Jreng ....
Seorang pemain gitar di atas panggung Cafe itu baru memetik satu senarnya, tapi ratusan pengunjung Cafe yang telah cukup lama menunggu-nunggu penampilan mereka sudah berteriak dengan begitu histerisnya.
Sampek tuwek we ra bakal tak culno
Masio wis ra wancine, sayang-sayangan ning kene
Siji-sijine wong sing gawe ayeme ati
Gawe uripku seneng, mesem saben bengi
(Sampai tua kamu tak akan aku lepas. Meski sudah bukan saatnya sayang-sayangan di sini. Satu-satunya orang yang membuat hatiku tenang. Membuat hidupku bahagia, tersenyum setiap hari)
Suasana semakin riuh, begitu gadis di samping sang gitaris mulai memberi intro pada lagunya. Bahkan tak sedikit yang mengabadikan penampilan gadis berhijab dan gitaris itu melalui video dari ponsel milik mereka, banyak juga yang berebut berfoto, kemudian memposting hasil jepretan mereka di sosial media.
Mereka semua tak pernah mengira, jika malam ini adalah malam terakhir penampilan gadis itu. Karena setelah malam ini, gadis itu akan pergi jauh, bukan hanya meninggalkan musik yang sudah menjadi nyawanya, namun juga meninggalkan sang gitaris, kekasih yang sudah lima tahun ini dipacarinya.
Dia adalah Dinara Ayu Prameswari. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun, yang baru beberapa hari ini dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Atas yang dienyamnya. Dinara, begitu orang memanggilnya, adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya di Kota Yogya. Meski begitu, beberapa tahun terakhir dia justru asyik mengamen bersama kekasihnya, demi mengejar subscribe dari netizen melalui lagu-lagu mereka yang sengaja dia upload di akun YouTube miliknya. Dan usaha mereka tak sia-sia, karena 20 juta subscribe di akunnya sudah cukup mendatangkan pundi-pundi uang tanpa dia harus bergantung pada orang tuanya.
Namun, di saat dia berada di puncaknya, sang papa memaksa agar Dinara melepaskan semuanya, dan menghilang selamanya dari dunia musik dan orang yang sangat dicintainya. Ya, karena dia harus segera menikah dengan pria pilihan sang papa dan mama sambungnya.
Dinara memang tak berusaha untuk menolak ataupun memberontak terhadap apapun keputusan orang tuanya. Sejak papanya menikah lagi dua tahun setelah mendiang mamanya pergi, Dinara memang bagai mayat hidup yang tak pernah peduli dengan apapun yang dilakukan oleh orang tua yang kini telah dia benci.
Bagaimana tidak? Mama sambung yang dia anggap sok suci itu, benar-benar berhasil mengubah papanya menjadi pria lain yang tak Dinara kenal sama sekali. Bahkan papanya selalu menuruti semua yang perempuan itu inginkan, termasuk melarang Dinara untuk bernyanyi lagi, bahkan secara semena-mena menyodorkan dirinya untuk menikah dengan keponakan sang mama tiri.
Arganta Chandra, sang gitaris yang tak lain adalah kekasih Dinara, tak tahu menahu tentang masalah besar yang sudah menanti di depan mata. Dinara tak pernah cerita dengan segala masalah yang sedang dihadapinya, termasuk tentang penampilan terakhirnya.
Malam itu, Arga hanya merasa tak biasa dengan cara bernyanyi Dinara yang bukan hanya tak tersenyum seperti biasanya, tapi juga bernyanyi dengan linangan air mata.
***
Di salah satu meja di Cafe itu, Muhammad Gusta Mahendra terlihat terhanyut dengan lagu berbahasa Jawa yang dikemas apik dengan intrumen akustik. Gusta, begitu orang memanggilnya, cukup bangga melihat ada anak muda seperti mereka mau menyanyikan lagu bahasa Jawa dengan kemasan lain dari biasanya. Ya, di saat remaja seusianya lebih bangga menyanyikan lagu barat, mereka justru memilih membawakan lagu dengan bahasa ibunya.
"Kreatif. Aku suka gaya anak-anak muda seperti mereka," ucap Gusta pada Sahdan, sepupunya yang baru saja menjemputnya di Bandara.
"Di Kairo lima tahun, kirain kamu sudah nggak suka sama yang beginian. Ternyata tak ada yang berubah. Masih suka saja sama yang bening-bening," Sahdan terkekeh.
"Hus, nglantur kamu," Gusta menonjok lengan Sahdan dengan garang.
"Termasuk galaknya, masih sama seperti dulu," Sahdan kembali terkekeh.
Awalnya, Gusta mengajak Sahdan mengunjungi tempat itu karena dia rindu suasana Kota Yogya. Maklum, begitu lulus SMA, Gusta langsung mengambil S1-nya di Cairo University, hingga jika dihitung-hitung, hampir lima tahun dia tak menikmati suasana kota ini. Makanya tak heran, jika sebelum mereka pulang ke rumah, dari Bandara mereka menyempatkan diri untuk mampir dan sekedar makan malam di tempat ini. Sebuah Cafe biasa-biasa saja saat Gusta terakhir datang, sekarang selalu penuh hingga sampai ke halaman.
"Gadis itu benar-benar menghayati lagu yang dia nyanyikan. Berarti dia benar-benar tahu arti lirik lagu yang dia dendangkan. Sampai nangis gitu loh," celoteh Sahdan yang begitu larut dengan lagu yang Dinara nyanyikan dengan air mata yang terus berlinang.
Gusta tak bergeming. Tatapannya tak terlepas dari gadis berhijab dan sang gitaris itu.
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Tapi kini kita ada 'tuk saling menyempurnakan
Ku berdoa untuk bisa hidup dan menua bersamamu
Hidup dan menua bersamamu
Menua bersamamu, semoga saja
Dinara menyanyikan lagu keduanya dengan bulir-bulir bening yang sudah tak mampu lagi dibendungnya.
"Suwit. Suwit," suasana kembali riuh saat Arga mengusap air mata di pipi Dinara.
Mereka memang menjadi terkenal bukan hanya karena permainan gitar Arga yang indah dan suara Dinara yang sangat merdu saja, tapi karena hubungan percintaan mereka yang membuat para fans mengidolakan couple Dinara dan Arga.
"Apa mereka sepasang kekasih? Mungkin mereka sedang ada masalah, sampe-sampe gadis itu bernyanyi sesedih itu," oceh Sahdan lagi yang tak ditanggapi Gusta sama sekali.
Gusta justru sibuk melihat dua sijoli itu, sambil menikmati alunan lagu dan petikan gitar yang terdengar sangat syahdu.
"Kasih ini!" Gusta menyodorkan beberapa uang seratus ribuan kepada Sahdan, untuk mengisi kotak yang sudah mulai penuh dengan uang lima puluh ribuan dan seratusan ribu itu.
"Banyak banget," komentar Sahdan begitu tahu berapa lembar uang yang Gusta berikan.
"Mereka pantas mendapat penghargaan lebih dari itu," sahut Gusta datar.
"Mereka tidak butuh uang, hanya butuh eksis dan ketenaran. Dilihat dari banyaknya subscriber akun mereka, satu bulannya mereka bisa mengantongi ratusan juta," cicit Sahdan sambil beranjak dari duduknya dan memasukkan uang pemberian Gusta pada sebuah kotak yang terletak di depan X-banner bertuliskan Dinara dan Arga.
"Dinara dan Arga. Sepertinya nama itu tidak asing di telinga," gumam Gusta lirih.
"Jelaslah. Nama mereka memang sudah dikenal dimana-mana. Walau mereka hanya seorang musikus dan youtubers, tapi tidak ada yang tidak kenal dengan mereka," ujar Sahdan sambil menyedekapkan tangannya.
"Bukan, aku dengar nama itu bukan dari Youtube, tapi dari seseorang," sergah Gusta sambil mengingat-ingat.
"Siapa?"
"Itu dia. Aku lupa siapa. Tapi nama itu benar-benar tak asing di telinga,"
BERSAMBUNG
Dinara turun panggung dengan tergesa-gesa, bahkan dia pamit pulang duluan tanpa sekedar ngobrol dengan Arga dan teman-temannya seperti biasanya.
"Din!" panggil Arga, dengan tatapan penuh selidik.
"Dont worry. I am fine," Dinara melambaikan tangannya sambil berlalu. Seulas senyum dia paksakan, agar Arga dan kru mereka tidak ada yang menaruh kecurigaan.
"Tunggu, Yank. Kita harus bicara," teriak Arga berusaha mengejar kekasihnya.
"Nanti aku telepon, ya. Papa sudah nungguin nih," sahut Dinara berbohong, sambil bergegas masuk mobil dan langsung meninggalkan area parkir.
Dan di sinilah Dinara sekarang. Di pinggiran Kota Yogya, yang mulai sepi karena hari sudah larut malam. Dia menangis sejadi-jadinya, melampiaskan semua kesedihan juga kemarahannya, yang dia pun tak tahu marah dengan siapa.
"Ma, Dinara kangen Mama. Kenapa Mama meninggalkan Dinara sendiri di dunia ini, Ma. Ajaklah Dinara. Dinara ingin menyusul Mama di sana saja," Dinara bermonolog sambil menangis pilu. Bahkan angin malam yang menyapu tubuhnya saat itu, tak dia hiraukan sama sekali. Dia terus berteriak-teriak di pinggir jalan, tanpa mempedulikan kendaraan yang sesekali berlalu lalang.
"Sekarang Dinara benar-benar sendirian, Ma. Papa satu-satunya yang Dinara punya sudah tidak peduli lagi dengan Dinara. Papa hanya menuruti kemauan istrinya tanpa mau mengerti perasaan Dinara," Dinara semakin tergugu, setelah mengucapkan kata-kata itu. Dia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa dalam hatinya.
Ya, sendiri. Itulah yang Dinara rasakan saat ini. Sejak mamanya pergi, satu-satunya yang dia miliki adalah papanya. Dan segala kasih sayang yang dia butuhkan, memang tak sedikitpun dia pernah merasa kekurangan, karena papanya bisa memberikan apapun untuknya. Tapi itu sebelum kehadiran orang ketiga diantara sang papa dan dirinya.
Sejak wanita itu hadir di antara mereka, perubahan demi perubahan pun mulai dirasakannya.
"Kan perubahan ke arah yang lebih baik," itulah jawaban papanya setiap Dinara berusaha protes dan mengingatkan tentang perubahan pada papanya.
Sejak saat itulah segala batasan mulai berlaku untuk Dinara, bahkan papanya cenderung lebih keras dalam memperlakukan dan mendidiknya.
"Dinara mau tinggal bersama eyang saja," pinta Dinara suatu ketika.
"Papa tidak akan membiarkanmu menjadi lebih manja dan bertindak semaumu jika kau tinggal bersama mereka," tegas sang papa tanpa bisa ditawar lagi.
Dinara pun tak pernah lagi meminta apapun kepada papanya. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan semua yang papanya katakan, tanpa pernah menolak ataupun menyanggah perkataan papanya.
"Bukankah aku hanya mayat hidup yang tak punya hak untuk menentukan kebahagiaan hidupku?" batin Dinara meronta.
Puncaknya adalah malam itu. Papanya hanya memberi waktu sampai Dinara lulus SMA, dan Dinara diharuskan pergi meninggalkan dunia musik dan juga kekasih hatinya.
"Bukankah waktu itu Papa dan Mama mengizinkan Dinara?" Dinara pernah mencoba mengingatkan sang papa.
"Itu dulu, sebelum pergaulanmu rusak dan kamu sering pulang larut malam,"
"Papa bisa cek dimana Dinara setiap malam. Ini dunia Dinara, Pa. Akan banyak yang dirugikan jika Dinara tinggalkan begitu saja,"
"Siapa yang dirugikan? Anak ingusan yang kau pacari sejak kelas 2 SMP itu? Cinta monyet akan begitu mudah dilupakan. Bahkan dia menjadi satu-satunya alasan kenapa kamu akan segera Papa nikahkan,"
Kalah. Selalu saja seperti itu. Dinara selalu saja kalah posisi dengan wanita yang kini menjadi istri dari papanya. Bagaimana tidak? Semua kebebasan yang selama ini Dinara dapatkan, tiba-tiba terenggut begitu saja atas bisikannya.
"Aaaaa!" Dinara berteriak sekencang-kencangnya.
"Ambil nyawaku saja, Tuhan! Aku benar-benar sudah tak tahan!" teriaknya lagi dengan tangis yang semakin kencang.
Malam yang semakin larut, juga dingin yang menerpa pun lewat begitu saja, dan tak sedikitpun membuat dia beranjak dari tempatnya.
Bahkan kini, tubuhnya mulai menggigil. Kepalanya terasa berat, dadanya pun terasa begitu sesak. Dinara berusaha berjalan ke arah mobilnya, namun sebelum handel mobil bisa diraihnya, tiba-tiba dia merasa gelap dan tak lagi bisa merasakan apa-apa.
***
"Sob, itu bukannya gadis yang di Cafe tadi?" seru Sahdan sambil menggoyangkan tubuh Gusta yang sudah terlelap di sampingnya.
"Masya Allah, Bro. Kamu bisa nggak sih, teriak lebih kencang lagi? Biar telingaku ini jebol sekalian gitu. Nggak pengertian banget sih, saudaranya capek setelah pulang dari luar negeri juga. Main teriak aja," gerutu Gusta yang terlonjak kaget mendengar teriakan sepupunya.
"Lihat dia, Sob. Dia mabuk atau kenapa? Jalannya kok sempoyongan gitu?" Sahdan tak mempedulikan omelan Gusta. Dia terus memperhatikan gadis itu, sambil memelankan laju mobilnya.
"Mana?" Gusta sedikit menyipitkan matanya, demi memastikan perkataan Sahdan, yang telah rela mengusik tidurnya. Begitu menangkap sosok yang dimaksud sepupunya, Gusta pun langsung membulatkan mata.
"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" titah Gusta, begitu mobil mereka melewati gadis yang sedang berusaha meraih handel pintu mobilnya itu.
Begitu Sahdan menghentikan mobilnya, Gusta langsung keluar dan berlari ke arah gadis itu, dan dengan sigap langsung menangkapnya hingga membuat sang gadis ambruk tepat di pelukannya.
"Gimana ini?" Gusta menatap Sahdan sambil menggendong gadis itu.
"Hubungi keluarganya?" Sahdan bertanya sekaligus memberi saran.
"Pertolongan pertama dulu yang harus kita lakukan, Bro. Kita bawa ke rumah sakit, baru hubungi keluarganya," sanggah Gusta, masih mempertahankan gadis itu dalam gendongannya.
"Rumah sakit empat puluh lima menit dari sini. Bawa pulang saja biar dipanggilkan dokter pribadinya Umi. Lebih dekat. Lima menit juga kita sampai," sahut Sahdan spontan.
"Baiklah. Aku bawa dia pulang dengan mobilnya, kamu bawa mobilmu sendirian," tutur Gusta.
Sahdan pun membukakan pintu depan dan membiarkan Gusta membaringkan gadis itu di kursi samping penumpang, setelah merebahkan kursi ke belakang.
Tak sampai lima menit, mereka akhirnya sampai ke rumah Gusta. Umi, Abi, juga adik perempuan Gusta yang sudah menunggu di teras pun segera beranjak dari duduknya dan menyambut kedatangan Gusta dengan tatapan heran dan bertanya-tanya.
"Kok ada dua mobil, Bi? Yang satunya siapa?" tanya Umi heran.
Bahkan begitu tahu bahwa ternyata Gusta yang keluar dari mobil asing itu, dan langsung membopong seorang gadis menuju rumah mereka, tak ada yang tak membulatkan mata melihat pemandangan yang kini di hadapannya.
"Masya Allah, perjakanya Umi pulang dari luar negeri sudah langsung bawa anak gadis siapa ini? Kamu tuh harusnya ingat, kamu itu sudah punya calon istri," omel Umi menyadari Gusta membawa seorang gadis dalam gendongannya.
"Umi apa-apaan sih, Mi? Anak gantengnya Umi pulang bukannya disayang-sayang juga. Bantuin Gusta, Mi. Gadis ini Gusta temuin pingsan di ujung jalan sana," jawab Gusta sambil terus berjalan melewati Umi, Abi dan Nabila adik perempuannya.
"Hah? Tidurkan di kamar tamu, Nak! Umi panggilkan dokter dulu," Umi langsung memasang mode serius dan menempelkan handphone yang sedari tadi dipegangnya itu ke telinganya.
Gusta pun segera masuk ke kamar tamu diikuti Sahdan, Nabila dan juga abinya.
"Dinara?" tak terasa Gusta menyebut nama gadis yang baru saja dibaringkannya. Ya, dia ingat betul nama gadis itu dari X-banner yang tadi sempat dibacanya.
BERSAMBUNG
"Hus. Hus. Hus. Sana pada pergi! Jangan pandangi terus gadis cantik ini! Kamu juga, Gusta. Umi sampai takut, bola matamu itu akan keluar dari tempatnya, melihat kamu sampai sebegitunya memandanginya. Ingat, jaga mata dan hatimu hanya untuk calon istrimu saja!" Umi sudah berkacak pinggang, melihat Sahdan, Gusta dan juga Abi masih sibuk memperhatikan gadis yang kini terbaring lemah di depannya.
"Umi terlambat, Mi. Yang itu di-cancel aja bisa nggak, Mi? Gusta ganti pesen yang ini. Tolong lamarin dia aja buat anak gantengnya Umi," Gusta mendekati uminya sambil mencium wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu.
"Gusta! Dasar anak nakal. Memangnya ojol bisa pesan dan cancel seenaknya?" Umi menjewer telinga putranya dan menariknya keluar dari kamar, meninggalkan Dinara hanya bersama Nabila.
"Ampun. Ampun, Mi. Sakit. Gusta cuma bercanda. Sure," Gusta mendramatisir.
Abi hanya geleng-geleng kepala saja mendapati putranya yang masih suka menjaili uminya, walaupun sudah menyelesaikan gelar Lc-nya (Licence) di luar negeri.
"Sana mandi. Mandi. Mandi. Biar Umi yang menjaga gadis ini," Umi melepas tangannya dari telinga Gusta dan menutup pintu kamar tamu begitu saja, sambil menunggu seorang dokter datang untuk memeriksanya.
***
Gema Abimanyu, terlihat berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah yang begitu sendu. Pasalnya Dinara, putri semata wayangnya tak juga pulang padahal hari sudah melewati tengah malam.
Istrinya, Aira yang tak lain adalah ibu sambung Dinara pun berusaha menenangkannya. Dia beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan suaminya, demi membuat pria itu berhenti mondar-mandir yang memusingkan kepala.
"Pa, kita hubungi temannya satu-satu. Dinara janji malam ini adalah malam terakhir dia manggung bukan? Mungkin dia hanya ingin mengatakan kata perpisahan," ucap Aira lembut.
Gema mendudukkan dirinya setelah mendengar ucapan istrinya. Ya, Aira memang selalu bisa menenangkannya, seperti apapun kondisi hatinya. Ucapannya yang selalu terdengar sejuk, menambah kecantikan yang dimilikinya kian sempurna. Sorot matanya yang selalu berbinar pun selalu mampu menghapus awan-awan gelap yang sering muncul di hati Gema. Meskipun, Aira memang sangat tegas dalam beberapa hal, tapi dia begitu hangat dalam setiap perkataan.
"Pasti dia sedang bersama anak ingusan itu," nada sumbang berceceran dari mulut Gema.
"Kita cek ke Cafe saja gimana, Pa? Kalau tidak ada kita coba ke rumah Arga," tutur Aira ragu.
Gema terlihat berpikir sejenak, kemudian menyetujui masukan istrinya itu.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit, Gema dan Aira sudah tiba di Cafe tempat Dinara manggung seperti biasanya. Lengang. Hanya suasana itu yang mereka rasakan. Tidak mungkin juga Cafe itu buka sampai lewat tengah malam.
"Nggak ada siapa-siapa, Pa," ucap Aira dengan segala rasa gundah di hatinya.
"Pasti dia kabur sama anak ingusan itu," tangan Gema mengepal, bahkan beberapa kali dia memukul-mukulkan tangannya pada setiran mobilnya.
"Jangan su'udzan dulu, Pa. Kita coba cari Dinara di rumah Arga. Papa jangan marah-marah gitu. Belum tentu yang Papa pikirkan itu benar," Aira mengelus punggung suaminya untuk menenangkan.
Gema hanya menghela nafas panjang, lalu kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berharap bahwa di sepanjang jalan itu putrinya ditemukan.
Harapan pun hanya sekedar harapan. Dinara tak ada di sepanjang jalan, di rumah Arga pun mobilnya tak ditemukan.
"Mobilnya nggak ada di sini juga. Gimana ini Pa?" Aira semakin khawatir.
"Kita masuk. Jika Arga tak ada di rumah juga, berarti mereka pergi bersama," sahut Gema datar.
"Tapi Papa janji sama Mama. Tidak ada marah-marah di dalam sana. Papa harus kendalikan emosi Papa," pinta Aira yang hanya dijawab oleh anggukan kecil Gema.
Setelah turun, mereka pun mengetuk pintu. Sekitar lima menit berselang, Mama Rini keluar dengan tatapan penuh tanda tanya besar.
"Arga langsung tidur begitu sampai rumah, Pak. Apa perlu saya bangunkan untuk menanyakan barangkali tadi ada masalah dengan Dinara?" ucap Rini, begitu Gema dan Aira menanyakan keberadaan Dinara dan Arga.
Gema pun tak berniat bertemu dengan pacar anaknya itu. Hingga akhirnya mereka memutuskan pulang, tanpa tahu keberadaan putri mereka ada dimana.
"Hubungi nomor Dinara terus, Ma,"
"Belum diangkat juga, Pa,"
***
Umi bisa tersenyum lega, begitu dokter bilang tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kondisi Dinara. Gadis itu hanya butuh istirahat dan obat penurun panas saja. Karena dia belum tersadar dari pingsannya, maka dokter menyarankan untuk mengompres Dinara untuk sementara.
Setelah mengantar dokter itu keluar, Umi pun menghampiri Gusta yang sedang asyik bercanda dengan Sahdan dan abinya.
"Itu anak gadis orang pasti sedang dicari orang tuanya. Coba cari handphone-nya, mungkin ada nomor orang tuanya yang bisa kita hubungi," cicit Umi sambil duduk di sebelah Gusta.
"Tapi ingat ya, Mi. Begitu Umi tersambung ke orang tuanya, langsung lamar dia buat Gusta," sahut Gusta kemudian langsung berlari, menghindari jeweran uminya sekali lagi.
"Gusta! Kamu mau ini, hmm?" Umi langsung melempar sebuah bantal ke arah Gusta, saking geramnya.
Gusta hanya terkekeh sambil berlari ke arah mobil Dinara.
Abi yang melihat putra sulungnya, selalu menggoda uminya itu pun hanya ikut terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kalian bener nemuin gadis itu di jalan? Kok Gusta sampai tahu namanya? Padahal kalian nemuin dia dalam keadaan sudah pingsan kan?" Umi menatap Sahdan penuh curiga.
"Kasih tahu nggak ya?" Sahdan ikut menggoda.
"Sahdan! Kamu mau Umi jewer juga? Kalian ini ya, sama saja," Umi bersungut kesal.
"Enggak, Mi. Enggak. Demi Allah, Sahdan dan Gusta nemuin dia di ujung jalan sana,"
"Terus?"
"Dinara itu sering manggung di Cafe langganan Gusta, Mi. Tadi kita mampir ke sana dan sempat baca namanya," jelas Sahdan, tak mau mendapatkan jeweran seperti sepupunya.
"Kalau bohong dosa loh," ancam Umi.
"Ya Allah, Umi. Main curiga saja ini," Gusta yang baru muncul dari balik pintu protes mendengar ucapan uminya.
"Kalau Gusta menolak perjodohan dari Umi dan Tante, Gusta tidak akan pulang, Mi. Mendingan Gusta cari gadis Mesir saja," celoteh Gusta sambil duduk dan mencium uminya.
"Gusta, serius dikit kenapa sih kalau lagi ngomong sama umi,"
"Serius Gusta sampai sisa-sisa lho ini, Mi. Gusta terima dengan keikhlasan hati, gadis yang dipilihkan Umi," kini pelukan maut Gusta sudah berhasil membuat emosi Umi mereda.
"Kamu ini ya. Mana handphone-nya? dapat? Coba dibuka" tanya Umi.
"Tiga puluh tiga panggilan tak terjawab, Mi. Diantaranya ada nomor papanya,"
"Untung handphone tidak dikunci. Hubungi papanya saja,"
Gusta pun memencet icon warna hijau, begitu menemukan sebuah nomor dengan nama Papa di handphone Dinara. Dan begitu tersambung, Gusta langsung menyerahkan benda pipih itu kepada uminya.
"Assalamualaikum, Sayang. Kamu dimana? Mama dan Papa mencarimu kemana-mana? Kamu baik-baik saja kan?" suara seorang perempuan di ujung telepon langsung terdengar di telinga Umi.
"Aira?" Umi mengerutkan dahinya, mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya.
"Kakak?"
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!