“Aku tidak bisa menikahi mu walaupun kita sudah dijodohkan, aku tidak bisa hidup dengan perempuan yang tidak aku cintai, aku takut menyakiti mu nantinya. Rumi apa kau mendengar ku?”
“Iya mas, aku…aku mendengarnya. Apa tidak bisa kita jalani dulu mas, mungkin nanti kamu bisa mencintai ku?"
“Pernikahan itu bukan mainan Rumi, bukan cerita novel kawin kontrak yang benci tiba-tiba menjadi cinta, pernikahan itu adalah ibadah, bagaimana kita bisa melakukan ibadah sedangkan hati kita tidak didasari suka dan cinta. Ibadah yang diterima adalah yang dilakukan dengan keikhlasan, kebahagiaan. Sedangkan keikhlasan dan kebahagiaan itu akan hadir saat kau mencintai hal yang kau lakukan. Aku takut Rumi aku tidak bisa mencintai mu dan ibadah dalam pernikahan kita menjadi buih di lautan.”
“Apa mas sudah melihat foto ku?” dengan terbata karena menahan air mata Rumi mencoba meyakinkan laki-laki yang berbicara dengannya di seberang sana, ia berharap bisa merubah pikirannya.
“Maaf Rumi aku bahkan tidak bisa melihat foto mu karena aku tidak bisa meneruskan perjodohan ini.”
Luluh-lantah lah harapan Rumi menjadi istri Fatih, padahal ia sudah berharap banyak dari nya, meski sebelumnya mereka belum pernah bertemu dan hanya sempat berbicara tiga kali lewat telepon Rumi sudah langsung bermimpi untuk hidup dengannya, hanya dengan melihat foto wajahnya yang tersenyum indah, Rumi bahkan sudah bermimpi dicintainya, hanya dengan mendengar suaranya yang tegas, lugas dan humoris, Rumi sudah terbuai dengan pujian-pujian yang akan dilontarkan Fatih padanya.
“Rumi, apa kamu masih di sana?”
“Iya, mas?”
“Aku akan berbicara pada orang tua ku dan orang tua mu. Maaf rumi, maafkan kebodohan ku karena menolak perjodohan ini. Aku tau kamu adalah gadis istimewa, karena ibu ku sangat menyukai mu, aku tahu pilihannya tidak akan salah. Semoga kamu mendapatkan laki-laki yang terbaik yang Allah pilihkan untuk mu. Assalamulaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dedaunan yang tadi nampak hijau di atas pegunungan itu terlihat memutih dengan gumpalan kabut tebal seakan mereka berkumpul untuk menambah kegelapan dalam hati Rumi saat ini.
Tangan yang tadi begitu bersemangat mengangkat ponsel saat melihat namanya tertera dalam panggilan, kini begitu lemas menahan sakitnya hati yang terasa begitu remuk. Hati yang sakit bahkan tidak bisa menahan bobot tumbuhnya yang ringan, tubuh Rumi terkulai di atas lantai meremas hati yang terluka.
Berharap terlalu lebih pada manusia dan meyakinkan diri akan mendapat kebahagiaan darinya saat mulai pertama diperkenalkan dengan foto seorang laki-laki yang diberikan ibunya saat itu, dan mimpi itu terus berkembang saat ia mulai mengenalnya melalui orang tua Fatih yang begitu ramah, mimpi menjadi seorang menantu perempuan yang dicintai oleh mertuanya telah melupakan Rumi pada rencana Allah yang tidak bisa ditebak.
“Nak Rumi ayo silahkan masuk, ibu dan bapak sudah menunggu mu. Mari silahkan duduk Pak, Bu, nak Rumi.”
“Maaf Loh ini ga dijamu, disini sedang masa paceklik, pohon pisang pun enggan untuk berbuah, hanya ada beberapa makanan biasa yang ibu buat bersama Fatima,” senyum sumringah memancar dari wajah keibuan seorang ibu yang nampak anggun dengan balutan baju gamis sederhana berwarna abu muda.
“Alhamdulillah tamu nya sudah datang,” senyum dari pria setengah baya yang menyiratkan kewibawaan seorang ayah yang nampak rapih dengan batik koko.
“Ibu ini sampai berkali-kali bertanya kapan nak Rumi datang,” katanya lagi sambil mencari posisi duduk di samping istrinya.
“Ah bapak ini, ibu memang sudah tidak sabar melihat nak Rumi yang ayu ini, nak Rumi memang sangat ayu ya pak? Fatih pasti langsung jatuh hati.”
Mendengar kata itu jiwa pemalu Rumi tiba-tiba memasang antibodi merah di pipi.
“Ibu Fatma terlalu memuji, lihat pipi Rumi sampai merona seperti itu,” lirik pak Baim ayah Rumi, membuat wajah Rumi semakin menunduk.
Pertemuan dengan keluarga Fatih sangat disambut oleh hati Rumi saat itu, sampai mimpi-mimpi Rumi tentang pernikahan dan masa depannya terus berakar dalam hati dan kini hati itu mendapat sakitnya yang tak terkira saat mendapat penolakan dari Fatih.
Tangan lembut seorang ibu menyentuh butiran air mata yang menetes di pipi Rumi, tubuh lemahnya mencoba menopang tubuh Rumi yang terkulai untuk duduk di kursi.
“Allah tidak pernah mendzolimi hambanya apalagi pada hamba yang menggantungkan harapan pada-Nya. Hanya ada dua kemungkinan, ini ujian untuk mu untuk menghapus dosa-dosa mu yang telah lalu atau ujian untuk mu mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya,” tatapan mata sayu yang mencoba tegar itu terlihat berair.
“Ibu aku ingin mengetahui sesuatu sebelum menerimanya begitu saja.”
“Apa yang ingin kamu tahu, nak?”
“Aku ingin jawaban dari rencana Allah ini ibu, tidak mungkin Allah tiba-tiba memberikan Rumi hal seperti ini tanpa ada alasannya, Rumi ingin mencari alasan kenapa mas Fatih melakukan ini pada Rumi.”
“Alasan apa lagi yang kamu inginkan, nak?”
“Dia tidak mencoba mengenal Rumi terlebih dahulu bahkan dia menolak Rumi tanpa melihat wajah Rumi bu.”
Pelukan hangat dari seorang ibu yang telah menaruhkan separuh hidupnya untuk kebahagiaan anaknya menjadi penguat tekad Rumi untuk menemukan jawaban dari kejadian ini.
Fatih adalah seorang relawan yang bergerak dalam tanggap bencana dan kesejahteraan sosial, saat ini sesuai info yang di dapatkan Fatih sedang berada di salah satu daerah Jawa. Dengan kebulatan tekad untuk menemukan jawaban dari segala pertanyaan nya, Rumi berangkat menyusul Fatih ke sana.
Rumi bergabung dengan rombongan relawan kesehatan karena kebetulan sahabat nya Reno yang seorang dokter akan menjadi relawan di sana. Rumi mengatakan alasan nya untuk pergi, meski Reno menunjukkan rasa keberatannya, dengan sedikit memohon akhirnya Rumi diijinkan untuk ikut, dengan syarat Rumi tidak terluka saat bertemu Fatih.
Reno memang sahabat Rumi dari dulu, caranya memperlakukan Rumi seperti memperlakukan kekasihnya, meski sebenarnya Rumi tidak pernah melihat Reno dekat dengan seorang perempuan selain dirinya. Reno tak segan mengomel, mengkritik bahkan memarahi Rumi, hanya saja dibalik itu dialah yang selalu membela Rumi disaat ia terpuruk seperti ini.
“Kenapa kamu masih mau memperjuangkan laki-laki yang sudah jelas mencampakkan mu, apa harga diri mu setipis itu?” lirikan sinis Reno terlihat begitu terganggu dengan adanya Rumi di dalam mobil yang mengangkut tim relawan kesehatan itu.
“Issh…Kamu tidak pernah jatuh cinta kan, makanya berani berkata seperti itu?”
“Kalau benar seperti ini cinta lebih baik aku tidak merasakannya,” jawab Reno ketus.
Jawaban menjengkelkan itu membuat Rumi menahan kesal, ia tidak mau bertengkar dengannya hari ini, ia harus menyimpan perasaan nya dan mempersiapkannya saat bertemu dengan Fatih nanti. Entah kata apa yang akan keluar saat ia bertemu dengannya nanti, ia bahkan tidak tau ekspresi apa yang harus di tunjukkan nya saat berhadapan dengan Fatih.
Setelah menempuh 6 jam perjalanan dengan mobil akhirnya tim relawan sampai pada sebuah kampung yang terlihat kumuh, dengan tanah yang gersang dan udara yang panas membuat badan Rumi sedikit terkejut, ia terbiasa dengan udara segar pepohonan yang rimbun dan hijau, debu yang terhisap oleh hidung membuat kerongkongan nya mejadi gatal, sepanjang jalan menuju tempat yang akan meraka tinggali, Rumi tidak berhenti bersin dan menutup mulut nya dari debu-debu yang mungkin saja terhisap.
Rumi memelankan jalannya sesaat setelah dia melihat sesosok laki-laki dari sebuah pohon yang rindang, yang terlihat menjulang tinggi di tempat itu. Dia melihat seorang laki-laki yang berperawakan tinggi tegap sedang menolong seorang anak kecil yang terluka, Rumi mencoba mendekatinya melihat laki-laki itu secara dekat, ada perasaan yang mendorongnya untuk lebih mendekat padanya dan menelaah wajahnya.
Wajah lonjong dengan hidung mancung dan bulu alis yang tebal berwarna sawo matang dan kumis tipis, persis seperti laki-laki yang di lihat nya dalam foto itu sampai membawa nya pada mimpi yang menghiasi setiap tidur malam nya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tiba-tiba laki-laki itu berdiri dan melihat Rumi dengan seksama, apakah kamu datang dengan tim medis?”
Mulut Rumi tiba-tiba tertutup rapat, melihat laki-laki yang dengan tegas menolak nya tanpa melihat wajah nya ini, membuat nya mematung dan bingung memilih kata untuk mengungkapkan perasaan nya.
“Apa mungkin kamu mengenalku?” laki-laki itu bertanya kembali karena masih heran dengan tatapan mata Rumi yang begitu dalam padanya.
Entah apa arti tatapan ini padanya, ada rasa bahagia, marah, menyesal, dan sedih. Tanpa menjawab Rumi membalikkan badan nya dan mencoba menggerakan badannya yang terasa begitu berat.
“Maaf kamu bisa memakai ini,” Fatih memberikan masker berwarna biru.
“Disini berdebu, saya lihat hidung mu sudah memerah sepertinya kamu sudah bersin sepanjang jalan kemari.”
Masih tanpa ekspresi Rumi mencoba mengambil masker itu. Wajah Rumi masih terus menatapnya, ada pertanyaan yang ingin ia keluarkan. “Kenapa?”
Sebelum masker itu sampai ke tangan Rumi, Fatih menariknya kembali dan berkata, “Duduklah dulu, simpan barang bawaan mu, dan pakailah dulu maskernya!”
Tubuh Rumi refleks mengikuti perintah Fatih, ia duduk dibawah pohon dan menyimpan barang bawaannya, Fatih memberikan masker dengan senyum persis seperti yang terlihat di foto yang selalu dipandang Rumi, tangan nya yang lunglai mengambil masker dan mencoba memakai nya, mungkin karena terlalu lemas, Rumi sampai kepayahan memakai masker itu, tiba-tiba Fatih mengambil tali masker dan mengikatkan nya.
“Biarkan aku membantu mu,” lirih Fatih dari belakang telinga Rumi.
“Terimakasih,” hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Rumi saat masker itu selesai terpasang, Rumi mencoba berdiri dan kembali mengangkat barang bawaan nya. Karena hati dan tubuh Rumi tiba-tiba menjadi lemah ia pun kepayahan mengangkat tas dan barang bawaan nya itu.
Dengan sigap Fatih mengambil tas Rumi dan berjalan di samping nya.
“Kamu begitu lemah, bagaimana kamu bisa datang kemari?”
Rumi tidak menjawab dan hanya berjalan mengikutinya.
“Aku Fatih, siapa namu mu?”
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba kaki Rumi berhenti melangkah dan memandang nya dari belakang. Laki-laki itu ikut berhenti dan tersenyum pada nya sekali lagi.
“Aku Rumi,” akhirnya nama itu terucap.
Fatih terdiam dan memandang Rumi dengan seribu pertanyaan dibenaknya, namun Rumi tidak mengindahkan nya, ia terus berjalan mendahului nya, tanpa menoleh ke belakang lagi, perasaan yang berkecamuk dalam hatinya tidak bisa ia perlihatkan pada Fatih, laki-laki yang tanpa kompromi mencampakkan nya dan mengubur cita-cita dan mimpi-mimpi indah yang baru saja ia rajut.
“Rumi aku kelimpungan mencari mu, kamu dari mana?” setengah berlari Reno menghampiri Rumi.
Rumi hanya terpaku tanpa menjawab. Dibelakang Rumi, Reno melihat seorang laki-laki membawa tas bawaan Rumi.
“Biar saya yang membawanya, mas…?” Reno menghampiri laki-laki itu dengan nada bertanya.
“Fatih, mas bisa panggil saya Fatih,” jawab Fatih sambil menyodorkan tas bawaan Rumi.
Reno sejenak termenung, kini ia tahu alasan kenapa Rumi tidak menjawab pertanyaan nya.
“Terimakasih,” ucap Reno lagi sambil melangkah meninggalkan Fatih dan menarik Rumi untuk mengikuti nya berjalan.
Mereka berjalan meninggalkan beberapa orang yang sedang berkumpul menuju sebuah rumah yang cukup bagus dibanding dengan rumah-rumah yang telah dilewati nya tadi.
“Istirahat dulu, bersihkan badan mu!” Reno berkata sambal menyimpan tas Rumi di sebuah kamar ukuran 3x3 m, tanpa berkata lagi Reno langsung meninggalkan Rumi di kamar itu, seolah dia tahu apa yang dirasakan Rumi saat ini.
Rumi memasuki kamar yang hanya cukup ditempati oleh 2 orang itu, tapi saat ini ia harus bercokol berbagi tempat untuk tidur. Rumi melihat ada dua orang perempuan yang sudah tertidur di dalam, dengan pakaian yang terlihat sedikit kumal. Mungkin mereka kelelahan setelah bekerja.
Rumi mengambil pencuci muka dan menuju kamar mandi, ia hanya melihat sebuah ember kecil dan satu gayung untuk mengambil air, tembok kamar mandi sudah terlihat menguning tanda jarang sekali tersentuh tangan untuk dibersihkan.
Rumi mengucurkan air dari keran, air terlihat begitu kecil saat mengalir, membuat Rumi terbuai dalam lamunan. Rumi mencoba menguatkan dirinya, ia harus bersikap tegas agar tidak terlihat lemah di hadapan Fatih saat berjumpa dengannya lagi. Ia harus berpura-pura tidak peduli dengan keputusan Fatih membatalkan perjodohan mereka.
“Aku tidak boleh terlihat sangat tertekan dan harus bersikap biasa,” gumam Rumi sambil memperhatikan percikan air yang saling beradu.
Setelah beristirahat dan melaksanakan shalat Ashar Rumi ikut bergabung dengan tim relawan untuk berbagi tugas. Rapat dipimpin oleh ketua tim yaitu Muhammad Al-Fatih, ketua tim menginformasikan situasi dan keadaan kampung yang akan dibantu.
“Besok kita akan dibantu masyarakat setempat untuk mencari korban yang masih tertimbun tanah longsor, dilaporkan masih ada 12 orang yang hilang, kemungkinan mereka tertimbun tanah. Untuk tim kesehatan bisa langsung bertugas mengobati warga yang terkena luka-luka di puskemas depan, dan yang lainnya mari ikut bersama saya ke Balai Desa untuk membantu warga menyediakan tempat tidur dan membagikan makanan,” ucap Fatih mengakhiri rapatnya sore ini.
Para relawan langsung berpencar melaksanakan tugas mereka masing-masing, Rumi menghampiri sekelompok orang yang sedang mengambil bahan makanan dari mobil untuk segera dibagikan kepada warga yang tertimpa bencana.
“Bawalah yang ini,” Fatih menyodorkan sebuah dus mie instan saat melihat Rumi kesulitan mengambil dus besar.
Rumi hanya menoleh tanpa mengindahkannya, ia terus mencoba membawa dus besar yang berisi bahan pokok.
‘Slup’…tiba-tiba kardus yang ditangan Rumi berpindah dan berganti dengan kardus mie instan.
“Bagaimana bisa badan sekecil itu mencoba mengangkat beban yang berat begini, aduh berat-berat,” goda Fatih sambil pura-pura sempoyongan.
Rumi hanya melihat tanpa ekspresi dan berpaling meninggalkan Fatih.
Merasa di cuekin Fatih melongo dan berjalan cepat untuk menyusul Rumi.
“Apa kamu marah dan membenci ku?” tanya Fatih pelan saat sudah berjalan sejajar di samping Rumi.
Rumi menghentikan langkahnya dan melihat Fatih dengan seksama.
“Apa menurut mas, mas pantas dibenci?” Rumi malah menjawab dengan pertanyaan.
Tanpa menunggu jawaban Fatih, Rumi bergegas meninggalkan Fatih dan menuju warga di Balai Desa.
Rumi sibuk menenangkan warga yang masih ketakutan dan memberi mereka makanan, anak-anak terlihat murung dan hilang keceriaan nya. Rumi mencoba menghibur mereka dengan bercerita dan bernyanyi.
Rumi mengeluarkan bakatnya dalam mendongeng diselingi nyanyian-nyanyian merdu, anak-anak mulai berkerumun dan duduk menyaksikan pertunjukan dongeng Rumi.
Rumi menceritakan tentang seorang putri yang ditinggal sendirian oleh pangerannya, ia sengaja bercerita seperti itu karena Rumi tahu Fatih duduk di balik tumpukan barang warga tidak jauh dari tempatnya bercerita.
Banyak warga yang terhibur dengan suara merdu Rumi, begitu pula Fatih dibalik tumpukan barang-barang itu Fatih mendengarkan cerita Rumi dengan seksama dan menikmati kemerduan suaranya saat bernyanyi.
“Sang putri bersedih, menghabiskan waktunya sendirian, dia mengelilingi taman bunga di istana nya sambal bernyanyi lagu kesepian,” Rumi mendongeng sambil berakting menjadi putri dan mulai bernyanyi.
“Apakah putri harus menunggu pangeran yang telah pergi meninggalkannya? atau putri harus mencari pangeran yang baru. Bagaimana menurut kalian?” Rumi berhenti bercerita dan bertanya pada anak-anak.
Anak-anak riuh dengan jawaban mereka, ada yang berkata putri harus bertahan dan menunggu pangeran kembali ada yang berkata kalau putri harus mencari pangeran yang lebih tampan. Rumi tertawa mendengar jawaban dari seorang anak perempuan kecil yang menyuruh Rumi untuk mencari pangeran yang lebih tampan.
Sampai tiba-tiba masuklah seorang laki-laki berkulit putih bersih masuk dalam lingkaran dan bergaya layaknya seorang pangeran.
“Aku mendengar ada seorang putri yang ditinggal sendiri di kerajaan ini, boleh aku mengenalnya?” laki-laki itu bertanya dan membungkukkan tubuhnya tepat dihadapan Rumi.
Anak-anak dan warga menjadi ramai dan kata-kata ‘cieee…..cieee’ pun keluar.
Wajah Rumi menjadi merah merona, dan mereka pun tertawa, akhirnya mereka berdua melanjutkan kegiatan mendongeng itu sampai pada waktu magrib tiba.
Melihat pemandangan itu Fatih lebih memilih meninggalkan mereka dan menuju masjid kecil yang tidak jauh letaknya dari Balai Desa. Dia mengambil air wudhu dan bersiap mengumandangkan adzan.
“Apa mas juga relawan?” tanya Rumi pada laki-laki yang duduk disampingnya yang sedang memutar tutup air mineral untuk diberikan padanya.
“Jangan panggil mas, panggil saja Billi, sepertinya kita seumuran,” Billi tersenyum lembut pada Rumi.
“Dari mana tau kita seumuran?” Rumi bertanya heran.
“Tidak sulit mendapatkan info tentang wanita cantik disini,” jawab Billi menggoda.
“Apakah kamu begitu pandai menggoda?” kata Rumi sambil berdiri.
“Sudah mau adzan magrib, kita harus bersiap-siap shalat berjamaah,” kata Rumi lagi sambil meninggalkan Billi, yang masih tersenyum dengan pertanyaan nyeleneh Rumi.
Rumi mempercepat jalannya dan terhenti saat ia mendengar suara adzan yang begitu merdu dan menyayat hati, rumi menengok dari pintu samping Masjid melihat laki-laki yang diharapkannya menjadi imam hidup nya sedang mengumandangkan adzan dengan merdunya. Rumi menarik nafas, rasa kagum itu tiba-tiba berubah menjadi rasa marah.
Rumi melanjutkan berjalan menuju tempatnya bermalam untuk mengambil peralatan shalat.
Warga dan relawan shalat berjamaah dan mengaji bersama serta beristhigosah meminta ampunan dan perlindungan kepada Allah atas bencana longsor yang baru terjadi.
Malam semakin larut, hembusan angin dingin mulai menyusup pada kulit, angin dingin bersuara kesedihan menyelusup merasuki hati, suasana sangat sepi, Rumi dan beberapa orang relawan membuat api unggun kecil untuk menghangatkan badan, api unggun dinyalakan didepan tenda, karena rumah terlalu kecil untuk ditinggali oleh semua orang, relawan laki-laki bermalam di sebuah tenda yang lumayan besar.
“Ungkapkan kemarahan mu dan jangan menahan nya, aku bisa mengerti kalau kamu marah dan benci pada ku,” Fatih berkata lirih setelah mengambil posisi duduk di samping Rumi.
“Mas tahu alasan kemarahan ku?” tanya Rumi datar.
“Mungkinkah karena aku membatalkan perjodohan kita tanpa berkompromi pada mu?” jawab Fatih ragu-ragu.
“Membatalkan perjodohan itu adalah hak mu, tidak ada yang salah dengan nya, kenapa aku harus marah. Tapi ada kesalahan besar yang kamu perbuat yang membuat ku marah dan menyesali tindakan mu itu mas.”
Fatih ragu untuk menjawab dan hanya memilih diam mendengar nada bicara Rumi yang penuh dengan kekesalan.
“Kamu menolak perjodohan ini tanpa mengenal aku lebih dulu, kamu bahkan enggan melihat foto ku terlebih dulu, dan berkata kamu tidak akan bisa mencintai ku!” sedikit bernada tinggi penuh kekesalan Rumi mengeluarkan kata itu.
“Aku punya alasan untuk itu,” Fatih menjawab dengan pelan, dan hampir menghilang tersapu hembusan angin.
“Bahkan aku tidak bisa mengetahui alasan mu itu kan mas?” Rumi masih menjaga nada tingginya agar terlihat kuat dihadapan Fatih.
“Maaf Rumi, hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat ini,” Fatih memandang kegelapan malam yang pekat.
Rumi beranjak dari duduknya, berdiri dan berkata sekali lagi dengan kekuatan yang masih tersisa untuk menahan air matanya yang akan hampir terjatuh.
“Lupakan apa yang telah terjadi pada kita dimasa lalu, kini kita hanya saling mengenal sebagai rekanan baru yang baru saja berjumpa.”
Rumi melangkahkan kakinya dengan hentakan kekesalan yang ia salurkan agar mampu hilang terbawa angin dan gelapnya malam.
Fatih memandang api unggun tanpa menjawab. Kobaran api berwarna kemerahan, memperlihatkan pengorbanan yang harus dia telan sendirian.
Fatih masih mematung, tubuhnya seakan membeku oleh hembusan angin yang semakin terasa kencang berhembus, api unggun mulai meredup, sisa-sisa apinya terseok terkena hempasan angin.
Fatih menyungging kan bibir nya saat mengenang kenangan pertama nya ketika ia ingin berbicara dengan Rumi lewat telepon.
“Assalamulaikum,” suara Fatih terdengar pelan, ada keraguan dan rasa cemas dari nada suara itu.
“Waalaikumsalam,” hanya kata itu yang terdengar sayup-sayup melewati jaringan ponsel yang dipegang oleh Fatih.
Setelah itu hening. Tak ada suara, tak ada lagi pertanyaan atau jawaban dari kebisuan.
“Apa ini mas Fatih?” pertanyaan yang memudarkan lamunan itu tiba-tiba terdengar bagai petir menyambar.
“Mh…iya,” jawaban yang di akhiri dengan tertawa kecil.
Kemudian hening kembali.
Fatih terus memutar otak nya, entah kata apalagi yang harus ia ucapkan untuk menyambung obrolan itu, rasa nya begitu canggung, ragu dan penuh kekhawatiran.
Obrolan pertama terlewati begitu saja. Sampai beberapa minggu berikutnya, di obrolan ke dua akhirnya mereka menemukan tawa canda.
Fatih menghela nafas panjang seolah ingin mengingat kenangan itu kembali, Rumi yang terakhir berbicara dengannya lewat jaringan telepon adalah gadis yang begitu lembut, ramah dan ceria, sangat jauh berbeda dengan Rumi yang beberapa saat lalu ada di samping nya, tegas dan diselimuti kemarahan.
Tidak hanya Fatih ternyata Rumi masih menatap langit-langit kamar yang tidak jauh dari mata nya, disana ia melihat gambaran dirinya dengan pipi yang kemerahan, bibir yang tak berhenti tersenyum, dan jantung yang berdetak lebih kencang melebihi biasa nya. Sesekali ia menyimpan ponsel nya di dada dan tersenyum lebih lebar dan tertawa kecil yang sengaja ditahan agar tidak terdengar pria yang menelpon nya dari seberang sana. Syair cinta begitu indah terdengar saat itu mengiringi dua insan yang akan jatuh dalam rasa cinta.
Rumi menyeka air mata yang mengalir melalui pipinya, rasa sakit karena harus bersikap tegas dan kasar seperti ini membuat nya hampir kehilangan jati diri, namun bagaimana lagi harga diri yang ia tanamkan dalam hati menjadi akar agar ia menjadi perempuan yang kuat. Rasa sakit hati mendorong nya untuk menjadi orang lain, meski bukan ini yang diinginkan nya tapi ia harus jalani takdir Allah yang datang pada nya.
Pagi menjelang, matahari sudah menguap memancarkan panas nya, pasukan relawan yang akan mencari warga yang hilang sudah siap dengan peralatan nya dan mereka disibukkan dengan tugas nya masing-masing.
“Rumi bisa tolong antarkan ini ke orang-orang yang menggali di sana? Aku harus memeriksa pasien,” ucap Reno pada Rumi sambil memberikan tali tambang yang panjang. Rumi yang sedang membuat sarapan untuk warga yang mengungsi berdiri dan mengambil nya dengan senang hati.
Rumi berjalan melewati ladang yang dialiri tanah merah menuju gunungan tanah di bawah bukit kecil. Ia berjalan perlahan karena sandal yang dikenakan nya terus terpeleset, Rumi mengangkat sandalnya yang putus, ia berjinjit untuk menghindari gunungan tanah yang terlihat tebal. Namun tiba-tiba Rumi merasakan bumi bergetar, tubuhnya mematung dan bergetar. Fatih memperhatikan Rumi dan mendekati nya.
“Ada apa?” tanya Fatih heran karena melihat Rumi seperti ketakutan.
“Apa kamu tidak merasakan nya?” jawab Rumi sambil melihat sekeliling.
“Apa?” tanya Fatih lagi bingung.
“Tanahnya, tanahnya bergetar mas,” dengan nada bergetar rumi menjawab dan memperhatikan tanah yang diinjak nya.
Fatih memperhatikan sekeliling dan tersenyum kecil sambil mendekati Rumi.
“Apa menurut mu ini gempa bumi susulan?” bisik Fatih di samping telinga Rumi.
“Aaaah bagaimana ini?” Rumi berteriak dengan rasa takut.
“Bersembunyi lah dibawah tangan ku!” kata Fatih cepat.
Rumi langsung meloncat dan mengangkat tangan Fatih bersembunyi di bawah tangan nya dengan menunduk kan kepala, menutup mata dengan kedua tangan nya dan bersembunyi di sana.
Fatih tertawa terbahak-bahak. Rumi membuka tangan yang menutupi mata nya dan berdiam sejenak mendengar tawaan Fatih yang terdengar nyaring. Dari balik gunungan tanah yang tinggi Rumi melihat alat pengeruk tanah yang sedang berjalan maju mundur untuk memindahkan tanah.
Rumi menghempaskan tangan Fatih dan memelototi nya.
“Apa kamu sengaja melakukan ini?” Rumi menghempaskan tali yang dipegang nya dan pergi meninggalkan Fatih.
Fatih berjalan cepat mengejar Rumi. Rumi berhenti dan memandang Fatih.
“Apa kamu tidak memakai deodorant?” tanya Rumi dengan wajah mengejek.
Seketika Fatih mematung dan bergumam, “Iih,” ia tertawa lepas sambil melihat Rumi berlalu dari penglihatan nya.
Fatih mengambil tali tambang yang Rumi tinggalkan, dia berjalan mendekati teman-teman nya untuk membantu evakuasi.
“Ada mayat disini.” Teriak Aldo salah satu tim relawan yang sedang menggali atap rumah yang tertimbun tanah. Semua tim relawan bergerak mendekati Aldo.
“Kita harus hati-hati, jangan sampai mayat nya rusak!” perintah Fatih memberi aba-aba.
Setelah melalui penggalian yang cukup lama akhirnya mayat bisa di angkat. Mayat seorang laki-laki dewasa mengenakan celana katun panjang dengan kaos kerah berwarna merah kecoklatan karena sudah kotor terbalut tanah.
Fatih membawa mayat yang ditemukan dengan kantong mayat dan mengangkat nya ke Puskesmas bersama beberapa rekan relawan sedang kan yang lain nya masih meneruskan pencarian.
Setelah dibersihkan mayat di indentifikasi agar bisa diberitahukan kepada keluarganya.
“Mayatnya masih utuh wajahnya pun masih terlihat jelas akan memudahkan kita untuk mengidentifikasi nya, panggil satu warga kemari mungkin dia mengenalnya,” kata Reno pada Fatih.
Setelah mayat teridentifikasi akhirnya mayat yang ditemukan itu di umumkan kepada warga dan diberitahukan kepada keluarga nya.
Datang dengan sempoyongan seorang perempuan muda dengan dihujani tangisan dan air mata, membuka perlahan kain yang menutupi suami nya, ia kembali menjerit setelah melihat suami nya terbujur kaku dengan wajah yang pucat pasi. Dari balik pintu datang Rumi dengan mengendong seorang anak perempuan yang baru berusia 2 tahun.
“Mamah,” ucap anak itu memandang ibu nya yang terisak dengan tangisan nya.
Rumi membawa anak itu mendekat pada ibunya, sang ibu menggendong nya.
“Apa Dita mau melihat ayah?” tanya ibu itu pelan sambil memperlihat kan ayah nya yang terbujur kaku.
“Ayah,” anak perempuan kecil itu memanggil nya pelan.
Dita mencondongkan wajah nya hendak mencium ayah nya. Setelah dibantu ibu nya Dita mencium kening ayah nya dan tersenyum, “Mamah, ayah bobo.”
“Iya sayang, ayah bobo nya akan lama, jadi dalam waktu yang lama kita tidak bisa bertemu ayah.”
Melihat pemandangan itu semua orang tidak kuat menahan haru, Rumi berlari keluar dan menangis di balik pintu.
“Kamu tidak boleh terluka, pakailah sepatu ini!” tubuh yang berjongkok mencoba membersih kan kaki Rumi yang kotor.
Rumi terdiam dengan kesedihan nya menyaksikan Fatih memasangkan nya sepatu boot, air mata terus menetes tak habis-habis meski terus diseka.
Rumi hanya terdiam meski sepatu boot itu sudah terpasang di kakinya, dengan air mata yang mengalir ia memandang tubuh yang berjongkok dan seperti mematung di sana.
Setelah beberapa lama terdiam Fatih bangun dan berkata, “Jangan sampai tidak memakai alas kaki lagi seperti tadi kaki mu bisa terluka,” Fatih mengeluarkan tissue kecil dari sakunya.
“Bersihkan wajah mu, hiburlah Dita, dia membutuhkan mu,” kata Fatih lagi meyakinkan.
Rumi mengangguk dan kembali masuk untuk mengambil Dita dan membawa nya agar bisa bersama dengan anak-anak lain. Sedangkan tim relawan dan warga melanjutkan sesi penyolatan dan pemakaman untuk si mayit.
Matahari semakin meninggi tim relawan dan warga masih bersibaku mengangkat tanah dan bebatuan untuk menemukan mayat-mayat lain yang mungkin masih tertimbun tanah. Namun hingga sore hari mereka hanya baru menemukan 5 mayat yang tertimbun masih sisa 7 orang lagi yang masih belum ditemukan.
Pencarian untuk hari ini dihentikan para relawan dan warga pulang untuk istirahat dan mengadakan pengajian. Pengajian dilakukan di masjid dengan dipimpin oleh ustadz setempat. Tak ada suara, semua hening, bahkan suara alam pun seperti tenggelam dalam kesedihan. Hari ini terlewati begitu berat, rasa lelah dan sedih menjadi bunga pengantarnya, semua orang sudah berkerja sama saling menolong dan saling menasehati untuk sabar dan tawakal dalam menghadapi cobaan Allah ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!