat memenuhi keningnya dan itu membuat Raihan terlihat semakin tampan.
"Kalian sepertinya tidak mengerti bahasa manusia ya? Sudah aku katakan tidak perlu datang,"
"Tapi kamu mau datang. Memangnya salah?"
"Salah karena---"
"Seharusnya kalian biarkan saja Raihan bersikap jantan,"
"Kau jantan tidak? Kenapa setiap balapan membawa rombongan?! seperti ingin study tour saja," ujar Edric dengan gaya cool tapi tetap saja konyol nya tidak hilang.
"Rai tidak pernah mengajak kami. Dia tidak seperti kau!"
"Aku memiliki banyak teman. Sudah seharusnya dimanfaatkan. Minimal kalau aku kenapa-kenapa di jalan, bisa dibantu oleh mereka. Kalau aku lelah bertanding, mereka bisa menggantikan aku. Aku tidak munafik, aku membutuhkan mereka. Sementara Raihan kalau mati di jalan, siapa yang peduli?"
"Kau mengandalkan mereka ketika merasa kelelahan bertanding. Pengecut sekali,"
"Diam kau! Brengs*k seperti kau tidak diizinkan bicara begitu. Lebih baik aku daripada kau yang memanfaatkan ketulusan seorang gadis untuk kepentingan pribadi,"
Denrio menarik kerah baju Raihan. Dan Raihan nampak santai bahkan tersenyum miring.
"Tidak ada urusannya denganmu!"
****
Raihan tiba di sebuah kelab yang menjadi tempat Nenna bersenang-senang. Ia sudah terlambat lima menit dari perjanjian.
Pasti Ia akan mendengar ocehan Nenna tiada henti. Raihan yakin sekali karena Nenna seperti itu kalau Ia terlambat. Nenna ingin seluruh dunia Raihan hanya untuknya. Karena Ia tidak berhasil memiliki hati Raihan, minimal seluruh waktu Raihan bisa Ia nikmati.
Raihan memasuki tempat yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu dan hingar bingar dunia malam.
Wanita dan lelaki berbaur jadi satu. Menggerakkan tubuh mereka tidak beraturan dengan mata terlihat sayu.
Banyak pasangan di sudut ruangan yang tengah merendahkan harga dirinya sebagai manusia. Tanpa ada rasa malu mereka melepas hasrat. Berciuman, saling memeluk, menyentuh tanpa tahu batasan.
Nenna salah satunya. Raihan berdecih jijik saat mendapati gadis itu baru saja dikecup mesra oleh seorang pria yang tidak Ia ketahui namanya siapa.
Raihan tidak mengganggu kegiatan mereka. Ia memilih untuk duduk menunggu Nenna selesai memuaskan diri.
Setelah menyadari kehadiran Raihan, Nenna segera melepaskan pelukan pria itu. Dan Nenna segera mendekati Raihan. Ketika Nenna ingin mengecupnya, Raihan menghindar.
"Setidaknya cuci dulu mulutmu, baru boleh menyentuh punyaku,"
Makasih untuk yg udah mampir. Jangan lupa dukungannya yaaa (Like, vote, komen) Terima kasih❤️🤗
Semenjak Ibu nya meninggal dan kehidupan semakin berada di bawah tekanan sang ayah, Raihan berubah menjadi pribadi yang semakin liar.
Tetapi seburuk apapun Ia sebagai lelaki, tetap saja masih ada rasa tanggung jawab.
Setiap kali Nenna mabuk bersamanya, Raihan tetap mengantarkan perempuan itu kembali ke rumahnya, setidaknya memastikan gadis itu baik-baik saja usai menghabiskan waktu bersamanya.
Pukul tiga dini hari, mereka keluar dari kelab. Nenna mabuk berat sementara Raihan tidak terlalu karena dia tahu bahwa yang akan membawa mobil nanti adalah dirinya sendiri.
Raihan meletakkan Nenna di tempat tidurnya. Saat akan bangkit, Nenna memeluk erat lehernya hingga Raihan tidak bisa pergi kemana pun.
"Aku harus segera pulang, Nenna."
"Kamu temani aku saja,"
"Tidak bisa!"
Raihan melepaskan jeratan Nenna dari lehernya. Nenna sudah kembali menutup matanya usai mengatakan itu.
Raihan keluar dari kamar Nenna. Lalu pulang ke rumahnya. Seperti biasa, Christ selalu menjadi mata-mata bila sudah malam hari untuk melihat perilaku anaknya. Seraya bekerja, Ia menunggu kedatangan Raihan.
"Baru pulang? kamu tidak lihat sekarang jam berapa?!"
"Lihat, tapi aku baru selesai---"
"Selesai apa? Selesai balapan dan mabuk?"
Raihan terkekeh tak membantah. Christ sudah tahu jawabannya, kenapa harus bertanya? Buang-buang energi saja.
"Tidak perlu aku jawab, ayah sudah tahu. Aku harus ke kamar sekarang,"
Belum sempat Raihan melangkah, Raihan menarik lengannya kemudian memberi tamparan hingga mata Raihan yang terasa berat langsung terbuka sempurna karena terkejut. Tidak sakit, karena sudah biasa baginya.
"Sampai kapan kamu menyusahkan ayah seperti ini?!"
"Sampai bosan,"
Setelah menjawab begitu, Raihan berjalan tertatih menuju kamarnya. Rahang Christ mengeras.
"RAIHAN!"
"Aku malas berdebat,"
Pintu kamar Raihan berdentum karena dibanting oleh pemiliknya. Christ semakin dilanda emosi melihat anaknya yang semakin kurang ajar setiap harinya. Ia sudah kehabisan akal untuk mengembalikan anaknya yang dulu. Yang saat ini tinggal bersamanya seperti bukan Raihan yang semasa sekolahnya merupakan anak pintar, pendiam, pendengar yang baik, dan tidak pernah menentang perintah orangtua.
****
Pagi ini Rena sudah datang. Kemarin Ia terlambat karena diserang kemacetan dan ditegur oleh atasannya atas laporan Carra.
Saat ini Rena sedang membersihkan meja-meja sebagai persiapan sebelum membuka kafe.
"Rena, kamu dipanggil Tuan Xander," ujar Carra pada Rena yang sibuk sementara Ia sedang menyapu lantai tetapi seraya melihat ponsel.
"Ada apa?"
"Mana aku tahu?! Kalau dipanggil, langsung datang! Jangan banyak tanya,"
Rena tersentak kaget saat Carra memperingatinya dengan keras. Ia segera menuruti apa yang dikatakan Carra. Ia dengan cepat melangkah ke ruangan pemilik kafe tempatnya bekerja itu.
"Permisi, Tuan."
"Iya, aku memanggil mu ke sini untuk bertanya, apa benar kemarin kamu mulai lengah bekerja? Saat kafe sedang ramai-ramai nya, kamu malah diam?"
Alis Rena bertaut. Seingatnya, Ia tidak pernah lengah dalam bekerja. Dan Xander baru saja mengatakan kalau Ia melakukan kesalahan itu kemarin. Sepertinya Carra lagi yang memberi laporan.
Sepertinya yang dimaksud Xander itu pada saat Rena kedapatan menatap empat orang laki-laki yang tidak lain adalah Raihan dan ketiga temannya. Kemarin Ia hanya terdiam beberapa detik saja karena dalam lubuk hatinya yang paling dalam Rena ingin seperti Raihan dan semua temannya yang bisa kuliah dan menikmati masa muda mereka dengan kumpul-kumpul bersama teman dan berbincang mengenai banyak hal. Carra melebih-lebihkan sampai mengatakan bahwa Rena lengah dalam bekerja.
"Saya bekerja sebagai mana mestinya, Tuan. Maaf sudah mengecewakan,"
Xander tersenyum lembut. Lelaki yang sudah memiliki anak sebagai pengusaha itu, merasa kagum dengan perangai Rena yang tidak mengelak sama sekali ketika ditegur.
"Kamu boleh keluar. Aku harap, cara kerjamu tidak mengecewakan ku lagi,"
****
Raihan turun dari motor besarnya diikuti teman-temannya yang lain. Mereka baru saja selesai bersenang-senang di jalanan. Hanya balapan antar mereka, bukan orang luar seperti semalam.
Saat melewati gudang belakang universitas nya, telinga Raihan mendengar suara-suara menjijikan. Hentakan, *******, dan lenguhan membuatnya ingin muntah. Kenapa harus di tempat menuntut ilmu mereka melakukannya? Apakah semiskin itu sampai tidak mampu menyewa hotel?
Raihan sebenarnya tidak ingin menoleh saat melewati gudang itu, tapi Ia begitu penasaran. Dan pemandangan yang membuat matanya membulat adalah, Denrio sedang bersama dengan seorang perempuan. Denrio melecehkan perempuan tersebut. Ia menutup mulut si perempuan dan tubuh bagian bawahnya terus menghentak.
"****!" Maki Raihan seraya mendekati pintu. Ia meninju pintu yang terbuka sedikit itu hingga orang di dalamnya menoleh terkejut. Denrio secepat kilat memperbaiki kondisi celana nya.
"Kau tidak memiliki uang untuk pergi ke hotel? Mau aku berikan?!"
"Sial! Tidak usah banyak bicara kau! Pergi dari sini!" Usir Denrio sementara si perempuan sedang menangis tersedu. Beruntung tubuhnya masih mengenakan baju lengkap. Hanya saja rok nya disingkap oleh Denrio. Tapi setelah Raihan datang, Ia cepat-cepat memperbaikinya.
"Kau tidak lebih baik dari aku. Tapi selalu saja pintar membicarakan keburukan orang lain. Benar-benar brengsek!"
Raihan masuk ke dalam gudang lalu melakukan baku hantam. Ia meninju Denrio dan musuhnya itu melakukan pembalasan.
Teman-teman Raihan akan melewati gudang tapi ketika mendengar keributan, mereka menoleh. Setelah melihat bahwa Raihan lah penyebab nya, mereka segera masuk ke dalam gudang.
"Rai, sudah cukup! Jangan membuat keributan di sini. Kau akan mendapat teguran lagi,"
"Aku tidak peduli. Dia harus mendapat pelajaran,"
"Kenapa kau terlihat sangat membela dia?! Kau menyukainya?"
Raihan membuat mulut Denrio mengeluarkan darah. Mulut itu sudah lancang berbicara. Ia hanya melindungi, apa yang salah?
Sergi menarik Raihan agar berhenti membuat Denrio babak belur. Edrick dan Gion berusaha membuat Raihan tenang.
"Aku hanya benci melihat perilaku brengsek mu di kampus. Setidaknya cari tempat yang sesuai,"
Raihan berhasil dibawa keluar oleh teman-temannya, meninggalkan Denrio yang sudah terkapar tidak berdaya.
Perempuan yang sudah dilecehkan oleh Denrio akan keluar dari gudang tapi Denrio berhasil meraihnya.
Denrio memberi tamparan hingga wajah yang penuh air mata itu terlempar ke samping.
"Tidak seharusnya kau pergi,"
Denrio memberi pelajaran untuk perempuan itu dengan berbuat sesuatu pada rambutnya hingga kepala perempuan bernama Aneline itu tersentak ke belakang.
"Perempuan murahan!" Desis Denrio. Lelaki itu menepuk-nepuk kedua tangannya seolah Ia baru saja menyentuh kotoran. Kemudian Ia pergi meninggalkan Aneline yang masih tersedu.
****
"Nasibmu di kampus akan semakin diujung tanduk, Raihan. Berhati-hati lah dalam ber----"
"Kau bisa diam tidak?!" sentak Raihan saat Edrick menasihatinya. Telinga Raihan terasa panas mendengar Edrick bicara begitu.
"Aku hanya tidak suka melihat dia melecehkan perempuan. Dan tempatnya juga tidak tepat sekali. Entah ada dimana otaknya,"
"Kau juga sering melecehkan perempuan, Rai. Jangan menutup mata dengan kesalahan sendiri,"
"Mereka yang menyerahkan diri dan aku membayar mereka. Itu bukan dilecehkan namanya. Kalau tadi, aku yakin sekali Denrio tidak memberikan apapun pada perempuan itu. Buktinya dia menangis, artinya dia tidak rela Denrio puas atas tubuhnya,"
Edrick, Sergi, dan Gion mengangguk. Ada benar nya juga. Bahkan mereka saja merasa tidak tega melihat perempuan itu menangis.
****
Rena memasuki tempat kerjanya yang lain. Di sinilah Ia menjadi perempuan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang selama ini dikenal orang.
Rena yang selama ini terlihat sangat baik, terpaksa merubah dirinya menjadi liar ketika memasuki rumah bordil.
Rena menjual apa yang Ia punya di sini. Tugasnya memuaskan banyak lelaki, lalu setelahnya Ia akan mendapat uang. Sekotor itulah hidupnya.
"Ini dia yang kau inginkan, Tuan. Silahkan kau bawa dia,"
Rena mengikut saja saat tangannya ditarik oleh lelaki tua. Begitu datang, tamu nya sudah menunggu bersama pemilik rumah bordil yang biasanya Rena sebut Nyonya Baretta.
Baretta sempat berbisik memperingati Rena. "Lakukan yang terbaik, Jal*ng."
Sebelum menjalani tugasnya, Rena selalu diberi perintah seperti itu. Padahal selama ini tidak pernah ada keluhan dari pelanggan. Dia sudah menjadi pemuas yang baik, tapi tetap saja Baretta memberikan titah seperti itu.
Lelaki tua yang sedang bersama Rena saat ini mengunci pintu salah satu kamar yang berada di rumah bordil setelah mereka masuk ke dalamnya.
Setiap pintu tertutup, Rena selalu merasa merinding dan cemas. Padahal Ia sudah biasa berada di situasi seperti ini.
Lelaki itu mendekati Rena yang perlahan mundur. Tubuh Rena gemetar, selalu seperti ini. Siapapun pelanggan nya, reaksi yang diberikan Rena membuat mereka berdecih geli.
"Kau seperti wanita polos saja. Bukankah ini sudah menjadi hal yang biasa bagimu? Jangan takut, Sayangku."
Napas Rena memburu. Ia menatap lelaki itu penuh was-was. Itu membuat Rena terlihat menggemaskan dan semakin membuat lelaki di hadapannya bergairah.
------
Dah Dig dug serrr. Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak. Ku sayang kalian🤗❤️
Ini jg udh up lhoo lg direview👇Jgn lupa mampir😊
Rena berhasil masuk ke dalam jeratan lelaki itu. Ritme jantung Rena semakin tidak beraturan. Terkadang Ia kesal dengan reaksi tubuhnya yang seperti ini. Seharusnya Ia sudah terbiasa karena ini pekerjaan nya.
Rena bekerja untuk memuaskan tapi tidak sampai pada tahap menghilangkan apa yang dia jaga selama ini. Baretta sengaja menyimpan Rena sampai datang seorang laki-laki yang bersedia membayar Rena sangat mahal hanya demi memiliki Rena yang masih belum tersentuh itu.
Rena melakukan tugasnya dengan baik. Meskipun terpaksa, tapi Ia tahu kewajibannya setelah dibayar.
Rena menahan decih jijiknya saat mereka bercumbu. Demi apapun, dia laki-laki paruh baya. Tapi apa boleh buat, semua karena uang.
Rena menahan tangan lelaki itu yang akan melintas di area-area yang seharusnya tidak boleh terjamah. Lelaki itu melepas tautan bibir mereka lalu menatap Rena dengan marah.
"Perjanjian nya tidak seperti ini, Tuan." Ujar Rena memberanikan diri untuk melawan. Ia berhak untuk mengajukan protes karena tugasnya hanya untuk memuaskan tanpa mengorbankan kepemilikannya.
Rena sudah melakukan itu, beradu bibir adalah yang terakhir. Ia memutuskan untuk pergi. Ia membuka kunci dan keluar. Lelaki itu cepat-cepat memperbaiki celananya kemudian mengejar Rena.
"Sial! Kau belum menyelesaikan pekerjaanmu!"
"Sudah, aku sudah melakukan tugasku. Anda yang tidak tahu diri,"
Lengan Rena berhasil ditarik hingga mereka saling menatap. Mata tajam berkilat amarah begitu terpancar di mata lelaki itu. Dengan lancang, Ia membuat wajah Rena berpaling hingga Rena meringis seraya mengusap wajahnya.
"Kurang ajar! Bukan aku yang tidak tahu diri tapi kamu!"
"Anda, perjanjian kita sebelumnya tidak seperti itu. Aku akan melaporkan ini semua pada Nyonya Baretta,"
Rena kembali melangkah cepat. Kali ini langkahnya seperti dikejar hewan buas. Memang yang di belakangnya saat ini adalah hewan buas. Buas karena nafsu.
Rena sibuk berjalan cepat demi menghindari kejaran lelaki itu sampai tidak sadar menabrak seorang laki-laki muda yang pernah dilihatnya tempo hari di kafe tempatnya bekerja. Ada seorang perempuan juga di samping laki-laki itu. Dan perempuan itu adalah teman Rena, sesama pekerja di sana.
Rena menangkup tangannya untuk meminta maaf. "Saya minta maaf, Tuan."
"Lain kali hati-hati!"
"Ayo Tuan, kita ke kamar," ajaknya pada laki-laki itu.
Rena sudah kembali menghindar. Lelaki yang menabrak Rena tadi terlihat memperhatikan punggung Rena yang sudah menjauh dan seorang lelaki paruh baya yang senantiasa mengejarnya.
"Ayo, Tuan Raihan." Raihan mengangguk saat diajak lagi oleh Zenith, perempuan yang akan bersenang-senang dengannya malam ini.
Raihan baru kali ini datang ke rumah bordil yang dipimpin oleh Baretta. Dan pertama kali datang, Ia menggelontorkan uang tidak sedikit untuk memiliki Zenith sepanjang malam.
****
Rena berhasil menghampiri Baretta yang sedang menikmati minumannya di sela hentakan musik yang begitu kencang malam ini.
"Nyonya, lelaki tadi melakukan hal yang tidak sewajarnya padaku. Padahal perjanjian di setiap malam nya tidak pernah ada izin untuk melakukan hal lebih,"
Baretta bangkit dari duduk tenangnya. Perempuan berwajah dingin itu nampak mengangkat satu alisnya kemudian menatap Rena dari bawah sampai atas dengan pandangan remeh.
"Kau bersikap layaknya seorang wanita mahal, padahal sebaliknya," desis nya membuat hati Rena berdenyut sakit. Ia tahu fakta itu, tapi haruskah diperjelas?
"Dimana dia?" Tanya Baretta pada Rena. Rena menunjuk pelanggannya tadi yang mendekat padanya.
Baretta segera bersedekap dada menatap lelaki itu. "Berapa bayaranmu sampai berani menyentuh boneka ku? Apa yang kau lakukan seharusnya sesuai bayaran!"
"Sialan! Aku sudah terlanjur On. Berapa uang yang harus aku keluarkan untuk memilikinya?" Tantang lelaki itu yang membuat Baretta tertawa kencang. Ia tahu semua pengunjungnya memiliki uang. Tapi lelaki di hadapannya ini tidak termasuk kategori yang memiliki segudang uang, alias kaya raya.
Baretta bisa menilainya, karena Ia sudah bergelut di dunia ini sejak lama. Ia bisa menilai seseorang dari penampilan dan juga sikapnya. Lelaki itu menginginkan Rena tidak elegan sekali. Sampai harus mengejar-ngejar mungkin karena sudah sangat bernafsu. Seharusnya tidak begitu. Cukup datangi Baretta lalu berikan uang yang diminta Baretta dan biarkan Baretta yang bertindak agar Rena mau menurut.
Baretta memberi tahukan nominal yang sangat besar, terlihat dari tangannya yang memperagakan angka nol berjumlah sembilan dengan angka tiga sebagai angka awal.
"Gila! Kau memberikan harga yang mahal untuk gadis macam dia?!" Tunjuknya pada Rena dengan cemoohan bernada merendahkan.
"Ada yang masih terjaga dalam dirinya. Dan hanya dia satu-satunya yang seperti itu di sini. Wajar kalau aku menjualnya dengan harga yang fantastis," ujar Baretta dengan ringan tanpa memikirkan bahwa apa yang sedang dibahas saat ini adalah manusia bukan barang. Harga segitu tidak sebanding dengan semua ciptaan Tuhan yang ada pada Rena.
Tanpa berkata apapun lagi, lelaki itu pergi. Umpatan terus terdengar sepanjang langkahnya keluar dari rumah bordil sekaligus kelab itu.
Baretta menatap Rena kemudian mengibaskan tangannya. "Duduk, akan ada lelaki yang menginginkan kamu tidak lama lagi,"
*****
Membuat lelaki mengerang puas, itu sebuah keharusan untuk mereka yang bekerja di rumah bordil. Karena mereka sadar uang yang dikeluarkan tidaklah sedikit, maka harus ada timbal balik yang sesuai.
Setelah melakukan tugasnya dengan baik, Raihan keluar dari kamar yang menjadi tempatnya bersama Zenith sedari tadi.
"Terima kasih, Tuan sudah datang." ujar Baretta pada Raihan saat akan keluar dari rumah bordil itu. Raihan hanya mengangguk kemudian melajukan motor besarnya menuju rumah Gion, Ia dan ketiga temannya akan menghabiskan malam di sana.
******
Rupanya di rumah Gion ada Denrio dan teman-temannya yang datang hanya untuk mengajak mereka kembali bertanding di jalanan esok malam.
Raihan baru datang dan langsung mengusir mereka dengan tangan yang mengibas. Denrio berdecih seraya berkata, "Aku juga tidak ingin lama di sini," ujarnya.
"Ayo, pergi dari sini." ajaknya pada semua teman-temannya. Mereka pergi seraya mengeraskan deru motor. Sengaja melakukan itu sebelum benar-benar pergi, tujuannya ingin mengundang kemarahan Raihan, Gion, Edric, dan Sergi.
"Selalu menantang tapi pada akhirnya aku yang sering menang. Apa tidak malu dia?"
"Sudah, Rai. Jangan emosi begitu. Biarkan saja anak-anak ayam itu melakukan apa yang mereka mau,"
Gion menarik bahu Raihan agar masuk ke dalam, tidak lagi menatap kepergian Denrio dan teman-temannya dengan tatapan tajam.
"Keluarkan kartu nya!" titah Raihan pada Gion, tuan rumah. Seperti biasa, mereka akan bermain kartu sampai pagi.
Edric beranjak ke dapur lalu mengeluarkan semua makanan ringan dari tempatnya. Dan juga minuman beralkohol dengan kadar tidak terlalu tinggi di rak yang berada tak jauh dari meja pantry.
Sergi, Edric, dan Raihan sudah menganggap bahwa rumah Gion adalah rumah mereka sendiri. Ke rumah siapapun mereka berkunjung, perlakuannya sama. Karena dari mereka tidak ada yang tinggal bersama orangtua sehingga lebih bebas. Sementara untuk Raihan, Ia akan membawa teman-temannya ke apartemen miliknya, tidak ke rumahnya karena ayahnya tinggal di sana.
"Ambil semuanya, Edric."
"Ini sudah, sinting! tahu diri sedikit lah,"
Edric melirik banyaknya makanan yang dia pegang. Sebelumnya botol-botol minuman sudah Ia letakkan juga di meja depan televisi.
"Party!" seru Raihan seraya membuka botol minuman lalu meneguknya tanpa menunggu waktu lama. Teman-temannya pun melakukan hal yang sama.
"Kau dari rumah tadi?"
"Tidak, bersenang-senang dulu baru ke rumahmu,"
"Dimana? kelab?"
Plak
Sergi meletakkan kotak rokoknya dengan kasar di meja. Ia menatap Raihan dengan sorot tajam. "Kenapa tidak ajak-ajak kami, sial*n?!"
"Bukan kelab, kau tahu lah maksudku,"
"Oh ****! Jadi kau habis eksplore wanita?"
"Hmm...."
"Ah kalau di sana, aku tidak sanggup bayar. Dan aku juga tidak mau berdosa," sahut Edric seraya menahan tawa.
"Halah! tidak sanggup bayar? hampir setiap malam tempat mu di sana. Jangan pura-pura menjadi anak baik kau!"
"Tidak juga, sekarang aku sudah mengurangi kebiasaanku dulu,"
"Kenapa?"
"Uang jajanku dikurangi oleh ayahku. Daripada perutku tidak makan, lebih baik bawahku saja yang tidak makan,"
"HAHAHAHA," Tawa dari Sergi dan Gion bergema. Mereka menertawakan nasib Edric yang sangat nelangsa.
Hellawww aku dtg membawa part baru. Selamat membaca dan jgn lupa beri dukungan yaaa. Terima kasih🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!