Nisa Sania Siwidharma, gadis manis yang berumur 19 tahun. Saat ini dia selalu merasa bahwa dirinya sudah cukup bahagia. Terlahir di keluarga yang serba berkecukupan, semua anggota keluarga yang lengkap, mengenyam pendidikan di universitas ternama, terlebih lagi dia punya seorang kekasih yang sangat mencintainya. Hidupnya tampak begitu sempurna.
Namun, mulai dari saat ini hidupnya akan segera berubah. Masalah demi masalah satu per satu mulai menimpa dirinya. Semua itu berawal dari malam ini.
...KISAH DIMULAI...
...-◇-<◇>-◇-...
TAP TAP TAP ...
Suara langkah kaki terdengar menuruni tangga, langkah kaki itu semakin mendekat ke arah ruang keluarga. Gadis yang telah berpakaian piama itu melihat kedua adik laki-laki nya sudah menanti dirinya.
"Maaf, aku sedikit terlambat. Apa film nya sudah mulai, Rei?" tanya Nisa pada Reihan.
"Mau mulai nih, sini Kak cepetan!" teriak Reihan. Nama lengkapnya adalah Reihan Raka Sutadharma, adik pertama Nisa. Kekurangannya banyak, kelebihannya cuma terletak pada wajahnya yang tampan.
"Biar makin asyik aku sudah pesan pizza, tapi nanti Kak Nisa yang bayar!" sahut Dimas. Nama lengkapnya Adimas Rian Sutadharma, yang paling kecil di antara tiga bersaudara. Dia punya mulut yang super blak-blakan.
"Apa-apaan?! Dasar adek sialan, pasti pesan nya yang banyak! Ngaku, nggak?!" bentak Nisa.
"Iya~ terus kenapa? Kakak nggak terima?" tanya Dimas dengan muka minta dihajar.
"Berani sama aku?! Awas ya, sini kutampar mulutmu itu pakai sekop!"
"Wahai Kakak dan Adikku, izinkan diriku ini memberikan nasihat suci. Janganlah dikau sekalian bertengkar, karena itu hanya akan membuat dikau sekalian ketinggalan bagian awal yang menegangkan dari film ini," ucap Reihan sambil menunjuk ke arah televisi.
"Dih, sok suci!" ucap Nisa dan Dimas bersamaan, mereka berdua juga sama-sama memandang Reihan dengan tatapan jijik.
Mereka bertiga akhirnya diam dan menonton film dengan tenang. Saat mereka menikmati film tersebut, ayah mereka tiba-tiba datang. Dia langsung mengambil remote dan mematikan televisi.
"Loh? Kok dimatiin sih?" tanya Nisa dengan ekspresi kesal.
"Iya nih, padahal pas bagian seru-serunya," sahut Reihan.
"Huh, kalian ini ... sudah cukup nonton TV nya!" bentak sang ayah yang kemudian beralih menatap Nisa. "Nisa, ikut ayah sekarang!"
"Ke mana?" tanya Nisa penasaran.
"Ke ruang kerja Ayah, ada hal penting yang harus dibahas denganmu. Lalu untuk Reihan dan Dimas, cepat kembali ke kamar kalian dan belajar!"
"Nggak mau ah, nggak ada PR," jawab Dimas dengan nada malas.
"Iya, mending lanjut nonton film," sahut Reihan.
"Kata siapa belajar cuma sewaktu ada PR?!"
"Kakak!" Reihan dan Dimas sama-sama menuding ke arah Nisa. Tetapi di sisi lain Nisa hanya memasang senyum canggung kepada ayahnya.
"Haiss ... kalian jangan mencontoh kakak kalian yang pemalas. Cepat ke kamar dan belajar!"
"Baik, Ayah ...."
Kedua bocah remaja itu langsung menurut dan pergi dengan pasrah. Sedangkan Nisa, dia diajak pergi ke ruang kerja ayahnya. Sesampainya di sana, Nisa sedikit terkejut karena ibunya juga sudah berada di sana.
"Oh, kau sudah datang. Sini, duduk di sebelah ibu!" ucap sang ibu dengan senyuman yang lembut.
"Baik," jawab Nisa yang kemudian duduk di sofa yang sama dengan ibunya.
Seketika suasana menjadi tegang saat pria itu duduk berhadapan dengan Nisa. Ayah Nisa bernama Gilang Sutadharma, dia adalah seorang direktur utama dari perusahaan milik keluarga, yaitu Moon Department Store.
"Nisa, sebelum ayah mengatakan padamu. Kau harus mempersiapkan diri agar jangan kaget." Gilang merubah ekspresinya dan memberikan isyarat mata kepada Rika, istrinya.
"Ayahmu benar, Nak." Rika kemudian memegang tangan putrinya itu.
"Kenapa sepertinya serius? Sebenarnya ada masalah apa? Ayah sakit atau ibu hamil lagi?"
"Sembarangan!" Rika lalu mencubit tangan Nisa.
"Aww ... sakit Ibu, iya-iya aku nggak akan bicara sembarangan lagi!"
"Huh, lain kali jangan diulangi lagi!" Rika lalu beralih menatap suaminya. "Kau saja yang bilang padanya."
Gilang lalu mengambil napas panjang dan berkata, "Ini memang masalah serius. Masalah ini sudah ayah pertimbangkan dengan baik, sudah ayah diskusikan dengan ibumu juga. Nisa, dengarkan ayah baik-baik! Ayah memutuskan bahwa kau ... akan menikah!"
"Menikah?! Bercanda, ya ...?"
"Tidak."
Setelah mendengar jawaban dari sang ayah, Nisa langsung terdiam beberapa saat. Dia syok dan bingung. Namun setelahnya dia bertingkah aneh, dia melihat ke kanan dan kiri, memperhatikan seluruh isi ruangan. Bahkan dia memeriksa vas bunga yang berada di atas meja.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Gilang dengan tatapan heran.
"Cari kamera tersembunyi. Dengar ya Ayah, ini sama sekali nggak lucu buat konten prank! Penipuan pernikahan itu konten sampah!"
Rika geleng-geleng kepala. "Haiss ... ini bukan prank. Di sini juga tak ada kamera. Ibu mohon bersikap seriuslah, Nisa!"
"Serius? Bagaimana bisa aku serius?! Aku dan Ricky belum ada rencana untuk menikah. Apa Ricky melamarku lewat ayah? Kalau begitu aku akan telepon dia sekarang!" Nisa mulai panik.
"Jangan, tidak perlu telepon dia. Sebelum itu kau dengarkan dulu cerita ayah!" bentak Gilang yang dengan wajah yang terlihat sedikit frustrasi.
"Baik ..." jawab Nisa dengan nada pasrah.
"Lima tahun lalu, saat perusahaan keluarga kita sedang dalam masalah keuangan, ayah dan pamanmu berusaha pergi ke sana kemari mencari bantuan dana. Tapi semua bank saat itu tidak mau memberi pinjaman karena beredar rumor bahwa perusahaan akan segera bangkrut. Semua aset pun sudah digadaikan. Untungnya masih ada satu perusahaan besar yang mau memberi pinjaman."
"Tapi anehnya, perusahaan itu tidak memberi bunga, melainkan ayah harus menandatangani surat perjanjian. Isi dari surat perjanjian itu adalah perusahaan kita bebas meminjam dana sebanyak yang kita mau, tapi jika kita tidak mengembalikan tepat setelah lima tahun, maka kita wajib memenuhi satu syarat apa pun dari perusahaan besar itu."
"Jika kita tidak memenuhi syarat itu maka seluruh aset keluarga kita akan dialihkan ke orang itu. Perjanjian itu atas nama keluarga, bukan perusahaan. Hal ini sudah ayah bicarakan dengan pamanmu. Saat itu ayah langsung merasa ada yang salah, tapi ayah tidak punya pilihan karena perusahaan sangat terancam bangkrut dan tidak ada lagi yang bisa kita andalkan. Jadi ayah terpaksa setuju untuk menandatangani perjanjian itu."
"Berapa jumlah uang yang ayah minta saat itu?" tanya Nisa.
"25 miliar, tapi yang belum kita lunasi sebanyak 2 miliar. Kau tahu sendiri bahwa aktivitas perusahaan bukan cuma melunasi hutang, dan sampai sekarang perusahaan keluarga kita masih berdiri juga merupakan sebuah hal patut disyukuri."
"Lalu batas waktu yang diberikan tinggal tersisa berapa lama?" tanya Nisa lagi.
"Waktu yang tersisa tinggal satu minggu," jawab Gilang dengan nada putus asa.
"Lalu ... soal pernikahan itu?"
"Tiga hari yang lalu, pemilik perusahaan besar itu datang ke perusahaan kita. Dia secara pribadi memberitahu ayah dan pamanmu, bahwa syarat yang dia minta adalah pernikahan. Dia meminta agar salah satu gadis dari keluarga kita harus menikah dengan anak tertuanya. Jika syarat itu dipenuhi maka kita tidak perlu melunasi hutang dan uang yang sudah kita bayarkan senilai 23 miliar juga akan dikembalikan."
"Syaratnya adalah salah satu gadis dari keluarga, tapi kenapa itu harus aku? Aku sudah punya Ricky sebagai pacarku! Kenapa bukan kak Tia anaknya paman saja yang menikah?! Aku tahu dengan jelas saat 5 tahun lalu perusahaan dalam krisis keuangan karena kak Tia! Demi mewujudkan keinginannya menjadi model, paman memberikan banyak dukungan. Tapi malah berakhir dengan ditipu oleh agensi abal-abal! Harusnya kak Tia yang menikah, harusnya dia yang bertanggung jawab!"
"Tapi, pemilik perusahaan itu secara khusus menyebutkan namamu, Nisa. Dia bilang sangat tertarik menjadikanmu sebagai bagian dari keluarganya."
"Terus sekarang Ayah ingin aku bagaimana?! Apa yang kalian orang-orang tua ini ingin aku lakukan?! Apa ayah bermaksud untuk menjualku?! Menjualku demi melunasi hutang?!" tanya Nisa dengan nada kasar.
"Nisa ... kami sama sekali tidak bermaksud menjualmu," ucap Rika.
"Kau pembohong, ibu! Kalian semua bohong! Kalian bilang kalau kalian menyayangiku, tapi nyatanya kalian membesarkanku demi menjadi alat pelunas hutang! Apa ini masih bisa dibilang rasa sayang?!"
Rika menatap sayu. "Ibu mohon dengarkan ibu dulu, Nak. Ibu dan ayah juga sudah punya keputusan lain jika kau menolak. Semuanya tergantung padamu, apa pun keputusan yang akan kau ambil, kami akan menerimanya. Karena kami sebagai orang tua juga punya kesalahan di sini."
"Benar apa yang dibilang ibumu. Kami tidak masalah jika seluruh aset lenyap, tapi kami berharap agar anak-anak kami bahagia. Lagi pula kita masih bisa hidup sebagai petani di desa." ucap Gilang sambil tersenyum tipis.
"Tapi, tolong jangan terlalu egois. Kau masih sangat muda, kau masih belum bisa berpikir terlalu jauh. Memang kau sudah mempunyai Ricky, tapi tidak menutup kemungkinan juga jika suatu saat nanti hubungan kalian berakhir."
"Ayah benar! Dan jika hubunganku dengan Ricky berakhir itu pasti karena kalian! Aku cinta Ricky, dan aku hanya akan bahagia jika bersamanya!" ucap Nisa dengan nada kasar.
"Nisa ... rasa cinta memang penting, tapi pikirkan juga tentang kehidupanmu nantinya. Jika orang yang dijodohkan denganmu adalah seseorang yang cocok, kau pasti juga akan bahagia. Kau jangan menggantungkan seluruh harapanmu pada satu orang."
"Diam! Memangnya Ayah tahu apa tentang cinta?!"
"Dasar bocah, kau lahir ke dunia karena alasan itu!"
"Ukhh ..." Seketika Nisa membisu.
"Aku mau ke kamar. Toh masih satu minggu, kan? Berikan aku waktu untuk berpikir!" ucap Nisa sambil berjalan keluar.
Nisa yang perasaannya campur aduk segera pergi ke kamarnya. Dia merasa cemas, berkeringat dingin, dada terasa nyeri, dan tubuhnya gemetaran. Penyakit gangguan kecemasan umum yang dia derita sekarang sedang kambuh. Sudah lama rasanya dia tak merasakan sensasi seperti ini.
Nisa lalu mengobrak-abrik laci lemari kecil yang berada di samping ranjangnya. Dia mencari-cari obat antidepresan, setelah menemukannya dia langsung menelan beberapa butir.
BRUGH ...
Nisa kemudian berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Setelah tahu bahwa dirinya dijodohkan oleh ayahnya, pikirannya mulai dipenuhi dengan hal yang bermacam-macam.
"Hahh ... sialan!"
Kok bisa-bisanya aku mau dijodohkan sama orang asing?! Walaupun itu orang kaya, tapi kata ayah dia anak tertua. Bagaimana nanti kalau dia duda terus punya banyak anak. Terus anaknya seumuran sama aku! Lalu ... mulai saat itu juga julukanku berubah jadi mama muda! Idiihhh ... membayangkan saja aku nggak mau.
Terus ... dia kan orang kaya, pasti nanti orang tuanya bakalan galak! Toh nggak cukup itu, pasti nanti setelah aku menikah disuruh melahirkan anak yang banyak, datang ke acara kurang penting, bergabung ke grup sosialita yang kurang bermanfaat, nggak boleh sering main dan kalau nggak ada acara pasti seharian di rumah disuruh besarin anak.
"Hahh ... 2 miliar," gumam Nisa sambil menghela napas.
2 miliar, bagaimana aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu? Kerja apa ya biar bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Jadi sugar baby? Ihh ... nggak ada harga diri banget, lagi pula aku kan punya Ricky. Mau merampok atau membobol bank nanti juga bakal dipenjara. Apa aku jual ginjal aja, ya?
"..." Sejenak Nisa tertegun. "Nggak, aku nggak mau jadi orang cacat!"
BUZZ BUZZ ...
BUZZ BUZZ ...
Ponsel Nisa yang berada di atas nakas mendadak berdering, dia lalu mengambilnya dan melihat siapa yang meneleponnya.
"Hm? Dari Ricky! Gawat!" Nisa panik dan segera mengangkat telepon dari pacarnya itu.
"Halo, ada apa, Rick?" tanya Nisa pada Ricky.
"Ehmm ... Nisa, ini kan belum terlalu larut ... Mau nggak kalau malam ini kita ketemu lalu main di luar? Nanti aku jemput!" ajak Ricky yang terdengar sangat antusias.
"Nggak! Aku sibuk!" bentak Nisa.
"Tapi kan ... kita jarang-"
TUT TUT ...
Panggilan telepon diakhiri oleh Nisa meskipun Ricky belum menyelesaikan kalimatnya. Nisa langsung menonaktifkan ponselnya agar tak bisa menerima panggilan telepon lagi.
Ardian Ricky Pamungkas, pacar Nisa yang berusia 23 tahun. Saat ini dia berprofesi sebagai dokter spesialis bedah, Ricky juga terbilang cukup populer di antara gadis-gadis. Bukan cuma itu, dia juga adalah cinta pertama Nisa, oleh karena itu Nisa teramat sangat mencintainya. Hubungan mereka sudah berjalan selama 2 tahun lebih. Tetapi sekarang, entah akan berlangsung lebih lama lagi atau tidak.
"Sial! Aku masih belum siap jika harus ketemu sama Ricky sekarang!" keluh Nisa yang merasa frustrasi.
Seandainya aku bilang ke Ricky kalo aku mau dijodohkan sama orang lain, kira-kira reaksinya bakal seperti apa? Apa aku ajak saja Ricky kawin lari? Tapi ... dia mau nggak, ya?
Tapi ... kalaupun Ricky mau, bagaimana nasib keluargaku? Apa aku pura-pura diculik saja, ya? Nggak, kalau itu keluargaku bakal kena masalah juga. Mereka bisa dituduh menghindari perjodohan dan menyembunyikan aku di suatu tempat.
Atau apa aku pura-pura mati saja sekalian, jadi keluargaku nggak bakal dapat masalah. Tapi kalau aku melakukan itu, artinya aku harus hidup dalam penyamaran selamanya. Cih, itu akan menjadi akhir yang lebih buruk.
"Haiss ... 2 miliar itu sedikit, jika itu dulu. Tapi sekarang semuanya jadi susah, ini semua gara-gara keputusan ayah yang bodoh!"
Nisa lalu mengambil sebuah boneka beruang besar pemberian dari Ricky, dia berbaring sambil memeluk erat boneka itu.
"Ricky ... hidupku berubah karena aku mengenalmu. Kamu adalah orang pertama yang memberiku boneka, bahkan sejak kecil aku tak pernah menerima dari orang tuaku sendiri."
Dulu ayah adalah seorang ketua gangster, dan aku sebagai anak pertamanya dibesarkan sebagai penerus secara diam-diam. Tapi saat identitas ayah ketahuan oleh ibu, ayah memilih untuk berhenti. Ayah memilih menjadi seorang pengusaha yang jujur.
Tapi aku berbeda, kepribadianku sudah terlanjur sulit untuk diubah. Tapi Ricky berhasil mengubahku, dia juga memintaku untuk berhenti. Aku sempat menolak permintaannya, tetapi karena rekan-rekanku bermaksud mencelakai Ricky, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan meninggalkan rekan-rekanku.
Lalu sekarang aku dihadapkan dengan masalah ini. Jika saja ayah tak jadi berhenti, maka mendapatkan uang senilai 2 miliar akan sangat mudah. Aku pun juga sama, jika aku kembali dan menghubungi rekan-rekanku lagi maka aku bisa mendapatkan uang itu dengan mudah.
"Tetapi ... jika aku melakukan itu, artinya aku juga akan mengkhianati Ricky. Sedangkan di satu sisi tujuanku mendapatkan uang itu adalah menghindari perjodohan untuk tetap bersamanya."
Ricky berharap agar aku berhenti, dan aku sudah melakukan itu. Jika dia tahu bahwa aku mulai aktif lagi, takutnya dia akan merasa kecewa.
"Ahh ... aku nggak tahu lagi harus apa!"
Malam pun dengan cepat berlalu tapi Nisa belum juga tidur. Entah hal-hal apa saja yang terlintas di pikirannya. Dia sangat sulit untuk tidur, dia terus menerus berpikir tentang bagaimana nasibnya untuk ke depannya.
Pagi hari tiba, matahari telah bersinar memancarkan cahaya kuning keemasan yang hangat. Reihan dan Dimas yang telah mengenakan seragam sekolah berjalan mengendap-endap masuk ke kamar Nisa. Kedua bersaudara itu sudah paham betul kebiasaan kakaknya yang tak pernah mengunci pintu kamar.
"Kak, bangun Kak!" teriak Dimas sambil memukul pantat Nisa.
"Zzzz ..." Nisa masih tertidur nyenyak.
"Bangun woi! Dasar kebo! Beban keluarga!" teriak Reihan tepat di telinga Nisa.
"Aaahhh ...! Ketipung telingaku!" Nisa langsung bangun sambil memegangi telinganya yang terasa berdengung.
"Mana ada ketipung telinga? Yang ada itu gendang telinga!" Reihan lalu beralih menatap Dimas. "Nah, aku sudah bilang, kan? Ini cara paling efektif untuk bikin kebo kayak dia bangun dari mimpi sesat nya!"
"Heh!" Dimas lalu mengalihkan pandangan.
"Siapa yang beban keluarga, hah?! Justru kalian itu yang aib bagi keluarga!" teriak Nisa seakan tidak terima.
"Ck, sudalah Kak, ini sudah kesiangan. Memangnya Kakak nggak kuliah?" tanya Dimas sambil menunjuk ke arah jam dinding.
"Iya-iya ... sekarang aku sudah bangun, kalian cepat keluar sana!" bentak Nisa.
"Galak banget sih, nanti suamimu bakal jelek loh~" ejek Reihan sambil berlari keluar.
"Eh, tunggu!" Nisa berteriak namun Reihan tetap tak kembali, dia lalu beralih menatap Dimas. "Kalian sudah tahu?"
"Ya, ayah sendiri yang cerita. Aku tahu kalau ini kurang adil bagi Kakak. Selama ini Kak Ricky juga selalu baik pada kita. Tapi saran dariku, Kakak tolong pikirkan kami juga. Aku nggak mau ya hidup miskin gara-gara Kakak egois!" ucap Dimas penuh penekanan.
"Sialan! Coba saja kau yang berada di posisiku!"
"Heh, kalau bisa aku juga mau bertukar posisi. Aku sih mau-mau saja dijodohkan dengan orang kaya, reputasinya juga bagus, hidupku pasti akan makmur."
"Ck, jomblo dari lahir sih ... makanya bisa bilang begitu." Nisa melirik seakan-akan seperti menyindir.
"Terserah! Kakak saja yang sekarang jadi super bucin."
***
Karena bangun agak kesiangan, akhirnya Nisa sedikit terlambat tiba di kampus. Tepatnya Universitas Grand SC, universitas swasta dengan standar internasional, mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena selalu menghasilkan banyak sarjana yang kompeten. Alhasil banyak juga yang menempuh jalur beasiswa dari pemerintah. Mayoritas anak orang kaya yang diterima di sini, namun terdapat satu golongan spesial, yaitu bukan asal kaya tapi juga berasal dari keluarga yang berpengaruh.
"Sania! Akhirnya sudah datang, ayo sini cepetan!" sapa Jennyta Mila, akrab dipanggil dengan Jenny. Dia adalah salah satu teman dekat Nisa di kampus, namun dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang masa lalu Nisa.
"Ada apa, Jen? Kenapa buru-buru banget?" tanya Nisa terheran-heran. Teman-temannya di kampus lebih akrab memanggilnya Sania.
"Hasil tes kita sudah keluar! Yuk kita lihat!"
"Oke, tapi Isma di mana?"
"Isma sudah ke sana duluan. Ayo cepat!"
Jenny lalu menarik tangan Nisa dan menyeretnya untuk mendatangi papan pengumuman. Di sana ramai sekali mahasiswa yang berniat untuk melihat nilai dan peringkat hasil tes mereka.
"Sania, Jenny! Sini!" ucap gadis itu sambil melambaikan tangannya. Risma Noviana, akrab dipanggil dengan sebutan Isma. Dia teman akrab Nisa.
"Gimana, Isma? Sudah lihat, kan? Jadi hasilnya bagaimana?" tanya Jenny.
"Sudah, Jenny peringkat 15, kalau Sania dapat peringkat 3!"
"Yah ... punyaku turun 4 peringkat," ucap Jenny tanpa semangat.
"Yang sabar ya, Jenny. Syukur deh aku naik 1 peringkat. Kalau Isma peringkat berapa?"
"Oh, kalo aku sih stay di 46," jawab Isma dengan wajah datar.
"Hahh ... ya sudahlah. Kita ke kantin yuk! Aku mau makan biar nggak badmood!" ajak Jenny.
"Good idea Jenny~" ucap Isma.
"Sania! Tunggu!" teriak seseorang dari kejauhan.
Seketika Nisa menoleh, dia kaget saat melihat seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi dengannya. Dia adalah Terry Bachtiar, dia seorang ketua dari organisasi Komisi Kedisiplinan di kampus. Terry adalah musuh Nisa karena Nisa sering membuat masalah.
"Gawat, itu Terry! Ayo cepat lari ke kantin! Kalian kalau dipanggil pura-pura saja nggak dengar!" ajak Nisa yang sudah melesat mendahului kedua temannya.
"Memangnya kenapa harus lari?" tanya Isma.
"Heh, dia itu cuma bawa kabar buruk. Ayo cepat!" ajak Nisa.
"Hei! Sania yang pakai baju abu-abu tas warna hitam, berhenti!! Kalian berdua yang lari bareng Sania juga berhenti!" teriak Terry dengan suara keras.
Seketika ketiga gadis itu berhenti berlari.
"Dia itu gila ya?! Liat tuh, semua orang langsung lihat kita." Jenny merasa tak nyaman.
"Iya, dia memang nggak waras! Kan aku sudah bilang!" jawab Nisa.
Terry yang napasnya terengah-engah lalu mendekati ketiga gadis itu. "Nah, akhirnya berhenti juga. Sania, ayo ikut aku!" ajak Terry yang tiba-tiba menggandeng tangan Nisa.
Nisa menepis tangan Terry. "Memangnya ada apa sih? Sampai-sampai ketua komisi kedisiplinan Terry mencariku?" tanya Nisa dengan tatapan sinis.
"Ck, ayo cepat. Dekan mencarimu!" jawab Terry dengan tidak sabar.
"Ada perlu apa dekan mencariku?"
"Gak tahu! Pokoknya ayo!"
"Tunggu!"
"Apa lagi sih?" tanya Terry dengan sangat tidak sabar.
"Jenny, aku titip milkshake coklat satu!" pinta Nisa sambil meringis.
"Ayo cepet! Keburu dekan marah!" teriak Terry.
"Iya-iya!"
Nisa dan Terry akhirnya berlari secepat mungkin. Saat mereka sampai di tempat yang mereka tuju, tiba-tiba Terry berhenti di depan pintu ruangan dekan.
"Tunggu sebentar!" ucap Terry.
"Apaan sih? Katanya buru-buru!"
"Nanti di depan lak Dekan kamu harus jaga kelakuanmu!"
"Heh, sok ngatur!"
"Kok dikasih saran malah begitu sih?"
"Bodo amat! Cepat masuk sana!"
"Tsk! Iya deh ..."
Tok Tok Tok!
Terry mengetuk pintu, mereka berdua masuk ke ruangan setelah dekan mempersilakan mereka masuk.
"Permisi. Pak dekan, saya dan Sania sudah datang," ucap Terry.
"Akhirnya kalian datang. Aku punya tugas khusus untuk kalian!" ucap dekan dengan senyum licik.
"Tugas?!" tanya Nisa secara spontan karena terkejut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!