Assalammualaikum wr wb. Semoga kalian selalu sehat dan terus berada dalam lindungan Allah SWT. Aku ucapkan selamat datang kepada kalian semua yang baru saja bergabung di novel ini.
Ganaya, My Adore. Novel ini, adalah novel ke 8 yang aku buat di NT/MT. Kalau mau baca kisah lainnya. Bisa langsung ke profil ku untuk pilih karya ya.
Terimakasih,
With Love Gaga🌾🌾
****
"Kamu siapa?" tanya wanita berkulit putih dengan beberapa tanda lebam biru di sekitar wajah dan perban mengeliling dikening kepala. Wanita ini berbicara dengan intonasi polos, lain dari biasanya.
"Maldava Ammar, Suamimu ..."
"Benarkah? Setampan ini suamiku?"
"Benar, sayang."
Wanita itu tersenyum tanpa ragu. Ia mengelus lembut pipi lelaki yang menyebut dirinya menjadi suami. Ammar memejamkan mata, menyambut penuh cinta usapan lembut yang tidak pernah ia rasakan selama satu tahun pernikahan dengan sang Istri.
Jika kebanyakan suami akan bersedih karena istrinya mengalami hilang ingatan, beda hal dengan Maldava Ammar. Lelaki itu sangat bersyukur karena dengan begitu ia bisa memiliki Putri Ganaya Hadnan seutuhnya, baik dari segi hati dan raga.
Selama setahun pernikahan, Ammar selalu mencoba menjadi suami yang sempurna untuk Ganaya, namun semua itu tidak cukup menghadirkan cinta di hati istrinya. Bukan hanya cinta yang belum bisa Ganaya berikan namun juga kehormatannya.
Bagaimanakah perjuangan Ammar untuk bisa dicintai dan menghempaskan masa lalu Ganaya? Memanfaatkan kehilang ingatan Ganaya untuk bisa mencintainya?
Menghilangkan jati diri asli sang istri agar tidak ada lagi orang yang menganggapnya ada?
Melindungi rumah tangga mereka dari berbagai teror para bandid?
Dan disaat Ganaya sudah mencintai Ammar, wanita itu harus menelan pil pahit. Apakah yang terjadi?
Dan inilah kisah mereka.
*****
Eco Group. Sebuah perusahaan industri yang bergerak di bidang baja dan logam terbesar di Indonesia sampai ke Asia tenggara. Perusahaan yang memiliki banyak anak cabang, dengan total jutaan karyawan.
Sudah lima puluh tahun Eco Group berdiri, membantu perekenomian negara, menciptakan bibit-bibit unggul dari segi sumber daya alam dan manusia.
Eco Group selalu masuk kedalam kategori perusahaan terbesar, terbaik dan mempunyai nilai saing yang besar. Beberapa kali namanya ada di catatan muri Indonesia.
Eco Group adalah perusahaan keluarga berdarah biru yang cukup terkenal dan mempunyai kasta tertinggi di kalangan masyarakat Indonesia yaitu keluarga Artanegara.
Dan saat ini, Eco Group sudah berpindah ke tangan generasi berikutnya. Sang Ayah melepas kedudukan menjadi Presdir kepada anak lelakinya.
Selama enam tahun terakhir kempimpinan Eco Group berada dalam kepemimpinan seorang laki-laki single berusia dua puluh tujuh tahun. Anak bungsu dari pasangan suami istri, Bilmar Artanegara dan Alika Sarasafi.
Lelaki tampan, cerdas, berkuasa dan sangat di takuti oleh para pesaing di bursa modal. Dia adalah Maldava Ammar Artanegara. Walau begitu, ia adalah lelaki yang sangat mencintai keluarga. Selalu menomor satukan kebahagian orang tua, Kakak dan para keponakannya.
Demi harta, tahta dan wanita. Ammar rela melakukan apa saja untuk membuat seluruh keinginannya terpenuhi. Ia hanya ingin hidup di atas ribuan kata pujaan, salah satunya mendapat pujian dari Mama dan Papa karena ia berhasil membuat EG tumbuh dan berkembang secara pesat. Sampai beberapa kecurigaan selalu menyuduti nya. Mau cara dari segi haram pun, akan Ammar tempuh.
Dan tentu, perubahan sikapnya adalah untuk membunuh kenangan masa kecil yang begitu pelik dan tidak mengenakan hati. Ia tidak ingin dianggap lemah oleh siapapun. Penyesalannya adalah tidak membantai mereka yang selalu menyakiti, membully dirinya dari masa kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
"Sudah lengkap semua?" tanya lelaki berjas hitam dan berdasi. Terlihat di genggaman tangannya ada sebuah HT.
"Hampir delapan puluh persen lagi, Pak Denis. Masih ada sekitar ..." Zakaria seraya menghitung berapa jumlah bangku yang masih kosong. "Ada lima lagi bangku yang belum terisi---"
Siang ini, tepatnya di gedung serbaguna Eco group. Sang Presdir EG mengundang sejumlah Direktur dari berbagai perusahaan lain, yang juga bergerak di bidang logam dan baja, untuk datang dan menyaksikan alat pembuatan logam dan baja terbaru yang berhasil EG ciptakan. Ammar ingin mendistribusikan dan menawarkan alat-alat tersebut kepada mereka semua.
"Ya sudah kalau begitu. Akan saya kabarkan kepada Presdir. Oh, iya. Tingkatkan keamanan di seluruh pintu. Pintu utama, barat dan timur serta pintu belakang pun, jangan biarkan ada cacing yang berkeliaran." perintah Denis.
Seakan faham apa yang dimaksud Denis dengan kalimat terakhir. "Baik, Pak. Semua sudah aman." jawab Zakaria mantap. Denis pun mengangguk dan berlalu setelah menghentak pelan bahu Zakaria.
Lelaki itu kembali melangkah keluar dari gedung untuk pergi menuju kantor EG pusat. Ingin memberitahukan kepada Presdir nya tentang keadaan di gedung serbaguna saat ini.
Beberapa saat kemudian, langkahnya yang sudah sampai begitu saja terpaku di bingkai pintu ketika ia melihat seorang wanita tengah bersimpuh di kaki Presdirnya.
"Jangan main-main denganku! Jangan coba-coba menghianatiku! Sampai ke ujung lubang semut pun, kamu dan suamimu akan aku temukan!" Ammar mencengkram kedua pipi wanita itu dengan satu telapak tangan kekarnya.
"Ampuni saya, Pak. Suami saya khilaf." wanita berjas itu terus saja bersimpuh sambil mendongakkan wajah. Ia meronta untuk mengungkapkan permohonan maaf.
Ammar berdecih. Menatap keji bola mata wanita itu. Lalu Ia melepaskan cengkramannya dan membuat wanita itu menjadi terhuyung ke atas lantai.
"Bawa dia! Beri pelajaran! Dan temukan suaminya, jika sudah dapat berikan hati, jantung dan paru-paru nya untukku!" titah Ammar kepada para bodyguard dan pengintai bayaran yang telah berkumpul di dalam ruangan itu. Denis menatap Bima dengan tatapan hampa.
Sontak mendengar ucapan Ammar membuat wanita itu meraung histeris. Meminta maaf pun percuma karena tubuhnya sudah lebih dulu di bawa oleh para bodyguard bertubuh tinggi dan besar.
Ammar membalikan tubuhnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Rahangnya terlihat mengencang. Ada deruan napas kasar memburu setelah ia mengungkapkan kekecewaannya.
Berdiri sambil mengangkat dagu nya sedikit, menatap baja yang baru saja turun dari mobil truk besar di sekitar lapangan EG, dari jendela besar yang terbentang lebar diruang kerjanya. Ia dapat dengan jelas melihat bagaimana aktivitas para pekerja EG dari atas sini.
"Bagaimana?" suara dingin Ammar. Membangunkan lamunan Denis dan Bima.
Dua lelaki gagah yang di bayar oleh Ammar sebagai tangan kanan dan kirinya, menjadi asisten pribadi dalam urusan apapun. Sampai mereka pula yang mengatur jadwal pertemuan antara Ammar dan Asyifa, calon istrinya, selama ini.
Bima menatap Denis. Menyuruh lelaki itu untuk cepat menjawab, karena mereka tahu Presdirnya tidak suka menunggu.
"Delapan puluh lima persen para Presdir sudah hadir di gedung, Pak." jawab Denis.
Ammar membalikan tubuhnya, ia menatap lurus netra pekat milik Denis. "Apakah Ibu Ganaya sudah hadir?" kini nada nya terdengar mulai hangat. Tidak dingin seperti beberapa menit yang lalu. Seperti ada titik kerinduan yang menyeruak.
DEG.
Rasanya Denis ingin masuk kedalam tanah, dan bersembunyi dengan para cacing-cacing. Bodoh sekali dia, mengapa hal itu bisa terlewatkan begitu saja. Denis lupa, menanyakan perihal kedatangan Ganaya kepada Zakaria.
Ammar menitah dirinya untuk mengetahui langsung keadaan gedung bukan hanya ingin mengetahui seberapa banyak yang datang, namun lebih dari itu. Ia hanya ingin tahu, apakah wanita yang baru saja ia sebut itu sudah datang memenuhi undangannya.
Bima mendengus pelan. Ia sudah tahu, Ammar pasti akan murka. Walau Denis yang melakukan kesalahan, tetap saja dirinya akan terseret. Bima mendelik tajam kearah Denis yang masih mematung belum bisa menjawab. Sialann!
Drrt drrt drrt.
Getaran ponsel membuat Ammar mengalihkan tatapannya dari Denis. Ia merogoh gawai dan menatap layar terang di sana. Kembali menatap Denis dan Bima dengan gerakan tangan seraya mengusir.
"Baik, Pak." Denis dan Bima berlalu cepat dari hadapan Presdirnya.
Napas kelegaan mencuat, dengan waktu yang sedikit ini, akan Denis pergunakan sebaik-baiknya untuk kembali ke gedung. Ingin mencari tahu keberadaan direktur pusat Hadnan Group, sebelum Presdirnya kembali bertanya.
"Beruntungnya kita selamat! Sudah, sana!" Bima berdecak ketika langkah kaki mereka sampai di luar pintu ruangan Ammar. Denis hanya mencebikkan bibir lantas berlalu dari sana.
Ammar tersenyum menatap layar gawainya dan mengusap icon video call.
Ada tiga anak perempuan, yang sedang tersenyum manja kepadanya.
"Om ... nanti malam kerumah ya, Bunda buat kue." ucap Geisha.
"Om ... beliin aku pizza ya, sama burger sekalian." ucap Gea.
"Om ... Om, aku mau donat ya." selak Ginka.
Ammar tersenyum, menatap tiga keponakan nya yang terus berebut ponsel untuk berbicara kepadanya.
"Iya, Nak. Nanti malam Om akan kerumah kalian, ada lagi yang mau dipesan? Kalau Bisma dan Pradipta mau apa?" Ammar berbalik tanya untuk menawarkan.
Dan laki-laki berdarah dingin itu akan berubah menjadi hangat, ketika sedang bersama keluarga besarnya. Apalagi dengan lima keponakannya. Hati dan jiwanya tidak bisa menolak, ketika mereka merengek sesuatu.
Setelah puas berbicara dengan ketiga keponakannya. Ammar kembali memasukan gawai ke dalam saku jasnya. Bertepatan dengan langkah kaki yang akan ia gerakan, Ammar kembali mematung ketika seorang wanita mendobrak pintu ruangan kerjanya dengan langkah blingsatan serta leleran air mata.
"Ammar!" seru wanita itu setengah berlari lalu menerjang Ammar dengan pelukan.
"Maaf, Pak. Kami tidak bisa mencegah Ibu Asyifa untuk menunggu diluar---" sang asisten pribadi mengekor dibelakang wanita itu.
Ammar mengangguk dan kembali menggoyangkan punggung tangannya. "Baik, Pak. Saya menunggu diluar." ucap Bima.
"Ammar! Kamu jahat!" seru Asyifa. Wanita itu terus menangis sambil meremat jas dibagian dada Ammar. Sesekali menghentak dada Ammar dengan pukulan bertekanan kecil.
"Aku tidak mau pernikahan kita di batalkan! Aku tidak mau!" Asyifa berteriak kencang, ia semakin mengerang dalam tangisannya. Memeluk dada Ammar, dan lelaki itu hanya diam tidak mau membalas. Raut kebencian di wajar Ammar begitu kentara.
Beberapa jam sebelumnya Ammar mendatangi kediaman keluarga Asyifa untuk membatalkan pernikahan mereka, Asyifa yang notabene nya bekerja sebagai Dokter Bedah sedang ada operasi kala itu.
Ia baru diberi tahu oleh orang tuanya dengan keputusan Ammar. Dengan rasa panik ia menghubungi Ammar lewat sambungan handphone, tapi sayang nomor handphone nya sudah di blokir.
"Jawab! Kenapa kamu ingin membatalkan pernikahan kita?" seru Asyifa. Wanita itu melepaskan pelukannya dan memundurkan langkah agar bisa bersitatap jelas dengan Ammar.
"Bukan ingin, Syifa. Tapi sudah ..."
Asyifa mengusap wajahnya gusar. Ia beringsut kembali untuk memukul dada Ammar, namun lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu lebih dulu mencekal pergelangan tangan Asyifa.
Wanita itu terus saja meronta. Menangis terseguk-seguk. Ammar ingin sekali memeluknya dan mengucap kata maaf, tapi rahasia yang baru ia tahu. Membuat ia begitu murka kepada wanita ini.
Dengan bola mata yang sudah memerah, Asyifa melontarkan pertanyaan yang begitu menusuk.
"Kurang ajarr kamu, Ammar! Kamu mempermainkan ku dan keluargaku!"
"Dari awal aku memang tidak pernah berniat meneruskan perjodohan ini!" Ammar membalas ucapan Asyifa tanpa rasa bersalah. Karena bagi Ammar, wanita ini pantas mendapatkannya.
Kening Asyifa menyerengit. Mulutnya menganga dengan wajah yang tiba-tiba melongo. Tidak salahkan telinganya?
"Aku mencintaimu, Ammar." lirih Asyifa. Wanita itu mendekatkan wajahnya, untuk mencium bibir Ammar secara paksa.
Ammar melepas perpagutan bibir itu. Ia mengusap sudut bibirnya yang terasa basah.
"Kenapa? Bukannya selama ini kamu suka?" Asyifa mencakup wajah Ammar, dan menatap lelaki yang amat dicintai dengan leleran air mata.
Ammar hanya bisa mendesahkan napas berat. Mengusap wajah gusar dengan memberikan gelengan samar kepada Asyifa.
"Sejatinya kamu tau apa yang ada di dalam hatiku, Syifa." bola mata Ammar terlihat serius. Ucapannya pun sangat jelas. Ia melepas cekalan tangannya dipergelangan tangan Asyifa. Menurunkan tangan wanita cantik itu dari wajahnya.
"Kalau kamu mau tampar aku, silahkan. Aku terima."
Raut kekesalan semakin tercetak jelas di wajah Asyifa. Berani-beraninya lelaki yang beberapa bulan kemarin sudah melamarnya, sekarang seenaknya mencampakkan dan ingin membuangnya dari perjodohan ini.
"Apa yang membuat kamu tiba-tiba berubah seperti ini, Ammar! Aku tidak percaya dengan ucapan kamu itu!" Asyifa semakin dibakar emosi. "Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari ku, iya 'kan?" Asyifa mencoba menutupi apa yang sebenarnya sudah ia terka.
Nyaring sekali wanita itu berteriak, sampai Bima yang masih berada diluar saja, ingin masuk kedalam untuk menolong Presdirnya dan menjambak wanita itu untuk menyeretnya pergi.
Ammar mendesah napas berat, ia kembali benci ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Asyifa. Rasa amarahnya kembali menggebu.
Ammar menjulurkan tangannya untuk mencengkram leher Asyifa dan memundurkan langkah wanita itu secara paksa untuk dihimpit ke dinding. Bola mata Ammar menyalak tajam. Asyifa seperti seekor semut yang akan di injak oleh Gajah.
"Bukan aku yang menyembunyikan sesuatu! Tapi kamu, Syifa!" kelakar Ammar dengan wajah jenaka. Wanita itu semakin dibuat bingung. Asyifa kaget setengah mati dengan kemarahan Ammar yang sedang memuncak namun dibalut dengan decakan tawa nyeleneh.
"Kamu tau, aku mencintainya ..."
DEG.
Raut wajah Asyifa menegang. Kedua bola mata nya membeliak tajam. Kaca-kaca sudah menggenang di pelupuk matanya. Ingin berbicara namun sulit, lidahnya kelu.
"Ya, aku tau!" Asyifa menjawab dengan luka menganga.
"Jangan macam-macam Ammar! Kak Gana dan Kak Adri akan menikah, lusa!" nada Asyifa memelas.
Ammar berdecih dengan wajah jenaka. "Lalu?" jawabnya.
"Lalu apa?" Asyifa kembali di sulut emosi.
"Tanyakan sendiri pada dirimu, apa yang akan aku lakukan, jika rahasia kalian ada ditangan ku!"
Jantung Asyifa kembali berdentam ribuan kali.
***
Like dan Komennya ya kalau suka🤗😘
"Tanyakan sendiri pada dirimu, apa yang akan aku lakukan, jika rahasia kalian ada ditangan ku!"
Jantung Asyifa kembali berdentam ribuan kali.
"Apa maksud kamu, sayang. Aku menyembunyikan apa?" tanya Asyifa dengan suara terbata-bata, ia mulai melembutkan nada suaranya.
Bola mata nya mengerjap beberapa kali. Untuk saat ini ia harus tetap bersabar, walau dadanya terasa sesak, ia merasa Ammar mulai mencium sesuatu hal yang ia takuti. Lehernya yang sedang dicekik Ammar, membuat ia tidak bisa berbicara dengan jelas.
Walaupun Ammar membenci wanita ini, namun ia tidak mau bersikap konyol untuk membunuhnya. Terlebih lagi, wanita ini yang akan ia tinggalkan begitu saja. Pasti akan banyak luka yang ia sematkan.
"Kamu dan Kakak sepupumu telah membodohi aku dan Ganaya selama ini!"
"Hah ... ma--maksud kamu, apa?" dibalik tanya yang mengandung kepura-puraan. Rasa keterjutan karena ketahuan membuat Asyifa terbelalak.
"Aku akan merebutnya. Aku mencintainya!"
Bagai di hujam dengan semburan panah yang melesat tepat di jantung dan hatinya. Asyifa menggeleng kaget dengan wajah tertohok. Walau ia memang sudah tahu beberapa bulan ini kalau Ammar mencintai wanita itu. Tetap saja rasanya sakit sekali.
Asyifa mendesah lemas. "Kamu tidak boleh mencintainya, Ammar!" Asyifa kembali kuat. Walau dengan dentuman jantung yang belum bisa ia kendalikan.
"Jangan harap kamu mendapatkannya Ammar, Kak Gana sangat mencintai Kakakku!"
Asyifa mulai murka dan geram. Sudah satu bulan ini, ia menahan untuk tidak marah. Wanita itu terbelalak ketika ia mengetahui calon suaminya selama ini mencintai calon Kakak iparnya? Bagaimana bisa? Dan kenapa wanita itu harus Ganaya? Wanita baik yang amat di sayang oleh Asyifa.
"Aku sudah mencintainya, sebelum Adri mencintai Gana." jawab Ammar jujur. Terdengar nada suaranya begitu sendu. Seperti sedang menahan rasa yang selalu tersimpan didalam raga.
DEG.
Benarkah?
Asyifa membekap mulutnya lagi dengan gelengan kepala samar. Jantungnya seperti ingin tertarik lalu jatuh ke dasar perut.
Selama itu kah?
"Bagaimana bisa kamu mencintainya? Apa hubunganmu dengan dia, sebelum kita?" air bening berduyun-duyun turun menetes dari sudut matanya. Semakin sering nama Ganaya disebut, semakin perih tepi hatinya.
Ammar bergelak tawa renyah. "Apa kamu belum mengetahuinya juga? Aku bahkan lebih mengenal dia lebih dulu dibanding Adri!" menjeda kalimatnya, Ammar menatap legam bola mata Asyifa dengan sinar mencekam. "Aku fikir kamu adalah wanita yang baik. Tapi ternyata aku salah, hanya karena cinta buta, kamu merelakan hati wanita lain!"
"Hah?" mulut Asyifa kembali menganga lebar.
"Wanita lain? Siapa? Atau jangan-jangan?" bola mata Asyifa kembali melotot tajam. Ia kembali gelagapan. Habis lah riwayatnya.
"Apa kamu sudah mengetahuinya Ammar?" wanita itu kembali bertanya dengan terbata-bata. Ia menggenggam tangan Ammar.
"Aku mohon! Jangan rusak kebahagiaan Kak Adri, Ammar!"
"Dengan mengorbankan Ganaya?" selak Ammar dengan wajah dinginnya.
"Sudah cukup, Syifa. Selama ini aku berkorban perasaan hanya karena ingin melihat Ganaya bahagia, bukan menderita! Aku relakan dia dengan Adri, karena aku fikir. Lelaki itu adalah lelaki baik. Ternyata dia tidak lebih dari seekor tikus hitam yang selalu merangkak di dalam comberan!" Ammar menumpahkan segala unek-uneknya. "Dan tega-teganya kamu ikut bersandiwara!"
Seteguk saliva Asyifa telan jauh sampai ke dasar kerongkongan. Napasnya mulai berantakan.
"Apa sih masalahnya? Jelaskan padaku, Ammar! Kamu pasti salah faham." Asyifa terus menenangkan Ammar, sebisa mungkin ia harus meredam, jika apa yang ia terka sekarang menjadi kenyataan.
Namun lelaki itu enggan dan muak. Asyifa semakin tersudut. Ia tahu rahasia yang ia simpan bersama Adri akan terbongkar. Cepat atau lambat, Ganaya pasti akan mengetahuinya.
"Sudah lah! Aku sedang sibuk, silahkan pergi, Syifa. Hubungan kita sudah selesai sampai di sini." Ammar Menggerakkan punggung tangan seraya mengusir, dan membalikan tubuh untuk melangkah menuju meja kerjanya.
Asyifa menggeleng, ia kembali mengerang. Menarik lengan tangan Ammar agar lelaki itu berbalik. Asyifa Menangis sesegukan sambil memukul-mukul dada Ammar.
"Aku enggak akan melepaskan kamu, Ammar! Kita akan tetap menikah!" teriak wanita yang memakai bracket disepanjang gigi-geliginya. "Lihat cincin ini, ingatkan? Kamu yang menyematkan cincin ini dijariku." Asyifa menunjuk cincin yang sedang ia pakai di jarinya.
Ammar tetap dalam pendiriannya. Ia tidak iba sama sekali. Kesalahan Adri dan Asyifa, sangat tidak bisa untuk di tolerir.
"Aku tetap dalam keputusanku!"
Geram dan murka. Asyifa kembali berteriak, ingin melangkah lagi untuk memukul dada Amar namun terhentikan begitu saja. Bima dan Denis hadir tepat waktu untuk menarik tubuh wanita itu untuk menjauh. Ammar menatap legam wajah Asyifa sambil membetulkan jas nya yang terlihat berantakan.
"Lepas!" Asyifa berteriak kepada Bima dan Denis. Namun kedua lelaki itu tetap tidak mau melepaskan dirinya.
Asyifa kembali menatap Ammar. "Dengarkan aku, Ammar! Kamu tidak akan pernah mendapatkan cinta dari Kak Gana! Kamu akan menyesal telah melakukan hal ini kepadaku!"
"Bawa dia!" Ammar tidak memperdulikan Asyifa. Ia mengalihkan bola matanya ke arah lain. Ucapan Asyifa begitu menyakitkan. Memang betul, ia tidak akan pernah mendapatkan cinta dari wanita itu.
Asyifa berlalu dengan seretan paksa. Ammar membalikan tubuhnya, berdiri di balik kursi dan mencengkram puncaknya. Lelaki itu terlihat memejamkan kedua mata. Mendongakkan kepalanya ke belakang, seraya menahan rasa sakit yang sedang membuncah.
"Walaupun kamu harus menjalani takdir hidup dengan lelaki lain, setidaknya jangan dengan Adri, Gana! Aku tidak akan rela." lirihnya. Tanpa lelaki itu sadari, air bening turun dari sudut matanya membuat jejak garis lurus, membasahi pipi dan lehernya. Guncangan pada pangkal bahunya kentara jelas.
"Sampai saat ini, namamu masih saja terukir di hatiku."
***
"Iya, Mah. Gana hanya sebentar, Ammar mengundang perusahaan kita, enggak enak kan kalau enggak datang." ucap seorang wanita bertubuh tinggi dan ramping di sambungan telepon.
Ia memakai dress selutut dengan blazer menutup dadanya. Rambut cokelat panjang yang terurai sampai melewati lengan begitu saja terkibas karena hembusan angin. Turun dari dalam mobil dengan tas yang ia jinjing ditangan kirinya. Wanita itu melangkah pelan dengan gawai masih mengatung di daun telinganya.
"Tapi kamu akan menikah lusa, masa masih kerja? Gelfa saja baru sampai di rumah." jawab Mamanya diseberang sana.
Bola mata wanita itu membulat hebat. Sudut bibirnya terangkat sempurna. Kilatan senyum mulai tampak. "Baiklah, Mah. Sehabis rapat, aku akan cepat pulang."
Namanya Putri Ganaya Hadnan. Wanita berusia tiga puluh tahun yang akan menikah dengan pujaan hatinya dua hari lagi. Ia adalah anak kedua dari pasangan Galih Hadnan dan Nadifa Putri.
Ganaya di amanat kan oleh orang tuanya untuk mengambil alih kursi kepemimpinan di perusahaan Hadnan Group. Ia menjadi Presdir kala ini, di sana. Semenjak Kakaknya, Putra Gifali Hadnan, mengundurkan diri dari perusahaan. Lelaki itu ingin membuat perusahaan baru di bidang yang ia sukai.
Ganaya adalah wanita yang bisa dibilang cukup pemilih. Berkali-kali ia gagal dalam urusan percintaan dan membuat ia sedikit trauma kepada lelaki, membuat ia terus menjomblo dalam waktu lama. Ammar selalu datang, tapi wanita itu selalu menolak.
Gana hanya menganggapnya seperti adik. Ia tidak bisa mencintai lelaki itu. Sampai dimana ia di langkah menikah oleh adiknya, Gelfani. Keadaan Gelfani memang mendesak kala itu, jika saja tidak karena kasus Married By Accident. Ia juga tidak mau melangkah sang Kakak.
Tidak mau di langkah kedua kalinya oleh adik bungsunya, Gemma. Akhirnya Ganaya memilih untuk melakukan hubungan serius yang baru berjalan selama satu tahun ini dengan Adri Wiryawan. Seorang Presdir di sebuah perusahaan tekstil.
Awalnya Ganaya ragu, namun karena Adri mampu memberikan rasa cinta, kasih, sayang dan perhatian yang utuh kepada Ganaya, maka wanita ini pun tergoda dan berbalik mencintainya. Malah sangat mencintai. Namun sayang Ganaya tidak pernah tahu rahasia hidup apa dibalik sosok Adri Wiryawan.
"Kakak ..."
Ganaya mengerutkan kening, ketika ada suara yang tidak asing terdengar seperti sedang mengejarnya. Ia menoleh dengan tangan masih menggenggam gawai. Gana tersentak, menatap kaget kedatangan wanita yang tengah berlari ke arahnya.
"Asyifa?" serunya.
Ia mematikan sambungan telepon tersebut secara mendadak. Membiarkan sang Mama di seberang sana mengerut kebingungan. Buru-buru memasukan gawai kedalam tas, lalu melangkah untuk menghampiri Asyifa yang tengah berjalan ke arahnya.
"Kamu sedang apa---" pertanyaan Ganaya terjeda ketika ia melihat wajah Asyifa sudah sangat basah.
"Kamu menangis, Syifa?" tanya Ganaya dengan raut khawatir.
"Kamu kenapa?" Ganaya tetap mencecar, kali ini dengan tangan mengerat di kedua lengan Asyifa.
Asyifa tetap menangis, menatap legam wajah Ganaya. Wanita yang dicintai oleh calon suaminya. Tatapan matanya sendu dan nanar. Sekaligus murka, malah rasanya sekarang ia ingin menghempaskan Ganaya sejauh mungkin dari hidupnya dan Ammar.
"Kamu kenapa?" Ganaya mengulang ucapannya.
"Ammar membatalkan pernikahan kami." jawab Asyifa dengan nada dingin.
Ganaya tertohok, ia kaget setengah mati sampai membekap mulutnya sendiri. Namun ada yang janggal dalam pandangannya, ketika sedang bersitatap dengan bola mata Asyifa.
"Ada apa, Syifa? Mengapa kamu menatapku seperti itu?" Ganaya berubah tidak enak hati.
Ada hubungan dengannya, kah?
"Selama satu bulan ini aku cukup menyimpan luka di hatiku, Kak. Aku terpukul dengan kenyataan yang baru aku terima. Berbagai foto mu ada di handphone Ammar, bahkan di apartemennya pun. Tersimpan fotomu di ruang kerja yang tidak boleh siapapun untuk memasukinya. Bahkan ketika kami sedang berciuman, ia pernah mengeluh namamu!"
DEG.
Jantung Ganaya memburu hebat. Katupan bibirnya sedikit terbuka dengan sorotan bola mata yang begitu tajam. Berkali-kali ia menggerakkan kepalanya dengan gelengan samar. Ia kembali tersentak, terperanjat habis-habisan.
Ammar masih mencintainya? Sudah selama ini? Suara hatinya menyeruak, ia sampai sulit untuk menegaskan kepada Asyifa, takut-takut apa yang didengar saat ini adalah sebuah kesalahan.
"Ada hubungan apa kalian selama ini, Kak?Kamu mengenal, Ammar?"
***
Like dan Komen ya guys,
Hello Presdirku, Putri Ganaya Hadnan.
Hanya rasa patah, hancur dan sakit ketika mengetahui Ganaya tengah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Berhari-hari menutup diri dalam rasa kekecewaan yang terus berkecamuk. Tidak ada lagi harapan untuk tetap bertahan pada wanita yang tidak akan menjadi miliknya.
Untuk itu, Ammar menerima perjodohan yang dilakukan oleh sang Mama. Orang tua Ammar resah, mereka takut anak lelakinya itu tidak menyukai wanita. Karena selama hidup Ammar tidak pernah memiliki kekasih atau teman wanita yang di ajak bertamu ke rumah.
Ammar mantap menyetujui perjodohan itu, dan Asyifa langsung jatuh hati pada pandangan pertama kepada Ammar.
Ammar berharap, dengan menikahi Asyifa. Bayangan Ganaya akan menghilang seiring cinta yang selama ini masih bersarang lekat di dalam hatinya, bisa terhempaskan dengan baik.
Ia bermaksud ingin membangun rumah tangga bersama Asyifa dan pergi jauh dari Ganaya. Ia yakin, cinta akan datang seiring mereka hidup bersama.
Ammar sudah menjalani hubungan dengan Asyifa selama empat bulan, dan tetap saja rasa cinta tidak kunjung hadir. Karena si cinta hanya ingin berlabuh kepada Ganaya seorang.
Tapi, sepertinya hidup sedang ingin bercanda dengannya. Ammar terkejut, ketika ia tahu, dirinya dan Gana akan menjadi kembali menjadi saudara dalam keluarga yang berbeda.
Kini, mereka akan hidup dalam satu payung, bersama keluarga Wiryawan. Dimana, Asyifa dan Adri adalah saudara sepupu di dalam keluarga tersebut.
Dari semenjak itu, Ammar tidak pernah lagi hangat kepada Gana. Gana dan Ammar menutup hubungan kekeluargaan di antara mereka kepada Asyifa dan Adri. Biarlah berjalan layaknya orang yang tidak saling mengenal.
Ammar mengikhlaskan Gana untuk berbahagia. Ganaya pun menyemangatinya agar bisa mencintai Asyifa. Dan Ammar setuju akan semua itu, sampai dimana ia tahu.
Jika Adri dan Asyifa telah membohongi wanita yang ia cintai sampai detik ini. Maka dari itu rasa cintanya kembali bergejolak. Ia yakin, masih mempunyai kesempatan untuk menikahi Ganaya.
Aku akan merebutnya. Aku mencintainya.
Mengingat ucapan Ammar, membuat Asyifa semakin terluka. Ia kembali berteriak, sampai Ganaya terlonjak dari lamunannya.
"Jelaskan padaku! Apa yang kalian sembunyikan? Ada hubungan apa, Kak?" Asyifa mengguncangkan kedua lengan Ganaya.
"Tenang, Syifa. Kamu tidak perlu panik seperti ini. Tidak ada hubungan apa-apa antara aku dengan Ammar." Ganaya menjeda ucapannya, menghirup oksigen sebentar untuk melegakan dadanya. Sejujurnya ia masih kaget, dengan ucapan Asyifa beberapa detik lalu.
"Kakaknya Ammar adalah istri dari Kakakku. Kami berdua hidup dalam lingkaran keluarga. Pertama kali mengenalnya, dulu saat aku masih ada di bangku SMA. Aku hanya menganggapnya sebagai adik. Namun berbeda dengannya, Ammar jatuh hati padaku pada pandangan pertama. Beribu kali ia menyatakan cinta dan beribu kali itu pula aku menolak nya, Syifa."
Buliran air mata semakin deras membasahi pipi Asyifa. Sebegitu besarnya kah cintanya Ammar? Bahkan ia saja sangat iri mendengarnya, mengapa bukan dia?
"Apakah Kakak akan mengambil Ammar dariku?"
"Kamu ngaco, Syifa." Ganaya tertawa. "Kan, sudah ku bilang tadi. Aku bahkan beribu kali menolaknya. Aku akan menikah dengan Kakakmu lusa. Aku sangat mencintai, Adri. Apa itu tidak cukup untuk menenangkanmu?"
Asyifa mengangguk. Ia mencoba untuk tenang walaupun kadarnya masih sedikit. Air matanya pun mulai surut. Hanya sisa-sisa kebasahan yang ada, dan Ganaya mengusapnya dengan punggung tangannya.
"Kamu tenang, Syifa. Aku akan membujuk Ammar. Dia pasti akan mendengarkan ucapanku." Ganaya menenangkan calon adik iparnya.
Asyifa langsung memeluk Ganaya. "Benar ya, Kak? Kamu janji, kan?"
Ganaya mengangguk senyum. Mengusap lembut punggung Asyifa dengan gerakan naik turun. Dirasa Asyifa sudah membaik, Gana melepaskan pelukan itu. Gana menangkup wajah Asyifa, dan wanita itu sedikit mendongakkan wajahnya.
"Aku berjanji." jawab Gana mantap.
"Kak, jika Kak Adri melakukan kesalahan. Apakah kamu tetap mencintainya?"
Mendengar ucapan itu membuat Ganaya mengerjapkan matanya beberapa kali. "Maksud kamu apa, Syifa?" tanyanya bingung.
"Jawab saja."
"Mau lihat dulu masalahnya apa, kalau perselingkuhan. Jelas tidak ada maaf dariku."
JAG.
"Mungkin ini lebih menyakitkan, dibandingkan perselingkuhan, Kak." Asyifa lirih dalam batinnya.
"Kamu nih, kenapa sih, kok, jadi aneh begini? Yang sekarang jadi masalah kan, Ammar. Kenapa jadi bawa-bawa Adri?"
Asyifa menggeleng. "Ya udah, kamu pulang ya. Hati-hati di jalan. Aku harus cepat masuk ke dalam, sepertinya rapat sudah mau dimulai."
"Baik, Kak. Tolong ya, bujuk Ammar. Dan ... tetaplah mencintai Kakakku, sampai kapanpun."
Ganaya kembali mengerutkan kening dengan beberapa lipatan bergelombang. Ia merasa aneh, tapi ya sudah lah. Mungkin itu hanya nasihat pra pernikahan dari Asyifa untuk dirinya, fikir Ganaya. Asyifa berlalu dengan hati yang kacau. Ia ingin secepatnya pergi untuk mendatangi Adri.
***
Ganaya melangkah cepat memasuki gedung serbaguna Eco Group. Berkali-kali ia berseru bangga, karena Ammar mampu memajukan EG sampai sepesat ini dalam kurun waktu yang belum lama.
Seorang penjaga melakukan pengecekan dengan sebuah benda infrared yang di usap ke seluruh tubuh. Dirasa aman, Ganaya dipersilahkan masuk.
"Oh, syukurlah belum dimulai. Aku pasti tidak enak hati jika Ammar melihatku telat." gumamnya sambil menatap podium yang masih kosong, dan hingar bingar para Presdir tengah berbicara dengan para kolega membuat hati Ganaya kembali lega.
Ia berhenti sebentar sambil memandangi kursi-kursi yang ada dihadapannya sekarang. Kursi-kursi itu memunggunginya, menghadap ke arah mimbar. Ada sebuah podium yang memunggungi layar lcd. Membentang luas dj sana dan bertuliskan selamat datang. Sudah dipastikan sang Presdir Eco Group akan berdiri di sana.
"Duduk dimana, ya? Sepertinya sudah terisi semua---" gumaman nya terjeda ketika melihat penjaga mempersilahkan ia duduk ditempat yang sudah disediakan.
"Mari, Bu. Saya antar. Masih ada kursi yang kosong di depan." lelaki itu menjulurkan tangannya kedepan agar Ganaya lebih dulu berjalan di depannya.
Langkahnya terhenti sesuai arahan dari penjaga. Ganaya berdiri didepan kursi kosong tepat di barisan paling depan. Ia merasa aneh, mengapa masih ada satu kursi tersisa. Sedangkan di sisi kanan dan kiri kursi kosong tersebut sudah terisi.
"Apa Ammar sengaja, menyiapkan semua ini untukku?" batin Ganaya makin bergejolak.
Ya, tentu. Ammar yang sengaja mengatur tata letak kursi untuk Ganaya. Ia ingin melepas rindu dengan memandang lamat-lamat wajah wanita yang selama empat bulan ini tidak pernah ia temui. Ammar hanya akan melihat aktivitas Ganaya di status whatsappnya.
"Makasih banyak, Pak." ucap Ganaya kepada penjaga tersebut. Penjaga mengangguk hormat kemudian berlalu.
Ganaya langsung menghempaskan bokong di kursi setelah mengucapkan kata permisi kepada dua orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sama-sama Presdir, namun kastanya masih dibawah Eco Group.
Tak lama kemudian, derap sepatu pantopel begitu terdengar jelas. Sang Presdir EG memasuki gedung serbaguna dengan di dampingi enam pengawal dan dua asisten pribadinya. Ganaya menatap Ammar dengan decakan kagum.
Ia merasa Ammar seperti sekelompok orang yang paling disegani dan ditakuti saat ini. Tentu ia tidak tahu, apa pekerjaan Ammar selain menjadi Presdir Eco Group. Membuat ia harus terus terlindungi dalam keadaan apapun. Karena banyak yang mengincar nyawanya.
Dalam langkah menuju podium. Ammar menatap Ganaya dengan wajah teduh. Kilatan cinta seakan keluar dari manik matanya yang gelap. Samar-samar senyum dibibir nya terangkat.
Tidak terlihat lagi raut kaku dan dingin yang selalu orang lain temukan dibalik wajah tampan seorang Maldava Ammar. Bahkan, Bima dan Denis sesekali bersitatap dengan kode mata ketika melihat perubahan wajah Ammar. Memang, hanya Ganaya yang mampu menyejukkan hati sang Presdir EG.
"Kamu cantik sekali hari ini, Gana." Ammar memuji Gana dalam hatinya. Ia mengulum senyum simpul.
Hati Ammar berdesir, cinta sucinya benar-benar tidak lekang oleh waktu kepada Gana. Malah semakin besar. Rasanya, ia ingin memeluk tubuh wanita itu dan membawanya pergi jauh untuk hidup bersama.
Mungkin, kah?
Sekelibat bayangan masa kecil, 13 tahun yang lalu kembali menganggu fikiran Ammar.
"Hai Gana---"
Ammar berpindah duduk persis disamping Gana yang masih sibuk menyantap kue nya.
"Panggil Kakak dong! Kok nama sih, kamu tuh lebih muda dari aku!"
"Ya elah Gan, nggak enak manggilnya. Masa Kakak? Kalau kaya gitu, aku ngerasa kaya ke Kak Maura dong..." cicitnya manja.
Ngapain sih ini bocah? Sok dekat banget. Ganaya mendengus malas meladeni Ammar.
"Kita kan nggak jauh umurnya Gan, hanya tiga tahun!"
"Terus masalahnya apa??" Gana berdecak.
"Ya biar akrab aja, aku nggak usah panggil kamu nama---"
"Ya udah terserah, enaknya kamu aja!" Gana mengambil jalan pintas untuk menyudahi obrolan yang tidak penting ini.
"Bagi nomor WA kamu dong boleh nggak?"
Seketika Gana menjadi tersedak batuk-batuk.
"Aduh duh, kamu kenapa Gana?"
"MINUM!!" Tangan Gana menunjuk sebuah gelas berisi air yang agak jauh letaknya dari nya.
"Oh, iya bentar. Nih kamu minum dulu!" Ammar menyodorkan air kepada Gana.
"Kamu kenapa bisa tersedak begitu, makanya kalau mau makan baca doa dulu!"
"Eh anak kecil, aku nih tersedak karna kamu! Ngapain sih pakai segala minta no WA, kalau tukeran nomor rekening, baru aku mau--"
"Ya kan hanya mau jalin persaudaraan masa nggak boleh?"
"Aku nggak punya WA!"
"Hari gini, nggak punya WA??"
"Nggak punya HP!"
"Ah, masa??" Kelakar Ammar.
"...Ya udah gampang, nanti aku tinggal minta ke Kak Maura untuk belikan kamu HP. Kakak ku itu baik, dia pasti mau belikan kamu HP."
"Idih, minta doang kerjaan kamu! Kerja dong--"
"Kerja apa, kan aku mah masih kelas tiga SMP!"
"Nah, tuh tau! Masih SMP juga sok belagu mau beliin HP, eh uangnya minta lagi. Aduh ck! Sama aja kamu tuh kaya si Gemma, paling juga kalau abis main bola, badannya bau asem kecut, eum..." Ganaya berdecak geli.
"Jangan menghina dong!"
Lalu Ammar memasukan telapak tangannya untuk masuk kebagian ketiak kiri, ia mengelap wangi ketiaknya disana.
"Nah wangi kan? Nggak bau asem?" Ia mengoleskan lubang hidung Gana dengan telapak tangannya tadi. Gelak tawa Ammar terus membuncah hebat.
"Ih dasar monyet!" Gana menepis tangan Ammar dengan kasar.
Gana mendengus kesal, ia pun mengelap bibirnya dengan tissu sebelum akhirnya bangkit dari meja makan untuk meninggalkan Ammar disana. "Liat aja, aku balas nanti!"
"Cantik-cantik jutek! Awas nanti kalau suka sama aku, hahahaha!!"
Dorr.
Ammar terlonjak. Ia mendelik tajam ke arah Bima. "Maa-maaf, Pak. Bapak melamun cukup lama. Para hadirin lihatin Bapak terus."
Ammar merasa malu karena ia sudah mematung lama di podium. Ia menatap sekilas ke arah Ganaya yang juga menatapnya dengan raut bingung sedari tadi.
Dan, di saat Ammar ingin membuka mulutnya untuk mengucap kata awalan sebagai sambutan dari balik podium. Ada sebuah senapan tengah menjulur ke arahnya dari jarak yang cukup jauh. Peluru panas sedang melesat menuju tubuh yang sedang ia incar, ketika pelatuk pistol di tekan.
Dorrrr.
Benda tajam itu mengeluarkan suara yang menggema nyaring di udara, bersamaan dengan tubuh sang Presdir yang limbung di atas tapakkan mimbar. Dari mata sayu nya, Ammar masih bisa melihat Ganaya yang sedang berlari menuju dirinya sambil menyerukan namanya.
"AMMAR!"
"Pergi, Gana. Mereka akan melukaimu!"
Dan ketika Ammar masih berada di ujung nyawa, ia masih saja memikirkan keselamatan Ganaya.
***
Like dan Komennya ya guys. Ini udah 1700 kata lebih loh. Awas aja masih ada yg bilang dikit, akuu cium nih pake pistol nya Ammar🤭🤪
Ammar: Percayalah ... Hanya diriku paling mengerti kamu, Gana❤️🌺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!