NovelToon NovelToon

Repeatedly Hurt

Kehilangan

Suara musik yang berdentum begitu memekikkan telinga. Lampu kerlap-kerlip yang menghiasi tempat, serta bau khas minuman beralkohol menusuk penciuman. Jangan lupakan seorang gadis yang berbalut pakaian pelayanan sedang menyajikan minuman. Dia Andara Agustin, seorang gadis mungil berwajah cantik dengan bola mata berwarna coklat. Rambutnya yang hitam panjang diikat tidak terlalu tinggi.

Dara, panggilannya. Ia bekerja di sebuah club malam karena ajakan temannya. Ia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun ia masih memiliki orang tua yang lengkap. Namun, sikap orang tuanya sangat bertolak belakang dari kebanyakan orang tua lainnya. Dara memiliki adik perempuan bernama Andin Oktafiani yang terpaut usia hanya 2 tahun darinya.

Andin lebih di spesialkan di dalam keluarganya, tidak dengan dirinya yang selalu menerima perlakuan tidak adil. Alasannya hanya karena, Dara seorang perempuan, lantas kenapa kalau Dara perempuan, Andin juga perempuan, tapi kenapa mereka pilih kasih. Apakah pernah Dara membangkang perkataan orang tuanya? Tidak sama sekali, ia selalu menuruti perkataan orang tuanya, meski bertolak belakang dengan keinginan Dara.

Keluarganya memang berkecukupan, tapi untuk Dara? Tidak! Sedari kecil Dara sudah hidup mandiri, ia menabung sisa uang jajannya untuk membeli peralatan sekolah. Lulus SMP, Dara menjadi pekerja part time di salah satu restoran kecil yang gajinya tidak seberapa. Tetap Dara lakukan demi bisa lanjut bersekolah. Lain halnya dengan Andin. Dia hidup dengan mewah, menggunakan uang sesuka yang ia mau, tidak seperti Dara yang harus bekerja mencari uang demi bisa mengejar pendidikannya.

Dara sebenarnya ingin kuliah sama seperti Andin, tapi orang tuanya melarang. Mereka berkata jika biaya kuliah untuk dua orang lebih mahal dan mereka segan mengeluarkan uang untuk Dara. Di sinilah Dara berada di sebuah club malam. Dara bekerja untuk bisa masuk kuliah, pagi hari Dara akan bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran dan malam hari, Dara akan berada di club.

"Dar, lo tau gak? ada Presdir Raffaza Alfarezo di club ini," heboh Fera sahabat Dara. Mereka berdua bersiap untuk pulang karena shift mereka sudah selesai.

"Siapa?" Dara sibuk membenahi bajunya setelah mengganti seragamnya dengan pakaian biasa.

"Raffa, Dar. Astaga ... Presdir Perusahaan Gredion. Masa lo gak tau, makanya sering baca berita biar tahu. Jangan kerja terus, uang lo udah kumpul banyak kok," canda Fera.

"Kamu, 'kan tahu sendiri, Fe, gimana orang tua aku, kalau bukan karna hal itu. Aku pasti udah sibuk sama laporan skripsi, bukan di sini sama kamu," ucap Dara dengan wajah masam.

"Iya. Sorry Dar, gue gak bermaksud bikin lo sedih," sesal Fera.

Dara menampilkan senyumnya dihadapan Fera. Fera adalah satu-satunya yang menyayangi Dara, sahabat yang selalu ada, saat Dara membutuhkan dirinya. Fera adalah anak perantauan jauh dari kedua orang tua, tapi Fera bukan anak manja, ia juga memiliki beberapa kemampuan bela diri, jadi tidak heran jika Fera berpenampilan selayaknya gadis tomboy.

"Lo mau balik bareng gue gak? Tapi gue sama Tomi," ajak Fera.

"Gak ah takut ganggu kalian berdua, aku bisa pulang sendiri."

"Udah malam, Dar. Nanti kalau ada apa-apa sama lo gimana?"

"Ucapan adalah do'a, kamu jangan ngomong sembarang, kalau terkabul gimana? Kamu mau sahabat kamu yang baik ini dalam masalah?" Fera menggeleng.

"Ya, udah deh gue duluan, ya. Tomi udah nunggu nih." Fera pergi. Dara pun segera menyusul sahabatnya keluar dari ruangan karyawan wanita.

"Ehh ... Dara mau pulang, ya," ucap Kak Syifa menghentikan langkah Dara. Syifa adalah senior Dara dan Fera.

"Iya, kak ini mau pulang. Shift aku sudah selesai."

"Kakak mau minta tolong boleh," pinta Syifa.

"Owh ... boleh, Apa?"

"Bisa tolong anterin minuman itu ke kamar VVIP, Dar. Perut kakak mules banget."

Dara ragu, ia tidak pernah menapakkan kakinya ke salah satu kamar di club ini. Dara cuma pelayan biasa yang bertugas mengantar pesanan. Ingin menolak, tapi ia tidak tega, apalagi melihat raut wajah Kak Syifa yang sangat berharap padanya. Akhirnya Dara mengangguk, menggantikan Kak Syifa mengantar minuman.

Dara mengambil nampan berisi minuman, kemudian melangkah menuju lantai atas di mana para kamar berjajar dengan rapi. Setiap melewati kamar, Dara berusaha menulikan pendengarannya karena suara-suara aneh yang masuk gendang telinganya.

Sampai di depan pintu bertuliskan VVIP Room. Dara mengetuk pintu,tapi tidak ada sahutan dari dalam. Benarkan apa yang Kak Syifa katakana. Ia tidak sedang dikerjai, bukan. Sekali lagi Dara mengetuk pintu, tetapi sama tidak ada sahutan. Ketukan ketiga Dara, ia mengetuk lebih keras, barulah ada suara yang mengintrupsikan agar Dara masuk.

Mendorong pintu Dara dapat melihat seorang lelaki menelungkupkan tubuhnya di atas kasur. Dara meletakkan minuman tersebut di atas nakas dekat ranjang. Setelahnya ia mundur hendak meninggalkan kamar.

"Mau kemana," suara berat pria tersebut sejenak menghipnotis kesadaran Dara. Tangannya dicekal oleh pria itu.

"Maaf, tuan, saya hanya mengantarkan minuman. Saya pamit pergi," ucap Dara bergetar, ia merasa takut terhadap pria dihadapannya ini.

"Kau harus melaksanakan tugasmu terlebih dahulu," ujar pria tersebut mengangkat kepalanya melihat Dara.

Dara terkesima melihat wajah tampan pria yang mencekal pergelengan tangannya. Pria di hadapannya laksana pangeran dari negeri dongeng. Tatapan pria itu seakan mengunci Dara dalam sebuah ruang tanpa jalan keluar. Masuk pada jerat tatapan sang makhluk tampan ini. Dara tidak menyadari jika ia sudah berada di atas kasur yang sama dengan pria tersebut.

Saat tangan pria itu menelusuri wajah Dara hingga berhenti pada bibir chery milik Dara. Ia mendekatkan wajahnya sampai hembusan nafas pria itu menerpa wajah Dara, membuat Dara tersadar dengan apa yang ia lakukan. Dara menarik diri, lalu berdiri di sisi ranjang, ia mendengar pria itu menggeram marah karena ulahnya. Tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya. Dara buru-buru menggapai pintu keluar dari kamar.

Klik

Suara kunci terputar terdengar. Dara berusaha membuka pintu, tapi yang ia dapatkan nihil. Kamar ini memang dilengkapi dengan alat otomatis, sehingga pengguna hanya perlu menekan tombol sesuai keinginan mereka.

"Tuan, saya mohon biarkan saya pergi ... saya mohon," pinta Dara.

Pria tersebut menyeringai, "Tidak!"

Dia mendekati Dara dan mencium bibir Dara secara brutal. Dara meneteskan air mata mendapat perlakuan bak *******. Dara memukul dada pria tersebut, tangannya mengepal memberikan pukulan, tapi yang ada pria tersebut semakin menyusup masuk, Dara dapat merasakan rasa asin dari gigitan pria tersebut pada bibirnya dan tanpa aba-aba pria itu menarik Dara dan menghempaskan tubuh mungil itu di atas kasur. Pria itu tersenyum sinis melepaskan satu persatu kancing kemejanya.

Dara menggeleng dengan tangis semakin menjadi. Dara berusaha bangkit, tapi pria itu kembali mendorong Dara hingga terlentang.

"Puaskan aku, jal*ng." Dara semakin menangis mendengar perkataan pria di atasnya.

"Tuan, Anda salah orang. Saya bukan perempuan seperti itu, saya mohon ... biarkan saya pergi." Dara ketakutan ia menyilangkan kedua tangan pada tubuhnya. Pria tersebut tidak tinggal diam, dia mulai melucuti pakaian Dara. Perlawanan demi perlawanan Dara berikan, tapi tidak menghentikan perbuatan bejad pria tersebut.

Dara menendang tepat pada inti pria tersebut hingga dia mengaduh kesakitan. Kesempatan itu Dara gunakan untuk melarikan diri, tapi sepertinya, keberuntungan tidak berpihak padanya. Pria tersebut menarik dan menghempaskan Dara begitu kasar.

Plak

Dara menoleh ke samping karena tamparan pria tersebut dan dengan satu tarikan pria tersebut menarik pakaian atas Dara, hingga tidak ada satu kain pun yang menutup tubuh atas Dara. Tidak habis akal, Dara pun merapatkan kakinya. Mata pria itu berkilat marah. Dia menyingkirkan tangan Dara dan menarik celana yang Dara kenakan hingga terlepas, kemudian ia pun melepaskan celananya.

"Tidak! Tuan, jangan! Saya mohon ... hiks, tuan kasihanilah saya."

Seakan tidak mendengar permohonan Dara. Pria itu berusaha menerobos masuk, tanpa melakukan foreplay terlebih dahulu. Dara meringis menahan sakit, karena sesuatu di bawah sana mendobrak paksa dirinya, dengan sekali dorongan pria tersebut merobek paksa selaput darah Dara, membuat Dara memekik sakit. Air matanya tidak berhenti menetes, hancur sudah hidupnya malam ini.

Pria itu terdiam sebentar menyesuaikan Dara, agar menerima pria itu di dalam dirinya, kemudian bergerak perlahan. Dara tidak bisa meraskan apapun selain sakit dan perih. Pria di atasnya semakin bergerak kasar menyentak diri pada Dara yang hanya menggigit bibir. Pria itu bergerak cepat tidak lama kemudian ia mengerang, meyemburkan cairan kental miliknya ke dalam milik Dara. Pria tersebut mengulangi kegiatannya berkali-kali, dia bahkan tidak memperdulikan Dara yang sudah pingsan karena kegiatan panas mereka.

Sebelum Dara pingsan, ia mendengar pria itu mengucapkan, "Panggil aku Raffa, jal*ng ... shh kau sangat nikmat." 

***

Happy Reading

Hai semua, apa kabar. Semoga selalu sehat, ya. Ketemu lagi nih sama author di akhir tahun dengan cerita baru yang mungkin akan kalian suka. Jangan lupa klik ikon love untuk mendapatkan notif dari Repeatedly Hurt.

Salam sayang dari aku.

Tuduhan

Dering ponsel membangunkan tidur lelap sang pria. Di sambarnya ponsel tersebut dan menempelkannya di telinga.

"Raffa?! Di mana kamu, pulang sekarang!" teriak suara di sebrang sana, hingga pria yang dipanggil Raffa itu menjauhkan ponsel dari telinganya. Semoga saja ia tidak tuli mendengar suara menggelegar sang Mama.

"Cepat pulang!"

Klik

Raffa mematikan sambungan telpon secara sepihak. Dapat di pastikan ia akan mendapat ceramah dari Mama sesampainya di rumah.

Pria brengsek yang tega memaksa kehendak pada seorang gadis bernama Dara adalah Raffaza Alfarezo, Presdir Perusahaan Gerdion. Siapa yang tidak mengenal Raffa? Pria penuh karisma dengan wajah rupawan serta sikap otoriternya. Pria dingin, arogan, dan tak tersentuh itulah yang orang anggap.

Raffa merasakan kepalanya sangat sakit. Rasa pusing seketika mendera dirinya saat ia berusaha bangun dari baringannya. Melihat sekeliling yang terasa sangat asing di penglihatan Raffa. Ia mendelik melihat pakaiannya berserakan di lantai, lalu melihat dirinya yang hanya tertutup selimut. Raffa berusaha mengingat apa yang telah ia lakukan, melirik ke samping matanya membulat melihat ada seorang perempuan yang tertidur. Pikirannya melayang mengenai apa yang terjadi diantara mereka berdua.

"Hey! Bangun, dasar jal*ng. Apa yang kau lakukan pada diriku, heh ...," ucap Raffa, terlihat ia mulai emosi mengetahui keadaannya.

Dara membuka matanya perlahan. Ia meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya terutama pada milik-nya. Dara menangis mengingat apa yang telah menimpa dirinya. Hatinya sakit, harga dirinya hancur, dan ia wanita yang telah ternodai, ia kotor. Dara berharap ini hanya mimpi, ia ingin menutup matanya kembali dan ketika bangun, ia berada di kamarnya.

"Bangun! Bodoh!" bentak Raffa marah.

Tidak. Ini bukan mimpi. Ya, Dara tidak mimpi, suara itu ... suara pria yang telah menghancurkan hidupnya. Dara bangkit lalu menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia menunduk takut, bahunya bergetar, ia terisak tertahan, lelehan air matanya meluncur begitu deras. Pria di sampingnya membuat suasana kamar begitu menyudutkan dirinya.

"Katakan, berapa yang kau inginkan dariku." Membuka m-banking, lalu melakukan transaksi.

"Saya bukan perempuan seperti yang Anda tuduhkan, tuan," lirih Dara mengeluarkan suaranya.

"Cih, tidak ada wanita yang sukarela melakukan itu kalau bukan karena uang," desis Raffa.

Dara semakin terisak mendengar tuduhan Raffa yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Ia korban, tapi kenapa ia seolah dianggap sebagai pelaku. Seharusnya Dara yang marah di sini karena ia telah dirugikan oleh Raffa. Ia telah dihancurkan sedemikian rupa hingga tidak ada yang bisa diperbaiki.

Kalau pun Dara melakukannya karena uang, sudah sedari dulu Dara melakuakan hal seperti ini. Ia tidak akan bersusah payah bekerja untuk mendapatkan uang. Bila perlu ia bisa menjadi sugar baby, tapi Dara masih bisa berpikir jernih untuk tidak melakukan hal terbodoh di hidupnya, sekarang ia telah di hancurkan oleh pria di sampingnya.

"Sebutkan nomor rekeningmu dan anggap tidak ada yang terjadi diantara kita" ujar Raffa.

Begitukah, bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun, jalani hidup seperti sedia kala, tanpa mengingat malam yang begitu mengerikan. Tidak! Tidak semudah itu. Mau sekuat apapun Dara melenyapkan bayangan malam itu, ia tetap tidak akan bisa.

"Saya tidak butuh uang Anda, tuan. Biarkan saya pergi," pinta Dara memelas.

"Hah. Jangan sok suci kamu, saya tahu tipikal orang sepertimu. Kau pasti akan menuntut pertanggung jawaban dariku." Murka Raffa.

"Kau jal*ng licik yang memiliki seribu taktik di kepalamu."

"Berhenti menuduh saya jalang! Anda tidak sesuci yang dipikirkan. Ujung kuku saya bahkan lebih suci dari Anda!" lepas sudah apa yang sedari tadi Dara tahan. Ia tidak bisa menerima perkataan pria itu.

Plak

Bersamaan dengan tamparan yang dilayangkan Raffa, air mata Dara jatuh. Bukan lagi sakit yang Dara rasakan, ia sudah sering di tampar oleh orang tuanya dan Dara sudah kebal olehnya. Ia memang tidak merasakan sakit, tapi ia merasakan hatinya kembali hancur.

"Kau tidak bisa menyamakan saya dengan ujung kukumu itu. Kedudukan saya lebih tinggi dari dirimu."

Ya, Dara melupakan statusnya. Ia hanya sampah di keluarganya, bahkan pembantu di rumahnya memiliki kedudukan lebih tinggi. Dara hanya sampah yang seharusnya dibuang bukan dipelihara bak tikus penghuni sampah. Bagaimana bisa disandingkan dengan Raffa yang kedudukannya lebih tinggi secara sosial.

Zaman sekarang semua bisa dibeli oleh uang, jika pun Dara melaporkan hal ini pada pihak terkait ia hanya akan menanggung malu, uang bisa menutup kasus Dara tanpa meninggalkan jejak.

"Baiklah, ini pilihanmu, menolak uang dariku. Jangan sekali pun kau meminta pertanggung jawaban. Ingat tidak ada yang terjadi di antara kita." Raffa bangkit dan memakai pakaiannya, lalu pergi meninggalkan Dara dalam keterpurukan.

Dara menyembunyikan wajah di kedua lututnya. Menangis sejadi-jadinya dalam kesunyian kamar. Menyesali perbuatannya untuk menolong Kak Syifa yang berakhir dengan tragis. Tangisnya terdengar sangat menyayat hati. Tidak ada yang bisa Dara jadikan sandaran di saat ia terpuruk, kecuali sahabatnya, Fera, tapi ia tidak bisa mendatangi Fera. Sahabatnya itu ngekost dan tidak akan menerima tamu di saat langit masih gelap.

Pulang? Pilihan terakhir Dara, entah apa yang akan Dara dapatkan dari kedua orang tuanya saat mereka mengetahui Dara pulang pada dini hari.

Dara memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dengan meringis tertahan. Tangisnya pecah kembali memandang bercak darah di seprai. Kesuciannya telah direnggut paksa dan ia cuma bisa memandang nanar pada seprai tersebut.

Dara segera berpakaian dan meninggalkan kamar, pulang ke rumah.

Sementara itu Raffa yang baru tiba di rumah sudah di borong berbagai pertanyaan oleh sang Mama.

"Bagus, ya. Pulang di jam segini, ternyata masih ingat punya rumah. Dari mana kamu hah, sama siapa? Ngapain aja, sampai baru pulang. Jawab Mama, jangan diam saja," cerca Mama.

"Tadinya mau pulang ke apartemen."

"Oh ... gitu ya, mentang-mentang sudah punya apartemen sendiri, jadi gak mau pulang ke rumah."

"Lagian Mama, anak baru pulang udah banyak tanya. Kepala Raffa jadi pusing."

"Jawab Mama dari mana?"

"Main ke rumah temen, karena keasikan ngobrol sampai lupa waktu," bohong Raffa. Ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kepada Mama.

"Kenapa telpon Mama gak diangkat?"

"Silent."

"Kebiasaan kamu, ya. Khanza telpon Mama sambal nangis karena khawatir sama kamu. Awas saja kalau calon menantu Mama sakit karena mikirin kamu yang keluyuran."

Raffa akan berubah sikap menjadi pria penuh kasih sayang dan humble di mata keluarganya, terutama sang Mama tercinta dan wanita pengisi hatinya, Khanza Abir. Kekasih yang sangat dicintai Raffa, perempuan rendah hati dengan sikap simpatinya yang tinggi. Khanza, bisa dikatakan idaman para lelaki karena dia terbilang perempuan pekerja keras, diusianya saat ini, ia berhasil meraih gelar Asia Young Designer of The Year sebagai desainer muda tersukses. Tidak diragukan lagi bagaimana kemampuan Khanza dalam dunia desain. Sayang seribu sayang kekasihnya telah mengkhianati Khanza.

***

Happy Reading.

Jam segini enaknya tuh di kamar. Baca novel sampe mata ngantuk trus tidur deh karna keasikan baca. Nanti bangun ngedumel data nya lupa gak dimatiin😅

Salam sayang dari aku

Cambukan

Hembusan angin malam menerpa wajah sembab Dara. Langkahnya yang pelan dan tatapan matanya yang kosong seakan memberitahukan bahwa Dara tidak dalam keadaan baik. Setiap langkahnya terasa berat, jalan hidup apa yang tuhan gariskan untuknya sehingga Dara harus melalui penderitaan tiada akhir. Mengeluh tidak akan mengubah apapun.

Tiba di rumah Dara masuk melalui pintu belakang karena ia tahu pintu utama di kunci, apalagi pada waktu dini hari seperti ini. Beruntung Dara memiliki kunci pintu belakang sehingga ia bisa masuk dan keluar dengan leluasa.

Dara memutar knop pintu, kemudian masuk. Keadaan rumah yang gelap membuat dara berhati-hati dalam melangkah jika tidak ingin menimbulkan kegaduhan pada dini hari. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela sedikit membantu Dara dalam melihat. Kamarnya yang memang tidak jauh dari pintu belakang memudahkan Dara menemukannya.

Klek

Tiba-tiba lampu menyala membuat sekitar terang. Dara berbalik dan melihat Ayah yang berdiri di dekat saklar. Kali pertama Dara bertatap muka dengan Ayah, biasanya ia hanya bertemu dengan Ayah di meja makan itu pun tanpa Ayah membalas tatapan Dara. Dia begitu mengabaikan keberadaan Dara menganggap Dara tidak ada.

"Ayah," ucap Dara senang karena ia fikir Ayah mengkhawatirkannya.

"Dari mana kamu." Dara terkejut, ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Ayah berbicara dengan Dara. Sungguh keajaiban. Apa karena Dara pulang dini hari sehingga Ayah mengkhawatirkan dirinya dan mau bertanya pada Dara. Jika karena itu ia akan senang hati pulang terlambat demi bisa mendengarkan ucapan Ayah.

"Rumah saya bukan panti asuhan yang menerima seseorang keluar masuk dengan sesuka hati." Detik berikutnya senyum Dara hilang tergantikan ketakutan, melihat Ayah mendekat dengan sabuk yang berada di tangannya.

Tidak! Tidak! Dara tahu apa yang akan Ayah lakukan. Kenangan masa kecil menghantui dirinya. Saat Dara tidak sengaja membuat Andin menangis, Ayah mencambuk Dara sebagai hukuman, tapi saat itu masih ada Nenek yang mengobati lukanya. Sekarang Nenek tidak bersama Dara lagi.

"Ayah jangan Dara minta maaf," ucap Dara ketakutan.

"Saya bukan Ayahmu."

Cetar

Dara meringis merasakan perih pada punggungnya, air matanya menetes bersamaan dengan cambukan berikutnya yang dilayangkan sang Ayah.

"Kesalahan terbesar saya adalah memiliki anak seperti dirimu."

Cetar

Kata itu sangat melukai perasaan Dara. Anak yang tidak diinginkan, begitulah perumpamaannya.

"Anak pembawa sial."

"Kenapa kau tidak menyusul nenek tersayangmu saja."

Perkataan terakhir Ayah mengakhiri cambukan pada tubuh Dara. Dara tersenggal-senggal menarik nafas. Punggungnya terasa sangat sakit. Tangannya hanya meremas kuat ujung pakaiannya untuk meredam rasa sakit. Bibirnya bergetar menahan isak tangis agar tidak terdengar sang Ayah.

Plak

Ayah menampar Dara, kemudian mencengkram rahang Dara begitu kuat.

"Kalau bukan karena surat wasiat. Saya pasti sudah mengusir dirimu." Melepas cengkraman dari Dara, lalu menjauh meninggalkan Dara yang tersenyum getir.

Sadar, Dar. Kamu tidak lebih dari beban di keluarga ini. Batin Dara

Di sisi lain ada orang yang melihat semuanya. Bi Lastri, pembantu keluarga Dara. Perempuan paruh baya yang hanya memandang nanar pada putri majikannya. Sudah tidak asing lagi baginya melihat siksaan yang diterima Dara.

Dara bangkit melangkah tertatih-tatih memasuki kamar. Ia memilih pergi ke kamar mandi dan menyalakan shower, kemudian berdiri di bawah air membiarkan tubuhnya di siram air dingin. Dara kembali menangis meresapi rasa sakit ketika air mengguyur lukanya.

Tidakkah cukup penderitaannya hari ini. Dara sudah kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya, kini diperparah dengan luka yang ditorehkan ayahnya. Apakah di kehidupan sebelumnya Dara membuat kesalahan yang teramat besar sampai ia harus mendapatkan nasib buruk di kehidupannya sekarang.

Dara melihat tubuhnya yang penuh dengan karya pria ******** itu padanya. Dara menggosok tubuhnya berharap tanda itu akan hilang.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semua hancur aku kotor. Tuhan selain padamu aku harus mengadu pada siapa." Rintihan Dara terdengar begitu menusuk hati. Tiada yang bisa ia perbuat.

"Apa kau tidak melihat penderitaanku. Kenapa kau diam saja melihat jalan hidupku. Jika kau hanya ingin mempermainkan diriku tidak seperti ini! Ambil aku, jemput aku dan bawa aku meninggalkan dunia yang sangat kejam." Sesak jika Dara meminta hal tersebut kepada Tuhan, tapi ia sudah terlanjur sakit hati.

"Tuhan ... aku lelah, aku ingin beristirahat dengan tenang. Apa kelahiranku adalah sebuah petaka? Kenapa aku ada, jika tidak diinginkan. Mereka, mereka tidak pernah melihat keberadaanku."

"Aku tidak menginginkan lahir di keluarga ini, aku tidak menginginkan menjalani takdir ini. Aku hanya anak yang tidak diinginkan." Dara mendongak memprotes takdir hidupnya. Matanya belum lelah untuk mengeluarkan air mata.

"Nenek, apa nenek melihat Dara dari atas sana? Bagaimana Dara menjalani kehidupan ini, apa nenek bahagia di sana. Bisa kah Nenek mengajak dara juga, setidaknya Dara tidak akan merasakan sakit lagi." Dara teringat akan Neneknya yang sudah tiada.

"Ayah, Ibu dan Andin tidak menginginkan kehadiran Dara, Nek. Mereka membenci Dara, tanpa Dara tahu di mana letak kesalahan Dara. Nenek pernah meminta Dara berjanji untuk tidak meninggalkan Ayah dan Ibu, tapi Dara tidak sanggup untuk bertahan, Nek." Dara mengadu pada Nenek yang hanya bisa ia bayangkan kehadirannya.

"Luka ini tidak ada artinya jika di bandingkan dengan luka di hati Dara, Nek. Ucapan Ayah sangat menyakitkan bagi Dara. Tidakkah mereka tahu ada Dara yang selalu menunggu kasih sayang mereka sebagai keluarga yang sampai saat ini belum pernah Dara rasakan." Air mata Dara bersatu dengan air dari shower. Ia amat tersiksa, ia lelah fisik dan psikis.

Merasakan perlakuan orang yang ia anggap sebagai keluarga, tidak layak di sebut keluarga. Dunia sangat kejam, seorang anak adalah anugrah bagi kedua orang tuanya, tapi Dara ia hanya dianggap pembawa sial. Hati anak mana yang kuat menerima kata itu terlontar dari mulut orang tuanya. Kalaupun mereka tidak menginginkan Dara kenapa tidak melenyapkan Dara saja sejak dari kandungan. Mereka tidak perlu repot-repot merawat Dara. Ah ya mereka hanya membiayai tidak merawat yang melakukan kewajiban sebagai orang tua adalah Neneknya. Nenek yang merawat Dara sejak bayi, lantas bagaimana dengan kakeknya. Beliau acuh, sama seperti orang tuanya. Kakek adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi kepercayaan lama di mana anak pertama laki-laki akan membawa berkah, lain dengan anak pertama perempuan.

Tok tok tok

Suara ketukan pada pintu kamar mandinya, membuat Dara tersadar dari pikirannya, ia bangkit mematikan shower.

"Nak Dara, ini Bi Lastri. Jangan terlalu lama di kamar mandi nak nanti kamu bisa sakit," ucapnya.

"Iya, Bi." Serak Dara menjawab. Ia melepas pakaiannya dan menyambar handuk kemudian mengenakannya. Dara meringis saat kulitnya bergesekan dengan handuk.

Ceklek

Pintu terbuka. Bi Lastri tersenyum menyambut Dara yang juga menampilkan senyumnya. Bibi menuntun Dara untuk duduk di tepi ranjang.

Bi Lastri tersenyum pedih melihat wajah Dara yang lebam terkena tamparan belum lagi ia melihat bibir Dara yang terluka. Mata dan hidung yang memerah tanda Dara habis menangis tidak luput dari pandangan wanita paruh baya ini.

"Bibi mau apa?" tanya Dara saat Bi Lastri duduk di belakang Dara.

"Mengoleskan salep pada luka Nak Dara. Tahan ya mungkin sedikit perih."

"Tidak akan perih, Bi. Dara sudah merasakannya saat kecil." Bibi mengangguk meski Dara tidak melihatnya. Sangat pelan Bibi mengoleskannya. Ia tidak tega selalu menyaksikan penderitaan Dara.

"Nak Dara ikut bibi saja, ya. Kita pergi dari sini," ajaknya.

"Dara sudah berjanji pada Nenek untuk tidak pergi kemana pun, Bi."

"Bibi sedih lihat Nak Dara diperlakukan seperti ini. Kenapa tidak mencoba melawan kau sudah dewasa kau berhak menentukan kebahagiaan mu, Nak." Bibi meneteskan air mata memandang luka yang didapatkan Dara.

"Dara tidak bisa berbuat apapun, Bi. Dara terlalu lemah. Ingin rasanya Dara pergi jauh agar tidak merasakan sakit lagi. Dara ingin tertawa lepas tanpa tekanan, Dara ingin berlari menuju tempat yang banyak menyimpan kasih sayang. Sehingga Dara tidak perlu menunggu untuk mendapatkan kasih sayang," ujar Dara.

"Maka ikutlah dengan Bibi, Nak. Akan bibi pastikan Nak Dara mendapatkan apa yang diinginkan."

Dara menggeleng. "Aku akan pergi setelah usiaku 25 tahun, itu yang Nenek tulis di surat wasiat."

Bi Lastri mendesah kecewa atas penolakan Dara. Ia sudah beberapa kali membujuk agar Dara ikut bersamanya meninggalkan rumah.

Tanpa sengaja fokus Bi Lastri berpindah ke leher dan pundak Dara yang merah. Ia wanita tua dan ia tahu tanda apa itu, tapi tidak mungkin seorang Dara melakukan hal yang tidak baik. Ia percaya Dara tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dara gadis baik dengan luka di hatinya.

***

Happy Reading

Bagaimana dengan hari ini? semoga lebih baik dari hari sebelumnya, ya. Ikuti terus kisah Dara.

Salam sayang dari aku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!