"Yes! Aku sudah berhasil menemukan lokasi yang cocok dengan keinginanku," Canna terlonjak girang saat ia mendapati pemandangan hijau di sebuah hamparan bukit. Ia menghentikan laju motornya dan memarkirnya sembarang di tepi jalan setapak yang sunyi.
Bergegas ia berlari menaiki bukit yang landai tersebut di iringi dengan siulan lagu khas miliknya.
Canna adalah gadis berusia 19 tahun yang terobsesi dengan kepopuleran di dunia Maya. Bahkan dengan berbagai usaha ia membuat beberapa video untuk di unggah di media sosial. Ia berharap agar video tersebut viral dan di gemari banyak orang.
"Yuhu!!! Pemandangan ini luar biasa indahnya. Dan merupakan surganya dunia yang nyata. Coba lihat matahari yang hampir tenggelam di ufuk Barat dengan cahaya kemerahannya. Dan pemandangan indah ini hanya ada di sini di bukit Anggrek."
Canna memutar kameranya ke sekelilingnya. Bahkan ia juga sempat memperlihatkan wajahnya selama beberapa detik lamanya.
"Yes! Aku sudah berhasil memperoleh seperti yang kumau." Ia segera mengakhiri videonya yang di siarkannya secara langsung. Bahkan ia tidak sempat untuk melihat hasilnya karena terburu waktu yang sudah hampir gelap.
Malam harinya, Canna kembali membuka Instragram miliknya. Dan terkejut melihat banyaknya yang menonton konten miliknya yang di rasanya sangat sederhana dan hanya sedikit menarik hati.
"Kakak. Apa yang membuat kakak sesenang itu?" Kezia mendekat kearah Canna yang sedang duduk di depan televisi.
"Biasa. Unggahan video kakak mencapai limit yang luar biasa. Dan mungkin saja besok kakak akan terkenal!" Canna terkekeh senang.
"Jangan sesenang itu, bisa saja saat kakak keluar rumah besok, yang ada kakak justru di lempari dengan telor busuk seperti waktu itu."
Canna melotot mendengarnya.
"Hei. Yang lalu itu tidak akan mempengaruhiku lagi. Itu juga salahku yang memvideo ibu-ibu yang menyeret suaminya karena ketahuan selingkuh," gumamnya cemberut karena sudah di ingatkan.
Kezia terkikik mendengarnya, membereskan buku sekolah yang baru saja selesai di bacanya.
"Ya sudah. Kakak tidur saja dulu. Mimpilah yang indah malam ini sebelum melihat kejadian yang tidak di harapkan besok." Kezia berdiri meninggalkan Canna yang berdecak dan cemberut.
"Wah... Banyak sekali komen mereka. Tetapi sepertinya besok saja aku membacanya dan membalasnya satu-persatu," Canna menguap dan berjalan kearah kamarnya.
Sementara itu di tempat lainnya di sebuah kediaman yang mewah. Seorang lelaki muda tampak sangat marah melihat hasil unggahan seseorang dengan akun palsunya di sosial media. Lebih tepatnya nama palsu.
"Temukan orang itu. Dia sudah membuat Alden dan Bara menjadi incaran dan borunan polisi karena videonya. Tangkap dia hidup-hidup dan bawa kemari. Aku ingin lihat seperti apa orang yang sudah berani menantang diriku!"
Lelaki itu bernama Delano. Seorang pengusaha yang terkenal dengan sifat dingin dan kejamnya. Bahkan ia mampu menindas siapapun hanya dengan tatapannya saja.
"Baik, Tuan. Kami akan membawanya segera."
Delano kembali memperhatikan video yang berdurasi hanya beberapa menit itu dan sudah berhasil menarik jutaan orang untuk menontonnya.
"Apakah kamu sudah berhasil menghapus video itu?" tanya Delano dingin tanpa menatap lawan bicaranya.
"Sudah, Tuan. Videonya sudah terhapus sejak beberapa menit yang lalu."
Derris menundukkan sedikit kepalanya sebagai rasa hormatnya kepada atasannya. Ia adalah lelaki berusia 25 tahun dan lebih muda satu tahun dari Delano yang sudah berusia 26 tahun.
"Bagus. Kamu bergerak cukup cepat juga. Bawakan beberapa wanita ke kamarku yang ada di ruangan bawah!" perintahnya berdiri dan berjalan meninggalkan Derris yang mengangguk patuh.
Delano berjalan kearah kamarnya dengan perasaan yang masih marah. Ingin rasanya ia menghajar beberapa orang sebagai pelampiasan rasa marahnya.
Tok tok tok
"Pesanan yang Tuan inginkan sudah menunggu Tuan di kamar bawah."
Derris menunduk saat Delano membuka pintu kamarnya.
"Baiklah. Aku akan segera turun kebawah. Kamu siapkan beberapa peralatan seperti biasanya."
Derris kembali mengangguk mengiyakan apa saja perintah tuannya. Ia adalah seorang bawahan yang begitu patuh kepada Tuannya.
Delano memasuki kamar bawah dengan pakaian tidur miliknya, beberapa anak buahnya tampak berdiri di depan pintu.
"Mari, Tuan. Silahkan Tuan memposisikan diri Tuan dalam keadaan tengkurap." Salah seorang wanita dari mereka tampak bicara dengan Delano.
"Jangan memerintahku, lakukan apa saja yang kalian bisa!" ucapnya dingin, membuat beberapa wanita tersebut tampak ketakutan.
"Baik, Tuan!" sahut mereka bersamaan.
Delano merebahkan badannya di atas tempat tidur. Beberapa wanita tampak bergerak memijat kakinya. Tetapi Delano segera bangkit kemudian, ia kembali mengenakan jubah tidurnya.
"Pijatan kalian tidak nyaman!" ucapnya kembali dingin membuat para wanita paruh baya tersebut saling pandang.
"Derris! Carikan aku tukang pijat laki-laki! Pijatan mereka sangat kaku, bisa-bisa membuat kulitku terluka." perintahnya.
"Baik, Tuan." Derris menatap mereka satu persatu, mengisyaratkan agar keluar dari kamar tamu milik Tuannya.
Bergegas para wanita paruh baya tersebut keluar sesuai dengan keinginan Tuannya.
"Bagaimana dengan seseorang yang mengunggah video itu? Apakah kalian sudah menemukannya?" tegas Delano kesal.
"Sudah, Tuan. Kami bahkan sudah mengintainya. Hanya tinggal menunggu dia keluar rumah saja."
Delano berbalik menyorot Derris, membuat laki-laki itu mengangguk samar.
"Dia tinggal bersama adiknya dan berada di dalam lingkungan yang ramah-tamah. Tidak mungkin kami langsung membawanya pergi dan menculiknya. Bisa-bisa seluruh anak buah kita akan di keroyok massa. Persatuan diantara mereka masih kental."
Delano kembali menyorot Derris dengan tajam.
"Kalau begitu, siapkan perangkap untuk menangkap kelinci yang cerdik dan sudah merugikan kita. Dan seret dia kehadapanku. Aku ingin besok pagi dia sudah ada di ruang belakang!"
"Siap, Tuan." Derris segera menelpon anak buahnya yang sudah mengintai rumah gadis yang sudah melakukan kesalahan tanpa di sadarinya.
***
Canna bangun lebih pagi dari biasanya, meraba sisi tempat tidurnya dan meraih handphonenya untuk melihat kembali hasil unggahannya kemarin.
"Kenapa tidak ada dan kenapa di hapus? Siapa yang menghapusnya?" Canna menscrol handphonenya dari atas sampai ke bawah, bahkan berulang kali.
"Aneh. Padahal aku hanya memposting pemandangan alam saja. Sekarang aku harus membuat akun baru karena akunku sudah di blokir oleh seseorang." Canna mendesah lelah.
"Kak Canna! Bangun kak, aku lapar!" teriak Kezia di balik pintu kamarnya.
"Iya. Tunggu sebentar ya. Kakak ingin cuci wajah dan gosok gigi dulu," sahutnya sambil meletakkan kembali handphonenya.
Canna segera berjalan kearah dapur, memeriksa magic. Dan mengeluarkan nasinya. Memotong beberapa sayuran, sosis dan juga mengeluarkan beberapa telur untuk di buat telur mata sapi.
"Kakak masak apa?" Kezia sudah berdiri di balik punggung Canna.
"Nasi goreng dengan telor mata sapi." Canna tampak sibuk memasukkan nasi beserta bumbunya ke dalam wajan penggorengan.
"Kamu tunggu di meja makan saja, sebentar lagi akan masak."
Kezia mengangguk dan segera duduk dengan rapi di meja makan.
"Ayo makan!" Canna sudah duduk di hadapan Kezia dengan dua porsi nasi goreng. Menatap Kezia yang tampak kegirangan. Ada perasaan terharu saat mendapati adiknya yang tumbuh normal walaupun tanpa kedua orang tua mereka.
Sejak Canna berusia 15 tahun dia sudah di tinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat Canna harus gigih banting tulang demi penghidupan mereka.
"Hari ini aku berangkat sekolahnya sendiri saja. Kakak tidak perlu mengantarku lagi."
Kezia membuyarkan lamunan Canna. Bergegas Canna menyapu ujung matanya.
"Sekarang Kezia sudah besar ya, sudah tahu jalan pulang dan juga sudah berani." Tangan Canna terulur membelai kepala Kezia yang mengangguk senang dengan binar bahagianya.
•••
Canna memacu motornya di jalan raya yang agak sepi setelah mengantar adiknya ke sekolah. Dia tidak percaya kalau adiknya sudah bisa berangkat sekolah sendiri. Ia tetap merasa was-was melepaskan Kezia yang masih berumur 6 tahun tersebut sendirian di jalanan.
"Ada apa di depan, kenapa mobil itu menghalangi jalan?" Canna menghentikan laju motornya menatap kearah beberapa mobil yang terparkir di tengah jalan.
Beberapa orang dengan pakaian jas hitam keluar dari mobil tersebut. Menatap kearahnya dengan tatapan tajam.
"Apakah mereka mafia?" Canna terkejut melihatnya, berusaha menstarter motornya dan mengubah haluannya. Tetapi sayangnya, di belakangnya juga ada beberapa mobil yang sudah menghadangnya.
"Mau apa kalian!?" teriak Canna di sela kewaspadaannya, saat mereka berjalan kearahnya. Keringat dingin muncul di pelipisnya. Ia benar-benar kesulitan untuk minta tolong sekarang karena tidak ada orang lewat sejak tadi. Dan apakah mereka sudah memblok jalanan ini.
"Jangan mendekat!" Canna kembali berteriak di sela ketakutannya. Ia akan mencoba bertahan dan menghadapi lelaki yang jumlahnya begitu banyak.
"Nona. Ikut saja dengan kami dan jangan melawan. Melawan hanya akan membuatmu sakit dan terluka," ucap salah satu diantara mereka.
"Aku tidak mengenal kalian semua. Jadi, untuk apa aku menuruti perintah kalian?"
Canna turun dari motornya, memasang kuda-kuda. Menatap awas kearah mereka yang mendekat kearahnya. Berpura-pura kuat dan tidak takut, padahal hatinya menjerit ketakutan setengah mati.
"Kau harus bisa Canna menghadapi mereka semua dan mengalahkannya. Kalau tidak, maka kamu akan matang," gumamnya menguatkan diri sendiri.
"Tangkap dia sebelum jalanan ini kembali ramai." Salah seorang diantara mereka tampak memerintah, mungkin itu adalah ketuanya.
"Jangan coba-coba kalian mendekat. Kalau tidak, aku akan memukul kalian satu-persatu!" hardik Canna.
Tetapi mereka sama sekali tidak perduli dengan hardikan tersebut, seolah angin sepoi-sepoi yang sedang bertiup. Mereka maju kearah Canna secara serempak. Membuat wanita itu membabi buta mengeluarkan semua jurus yang pernah ia pelajari dulu.
"Brengsek! Lepaskan aku!" teriak Canna setelah ia tertangkap. Meronta-ronta berusaha kembali memberi perlawanan walaupun usahanya sia-sia saja.
"Tolongggg!!!!" Canna berteriak sekuat yang ia bisa, berharap ada seseorang yang lewat dan kebetulan melihatnya. Tapi percuma saja! Walaupun mereka melihat maka sudah di pastikan bahwa mereka tidak berminat untuk menolong dirinya.
Salah seorang diantara mereka membekap mulut Canna menggunakan sapu tangan hingga membuat ia tak sadarkan diri.
***
"Bos! Kami sudah berhasil menangkap orang yang Anda inginkan!" salah seorang diantara mereka melapor dihadapan Delano.
Delano hanya diam menatap kearah anak buahnya. Ia merasa puas mendengar kabar ini. Seringaian muncul di bibirnya.
"Derris! Kamu urus dia dan buat dia segera sadar. Aku ingin melihat kelinci kecil yang sudah berani berurusan denganku!" Delano menatap dingin semua yang ada disana.
"Baik, Tuan," Derris menundukkan sedikit kepalanya. Berjalan bersama anak buahnya.
"Dasar kelinci kecil! Beraninya kamu melawan sesekor singa!" Delano terkekeh sendiri dengan kekehan yang sangat menakutkan.
Sementara itu, di ruangan tempat Canna di letakkan. Ia terlelap dengan posisi duduk di sebuah kursi, dengan tangan dan kaki yang di ikat dan mulut yang di lakban.
Beberapa dari mereka memberikan sesuatu di indra penciuman Canna hingga membuat gadis itu membuka matanya dengan perlahan.
Ia menatap ke sekelilingnya, berusaha untuk mengumpulkan nyawanya. Dan memfokoskan penglihatannya.
"Dimana aku?" Canna mengedar, hingga matanya menatap kearah Derris yang menatapnya dingin. Bahkan lelaki itu terlihat mengerikan dengan bola mata hitam yang tajam.
"Hhmmmppppp!" Canna kembali memberontak mencoba melepaskan diri setelah ia mengingat apa yang telah terjadi padanya sebelumnya. Walaupun usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali.
"Buka lakbannya!" Derris memerintah salah satu diantara mereka.
"Kamu brengsek! Apa yang kamu inginkan dariku. Aku gadis miskin dan yatim piatu. Bahkan tubuhku sangat tidak enak dan berpenyakitan!" Canna sudah melontarkan kekesalannya dengan setengah berteriak. Mata melotot dan hampir keluar.
Derris sama sekali tidak menyahut, ia hanya diam dan menatap Canna dengan tatapan datar.
"Hei Tuan. Apakah kamu mendengarku. Aku sama sekali bukan gadis yang menarik dan tidak patut untuk kalian jual!" Canna kembali menghardik Derris yang sama sekali tidak menggubrisnya.
"Berisik!! Tutup mulutnya lagi. Dia seperti lalat yang sedang mengerubungi kotoran!" Derris meninggalkan ruangan tersebut.
Sedangkan Canna terpaku mendengarnya. Bahkan matanya melotot saat menyadari kalau lelaki itu menyebutnya seekor lalat.
"Hmmmppppphhhh!!!" Canna kembali berteriak. Rasanya ia begitu kesal melihat sikap acuh lelaki tadi. Walaupun dia sebenarnya tampan, tetap saja lelaki itu menyebalkan dan tak punya hati.
"Dasar lelaki kurang ajar, dia kira aku yang panjang lebar berteriak tadi hanyalah seekor binatang, lalat yang sedang berdengung tepatnya," Canna menggerutu di dalam hati.
"Aku akan mencoba untuk melepaskan diriku sendiri, mungkin saja dengan cara mencontoh di film-film yang aku tonton biasanya, aku benar-benar bisa bebas." Canna membatin, mencoba menguatkan dirinya.
"Apa! Borgol?" Mata Canna kembali membulat dan kembali menjadi lesu setelah mencoba menggapai lingkaran dingin yang mengikat tangannya. Ia juga menatap kearah kakinya yang di rantai dengan rantai besi.
"Awas saja kalian! Kalau aku bebas nanti maka kalian tidak akan selamat. Aku laporkan kalian ke kantor polisi!" Canna kembali membatin berusaha untuk menguatkan hatinya. Ingin rasanya ia meledakkan dirinya dan menjadi butiran debu yang beterbangan di udara.
"Semoga mereka salah tangkap!"
Canna memasang kewaspadaannya saat pintu ruangan kembali terbuka. Ia memindai samar-samar seluit seorang lelaki yang lebih tinggi dari lelaki yang menghampirinya sebelumnya.
"Siapa dia? Kenapa semua orang yang ada di ruangan ini tunduk padanya? Termasuk lelaki yang mengatakan aku adalah seekor lalat. Oh... Jadi dia bosnya?" Canna melotot setelah menyadari sesuatu.
"Jangan-jangan dia adalah seorang mafia yang akan memutilasiku dan mengambil organ-organku, kemudian di jual ke luar negri." Canna bergidik ngeri.
"Buka lakbannya!" perintah Derris.
Lelaki yang berada di samping Canna segera menarik lakban tersebut dengan kasar membuat Canna meringis kesakitan.
"Tuan. Aku adalah gadis yang berpenyakitan dan tidak menguntungkan sama sekali. Bahkan semua organ tubuhku juga sudah layu dan berpenyakit. Jadi, tolong lepaskan aku!" Canna menatap Delano yang sejak tadi menatapnya tajam. Bahkan tatapannya mampu menusuk jantungnya.
Delano mengangkat sebelah tangannya, mengisyaratkan pada anak buahnya agar keluar dari ruangan tersebut. Senyum samar muncul di bibirnya, menatap lucu kearah Canna. Tetapi tatapan itu tetap saja terlihat datar dan tajam.
Serentak mereka mengangguk dan meninggalkan Delano, Canna dan asistennya, Derris.
"Apa yang sedang kamu tawarkan padaku, gadis?" tanya Delano dengan seringainya.
"Aku tidak menawarkan apa-apa pada Anda. Aku hanya meminta untuk segera di bebaskan. Karena aku benar-benar merasa tidak pernah berususan dengan Anda sebelumnya!" tegas Canna.
Delano menggerakkan jarinya di udara, membuat Derris mengangguk dan membawakan sebuah laptop ke hadapan Canna.
"Apa yang ingin kalian lakukan padaku? Kalian hanyalah pengecut yang bisanya menangkap seorang wanita lemah dan tidak berdaya!" hardik Canna.
Ia sangat kesal karena Delano sama sekali mengindahkan ucapannya.
"Kamu ingin tahu dimana letak kesalahanmu?" Delano berucap dingin membuat Canna bergetar.
Ia maju selangkah, meraih wajah Canna dan mencengkeramnya kuat, menatapnya dengan tatapan dingin.
"Bahkan dengan kecantikanmu saja kamu tidak akan bisa mengembalikan kerugian yang kutanggung!" Berdesis dan melepaskan cengkramannya.
"Bagaimana kalau gadis yang sok berani ini kita jual saja. Pasti harganya sangat mahal dengan keperawanan yang ia miliki." Delano terkekeh.
Sedetik kemudian tampak kembali dingin.
Wajah Canna tampak memerah, bukannya takut dengan lelaki dingin di hadapannya ini, dia justru membencinya. Membenci semua ucapan laknat yang keluar dari mulutnya.
"Kamu lelaki brengsek! Kamu iblis!!" hardik Canna dengan tatapan tajam.
"Beraninya kamu melawanku dan mengataiku seperti itu. Kamu hanyalah seekor lalat yang sekali tepuk langsung mati." Rahang Delano tampak mengeras.
Seandainya dia bukanlah seorang gadis, maka habislah sudah wanita ini.
Derris segera memutar video yang di unggah oleh Canna kemarin.
"Perhatikan baik-baik video itu agar kamu tahu dimana letak kesalahanmu!" Derris melirik kearah Canna sekilas.
"Apa? Kenapa aku tidak menyadarinya?" Canna menatap Delano dan Derris bergantian.
"Kalian adalah komplotan pembunuh! Kalian brengsek!!" hardik Canna tanpa rasa takut sedikitpun. Membuat Delano kembali terpancing emosinya.
"Apa!? Kamu mengataiku brengsek!!" Rahang Delano mengeras, tangannya kembali mencengkram rahang Canna hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Jangan sentuh wajahku dengan tanganmu itu!!" teriak Canna.
Delano tidak menggubrisnya.
"Kamu akan tahu seperti apa lelaki brengsek yang sudah kamu ucapkan itu!" Tatapan Delano menelusuri wajah cantik Canna.
"Bawa dia ke kamarku, aku akan mengajarkannya bagaimana lelaki brengsek itu bersikap pada wanita!!" Perintah Delano dengan kemarahannya.
Ia meninggalkan Canna yang menatapnya penuh kebencian.
***
Delano masuk kedalam kamar yang sudah di tempati oleh Canna. Menatap senang saat melihat wajah Canna yang menatap dirinya ketakutan. Bahkan wanita itu meringkuk di ujung sisi tempat tidurnya. Dimana letak keberaniannya tadi yang menggebu-gebu.
"Kamu ingin tahukan kalau aku sangatlah brengsek! Dan apakah kamu ingin tahu bagaimana lelaki brengsek ini memperlakukanmu?" Delano menyeringai.
Delano menarik tubuh Canna dan menyeretnya ke tengah ranjang yang luas tersebut. Menindihnya dan menatap wajah Canna dengan begitu dalam.
Wanita itu tetap memperlihatkan tatapan beraninya kearah Delano. Bahkan tatapannya berubah menjadi tatapan mengejek, walaupun kenyataannya tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. Dan Delano benci tatapan itu, tatapan yang seolah meremehkan harga dirinya.
Srekk
Delano menyobek pakaian Canna hingga terpampang pakaian dalamnya. Membuat Canna membelalakkan matanya dan menutupi bra yang terlihat.
"Apakah kamu berpikir apa yang kulakukan hanyalah sebuah ancaman bagimu ataukah kamu berpikir kalau aku tidak berani melakukannya?" desis Delano di telinga Canna.
Wanita itu semakin bergetar ketakutan, bahkan air matanya meleleh saat Delano sudah menyobek celana panjang miliknya. Ini pertama kalinya ia bersentuhan dengan lelaki asing secara langsung. Bahkan lelaki ini sudah merendahkan harga dirinya layaknya seorang wanita malam.
"Jangan lakukan itu padaku!" Lirih Canna. "Tolong! Jangan lakukan!!"
Tetapi di telinga Delano terdengar seperti sebuah desahan angin saja. Ia tidak menghiraukan permohonan gadis itu dan tetap melanjutkan aksinya.
Canna meronta-ronta mempertahankan dirinya tetapi Delano lebih kuat dalam menguasai tubuhnya. Bahkan pria itu mengunci kedua belah tangan Canna di atas kepalanya.
Sekali lagi, Delano memperhatikan wajah Canna yang sudah banjir airmata, ia tidak perduli dan akan tetap melakukannya untuk memberikan pelajaran pada gadis yang berani menentangnya ini. Ditambah lagi gejolak yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Membuatnya ingin menuntaskannya dengan segera.
Rasanya dunia berhenti berputar saat keperawanan Canna di renggut paksa. Matanya menatap kosong saat ia merasakan perihnya dan kesakitan yang baru saja di alaminya. Ingin dia menjerit tetapi di tahannya dengan menggigit bibirnya hingga berdarah.
Lelaki yang pertama kali bertemu dengannya, bahkan tega merenggut kehormatannya hanya karena melindungi anak buahnya yang nyata-nyata melakukan kesalahan. Atau bisa juga di sebut, ia sedang menutupi kejahatannya sendiri.
Pada akhirnya, Canna membiarkan saja lelaki itu memuaskan hasratnya, mungkin setelah ini lelaki itu akan melepaskannya dari kungkungan neraka ini.
Sayup-sayup ia mendengar lelaki itu mengerang nikmat di atas tubuhnya. Menikmati setiap rasa sakit hatinya, menikmati setiap kebenciannya dan menikmati tubuh yang tidak rela untuk di jamah. Ia benar-benar benci pada pria yang sedang mengungkungnya saat ini.
"Kamu ternyata sangat nikmat, walaupun kamu tidak pandai menyenangkan lelaki seperti kebanyakan wanita lain. Tetapi aku puas karena akulah yang pertama bagimu." Delano menyapu ujung bibirnya, menyeringai kearah Canna yang masih berada di bawahnya.
Gadis itu berpaling kearah lain, ia sungguh tidak sudi menatap Delano yang merasa puas atas kehancurannya.
"Lain kali aku harap kamu sudah pandai memuaskan diriku!"
Canna melotot mendengarnya, ia kembali meronta merasa tidak terima dengan ucapan Delano yang menghina dirinya.
"Apa maksudnya dengan kata lain kali? Apakah aku selamanya akan tetap terkurung disini?" Lagi, Canna hanya mampu membatin menatap Delano dengan tatapan kebencian.
"Jangan menatapku seperti itu, wajahmu yang cantik akan terlihat jelek!"
Delano berguling ke sisi Canna dan menarik selimut menutupi tubuh telanjang Canna.
Sedangkan Canna hanya diam saja tanpa mau menampik ucapan Delano. Ingin rasanya ia menjerit sekeras mungkin tetapi ia tidak ingin memperlihatkan air matanya di hadapan Delano lagi.
Lelaki itu sudah mengenakan celana miliknya dan menyampirkan kemejanya tanpa mengancingnya.
"Dasar lelaki brengsek!! Aku membencimu!!" teriak Canna seiring tertutupnya pintu kamar yang di tempatinya.
Canna meraung, bahkan ia memukuli tubuhnya sendiri karena sekarang ia tidak suci lagi. Mencakar setiap bagian tubuhnya yang mampu di jangkau oleh tangannya.
"Pasti ayah dan ibu sangat membenciku karena sekarang aku bukanlah gadis perawan lagi. Bahkan keperawananku hilang saat aku belum mendengar lelaki dambaanku mengucapkan ikrar suci," lirih Canna di sela isakannya.
Menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
Ia berlari kearah kamar mandi dengan di baluti oleh selimut tebal tersebut.
"Aku akan menghapus setiap jejak yang di tinggalkan oleh lelaki brengsek itu!"
Canna menghidupkan shower dan membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan ia beberapa kali menggosok bagian-bagian tubuhnya dengan sangat keras. Sesekali ia meraung untuk melampiaskan penyesalannya dan kebenciannya. Tidak memperdulikan rasa perih yang ditimbulkan oleh luka cakaran miliknya tadi saat bersentuhan dengan air.
Tok tok tok
Canna memilih tidak perduli saat pintu kamar mandi yang di tempatinya di ketok oleh seseorang. Ia duduk meringkuk di bawah shower yang menyala.
"Tuhan. Ambil saja nyawaku sekarang. Aku tidak pantas untuk hidup di dunia ini dengan tubuh kotorku!!" teriaknya.
Canna kembali memukul dan mencubit bagian tubuhnya. Ia tidak memperdulikan rasa sakitnya dan juga gedoran pintu kamar mandi yang di tempatinya. Ia juga tidak perduli dengan suhu dingin pada tubuhnya karena terus-menerus berada di bawah guyuran shower.
Brakkk
Samar-samar Canna melihat seseorang mendobrak pintu kamar mandi yang di tempatinya sebelum kesadarannya hilang.
"Panggilkan dokter!!" teriak Delano saat melihat Canna yang memucat.
Ia menutupi tubuh Canna menggunakan selimut yang teronggok tidak jauh dari tempatnya berada. Menggendongnya menuju kearah tempat tidur miliknya.
"Cepat! Panggil dokter kesini!!"
Delano kembali berteriak saat merasakan tubuh Canna begitu dingin.
"Dokternya sedang menuju kesini!" sahut Derris yang sejak tadi berdiri di belakangnya.
"Katakan pada dokter itu, kalau dia tidak datang dalam waktu 5 menit, maka profesinya sebagai dokter akan hancur!!"
Derris hanya mengangguk dan kembali menghubungi dokter tersebut. Meminta seperti apa yang di perintahkan oleh Delano.
"Sebaiknya Tuan tenang saja dulu. Aku yakin kalau keadaan Nona tidak seperti yang Tuan khawatirkan."
Delano merasa marah mendengar ucapan asistennya.
"Apa kamu bilang? Dia baik-baik saja? Tidakkah kamu melihat kalau wajahnya memucat seperti ini bahkan bibirnya membiru! Dan juga suhu tubuhnya sangat dingin!" Mencengkram kerah kemeja asistennya.
Tetapi lelaki datar itu tidak bereaksi sedikitpun, dia hanya menunduk saja dan membiarkan Delano melampiaskan kemarahannya.
"Pelayan! Pasangkan dia pakaian!" perintah Delano pada pelayan wanita yang mengetok kamar mandi tadi. Pelayan tersebut bermaksud untuk menyerahkan pakaian pada Canna. Tetapi raungan Canna terdengar hingga keluar kamar mandi dan membuatnya panik.
"Baik, Tuan!"
Delano dan Derris segera keluar kamar untuk memberikan waktu pada pelayan tersebut mengenakan pakaian untuk Canna.
"Delano! Siapa yang sakit?" Ren berlari menghampirinya. Meraba dahi Delano.
"Kamu terlambat 11 detik!" ucap Delano dingin menyingkirkan tangan Ren yang menempel di dahinya.
"Hahaha... kamu masih seperti dulu, sangat panik tetapi aku tidak tahu siapa yang membuatmu sepanik ini. Dan juga kamu tidak sakit!"
"Tuan Ren. Silahkan masuk kedalam!" Derris membukakan pintu kamar yang di tempati oleh Canna.
"Baiklah, Derris. Jangan panggil aku sekaku itu, aku merasa tidak nyaman!" sahut Ren terkekeh.
Delano hanya diam saja dan terlihat tenang saat menunggu Ren selesai memeriksa Canna.
"Siapa dia, Lano?" Ren mengakhiri pemeriksaannya.
"Bukan urusanmu!!" cetus Delano.
Ren menggeleng melihat sikap kekeras kepalaan Delano.
"Dia mengalami hipotermia dan juga ada beberapa bekas cakaran di beberapa bagian tubuhnya. Ia semacam melakukan kekerasan pada dirinya sendiri," ucap Ren.
Delano hanya diam saja, acuh.
"Aku sudah meresepkan beberapa obat untuk lukanya dan juga demamnya. Oh iya. Pastikan kondisi tubuhnya agar tetap hangat!" ucap Ren.
"Derris. Kamu suruh mereka untuk mengurusnya. Wanita ini benar-benar menyusahkan!"
Delano berjalan keluar kamar tersebut meninggalkan mereka yang ada disana.
"Siapa sebenarnya gadis itu dan kenapa ia bisa berada di kamarnya Delano?" Ren menatap Derris.
Setahunya Delano sangat tidak suka kamar pribadinya di tempati oleh orang lain. Apalagi oleh wanita asing. Matanya kembali melirik pada sosok cantik yang terlihat memejamkan matanya.
"Derris!! Kamu ikut aku dan kamu Ren, kalau sudah selesai urusanmu maka pulanglah!!" usir Delano di balik pintu.
"Dasar lelaki itu, pura-pura tidak perduli tapi sebenarnya perduli."
Ren menggelengkan kepalanya meninggalkan Canna beserta beberapa orang pelayan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!