Kuharap ini mimpi buruk. Setiap hari aku terbangun dengan rasa sesak yang membuatku enggan untuk terbangun setiap harinya. Entah dosa apa yang telah kulakukan di masa lalu, hingga aku mendapatkan kemalangan seperti ini.
Hari sebelum tragedi.
'Drrt Drrt'
Ponsel di samping meja kerja bergetar dan sebuah nomor tanpa nama muncul di layar. Melisa, meneguk kopinya sambil meraih ponselnya dan bertanya-tanya siapa yang menelponnya saat ini.
"Halo?" ucap Melisa dalam sambungan telepon.
"Hai, Mel! Ini Resi! Masih inget?" ucap suara riang di seberang sana.
Suara itu terdengar sangat familiar di telinga Melisa. "Resi?"
"Iya!"
"Hahaha... ya ampun, apa kabar! Maaf ya, pas nikahan lo gue gak dateng!"
"Dasar lu sok sibuk! Haha.. it's oke. Gue maklum, dulu kan lo masih di Jakarta. Nah, karena sekarang lo udah balik lagi ke Bali, kali ini lo mesti dateng ke acara ulang tahun gue ya!"
"Ulang tahun?"
"Iya. Besok malam, lo dateng ya ke rumah gue, wajib! Gue ngadain pesta ulangtahun. Lo dateng aja sama suami lo
juga ya!"
"Oke, tapi kayaknya gue dateng sendiri. Suami gue di Jakarta. Bye the way thank's ya udah ngundang gue!"
"Oke kalo gitu, ditunggu besok malem. Dress codenya hitam. Awas lo kalo gak dateng!"
"Oke, bye."
Sambungan pun terputus. Melisa tahu malam ini dia hanya akan datang sendirian. Suaminya sedang ada proyek di Jakarta, profesinya sebagai seorang arsitek membuatnya stay di lokasi proyek dan pulang satu bulan sekali.
Setelah sambungan terputus, Melisa segera membuka aplikasi belanja online lokal untuk membeli kado yang manis untuk sahabat lamanya, Resi. Semua teman-teman di kampus tahu, dimana ada Melisa di situ pasti ada Resi. Mereka terpisah setelah lulus kuliah.
Melisa menikah dengan seorang arsitek dari Jakarta dan pasca menikah Melisa sempat tinggal beberapa tahun di Jakarta bersama sang suami. Satu tahun setelah menikah, Melisa dan suaminya berusaha keras bangkit dari kesedihan karena kecelakaan yang menimpa Melisa hingga mereka harus kehilangan buah hati dalam kandungannya.
Untuk menenangkan diri, Melisa kembali ke Bali dan kembali menulis artikel majalah. Sementara suaminya pun menyibukkan diri ke dalam pekerjaannya.
Resi menikah baru-baru ini. Resi yang memang fokus di karir, akhirnya menikah di usia 27 tahun. Resi menikah dengan seorang direktur dari perusahaan asing yang berdiri di Bali, bernama Louis.
Louis adalah lelaki berkebangsaan Jerman. Namun rambut hitam dan mata hitamnya, membuat dia tidak tampak seperti lelaki bule pada umumnya. Dia tahu dari foto yang diposting Resi di media sosial.
Melisa belum pernah bertemu Resi dengan suaminya karena pada saat pernikahan mereka, itulah hari dimana Melisa mengalami kecelakaan naas itu.
Malam ini untuk pertama kalinya setelah dia kembali ke Bali, dia akan keluar dari rumahnya untuk mencoba bersenang-senang.
Malam tragedi.
Melisa memarkirkan mobilnya di sebuah rumah yang begitu luas dan berasitektur khas vila-vila yang ada di Bali. Rumah itu dibuat satu lantai, namun terbagi ke dalam bagian rumah utama dan paviliun yang agak terpisah dengan rumah utama. Pesta ulang tahun Resi diadakan di bagian paviliun. Suasana malam, tak mampu memadamkan pesta meriah dari dalam rumah itu.
Melisa menatap dirinya dalam cermin di mobil. Rambut hitam panjangnya terurai sampai dada. Gaun hitam panjang, dengan belahan sampai lutut membuatnya anggun mempesona. Tak lupa, sebuah kado dia bawa untuk diberikan pada sahabat lamanya.
Melisa pun keluar dari mobil, lalu berjalan masuk ke dalam rumah bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Tak ada satu pun dari tamu undangan yang merupakan teman kuliahnya dulu.
"Hm... pasti tamu-tamu ini teman kantornya Resi," gumam Melisa.
"Mel!" teriak Resi dari pintu sebuah kamar.
"Resi!" balas Melisa.
Resi bergaun berwarna emas dengan riasan yang elegan terlihat begitu mencolok di antara para tamu berjas dan bergaun hitam. Matanya yang agak sipit lebih membuatnya terlihat seperti orang Korea ketimbang orang Indonesia. Resi pun berlari kecil dan berhamburan memeluk Melisa.
"Ya ampun! Cantik banget lo!" puji Resi.
"Elo lebih cantik! Selamat ulang tahun birthday queen!" balas Melisa.
Resi tertawa renyah. Masih seperti Resi yang dahulu. Seorang wanita yang periang dan selalu meramaikan suasana dalam setiap kondisi. Melisa pun memberikan kado yang dibawanya pada Resi.
"Thank you!" balas Resi, kemudian seorang pelayan mengambil kado itu. “Ya ampun gue kangen banget sama lo!”
“Iya gue juga kangen sangaaaat! Udah berapa tahun ya kita gak ketemu?”
“Lama banget deh pokoknya!”
“Iya lama! Kapan-kapan kita hangout berdua!”
“Ayo! Sekarang lo di Bali, so kita punya banyak waktu buat hangout.”
Melisa mengangguk antusias. Bertemu sahabat lama memang menyenangkan. Rasanya bagaikan menemukan oase di gurun tandus.
"Honey," suara berat dari belakang Resi terdengar.
Seorang lelaki tinggi berbadan besar, rambut hitam dan mata hitam dengan sedikit jambang yang memenuhi dagunya membuatnya tampak seperti lelaki misterius.
"Honey," Resi memeluk lelaki itu, kemudian memperkenalkan lelakinya pada sahabatnya.
"Mel, kenalin ini suami gue, Louis! Dia udah lancar banget bahasa Indonesia!" seru Resi.
Melisa tersenyum simpul, kemudian mengulurkan tangannya pada lelaki yang merupakan suami dari sahabatnya itu. "Melisa."
Lelaki itu tersenyum tipis kemudian membalas jabatan tangan Melisa. "Louis."
Bulu kuduk Melisa tiba-tiba berdiri. Entah insting apa yang dia rasakan namun sentuhan tangan Louis membuatnya merasakan sesuatu yang akan mengancam keselamatannya.
“Kalo gitu kita tinggal dulu ya! Di sana ada minuman dan makanan. Nikmati sepuasnya!” ujar Resi.
Melisa mengangguk. Resi dan Louis pun pergi dari hadapan Melisa untuk menyapa tamu undangan lainnya. Mereka berdua bagaikan pasangan yang multikurlur. Resi yang Indonesia oriental dan Louis yang Eropa.
Louis adalah direktur di tempat Resi bekerja. Persatuan mereka layaknya cerita-cerita di novel. Seorang bos yang menikah dengan bawahannya. Mereka baru menikah sekitar 1 tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Begitupun
dengan Resi yang tidak tahu cerita kecelakaan Melisa. Melisa adalah tipe introvert dan jarang memposting kehidupannya di media sosial. Hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu tentang kehidupan pribadinya.
Melisa membuka ponsel dari dalam tas kecilnya. Tak ada pesan apapun dari suaminya. Melisa yang introvert dan suaminya yang cuek membuat kedua pasangan ini terkesan flat. Mereka berdua bertemu di Bali saat suaminya liburan ke sana.
Pesta ulang tahun yang begitu berkelas. Minuman, cocktail, makanan semua berasal dari restoran dengan bintang michelin. Bahkan para tamu pun sebagian besar dapat dipastikan adalah tamu dari Louis. Resi yang sangat mudah bergaul dengan siapa saja, tidak pernah pilah pilih dalam berteman. Dia dapat masuk ke kalangan mana pun, dan dari tamu-tamu yang hadir semua dapat dipastikan adalah orang-orang kaya dan itu pasti tamu-tamu Louis.
Setelah acara tiup lilin, Melisa memilih duduk di meja bar agar bisa sendirian dan tidak perlu berbincang-bincang basa-basi dengan orang yang tidak dikenalinya. Hanya segelas martini yang menemaninya.
Dari kejauhan, Louis nampak berbincang dengan para tamu sambil sesekali memperhatikan Melisa. Melisa, begitu menarik di matanya. Tak peduli dia telah memiliki istri, baginya dirinya adalah seorang lelaki yang bebas.
"Mel, bete ya?"
Melisa menoleh dan Resi ikut duduk di sampingnya.
"Ah.. enggak, gue cuman pengen duduk di sini."
Resi meneguk champange yang sedari tadi di bawanya.
"Gue turut bahagia buat lo."
"Bahagia?" Resi terlihat menahan tawanya.
Melisa mengernyitkan dahinya. "Lo nikah dengan lelaki bule, kaya, rumah mewah,"
"Tapi gue gak sebebas lo, Mel."
"Maksudnya?"
"Apa yang lo lihat, gak sama dengan kenyataannya."
Melisa kembali kebingungan. Kini dia melihat Resi yang tampak tidak seperti Resi yang menyapanya tadi. Wajah Resi terlihat murung.
Apa mungkin dia sudah terlalu banyak minum?
"Res, lo baik-baik aja kan?" tanya Melisa mengkhawatirkan Resi.
Resi kemudian seolah-olah tersadar. "Ah iya! Sorry, gue tinggal dulu. Gue ke toilet dulu ya!"
Resi pun pergi dari sana. Melisa kembali meneguk martininya dan merasa tidak yakin dengan keadaan Resi yang baik-baik saja.
"So, Melisa. Sejak kapan kau berteman dengan istriku?" ucap Louis yang tiba-tiba duduk menggantikan Resi, di samping Melisa.
Melisa menoleh dan gelagapan dengan pertanyaan dari Louis. Kharisma Louis begitu mengintimidasinya, membuatnya merasa tidak nyaman.
"Mm... kami berteman sejak kuliah. Setelah lulus, aku ke Jakarta bersama suamiku dan dia tetap di sini," jawab Melisa akhirnya.
"Oh kau sudah menikah? Mana suamimu?"
"Suamiku sedang mengurus proyek di Jakarta, so dia tidak bisa ikut ke sini,"
Louis mengangguk-ngangguk, kemudian meneguk minumannya. Senyuman tipis dan penuh misterinya kembali terlihat. Dengan ketukan jarinya, bartender itu kemudian mengangkat gelas Melisa dan mengisinya dengan minuman yang baru.
"Hah? Kenapa? Minumanku belum habis," protes Melisa pada bartender yang mengganti minumannya.
"Seorang tamu istimewa harus dilayani dengan pelayanan istimewa pula. Selamat menikmati!" ucap Louis, kemudian pergi.
Melisa terheran-heran dengan kelakuan Resi dan suaminya yang mengundang tanda tanya. Melisa pun meneguk martini barunya dengan lahap dan mulai mencari-cari Resi untuk pamit. Sebaiknya dia cepat pergi dari tempat itu karena sedari tadi perasaannya sudah tidak enak.
Melisa berjalan ke lorong dimana Resi pergi tadi. Saat menyusuri koridor yang sepi dari para tamu undangan itu, tiba-tiba kepalanya pening hingga dia terjatuh dan seorang pelayan laki-laki mengangkat Melisa dan membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan.
Pukul 11.00 malam, para tamu undangan sudah berangsur pulang. Kini hanya tinggal Louis, Resi dan beberapa pelayan yang membereskan tempat acara.
"Mana Melisa?" tanya Resi.
"Oh ya, aku lupa. Tadi saat kamu ke toilet, Melisa pamit pulang padaku dan menitipkan salam untukmu," balas Louis.
Resi menoleh jendela yang mengarah ke parkiran, semua mobil para tamu undangan sudah tidak ada. Dia pun mempercayai apa yang suaminya ucapkan.
"Baiklah, aku lelah sekali. Aku istirahat duluan ya?" ucap Resi.
"Ya, istirahatlah. Sekali lagi, selamat ulang tahun!" balas Louis kemudian mengecup kening istrinya. "Aku masih ingin menikmati minumanku dulu."
Resi mengangguk kemudian berjalan menyusuri koridor dan pergi ke rumah utama. Jarak antara paviliun dan rumah utama cukup jauh, sehingga apa yang terjadi di paviliun tidak akan terdengar ke rumah utama.
***
Pintu kamar itu terbuka, samar-samar terlihat seorang lelaki dengan stelan berwarna hitam masuk. Melisa hanya dapat membuka setengah matanya, namun pandangannya masih samar. Lelaki itu membuka jas dan kemejanya. Terlihat dada berbulu halus dan tubuh yang atletis mulai merangkak ke atas kasur menuju dirinya.
Kesadaran Melisa begitu lemah. Dia mampu merasakan apa yang terjadi pada tubuhnya, namun dia tak kuasa untuk berontak dan berteriak. Dia merasakan sentuhan bibir dan lidah dari lelaki itu ke sekujur tubuhnya. Lelaki itu menciuminya dari kaki, perut, dada hingga lehernya sambil menyingsingkan gaun hitam yang melekat.
Lelaki itu kemudian mengangkat kedua lengan Melisa yang lemah, lalu mengikatnya ke kayu dipan di atas kepala Melisa. Lelaki itu tidak mengikat kedua lengan Melisa dengan kuat karena ketidakberdayaan Melisa.
Melisa mulai dapat melihat wajah lelaki itu setelah nafas lelaki itu menyapu seluruh wajahnya. Lelaki bermata hitam dengan pandangan setajam elang itu seakan siap menerkam dirinya.
"Louis?" gumam Melisa lemah.
Louis tersenyum, kemudian mendekatkan cuping telinganya pada bibir Melisa. "Ucapkan namaku sekali lagi."
"Loui..s"
Louis nampak bergariah mendengarnya. Dia kemudian menyumpal bibir Melisa dengan bibirnya. Melisa tak mampu berontak, air matanya terus berjatuhan selama Louis menikmati tubuhnya dengan kasar bagaikan zombie yang kelaparan.
Louis terengah-engah setelah mencapai puncak kenikmatan. Dilihatnya Melisa sudah terpejam tak sadarkan diri. Louis kemudian berbaring di samping tubuh Melisa yang masih terikat. Dia menatap wanita malang itu lekat-lekat, kemudian dia melihat sebuah luka kecil di bawah perut Melisa. Louis mengelus luka itu dengan jemarinya.
"Kau sudah memiliki anak?" tanya Louis pada Melisa yang terpejam.
Louis pun bangkit dan kembali mengenakan kemeja dan celana panjangnya. Setelah selesai berpakaian, dia menghampiri Melisa kemudian membuka ikatannya dan menyelimuti tubuhnya yang polos. Sebelum keluar dari kamar itu, Louis mengambil kamera di sudut ruangan yang sedari tadi menyala dan merekamsetiap adegan yang terjadi di kamar itu.
Melisa terbangun dengan tubuhnya yang polos terbalut selimut. Malam tadi adalah mimpi buruk yang ternyata adalah kenyataan terpahit dalam hidupnya. Kemalangan demi kemalangan terus menimpa dirinya. Setelah kehilangan anaknya, kini dia telah kehilangan kehormatannya. Terlebih, dia adalah seorang istri yang memiliki suami. Dan lelaki semalam adalah seorang suami dari sahabatnya.
Dirinya merasa begitu rendah, air matanya terus menerus mengalir menangisi rasa bersalah yang teramat besar terhadap suaminya yang malang.
'Jglek!'
Pintu terbuka, dan seorang pelayan masuk dengan sebuah kotak di tangannya. Tanpa menoleh sedikitpun pada Melisa, pelayan itu menyimpan kotak itu di atas sofa di depan ranjang, kemudian kembali keluar dari kamar itu.
Melisa membalut tubuhnya dengan selimut. Kemudian, membuka kotak itu. Dalam kotak itu, terdapat tas miliknya berisi kunci mobil dan ponsel. Lalu di bawah tas terdapat baju ganti untuknya dan sebuah amplop.
Amplop itu berisi foto dirinya tengah berbaring di bawah tubuh seorang lelaki. Wajah lelaki itu samar karena terlihat dari belakang, namun wajah Melisa nampak begitu jelas. Melisa kembali menangis sejadi-jadinya. Di belakang foto itu terdapat sebuah tulisan.
Kini kau adalah tawananku.
Melisa merobek foto itu menjadi serpihan kecil, kemudian segera masuk ke dalam kamar mandi di ruangan itu dan membersihkan dirinya dari jejak-jejak Louis. Lelaki gila yang mempermainkan dirinya.
Setelah mandi dan berpakaian, Melisa keluar dari kamar itu kemudian mencari-cari seseorang. Seorang pelayan wanita datang menghampiri sambil menunduk.
"Nyonya, silahkan sarapan terlebih dahulu," ucap pelayan itu.
"Mana Louis? Mana Resi?"
"Tuan sudah berangkat ke kantor dan Nyonya Resi sudah berangkat ke bandara, Nyonya," jawab pelayan itu.
"Bandara?"
"Iya, Nyonya Resi akan berlibur ke Eropa selama dua minggu."
Melisa mengangguk, kemudian keluar dari paviliun itu. Segera dia berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.
Sebelum menyalakan mobilnya, Melisa meraih ponsel dan mulai berpikir untuk melaporkan apa yang menimpa dirinya semalam pada Resi. Namun, belum sempat dia menelepon Resi, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Panggilan dengan nama kontak Louis.
"Hah? Sejak kapan aku menyimpan nomornya?" tanya Melisa.
Dengan penuh amarah, Melisa mengangkat sambungan telepon itu. "Hei, lelaki brengsek! Akan aku laporkan kau ke polisi!"
"Hahaha..." tawa renyah Louis terdengar dari dalam sambungan.
"Sebelum kau sampai ke kantor polisi, maka foto dan video asusilamu akan tersebar di media sosial," tambah Louis.
Melisa meninju stir mobil dengan sekuat tenaga.
"Kau merekam kejadian semalam?"
"Kau adalah tawananku sekarang. Aku harus memiliki sesuatu yang mengikatmu denganku."
"Sialan!"
"Oh ya, aku pun menyimpan nomor telepon suami malangmu itu. Dengar, aku bisa melakukan apapun semauku. Jangan pernah berpikir untuk lari, menghindar, atau melawanku."
"Apa yang kau inginkan dariku? Apa semalam kau tidak puas?! Aku hancur! Aku sudah hancur!" teriak Melisa histeris.
"Aku masih menginginkanmu," ucap Luois dengan nada dingin.
Louis menutup teleponnya dengan penuh kemenangan. Kemudian dia membuka laci meja kerjanya. Terlihat sebuah foto istrinya bersama Melisa sembilan tahun lalu. Foto di saat keduanya masih berkuliah. Louis pun merobek foto Resi, kemudian menyimpan dan menatap foto Melisa.
"Akhirnya, aku mendapatkanmu, Lisa."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!