NovelToon NovelToon

Wira & Lyra

Part 1

...Lyra POV...

Rumah sakit, adalah tempat yang paling aku hindari untuk di datangi. Seumur hidup, aku tak pernah menginap disana apalagi untuk menjadi pasien. Terlalu mengerikan jika sampai jarum infus menusuk ke kulitku. membayangkannya saja membuatku merinding ngeri, apalagi jika sampai mengalaminya.

Beberapa hari yang lalu, dengan sangat terpaksa aku menginjakkan kaki di rumah sakit karena harus mengantarkan Ibuku yang sakit dan mengharuskannya dirawat disana. Sudah lebih dari empat puluh delapan jam aku berada disini. Tak pernah aku sesali karena apapun akan aku lakukan demi Ibu biar bisa sembuh dari penyakit yang sebenarnya akibat ulahnya sendiri.

Mondar mandir dari kampus ke rumah sakit dengan jarak yang tidak dekat, tidak bisa di pungkiri memang membuat tubuhku sedikit lelah. Jangankan untuk beristirahat, untuk makan saja kadang tak punya waktu. Skripsi yang mengejar target, jadwal magang seminggu tiga kali juga benar-benar memenuhi jadwalku. Sepertinya memang sudah begini resiko seorang mahasiswi tingkat akhir. Belum lagi aku barus bekerja paruh waktu di kafe dan kebetulan selama dua hari ini aku sudah minta izin tidak masuk kerja dan tentu dengan konsekuensi gajiku di potong.

"Ibu, makan ya?" ucapku pelan sambil membuka wadah makanan yang beberapa menit lalu di berikan oleh perawat. Respon Ibu yang menggelengkan kepalanya membuatku mendesah pelan.

"Dikit aja Bu, Lyra mohon. Biar cepet sembuh, ya?" aku masih memaksakan, ku ambil satu suapan. Lalu aku duduk tepat di sisi ranjang dimana Ibu berbaring.

"Ibu nggak lapar," jawab Ibu dengan lantang. aku semakin gusar, ingin marah tapi tak mungkin. Ibu mengidap penyakit asam lambung hingga mengharuskannya berbaring disini, tapi masih saja menolak untuk makan. Kepergian Ayah dua bulan lalu masih menyisakan kesedihan mendalam, hingga berefek buruk pada Ibu yang tiba-tiba di diagnosa sakit maag akut.

"Ibu tolong... makan buburnya dikit, aja." Aku memohon, suaraku masih aku pelankan. Tapi Ibu masih saja menggeleng.

"Ibu, tolong lah. Lyra ngurus semuanya sendiri, Bu. Lyra harus kuliah, magang, juga kerja, kalau Ibu nggak mau usaha untuk sembuh, Lyra harus gimana?" Aku mendesah kasar. berucap cukup lembut agar tak menyakiti hati Ibu. Bukan aku tak ikhlas mengurus Ibu yang sakit, hanya saja... melihat Ibu tak memiliki niat apalagi usaha untuk sembuh, aku merasa putus asa.

"Kita pulang aja, Ibu nggak apa-apa kok. Jangan khawatir, kalau sakit Ibu nggak sembuh mungkin lebih bagus lagi, Ibu bisa ketemu Ayahmu disana." kalimat itu bukan baru sekali dua kali ku dengar, sudah sering. Cinta mati Ibu pada Ayahnya tak bisa di pungkiri, ingin sehidup semati mungkin?

"Ibu... dua suapan aja?" Aku raih jemari sang Ibu dengan cukup hati-hati, karena harus menjaga infus yang terpasang dengan penuh perjuangan saat suster hendak memasangkan jarumnya, Ibu malah meronta-ronta.

Tanpa menunggu persetujuan, aku langsung menyodorkan satu suapan dengan sendok berbahan melamin itu, ke arah mulut Ibu. Aku tersenyum saat Ibu membuka mulut tanpa paksaan.

Lima menit berlalu, bubur sudah habis setengah porsi. Aku bernapas lega. Ku tatap wajah lelah perempuan yang telah melahirkanku dua puluh satu tahun silam itu.

"Ibu, sebentar lagi... Lyra tinggal sebentar bisa?" Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kirin. Sudah jam setengah satu siang, aku memiliki janji untuk bimbingan skripsi bersama dosen pembimbing yang jarang punya waktu luang. Jadi, mahasiswa yang harus mengikuti jadwalnya. Tak bisa kapanpun, paling seminggu hanya dua kali saja.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu pergi aja, mau ke kampus?" Ibu memberi izin, namun sebenarnya aku tak tega meninggalkannya tapi terpaksa ku lakukan. Demi skripsi yang hanya tinggal beberapa tahap lagi, aku harus sidang di awal tahu depan, harus wisuda dalam tahun yang sama juga. Jika tidak, aku harus bekerja lebih keras lagi untuk membayar uang semesteran.

"Maaf ya Bu, Lyra pergi. Assalamualaikum," setelah mencium tangan Ibu, aku pun pergi meninggalkan ruang pasien berjenis VIP itu. Meski kekurangan, aku ingin memberikan yang terbaik untuk perawatan Ibu. aku yakin tabunganku selama ini masih cukup untuk membayar biaya rumah sakit.

"Waalaikumsalam, hati-hati nduk," Ibu melambaikan tangan dan aku menutup pintu perlahan.

"Telpon Lyra kalau ada apa-apa ya Bu!" seruku sebelum benar-benar pergi.

Berjalan menuju parkiran khusus roda dua di rumah sakit itu, aku harus berjalan melewati koridor yang cukup panjang. Sesekali aku menunduk, kemudian ku angkat lagi kepala. Sebenarnya saat ini aku sedikit pusing, mungkin karena kurang tidur dan ternyata aku belum makan sejak pagi.

Aku mencoba membuyarkan lamunan karena begitu banyak hal yang berputar-putar di kepalaku. Rumah sakit tergolong sepi saat ini, mataku tertuju pada sebuah benda berwarna hitam, berbentuk persegi. Aku dekati benda itu. Dan... tanpa ragu lagi aku membungkukkan badan untuk meraih benda itu.

"Punya siapa ya? kasian banget ini yang kehilangan," Dengan sedikit keberanian aku meraih dompet berbahan kulit dan cukup tebal. Tapi aku tak punya keberanian sedikitpun untuk membukanya meski tergiur akan rasa penasaran siapa pemilik dompet bermerk LV yang ku yakin harganya pasti cukup untuk biaya makan ku selama berbulan-bulan.

"Gimana ini?" Aku pun bingung, melirik jam tangan, tak punya banyak waktu lagi. Perjalanan ke kampus juga akan memakan waktu kurang lebih setengah jam. Berdiri di tengah koridor dengan perasaan kebingungan. Memastikan keadaan sekitar bahwa benar-benar sepi, tak ada orang lain di dekatku. Aku memberanikan diri untuk membuka dompet itu, siapa tahu aku bisa menemukan idientitas dan menemukan petunjuk kemana harus aku kembalikan.

"Kembalikan dompet saya!" aku menoleh ke belakang, ke sumber suara itu berasal. Namun masih ragu apa benar laki-laki itu pemilik dompet ini, aku pun menyamakan foto yang terdapat dalam KTP itu dengan orang yang ada di hadapanku. Belum sempat aku menyamakan, lelaki itu langsung merampas secara kasar. Dan bukan hanya dompet yang dia rampas tapi dia juga pergelangan tanganku, menyeret ku untuk ikut dengannya.

"Lepasin saya!" hentakku sambil berusaha melepas cengkeraman tangannya yang begitu kuat.

"Menurut kamu, saya akan melepaskan kamu begitu saja? saya bahkan belum melihat apa saja yang hilang dari dalam dompet ini?" dia berhenti berjalan, tapi tak juga melepas tangannya dariku sambil menampilkan dompet yang katanya miliknya ke hadapanku.

"Sumpah! saya baru nemu dompet itu sambil jalan, saya buka untuk ngeliat idientitasnya saja, siapa tahu bisa saya kembalikan kemana! tolong lepasin saya Om!" aku masih berusaha keras untuk melepaskan diriku darinya. Hingga aku berjongkok sambil menarik tangan kananku, sialaan mengapa aku diperlakukan seperti pencuri. Jika tahu akan seperti ini aku takkan pernah menyentuh benda sialan itu.

Lelaki itu berhenti, melepas tanganku secara tiba-tiba. Hingga aku terjatuh dan terduduk di lantai. Tote bag yang aku kenakan pun terhempas di lantai.

"Om? saya belum setua itu! ikut saya sebentar! saya nggak akan ngelepasin kamu sekarang, urusan kita belum selesai, tapi saya buru-buru. Ada nyawa yang harus saya selamatkan."

Melihatnya setengah memelas, entah mengapa aku merasa iba. "Oke! saya bisa jalan sendiri, nggak usah di seret-seret!" Aku membersihkan bajuku yang kotor, meraih tas ku yang teronggok di lantai.

"Ikut saya!" titahnya lagi. Aku berjalan mengikuti langkahnya yang cepat, entah kemana. Langkahku terlalu lelah rasanya. Perjalanan dari ruangan Ibu di rawat ke parkiran motor saja sudah memakan waktu hampir lima belas menit. Rumah sakit ini tergolong rumah sakit swasta terbesar dan terkenal dengan pelayanan terbaik, maka aku tak ragu untuk membawa Ibu di rawat disini saja.

Sepanjang perjalanan, begitu banyak perawat dan pegawai di rumah sakit ini menundukkan kepalanya saat berpapasan dengan lelaki itu. Mungkin karena dia pasti salah satu dokter disini. Dapat aku pastikan bahwa ia seorang dokter dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. Sudah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya kami berhenti di depan lift.

"Masuk!" titahnya.

Aku melangkah masuk, berdiri tepat disampingnya membuat jarak semaksimal mungkin. Aku lihat jari telunjuknya memencet tombol angka delapan. Yang aku tahu rumah sakit ini memiliki lantai hingga delapan itu artinya, kami menuju ke lantai tertinggi di gedung ini.

Tak ada percakapan hingga kami sampai ke atas, entah mengapa perasaanku tidak karuan. Terlebih aku tak punya banyak waktu, janji ku dengan disen pembimbing sekitar satu jam lagi. Jantungku berdegup, kepalaku terasa pusing, namun masih bisa ku tahan.

Hingga kami sampai di sebuah ruangan rawat kelas tertinggi di rumah sakit ini. Lelaki itu masuk, melihatku tak bergerak sama sekali dia pun menoleh.

"Tunggu apalagi?" tatapannya tajam ke arahku seolah ingin menerkam.

Aku masuk tanpa bertanya, tak ku sangka ternyata disana ada banyak orang. Dan mataku tertuju pada seorang pria tua yang tengah berbaring lemah dengan banyak  alat-alat medis terpasang di beberapa bagian tubuhnya.

"Kenapa lama sekali kamu Wira? Ayah dari tadi manggil-manggil namamu!" ucap seorang wanita dengan air mata yang berderai di pipinya.

Ternyata lelaki kasar itu bernama Wira? oh... lantas apa peranku disini? untuk apa aku harus terlibat dengan orang-orang yang tak ku kenal. Terlebih, beberapa pasang mata menatap ke arahku dengan tatapan mengatakan kamu siapa?

"Wira..." ucap lelaki tua itu dengan suara lemah dan lirih setelah alat bantu pernapasan di buka.

"Ayah, butuh sesuatu? Wira disini, Yah." ucap lelaki itu dengan lembut sambil meraih tangan Ayahnya.

"Itukah calon istri yang kamu ceritakan?" dan saat itu juga semua mata tertuju padaku. Aku berdiri kaku tanpa bisa berbuat apapun. Calon istri katanya? bahkan kami baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.

...Wira & Lyra aku pindahin kesini aja...

...Selamat membaca, jangan lupa bantu like dan komentarnya. Terimakasih 🥰...

Part 2

...Wira POV...

Itukah calon istri yang kamu ceritakan?" pertanyaan Ayah membuatku bingung, memang aku sempat bercerita tentang calon istriku tapi bukan dia. Gadis sederhana yang bahkan aku tak tahu siapa nama dan asal usulnya. Calon istri yang aku maksud adalah Hanna. Perempuan cantik yang aku cintai, kini tengah mendalami pendidikan spesialis kecantikan di Sydney, Australia. Aku sempat berjanji pada Ayah akan menikah dalam waktu dekat. Usiaku memang sudah pantas untuk membina sebuah rumah tangga. Tahun ini menginjak tiga puluh satu tahun. Maka Ayah terus saja mengejarku untuk menikah, dan bukan hanya Ayah, tapi juga mama dan kakakku.

"Wira? Ayah menunggu jawabanmu!" Ayah membuyarkan lamunanku, apa yang harus ku jawab saat ini.

"Ayah nggak punya waktu lama lagi, Ayah ingin melihat kamu menikah sebelum Ayah pergi..." suara Ayah semakin lemah, aku tak tega mendengarnya. Harus ku akui aku memiliki watak yang keras. Tapi itu tidak berlaku untuk orang-orang yang aku cintai.

"Ayah... tapi, dia bukan—"

"Jangan bikin Ayah kecewa, Wira! kamu berjanji akan menikah sejak enam bulan yang lalu, sejak Ayah masih sehat sampai Ayah nggak berdaya lagi seperti ini kamu masih saja mau menunda?" kali ini, Ibu bersuara. Membuatku semakin gusar. Aku merasa tersudutkan dan sialnya mengapa aku harus menyeret perempuan ini sampai kesini hingga dia terbawa-bawa dalam masalah percintaanku yang rumit.

"Panggil Penghulu, nikahkan mereka sekarang juga! semua perusahaan kita harus ada pewaris dan penerus," Ayah berkata demikian kepada dua orang kepercayaannya yang setia menunggu Ayah sejak berbaring disini. Bisa di katakan mereka lebih setia daripada aku.

"Baik Tuan," Arman, salah satu orang kepercayaan Ayah segera keluar dengan ponsel yang ada di tangannya. Aku hanya bisa pasrah dengan segala keputusan konyol ini.

Pandanganku beralih pada gadis yang aku seret ke dalam masalah tak terduga. Dan dia tengah menangis, aku mendekatinya. Ku raih tangannya, namun dia segera menepisnya. Aku memaksa, ku dekatkan wajahku ke telinganya yang berbalut kerudung. "Tolonglah saya kali ini, maka setelah ini kamu akan bebas. Berpura-puralah paling nggak selama tiga bulan ke depan. saya lakukan apapun yang kamu minta!" aku berbisik di telinganya sambil tersenyum semanis mungkin, seolah sedang membisikkan kata mesra.

"Kalau nggak bisa senyum, setidaknya jangan nangis! pura-pura bahagia saja!" ucapku lagi, masih berbisik halus.

Gadis itu menunduk, mengusap air matanya. Sebenarnya aku juga iba, namun aku membutuhkannya saat ini untuk masuk ke drama pernikahan dalam sebuah keluarga yang suka menuntut dan memaksa.

***

Gadis bernama Lyra Mahayu Anjani yang baru beberapa menit lalu menjadi istri sah ku itu kembali menangis, aku tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah Ayah yang sudah bisa sedikit tenang. Ayah yang sering berkata bahwa hidupnya tak lama lagi. Meski sebenarnya aku tak tega melihatnya yang terus sakit-sakitan. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku masih ingin Ayah hidup lebih lama. Melihatku lebih sukses dari pada ini. Tapi bagi Ayah kesuksesan seorang laki-laki adalah berhasil atau tidaknya membina rumah tangga yang baik, mendidik anak dan istri. Membentuk keluarga yang sempurna dan bahagia. Sama seperti yang ia lakukan kepada kami, anggota keluarganya.

"Kenapa kamu menangis, Lyra?" baru kali ini Aku melihat Ayah tersenyum selebar itu saat berbicara dengannya. Aku tak mengerti sihir apa yang di miliki Lyra hingga Ayah langsung menyukainya. Konyol memang, aku tak mengenalnya sama sekali.

"Nggak apa-apa Pak," Lyra masih saja terisak, saat sesekali kami saling bertatapan, aku menatap tajam ke arahnya memberi isyarat bahwa berhenti menangis.

"Loh, kenapa masih manggil Pak toh? Ayah, sekarang ini juga Ayahmu," pengucapan Ayah dengan rasa bangga akan menantu barunya itu.

Pernikahan kami memang baru sah di atas agama, belum sah secara hukum karena kami baru menjalankan pernikahan siri. Dan Aku berjanji pada Ayah akan segera mempercepat urusan lainnya agar kami juga sah secara hukum. Aku benci keadaan ini, cepat atau lambat aku akan menceraikannya. Aku tidak mengenalnya, apalagi mencintainya? bagaimana mungkin kami hidup bersama?

"Maaf Ayah... Lyra nggak kenapa-kenapa," entah dia berpura-pura baik, atau dia memang gadis yang baik. Sejak tadi ku perhatikan dia berbicara cukup sopan dengan kedua orang tuaku. Aku yakin, saat ini hanya Ayah lah yang senang akan kehadirannya. Tidak dengan Ibu dan Kakak perempuanku yang selalu memandang orang dari penampilan dan latar belakang.

Aku masih memperhatikan Lyra yang tengah duduk di hadapanku, kami di pisahkan oleh ranjang rawat dimana Ayah berbaring disana. Ku lihat pandangan gadis itu semakin sayu, matanya seperti sulit terbuka. Dan... "Lyra!" Ayah cukup panik melihatnya tumbang bersama kursi yang dia duduki.

"Wira, istri kamu pingsan! kenapa kanu diam saja?" Aku heran, Ayah masih saja punya tenaga untuk membentakku seperti barusan? melihatnya seperti itu, terkadang aku lupa kalau Ayah sedang mengidap penyakit.

Aku menggerutu dalam hati, mengapa belum satu jam menjadi istri, gadis aneh ini sudah menyusahkanku? Dengan sangat terpaksa aku menggendongnya, aku baringkan tubuhnya di atas sofa. Lyra benar-benar terlihat pucat. Aku menggunakan stetoskop yang melingkar di leherku, kebetulan aku membawanya karena saat ini aku memang sedang bertugas. Dengan hati-hati aku memeriksanya, mendengarkan detak jantungnya yang tak beraturan. Setelahnya kupanggilkan para perawat untuk mengurusnya dan memindahkannya ke ruang rawat pasien tepat disebelah ruang Ayah.

"Wira!" Ibu memanggilku sebelum aku keluar, aku menoleh dan berhenti. Ibu terlihat menatapku dengan tatapan mengerikan.

"Ada apa denganmu?" aku sudah paham kemana arah pembicaraan Ibu.

"Kita bahas nanti saja Bu," ku pijat pelan pelipisku. Kepalaku hari ini terasa berat. Memikirkan masalah yang datang silih berganti. Ku lihat Ayah sedang tertidur dengan lelap dan wajahnya terlihat damai. Sebahagia itu kah Ayah menyaksikanku mengucapkan akad?

"Lyra jauh dari standar tipe perempuan pilihan kamu, lalu ada apa Wira? mengapa bisa dia?"

Ibu memaksa, terus mendesakku dengan berbagai pertanyaan. "Ayah salah paham, Ayah memaksa, semua aku lakukan demi Ayah. Ibu lihat bagaimana senyum Ayah tadi padanya? sudah lama bukan kita nggak melihat Ayah tersenyum seperti itu?"

Bukan hanya aku, Ibu pun terlihat frustasi sepertinya. "Lantas siapa dia?"

"Aku baru bertemu dengannya beberapa jam lalu, di koridor lantai dasar. Aku mencari dompetku yang aku yakini jatuh disekitar sana, ternyata benar. Dia yang menemukan dan aku tak bisa melepaskannya begitu saja, bahkan sampai detik ini aku belum sempat memeriksa apa yang hilang? udah lah Bu. Nggak usah di perpanjang!"

Ku harap penjelasan panjangku kepada Ibu dapat memberinya pengertian. Aku terlalu malas membahas masalah ini sekarang.

"Cepat atau lambat ceraikan dia! Ibu bisa cari kamu gantinya, yang lebih pantas sama kamu!"

Aku memilih pergi, tidak mengiyakan juga tidak menolak pernyataan Ibu, lebih tepatnya saat ini aku menghindari pertengkaran sebelum kakak perempuanku yang cerewet juga ikut campur.

Dalam hitungan menit, aku sudah berada di dalam ruang rawat dimana Lyra berbaring disana. Infus sudah terpasang di tangan kirinya. Aku mendiagnosa Lyra saat ini tak memiliki tenaga, asupan makanan dan nutrisi sangat minim di tubuhnya. Siapa sebenarnya gadis ini? apa dia tak memiliki waktu atau mungkin uang untuk sekedar mengisi perutnya?

Aku mendekat ke arahnya, tanganku terulur untuk membuka perlahan kerudungnya yang terlihat berantakan. Aku yakin saat ini aku sedang tidak waras, mengapa aku ingin sekali memuji paras cantiknya tanpa kerudung? leher jenjangnya yang putih halus terlihat sangat menganggu. Aku rasa perasaan aneh ini wajar karena aku sudah lama tak menikmati skin to skin dengan Hanna karena kami sedang LDR.

Aku rasa Lyra jelas tak sebanding dengan Hanna. Hanna-ku memiliki bentuk tubuh yang cukup indah, hanya melihatnya mengenakan dress ketat saja aku sudah tergiur untuk menyentuhnya. Ya, gaya kami berpacaran memang jauh dari kata bersih. Kami sering melakukannya, kadang aku tak ingin tapi kalau Hanna yang memulai aku bisa apa. Apalagi saat di apartemenku, hanya ada kami berdua.

Sebagai seorang pasien, Lyra pantas di perlakukan dengan layak seperti pasien lainnya, meski aku takkan membebani biaya perawatan ini padanya. Aku hanya menuruti kata Ayah, saat akad mengatasnamakan dirinya tadi terucap di mulutku, detik itu juga Lyra menjadi tanggung jawabku lahir dan bathin. Maka tentu saja tak mungkin aku menagih biaya perawatan ini padanya.

Ku ambil sepasang baju pasien khusus rumah sakit ini, tanpa ragu aku membuka satu persatu kancing kemeja berbahan jeans yang aku yakin Lyra pasti kegerahan memakainya. Menurutku, sah-sah saja aku melakukan ini aku adalah suami sahnya. Ingin sekali ku tutup mata saat kancing sudah terbuka semua, kemeja kebesaran itu ternyata mampu menutupi bagian aset kembarnya yang berukuran di atas rata-rata. Ah, aku semakin gila dan cukup gerah melihat ini. Aku menggantinya dengan cepat, tanpa menikmati sedikitpun pemandangan di hadapanku, begitu juga dengan bagian bawahnya. Apa ia sengaja menggunakan dalaman serba hitam untuk terlihat menggoda? tapi menggoda siapa?

Sial! juniorku tak bisa di ajak kompromi, dasar tidak tahu diri. Bisa-bisanya bereaksi hanya melihat pemandangan seperti ini? tidak pantas! harusnya, hanya Hanna lah yang mampu mengusik kebangkitannya.

...Bersambung...

...Jangan lupa like dan komentar ya. Semoga yang baca sudah cukup umur, karena akan ada banyak konten dewasa nantinya. Semoga terhibur....

Part 3

...Lyra POV...

Aku membuka mata perlahan, pandanganku tertuju pada langit-langit ruangan yang sangat asing bagiku. Kepalaku terasa berat, pusing dan rasanya aku ingin muntah. Sekuat tenaga aku bertahan dan mencoba membuka mata dengan sempurna. Ku usap kepalaku dan aku terlonjak kaget saat menyadari kepalaku tak terlapisi kerudung. Dan ketika itu juga pandanganku beralih pada seseorang yang tengah duduk di sofa menyilang kakinya sambil memainkan ponsel.

Dimana aku? mengapa dia ada disini? dan kemana kerudungku? ya Allah.

"Kenapa aku disini? apa aku sudah boleh pergi? aku punya banyak urusan," ucapku hendak turun namun aku tersentak merasakan sakit tenyata tanganku tersandra oleh infus yang terpasang. Aku menjerit sejadi-jadinya. Hingga lelaki itu melotot ke arahku.

"Kenapa berteriak?" dia bangun dari sofa, berjalan mendekat, aku menangis terisak. Tak pernah aku bayangkan ternyata saat ini jarum infus menusuk ke kulitku. Aku benci ini!

"Anda... seorang dokter, bukan? tolong lepaskan ini!" dengan suara yang terbata aku mengarahkan tangan kiriku ke arahnya.

"Jangan bertingkah, kamu pingsan dan menyusahkanku! dan aku nggak mau semakin di susahkan!" ucapannya terdengar sangat angkuh. Sialan! memangnya siapa juga yang butuh pertolongannya.

"Nggak perlu, aku hanya perlu kamu melepaskan infus sialan ini dari tanganku!" titahku kembali berteriak. Dia yang masih berdiri di sisi ranjang, semakin mendekat padaku. Menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Hingga bibirku maju, dan aku membulatkan mataku saat dengan kurang ajarnya dia mengecup bibirku.

"Kalau kamu masih berteriak, aku akan lakukan lebih dari itu!" ancamnya. Aku hanya bisa menangis, menatap sekeliling, masih tak mengerti apa yang terjadi. Pikiranku tertuju pada dosen pembimbing yang pasti saat ini tengah menungguku atau beliau sudah pergi meninggalkan kampus karena aku tidak hadir.

Dan mataku menangkap kerudung, serta sepasang pakaian, yang tergantung pada gantungan baju di dalam lemari yang terbuka. kemeja dan celana yang begitu ku kenal. Itu milikku kan? lantas mengapa bisa? aku menoleh ke bawah melihat ternyata pakaian yang aku pakai sudah berubah.

Ternyata... apa aku di lecehkan? diakah yang mengganti pakaian ku tanpa permisi? oh tidak... tubuhku sudah ternoda. Laki-laki itu sudah melihat bentuk tubuhku. Ya, meski tidak ada yang salah karena tadi kami sudah menikah secara siri. Tapi, ini tetap tidak adil.

"Apa yang kamu lakukan padaku? mengapa begitu jahat? apa salahku? gara-gara dompet laknat itu aku harus terjebak bersamamu, dokter jahat!" Aku berucap cukup keras, dengan jantung yang berpacu tak karuan aku beranikan diri untuk mencabut infus itu "Aahhh... sakitnya," perih yang kurasa. Darah segar langsung mengalir dari bekas infus yang ku cabut paksa.

"Jangan bergerak!" titahnya, dia masih berdiri di sisi ranjang, meraih tubuhku, memelukku, meletakkan kepalaku di dadanya "Sepertinya kamu butuh obat penenang?" tanyanya lagi, satu tangannya meraih tisu di atas nakas samping ranjang, untuk menghentikan darahku yang keluar dari sana.

"Dasar perempuan bengal! sudah ku bilang jangan bergerak!" ucapnya saat aku meronta untuk melepas pelukannya.

"Hei ingat! nggak perlu se lebay itu, aku suamimu sekarang. nggak ada yang salah aku menggantikan pakaianmu dan melihat tubuhmu, bahkan kamu tahu? aku punya hak lebih dari itu!" kalimatnya terdengar penuh kemenangan, sementara diriku rasanya ingin sekali berlari dari sini. Apa katanya? suami? suami sialan!

Aku memilih diam, menenangkan diriku yang masih berada dalam dekapannya. Ku rasakan degup jantungnya juga berpacu cepat sama sepertiku. Lima menit lamanya kami saling berdiam diri. Tangan kanannya masih sibuk memegang tanganku yang terluka karena jarum infus.

Sejenak aku merasa tenang di dalam pelukan laki-laki yang membuat hidupku kacau seketika. Dia melepas pelukan saat pintu ruangan di ketuk, ia berjalan ke arah pintu.

"Masuk!" titahnya pada pegawai rumah sakit yang tengah membawa nampan berisi semangkuk nasi, dengan dua jenis lauk, sayur, beserta buah. Melihat makanan-makanan itu, perutku semakin bertingkah, mengeluarkan suara. Ada ikan kakap goreng, ayam semur, sayur bening, buah melon dan semangka yang di potong bentuk dadu-dadu. Sepertinya itu menyegarkan.

"Permisi, Tuan," ucap pegawai itu setelah meletakkan nampan di atas meja. Wira mengambil alih nampan berisi berbagai jenis makanan itu membawanya ke arahku.

"Makanlah!" titahnya. Aku masih diam, penuh gengsi. Aku memang sangat lapar, perutku belum terisi lagi sejak jam tujuh malam kemarin.

Melihatku yang tidak ada pergerakan, Wira mulai mengambil nasi, ikan serta sayur dia gabungkan dalam satu mangkuk. "Apa perlu aku suapi? jangan manja mentang-mentang aku ini suamimu. Jangan berharap lebih!"

Aku masih diam, ucapannya begitu menyakitkan. "Aku nggak lapar," ucapku pelan. Suasana ruangan itu cukup hening. Namun aku tak bisa berbohong saat perutku mulai berbunyi lagi. Dan dia menertawakanku dengan lantangnya.

Ku hempaskan rasa gengsi ku ambil alih mangkuk itu dari tangannya. Aku mulai makan dengan lahap, tak peduli lagi dengan Wira yang masih menertawakanku. "Gengsi dan bodoh itu sama aja, sama-sama menyebabkan lapar!" ucapnya, aku masih tak peduli.

Dua menit lamanya aku fokus menghabiskan makananku, hingga suapan terakhir, "Setelah ini, kita selesaikan urusan kita! coba kamu buka dompetmu, apa ada yang hilang? apa aku benar-benar mencuri sesuatu darimu, Tuan dokter?" aku berucap dengan nasi yang masih memenuhi mulutku.

"Ah iya... sampai lupa," Wira berucap cukup santai. Ia menggerakkan tangannya untuk merogoh saku jas  dokternya. Ku perhatikan dia membuka dompet itu. Menghitung jumlah uang dan melihat segala idientitas kartu-kartu yang aku tak tahu itu apa.

"Masih utuh," katanya, kemudian menyimpan kembali dompetnya dengan begitu santai tanpa rasa bersalah setelah menuduhku pencuri.

Lantas aku yang sudah dituduhnya sebagai pencuri hingga terjebak dalam drama pernikahan konyol ini harus berbuat apa? semua sudah terjadi.

Wira meraih mangkuk kosong yang berada di tanganku, kemudian menyodorkan segelas air putih. Aku mengambilnya dan meneguk tanpa sisa. Emosi tersulut memang membuat lapar dan haus!

"Jangan ke geeran, aku lakuin ini semata-mata supaya aku nggak semakin disusahkan olehmu!" ucapnya, dia duduk kembali di sofa yang tak jauh dari ranjang dimana aku duduk bersandar.

"Kapan kita bercerai? minggu depan, bisa kah? aku pikir satu minggu cukup bagiku untuk berperan sebagai pasanganmu," ucapku mengingatkannya.

"Jangan bermimpi, Lyra! Minggu depan kita akan melaksanakan pernikahan yang sebenarnya. Resepsi juga akan dilangsungkan, jadi bertahanlah paling nggak tiga bulan lagi sampai calon istriku yang sebenarnya pulang ke Indonesia."

Aku terperangah mendengar setiap ucapannya. Dia gila atau apa?

"Kamu yang jangan mimpi, tuan dokter. Ceraikan aku dalam waktu dekat!" aku hendak turun dari ranjang, berjalan cukup pelan, menuju lemari untuk meraih kembali pakaianku. Lelaki itu hanya diam memperhatikan gerak gerikku.

"Oh ya, jangan lupa, kamu punya utang denganku. Kamu bilang tadi, sebelum mengucapkan akad, kamu berbisik, aku boleh minta apapun yang ku mau?" ku ambil kesempatan ini untuk menghemat uangku, ku tuntut dia untuk membebaskan biaya rumah sakit.

"Ya, apa yang kamu minta?" ucapannya terdengar cukup sombong seolah dia bisa mengabulkan apapun itu.

"Bebaskan biaya rumah sakit Ibuku, Ibuku sedang di rawat disini. Untuk idientitas dan dimana ruangannya akan ku kasih tahu nanti," aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti pakaianku. Syukurlah dia membiarkanku dan tidak menahanku sama sekali.

***

"Nggak akan ada perceraian dalam waktu dekat! masalah biaya rumah sakit Ibumu, aku bisa mengabulkannya. Tapi nggak untuk bercerai dalam waktu dekat, kamu mau Ayahku meninggal tiba-tiba karena ulahmu?"

Aku merasa seperti tawanan, tawanan orang kaya. Memang, dapat ku rasakan Ayah mertua yang baru ku kenal itu begitu baik padaku. Mendengar ancaman Wira, sepertinya aku harus menggunakan hati nuraniku. Baiklah akan ku turuti, selama tiga bulan. Bukan demi Wira, tapi demi laki-laki tua yang tadi memaksaku memanggilnya dengan sebutan Ayah.

"Hei, mau pergi begitu aja? jangan bercanda, tinggalkan nomor ponselmu! aku bisa aja mencarimu dimanapun kamu berada. Itu gampang, tapi, bukankah ada baiknya kita sebagai suami istri saling menyimpan nomor?" Dia mencekal tanganku saat aku hendak berjalan keluar pintu.

Suami-istri katanya? entah mengapa aku begitu geli mendengarnya. Ku ambil ponsel dari tote bag ku, kuberikan padanya sebelumnya sudah aku buka kode pengamannya. Dia membolak balikkan ponselku seakan merendahkan ponsel milikku yang tergolong murah dan sangat jauh dengan tipe ponsel yang sedang dia genggam di tangan kirinya. Dan bahkan, lebih memalukan lagi layar ponselku sudah retak.

Dia tersenyum miring, entah apa yang dipikirkannya. Sekali lagi, aku memasang tampang tidak peduli.

"Nih," ku raih kembali ponselku dari tangannya. Aku benar-benar melangkah keluar. Dan dia menahanku lagi, apa sih maunya?

"Bahkan nggak ada ucapan terkmakasih setelah di tolong dan di beri makan?" ucapannya membuat aku mendesah kasar.

"Bukannya harusnya kamu ya Tuan dokter, yang mengucapkan terimakasih padaku? aku udah pura-pura jadi calon istrimu, menikah denganmu, aku terjebak dalam kehidupanmu yang rumit hanya karena di tuduh pencuri!" aku membalas tatapan tajamnya. Wajah kami saling berdekatan dan sangat dekat, namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Aku mundur dan menjauhkan wajahku darinya.

Tanpa ku duga lagi, dia mendekat, menundukkan kepalanya, miring, dan ******* bibirku tanpa permisi. Sial! dua kali sudah aku di perlakukan seperti ini.

"Terimakasih, kamu boleh pergi, tapi jangan pernah sekali-kali mengabaikan panggilanku, ngerti?" Aku masih melotot ke arahnya sebagai respon tidak terima atas perlakuannya. Bibir yang selalu ku jaga selama dua puluh satu tahun sudah tidak perawan lagi, dua kali di sentuh oleh bibirnya. Aku menjaganya dan akan memberikannya pada suamiku kelak. Eh tunggu, tapi dia suamiku bukan? benar memang, tapi bukan dengan pernikahan paksa dan konyol seperti ini. Bahkan kami belum saling mengenal.

Aku masih menatapnya tajam, ingin sekali aku memberi satu tamparan keras padanya. Tapi anehnya mengapa tak aku lakukan?

Jantungku berpacu cepat, harus ku akui dia cukup tampan dan gagah sebagai laki-laki. Penampilannya rapi, kulitnya bersih. Lengan dan tangannya di tumbuhi rambut-rambut halus khas cowok. Bibirnya lebih tebal bagian bawah, hidungnya pun boleh lah. Ah, apa yang aku pikirkan. Aku membalikkan tubuhku segera dan berlari tanpa menjawab ucapan terakhirnya tadi.

...Bersambung...

...Jangan lupa pencet like dan komentarnya ya, menurut kalian Wira itu gimana? 😁...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!