NovelToon NovelToon

BLIND LOVE

Prolog

PERHATIAN!!!

PROLOG SANGAT TIDAK NYAMBUNG DENGAN BAB SELANJUT-SELANJUTNYA. TIDAK DIBACA PUN TIDAK MASALAH. INI HANYA CUPLIKAN KEJADIAN DI EPISODE KE SEKIAN.

OH YA, LINDA DAN DANI ADALAH NAMA ORANGTUA P.U ALIAS ALEXA. JADI NAMA MEREKA TIDAK AKAN MUNCUL DI CERITA. DIGANTI DENGAN SEBUTAN MAMA-PAPA SAJA.

HATUR NUHUN.

OH YA, BAGI PEMBACA BARU (EMANGNYA ADA, OM?) JIKA MERASA SEASON 1 TIDAK MENARIK, SILAKAN COBA BACA SEASON 2. IMHO, LEBIH MASUK AKAL CERITANYA.

SEKALI LAGI, HATUR NUHUN.

***

“Ini gila!” seru Linda tak percaya. Ia tak henti menggeleng-gelengkan kepala sejak dua menit terakhir. Seolah menegaskan kebingungannya akan apa yang tengah terjadi.

Dani, seseorang dengan pemikiran lebih logis dari istrinya, mengambil alih lima lembar foto yang baru saja ditemukan Linda di depan pintu rumah mereka. Diamat-amatinya kelima foto tersebut dengan serius.

‘Ini membingungkan’, pikir Dani. ‘Bagaimana cara mereka mendapatkan foto-foto ini?’

“Ma.” Dani bergeser mendekati istrinya yang masih tampak shock, membuat wanita itu menatap penuh tanya. “Papa rasa, ada seseorang yang meneror kita ….”

Baru saja Linda membuka mulutnya untuk menanggapi, tiba-tiba ponsel Dani berdering nyaring. Tanpa melihat identitas si penelepon, pria tersebut langsung menggeser tombol hijau ke kanan, lalu memilih speaker on.

Selang beberapa detik, terdengar suara berat laki-laki di ujung sana. Ia mengucapkan ‘hai’ yang tentu saja tidak ditanggapi sepasang suami istri tersebut.

“Sudah kah kalian menerima kiriman dariku? Sudah? Bagaimana menurut kalian? Menarik, bukan? Apa? Tidak menarik? Oh, mungkin terlalu mengejutkan, ya? Atau malah menakutkan? Ah, kalian tahu saja aku ini orang jahat. Hahaha …”

“Siapa Anda!?” seru Dani, sekuat tenaga menahan emosi.

“Hahaha …” Kembali ia tertawa. Tawa yang membuat siapa pun muak saat mendengarnya. “Tak penting siapa aku. Yang penting, patuhi perintahku. Atau tidak, kubakar habis rumah mungil kalian!”

“Jangan coba-coba menggertak kami!”

“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas, aku selalu ada di sekitar kalian. Mengintai, menguping, bahkan menguasai rumahmu, Dani. Belum cukup kah foto-foto tersebut menjadi bukti? Coba lihat, betapa cantiknya putrimu saat terlelap. Ah, dan lihat ini, mengapa istrimu masih berpakaian saat mandi?”

Dani merasa emosinya sudah di ubun-ubun. Sedangkan Linda mulai tersedu di pelukan suaminya. Mereka tahu permintaan si peneror bukanlah perkara sulit. Hanya saja cara yang ia gunakan untuk mengancam mereka benar-benar keterlaluan.

“Ingat, turuti perintahku, maka kalian akan selamat. Sampai jumpa ….”

Tuuut … tuuut … tuuut …

“Halo? Halo? Halo?” teriak Dani berkali-kali. Percuma. Sambungan telah terputus. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain pasrah dan—menuruti perintah si peneror.

***

Hai, Kawan!

Ini adalah cerita pertamaku di Noveltoon. Sebenarnya aku bingung ceritaku ini masuk kategori apa selain Romantis. Maka, aku ngasal saja saat pilih genre horor dan misteri. (UPDATE:KATEGORI HOROR SUDAH SAYA GANTI DENGAN KOMEDI. MANA TAHU ADA LUCU-LUCUNYA).

Sebenarnya ada unsur misteri dalam cerita. Hanya tidak mendalam dan sepintas lalu. Lalu horror. Apakah cerita ini berhantu? tentu tidak. Sama sekali tidak ada sosok hantu dalam naskah. Lantas mengapa kategori tersebut tetap kupilih? Sebenarnya aku cari thriller. Tapi dia gak ada. Maka terpaksa kupilih horror. Mana tahu ceritaku lebih ngetop di kategori itu, kan? Hehe... mana tahu.

Waktu kejadian dalam prolog ada di pertengahan cerita. Jadi, prolog bukan sabab-musabab timbulnya konflik di cerita. Hanya penggalan yang malas kutuliskan di tengah, sebab aku pakai sudut pandang orang pertama tak tahu apa-apa. Khusus prolog dan epilog, aku pakai sudut pandang orang ketiga.

Oh ya, cuap-cuap perkenalan ini sama sekali tak penting. Ini dibuat hanya demi memenuhi persyaratan minimun karakter agar cerita bisa diterbitkan.

Kalau begitu, sampai jumpa di episode selanjutnya. Semoga kalian menikmati cerita abal minim risetku.

Terima kasih...

Selamat membaca, kalian!

BAB 1

Aku suka guruku.

Kalian tertipu! Selama masih menjadi milik Rifa—anak karate pemegang sabuk hitam—aku tidak mungkin suka pada cowok lain, apalagi guru sendiri. Aku kan setia. Yah, walaupun nyatanya aku pernah suka, bahkan tergila-gila pada guru bahasa Jepangku.

Cinta terlarang ini kurasakan sejak pertama menduduki bangku SMA, jauh sebelum mengenal Rifa. Setiap malam aku selalu bermimpi tentangnya, darahku berdesir setiap mendengar suaranya, dan jangtungku bergemuruh hebat setiap menatap sosoknya walau dalam radius lima meter.

Tentu saja aku gila! Tapi, tapi, tapi ... itu terjadi duluuu sekali. Kini semua telah berlalu, dan kesetiaanku hanya kudedikasikan bagi Rifa seorang.

‘Siapa Rifa?’ dan ‘mengapa kamu suka Rifa?’ adalah dua pertanyaan yang hanya dilontarkan siswa-siswi super kuper di sekolah. Sudah jelas, anak gaul mana yang tidak tahu nama Rifaldi? Selain pemegang sabuk hitam karate—dan sering memenangkan kejuaraan tingkat provinsi—Rifa pernah menjabat sebagai ketua MPK tahun ajaran lalu. Sebuah jabatan yang menjanjikan ketenaran, bukan?

Jangankan kalian, aku sendiri heran mengapa cowok cakep dan gaul seperti dia bisa jatuh hati pada cewek-biasa-biasa-saja-bahkan-nyaris-kasat-mata seperti aku. Mungkin hal itulah yang menyebabkan Rifa Maniac—klub pecinta Rifa—membenciku.

Beranggotakan fans serta mantan pacar Rifa, kegiatan Rifa Maniac sehari-hari adalah menghina dan mencibirku di mana pun kapan pun. Pernah suatu ketika foto wajahku diedit jadi berbadan kucing lalu disebar di beberapa media sosial. Tak lupa di caption tertulis keterangan ‘si penjilat’. Banyak yang merespons foto tersebut. Rata-rata menertawakan sambil mencemooh. Benar-benar menyebalkan.

Memang mesti punya kesabaran ekstra untuk menghadapi kekonyolan mereka.

Teeeeeeeeet ......... !!!

Lengkingan nyaring bel berhasil menghentikan kegiatan belajar-mengajar di kelas XII IPA 5 SMA 4 Purwakarta, sekaligus memotong lamunanku. Seolah telah terlatih, kepalaku refleks menoleh ke belakang, mencuri-curi pandang ke arah Rifa yang masih sibuk membereskan alat tulisnya di atas meja.

Kasihan, andai Bu Grace sudah keluar dari kelas, aku pasti akan membantu Rifa dengan senang hati. "Biar so sweet.” Demikian pendapat Cilla, teman sebangkuku yang super bawel. Aku heran, mengapa ia selalu meledek setiap aku dekat-dekat dengan Rifa?

"Anak-anak, jangan lupa belajar di rumah. Kurangi online di facebook, twitter, skype, path, instangame, dan lain-lain. Ingat, kalian harus mengejar SNMPTN undangan."

Itu peringatan wajib dari hampir setiap guru yang mengajar di kelas XII IPA 5. Kami bahkan sudah hafal kalimat tersebut di luar kepala. Biasanya kami menanggapi dengan seruan tidak sopan berbunyi ‘iya bu’ bernada panjang. Tapi khusus untuk kali ini kami diam. Diam-diam menahan tawa maksudnya. Bahkan Vera si kesayangan Bu Grace pun ikut mesam-mesem sambil menunduk.

Biar kuluruskan. Tadi Bu Grace bilang kami harus mengurangi frekuensi online di facebook, twitter, skype, path, instangame, dan lain-lain. Padahal yang benar itu kan instagram (atau lebih populer lagi disingkat jadi IG), bukan ‘instangame’. Kau benar, Bu Grace sudah terlalu uzur untuk mengenal media sosial canggih masa kini.

Tanpa menanyakan apa alasan kami mesam-mesem aneh, Bu Grace beranjak dari dalam kelas untuk kembali ke ruang guru. Ngomong-ngomong, guru di sini tidak pernah mengungkit perihal kesiapan kami menghadapi Ujian Nasional. Apa karena di tahun ajaran ini UN sudah tidak menjadi penentu tunggal kelulusan siswa?

"Mau nemenin aku latihan, Say?"

Suara bernada lembut itu terdengar tepat di samping telinga kiriku. Udara yang dihasilkan membuat tengkukku kegelian. Geli namun mendebarkan. Belum lagi aroma mint yang menguar terasa menghanyutkan. Aku hafal betul siapa pemilik suara dan aroma lembut ini. Siapa lagi kalau bukan si tampan Rifa.

Untuk sepersekian detik aku hanya terkesima menatap sosok nyaris sempurna milik kekasihku. Tubuhnya yang menjulang sedikit dibungkukkan saat berusaha mendengar jawabanku.

Ketika dag-dia-dug di dadaku berangsur normal, aku balik bertanya, “Di mana?”

"Di pendopo." Rifa menyebut tempat latihan beberapa ekstrakurikuler di Purwakarta.

Aku berpikir sejenak. Pendopo, ya? Sebenarnya aku ingin lihat Rifa latihan tapi ....

"Lo mau ke pendopo? Bareng gue aja!" Tanpa rasa malu, tahu-tahu Cilla merangkul lengan Rifa. Dan dengan gaya yang-sungguh-centil-sekaligus-bikin-enek ia menyentuh wajah pacarku untuk membujuk. Bukan hanya aku, Rifa pun tampak merasakan kegerahan yang sama. Ia berusaha menyingkirkan tangan Cilla dari wajahnya sehalus mungkin.

Cilla memang kegenitan dan tidak tahu malu. Tapi aku tidak pernah bisa marah padanya. Bagaimanapun, ‘berkepribadian aneh’ telah melekat padanya sejak lahir. Aku tahu betul karena sudah berteman dengannya sejak TK.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Oh ya, bukannya kelas dua belas udah gak boleh ikut ekskul, ya?”

“Sensei mewajibkan aku melatih para junior sebelum benar-benar pensiun dari dunia perkaratean,” jawab Rifa kalem.

Aku manggut-manggut paham. "Oh, ya udah, kamu bareng Cilla aja ke sananya. Aku mau pulang cepet. Kata Mama ada tamu penting di rumah." Cilla juga anak karate, sama seperti Rifa. Hanya saja ia masih memegang sabuk hijau. Jadi aku tidak tahu apa kepentingannya di Pendopo kali ini.

"Tamu penting?" Rifa menatapku penuh arti.

Oh sial, tatapan mengintimidasi itu lagi. Masalah membuat orang tak mampu berkutik, Rifa memang juaranya.

Saat sedang bimbang memilih alasan yang tepat, tampak seorang cowok melongokkan kepalanya di pintu kelas kemudian memanggil namaku.

Merasa terselamatkan, aku bergegas menghampiri. Sialnya, Rifa malah membuntuti.

"Kenapa, Ka?" tanyaku setelah berhadapan dengan Raka, orang yang tadi mencariku. Biasanya aku malas melihat cowok satu ini di sekolah. Siapa juga yang tidak bosan didatangi nyaris setiap hari oleh tetangga kita padahal kelas kami terpaut cukup jauh—aku XII IPA 5, dia XII IPS 2? Namun nampaknya ada pengecualian untuk hari ini. Aku justru bersyukur atas kunjungan rutinannya.

Raka mendelik Rifa sekilas lalu fokus lagi padaku. "Tante Linda nyuruh kamu pulang bareng aku. Katanya di rumah ada tamu penting. Kamu jangan main ke mana-mana dulu."

Aku terkesima. Dari mana Raka mengetahui kebiasaan burukku sebelum benar-benar pulang ke rumah? Apa diam-diam ia sering membuntuti? Kalau begitu gawat, bisa-bisa ia mengadukannya pada Mama!

Memang sih, Mama tidak pernah melarangku berpacaran. Hanya saja beliau membuatnya tampak rumit. Ada kriteria tertentu yang mesti dipenuhi jika seseorang ingin menjadi pacarku. Masalahnya, aku tidak pernah tahu bagaimana persisnya kriteria yang dimaksud. Hal tersebutlah yang membuatku nyaris jomblo seumur hidup.

Maka bukan tanpa alasan jika selama ini aku menyembunyikan Rifa dari jangkauan Mama. Aku hanya terlalu takut ia tidak memenuhi kriteria Mama, itu saja.

"Cie, ada yang lagi direbutin, nih!" Cilla yang tidak tahu apa-apa ikut nimbrung, membuatku ingin menjejalkan sepatu ke dalam mulut bawelnya.

"Rifa, hari ini Alexa pulang bareng gue!”

Tanpa permisi Raka menarik tanganku begitu saja. Aku tak sempat menolak apalagi menghindar. Ia menyeret dengan cepat. Begitu pikiranku kembali jernih, mobil Raka telah melesat meninggalkan bangunan sekolah ratusan meter jauhnya. Menyebalkan.

"Udah berapa kali aku nyuruh kamu ngejauhin cowok itu?" tanya Raka retoris, memecah keheningan.

"Maksud kamu Rifa?"

Raka mengangguk.

"Dia kan pacar aku. Aku gak mungkin ngejauhin dia," jawabku apa adanya.

"Aku kan udah bilang, jangan pacaran sama Rifaldi! Dia itu playboy. P-L-A-Y-B-O-Y!" Sekali lagi, peringatan keras itu keluar dari bibir tipis Raka. Sekarang aku semakin yakin ia pasti penggemar 7icons, makanya hobi banget menyebut kata P-L-A-Y-B-O-Y.

Baiklah, Raka benar. Rifa memang playboy. Kabarnya sebelum jadian denganku ia sudah puluhan kali gonta-ganti pasangan. Namun entah mengapa aku selalu yakin Rifa takkan melanggar komitmennya untuk tetap setia dan melindungiku. Dan syukurlah hingga detik ini belum muncul tanda-tanda pengkhianatan darinya.

"Dia udah berubah!" tegasku sambil membanting pintu mobil. Untung kami sudah sampai di tempat tujuan. Jadi aku bisa langsung ngacir ke rumah. Samar-samar kudengar Raka menggerutu kesal menanggapi reaksiku.

Biar sajalah! Memangnya ia tidak tahu cinta tidak bisa dipaksakan? Kalau aku cinta mati pada Rifa, memangnya ia mau apa?

Diselimuti kekesalan, kaki kananku menendang pintu gerbang setinggi kepala hingga terkuak lebar. Lalu menutupnya dengan perlakuan serupa.

Namun semua tak bertahan lama. Kekesalanku menguap begitu aku menangkap kejanggalan dari pintu depan. Ya, ia dalam keadaan terbuka. Ini aneh. Biasanya, ada atau tidak ada penghuni, pintu kami selalu tertutup rapat.

Belum reda keherananku pada pintu rumah, tiba-tiba ekor mataku menangkap sebuah bayangan hitam besar di sudut halaman. Aku menoleh cepat untuk memastikan benda apakah itu.

Sebuah mobil. Kijang Innova.

Menyadari sesuatu, aku melesat ke dalam rumah dan mengecek setiap ruangan. Pintu demi pintu kuraih demi memastikan keberadaannya. Saat sampai di pintu ruang makan, napasku tercekat.

Ya, ia ada di sana. Wajah cantik berkeriput dengan raut judes itu benar-benar ada di depan mataku. Ia duduk tenang di atas kursi. Membuatku tak sabar untuk segera memeluknya.

“Nenek!” seruku seraya menghamburkan diri ke dalam pelukan Nenek. Beliau sempat terkejut, namun tertawa geli setelahnya. Bahkan rambut indahku diacak-acak Nenek dengan sadisnya. Kami saling berpelukan selama beberapa saat. Sampai sebuah suara mengagetkanku.

“Masa cuma Nenek yang dipeluk? Gue juga, dong.”

Aku terpaku sejenak. Rasanya suara itu sudah tak asing lagi di telingaku. Amat sangat familier malah.

Akhirnya, kuberanikan diri menoleh sedikit demi sedikit ke sumber suara.

“Hai, Alexa, lama gak jumpa!”

Demi Tuhan! Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, mengapa harus wajah Jovano yang kulihat?

BAB 2

Waktu kecil aku sangat senang mendengar cerita-cerita Raka, apalagi kalau topiknya sudah merambah ke kehidupan di masa depan. Raka bilang sepertinya kami berjodoh sebab kami punya banyak kemiripan.

“Kalau udah besar nanti, kamu nikah sama aku, ya?” kata Raka sambil menata gundukan pasir di hadapannya menjadi rumah-rumahan jelek.

Aku ingat betul bagaimana reaksiku kala itu. Ya, aku tersipu. Mulutku komat-kamit tak jelas. Saking gugupnya, tanganku malah menyenggol rumah-rumahan pasir Raka. Terang saja gundukan yang tadinya sudah agak berwujud itu kembali menjadi gundukan tak berarti. Rusak oleh tangan mungilku.

Kukira Raka akan meledak karena ulahku, tapi ternyata tidak. Ia hanya tersenyum simpul, kemudian tertawa. Aku suka melihat tawa Raka. Karena saat melakukan itu matanya akan menyipit puluhan mili, lesung pipinya yang dalam akan muncul ke permukaan, dan gigi putih bersihnya akan berkilau tertimpa cahaya matahari. Ditambah suara yang dihasilkan sangat renyah. Aku suka. Benar-benar suka.

Sayangnya kedekatan kami tak berlangsung lama. Menjelang tahun ajaran baru—saat kami akan masuk ke sekolah dasar—Raka memutuskan untuk pindah ke London. Diagnosa dokter mengatakan usia neneknya tinggal menghitung bulan. Maka dari itu beliau sangat berharap Raka—selaku cucu tunggal di keluarga tersebut—dapat menemani saat-saat terakhirnya sepanjang waktu.

Rasa kecewa mendadak hinggap di hatiku. Kupikir kami benar-benar takkan pernah berpisah. Nyatanya?

“Jangan nangis, Lexa.” Raka mengusap air mata yang bergulir di pipiku lembut. Ia menatap tajam. “Aku janji gak akan ninggalin kamu. Aku akan kembali buat kamu.”

Kami mengakhiri hari itu dengan janji setia sehidup semati. Raka memasangkan sebuah liontin perak milik ibunya di leherku, lalu mengulangi janjinya lagi, lagi, dan lagi.

Maka, setelah Raka benar-benar meninggalkan kampung halaman kami, aku menunggu. Menunggu kehadirannya dalam harap-harap cemas. Berharap ia segera pulang, dan cemas ia takkan pulang-pulang.

Menyadari ada yang berubah dariku, Mama datang menghibur dan mengatakan jika aku mengharapkan Raka cepat pulang, maka sama saja aku berharap neneknya segera meninggal.

Aku tercekat lalu mulai menghentikan kegilaanku.

Sejak saat itu aku berhenti menanti kepulangan Raka. Kubiarkan semua mengalir apa adanya. Dan saat akhirnya otakku mengerti tentang cinta, Raka terlupakan begitu saja. Sosoknya seolah tak memiliki arti apa-apa lagi di hatiku selain sebagai tetangga juga teman masa kecil. Titik. Fatalnya, ia justru kembali setelah aku menemukan Rifa. Apa lagi yang bisa ia harapkan dariku?

“Raka masih tinggal di sebelah rumah ini?” Jovano, atau Jono, menatap lewat majalah yang sedang dibacanya.

Pura-pura tidak mendengar, mataku fokus menatap layar ponsel dalam genggaman dengan wajah serius dibuat-buat.

“Yeee ... dasar!” Jono menyerah. Ia mengangkat tangan kemudian—

“Sialan!” Ternyata makhluk menyebalkan yang akan tetap menyebalkan hingga kapan pun itu melempar bantal kursi tepat ke wajahku. Aku mengaduh tapi si iblis justru tertawa puas.

“Jono nyebeliiinnn! Pulang sana, pulang!” Aku bangkit. Kakiku mengentak kesal. Dari raut wajahku, siapa pun tahu aku tidak suka Jono dengan segenap jiwa dan ragaku.

Dia kembali tertawa. Kali ini lebih keras. “Haha ... enak aja. Orang gue datang ke sini atas undangan Mama.”

“Maksud lo?”

“Selain buat mendampingi Nenek yang pengin liburan di sini, Mama minta gue cuti untuk mencari tahu siapa cowok yang seumur-umur belum pernah lo bawa ke rumah itu,” ujarnya. “Lo paham maksud gue, kan?”

Aku paham. Sangat paham malah. Kalau Jono sampai diminta Mama pulang ke Purwakarta padahal ia sibuk bekerja di Bandung, itu artinya Mama sudah mulai mengambil tindakan tegas. Pada akhirnya hasil penyelidikan ini akan menentukan apakah Rifa masuk ke dalam kriteria calon menantu idaman atau tidak. Satu hal, mengapa orang yang diutus Mama harus Jono? Mengapa bukan Mama sendiri saja? Mengapa?

Jono itu kakak sulungku. Kakak sulung terjahil sedunia tepatnya. Maka dari itu aku benci saat akhirnya harus melihat wajah menyebalkan itu lagi. Belum cukupkah waktu sepuluh tahun hidup di bawah siksaannya?

“Kenapa sih, lo gak pacaran sama tetangga lo itu aja? Kenapa harus sama playboy sekolah segala?”

Aku berjengit kaget. Ya ampun, Raka jahat sekali! Tega-teganya ia menceritakan dari A sampai Z kisah cintaku dengan Rifa kepada keluarga besarku, terutama Jono.

“Daripada sama lo!” tukasku ketus sambil melesat kabur dari ruang TV. Menghindari serangan Jono selanjutnya.

***

Dua hari ini hidupku bagai di neraka. Jono benar-benar memperlakukanku bak tahanan. Aku tak bisa bebas dari pengawasannya semenit pun. Hal yang membuat Rifa terpaksa menjaga jarak dariku.

Lama-lama naluri nakalku memberontak. Hingga terpikir kali ini aku harus bisa melarikan diri darinya.

“Kamu yakin?” Rifa mengangkat sebelah alisnya. Suasana koridor yang cukup bising dan dipadati siswa membuat kami berbicara dalam jarak dekat.

“Yakin. Aku gak suka dikekang gini, Fa. Lagian apa kamu gak capek terus jaga jarak sama aku gara-gara dia selalu mengawasi kita dari jauh?”

“Ini semua demi kebaikan kamu, Sayang. Kamu bilang, kalau mama kamu tahu kita pacaran, uang jajanmu bakal dipotong lima puluh persen. Belum lagi katanya HP pun ikut disita.”

“Emangnya aku pernah bilang kayak gitu?” tanyaku kaget.

“Jadi selama ini kamu bohongin aku? Nakal, ya!”

Aku tertawa saat Rifa menarik hidungku gemas. “Emang kamu mau ketemu Mama?”

Rifa mengangkat bahu. “Sekarang, apa rencana kamu?”

Aku mengamati koridor yang berangsur sepi. “Kita keluar lewat gerbang belakang, Fa.”

“Kamu yakin?”

“Kamu pikir cewek gak bisa punya pendirian?” Lama-lama kesal juga jika Rifa terus mempertanyakan kekonsistenanku.

Rifa nyengir bersalah kemudian menuntunku menuju halaman belakang sekolah. Sesuai dugaan, kondisi di sana cukup lengang. Hanya tampak segelintir siswa yang biasa menggunakan jalur ini. Sebuah kandang ayam tak terurus menjadi salah satu alasan keengganan anak-anak—termasuk aku—lewat sini.

Aku bersorak riang. Benar-benar bangga bisa terbebas dari kekangan Jono hari ini. Kepalang nakal, akhirnya kuajak Rifa pergi ke suatu tempat terlebih dahulu. Karena cewek selalu benar, Rifa tak kuasa menolak ajakanku.

***

Aku dan Rifa baru saja keluar dari toko buku saat seseorang berteriak, “Maryam!”

Maryam itu namaku. Maryam Alexandria lengkapnya. Waktu kecil aku sangat senang mendengar orang lain memanggilku dengan sebutan Maryam. Rasanya bak putri sultan tercantik di dunia. Namun lambat laun anggapanku pada nama tersebut berbalik 180 derajat. Lama-lama aku merasa nama Maryam terlalu ketinggalan zaman padahal aku lahir di era globalisasi. Lagipula Maryam itu identik dengan nama orang Arab atau Mesir sedangkan wajahku lokal seratus persen.

Akhirnya—setelah melalui perang batin yang cukup panjang—kuputuskan mengubah nama panggilanku menjadi Mary. Sialnya saat SD banyak temanku yang tidak tahu bagaimana cara membaca nama ‘Mary’ dengan baik dan benar hingga keliru malapalkannya menjadi ‘Mari’ bukannya ‘Mery’. Aku menyerah kemudian menggunakan nama belakangku sebagai gantinya: Alexa. Barulah setelah itu tidak ada yang salah menyebut namaku lagi.

Semua memanggilku Alexa, termasuk guru-guru di sekolah. Hanya sedikit yang suka iseng memanggil nama depanku: orangtuaku, keluarga besarku, teman-teman SDku, dan ... Raka.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku sengit, heran mengapa ia selalu hadir setiap aku sedang jalan bersama Rifa.

“Aku abis dari ATM.” Raka menunjuk sebuah bangunan di seberang jalan. Yah, masuk akal sih. Cuma kenapa harus kebetulan berpapasan denganku?

“Kita abis dari toko buku,” kata Rifa tanpa ditanya. Dua cowok keren itu saling berpandangan sinis. Aku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di sini.

“Udah selesai kan, belanja bukunya? Ayo Alexa, kita pulang.” Raka menarik paksa lengan kananku.

Sebuah tangan kekar lain menghentikan tindakan semena-mena Raka. “Gak boleh!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!