.
Welcome to Diego and Alita's story!
.
***
Dentingan piano terdengar kala jemari menari. Manik cokelat madu yang tertutupi topeng menatap intens pada seseorang yang sedang menari dengan anggun di depannya.
Diego menikmati keheningan yang seketika mengambil alih dengan mata dan bibir yang tak henti tersenyum. Objek yang memesona di sana menjadi pemandangan sempurna untuknya selama ini.
Gadis manis itu melakukan pole dance, sementara Diego dengan pianonya, tidak terpisahkan.
Nada-nada merambat pelan dan bergema indah, menghadirkan senyuman di bibir yang mendengar. Bibir tipis merah muda alami milik pemuda tampan mulai menggemakan sebuah lirik.
Let's talk about all the things that we shouldn't talk about
Those kinda of words that would change all the things we talk about
Tell me do you ever think of us
Should I ask for more or should I stop?
Belum sempat Diego melantunkan pada bait berikutnya, suara sorakan dan gemuruh para gadis penikmat musik menggemparkan aula.
"Astaga, suaranya mirip Justin Bieber!" ujar seseorang.
"Oh Tuhan, aku tidak tahu di sekolah kita ada yang punya suara bagus. Aku mau jadi pacarnya!" teriak yang lain.
"Aaahhhh, aku ingin melahirkan anak untuknya!" sahut yang lainnya.
"Yang benar saja! Selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan suara Manuel, bahkan ini setara dengan Ed Sheraan!" sambut yang lain lagi.
Berbagai pujian menakjubkan tidak membuat Diego mengalihkan fokus. Mata cokelatnya terus menatap Alita, gadis remaja yang membuat dunianya jungkir balik.
Namun, satu kalimat dari seorang penonton membuat bibir Diego menipis.
"Mungkin gadis itu adalah pacarnya, aku pikir mereka sangat cocok untuk bersama meski wajahnya ditutupi topeng."
Diego bergumam dalam hati. "Suatu hari nanti dia akan menjadi pengantinku. Itu janji."
Sambil melanjutkan bait selanjutnya, jemari Diego menekan tuts piano lebih cepat dan gerakan Alita di sana semakin cepat.
What if a tommorrow means that we are here together?
What if we taking chance and just to lose it all?
Am I really crazy thinking 'bout this all together?
What if I've been missing the writing on the wall?
What if I say?
Objek yang menjadi penghayatan Diego berhenti, melangkah ke arahnya dengan senyuman. Dengan gerakan pasti, jemari mungil itu mengambil alih tuts piano di sebelah kanan Diego, dan bersama menyambung bagian selanjutnya.
I know, you know
What if I told you I like you?
We stay, we go
What if I told you I like you?
I know, you know
What if I told you I like you?
What if I told you I like you?
Teriakan histeris makin memekakkan telinga, kedua manik berbeda warna itu saling menatap, memancarkan perasaan yang sama. Bibir yang terus tersenyum membuat perasaan Diego kalang kabut.
Di balik irama piano, bermandikan cahaya rembulan malam, disaksikan ratusan juta bintang dari angkasa, di hadapan para guru dan siswa di acara festival sekolah, Diego dan Alita tersenyum, memberikan kode yang hanya bisa dimengerti oleh kedunya.
Sekali lagi, jantung Diego berdebar tak karuan tatkala bibir yang penuh godaan itu tersenyum lagi. Gerakan tangan yang sangat kompak di atas tuts membuat bibir Diego tersenyum lagi meski jantungnya berdebar sangat cepat.
Dan pada saat Alita menandungkan bagiannya, Diego menatap lamat.
I heard everything you saying, saying 'bout us
It's not about right or wrong, it's 'bout what we love
Would it be simple or would be too complicated?
Should I keep going or maybe it's better to stop?
Bersama-sama keduanya menyelaraskan syair, berkabut dalam gairah asmara remaja bermandikan doa dalam hati, berharap cinta mereka abadi layaknya matahari kecil yang tidak pernah berhenti bersinar.
***
"Lele, ready?"
"Yes, you can do it now!"
Suara dari walkie-talkie terdengar, menanyakan persiapan Alita. Sementara seseorang di sana sedang melakukan sesuatu.
"Hitung mundur sepuluh detik. Sekarang!"
Alita mulai menghitung dalam hati. Jantungnya berdebar-debar, meski sudah sering melakukan ini, tetap saja dia merasa asing. Diego di sana sedang melakukan aksi yang bisa dibilang melanggar hukum.
"Sudah lima detik," gumamnya yang terus menghitung.
Tidak menunggu waktu yang lama, Alita berlari dan berlindung di balik dinding yang menurutnya anti guncangan. Tidak lama kemudian, terdengar suara ledakan yang membuat banyak orang kalang kabut.
Tidak adanya suara dari walkie-talkie membuat Alita cemas. Pasalnya, ledakan itu sangat besar dan bisa membahayakan nyawa orang yang terkena dampaknya.
"Shaun, kamu masih di sana?" Alita berteriak cemas, tapi masih menutup mulutnya demi keamanan jangan sampai ada orang yang mengenalinya.
Tidak ada jawaban, Alita kembali berteriak. "Diego?! Kamu masih hidup?"
Masih tanpa suara membuat Alita menghentakkan kaki dan dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Ditatap aneh karena tubuhnya dibungkus jaket hitam berukuran jumbo.
"Shaun, apa kamu sudah mati?"
"Gadis gila, apa kamu sedang menyumpahiku agar bisa berpacaran sepuasnya?"
Senyum di bibir Alita terbit. Ternyata kecemasannya hanya sekadar rasa takut kehilangan. Buktinya Diego masih orang yang sama, pemuda yang kadang menyebalkan menurut Alita.
"Aku pikir kamu sudah mati, Shaun, kamu tidak menjawabku," ucap Alita sambil mengerucut.
"Aku sudah mengatakannya berulang kali, Lele, jangan mengganggu konsentrasiku."
Alita tertawa pelan. "Cepatlah, aku melihat banyak pria tampan yang lewat. Kamu tidak ingin aku kabur, bukan?"
"Eh, sialan, jangan berani coba-coba! Aku akan membunuh bajiingan itu kalau kamu berani kabur tanpa kabar!"
Alita tertawa lagi. "Sekarang sudah musim ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, Shaun. Masih bagus aku kabur tanpa kabar yang pasti akan kembali."
"Aku akan mematahkan kaki kecilmu kalau kamu berani kabur!"
Ancaman yang seperti candaan bagi Alita, bibirnya mengerucut. "Berapa lama lagi? Aku sudah tidak sabar menunggu, apalagi menunggu kepastian dari kamu. Kapan kamu akan menemaniku di pelaminan?"
Alita tahu di seberang sana Diego sedang tertawa mengejek juga menahan kesal. "Aku akan datang sebagai tamu makan gratis," ucap pemuda itu. "Kalau kamu berani nikah dengan orang lain, malam pertama aku ganggu di tengah-tengah," ujar Diego plin-plan.
Alita tergelak. "Dan kamu akan membayar dengan nyawamu."
"Aku siap menghabiskan seluruh hidupku bersamamu."
Bibir Alita tersenyum lagi. Gombalan receh ala Diego mampu membuat garis bibirnya tak henti melengkung ke atas. "Kenapa kamu menjawab? Aku akan memakai itu untuk merayu pria tampan!"
"Aku juga pria tampan, setia juga penuh kharisma."
"Aku tidak suka pria licik, aku hanya ingin pria tampan dan pintar," ujar Alita mencibir.
Decakan dari bibir Diego terdengar, dan itu membuat Alita terkejut. Pemuda tampan itu sudah berdiri di belakangnya. "Kapan kamu sampai?"
"Saat kamu bilang ingin menggoda pria tampan."
Alita mengerucut sebal. Capitan di lehernya membuat Alita terbatuk-batuk. "Shaun Anthony?! Apa kamu ingin membunuhku?"
Begitulah kehidupan kami. Meledakkan brankas dan mesin ATM demi kepentingan pribadi. Jika ada yang bertanya, kenapa tidak meretas jaringan dan mengalihkan kepemilikan?
Bukan tidak mudah, tapi kami butuh udara segar. Berlari dari kejaran polisi adalah keahlian kami. Dan sekarang dengan sekantong dolar Amerika, kami bergandengan tangan, berlari dari kejaran yang katanya para pembela kebenaran.
Kami bukan Robin Hood yang mencuri untuk orang miskin, juga bukan para Avengers yang berperang demi kedamaian dunia. Kami bukan pembela kebenaran, kami hanyalah tunas muda biasa yang berusaha mencari kesenangan dan juga jati diri.
We are Perfect Partner!
.
---
Oke, si tengil udah gede😆✌
Titisan kecebong Silver, mirip 'kan sama Sue?🤔🤔
---
Entah siapapun visualnya, aku harap para readers yang bijaksana hanya perlu fokus pada isi cerita. Visual ini hanya pelengkap dan tidak mewakili seluruh isi bacaan, jadi bijaklah dalam memilah.
Diego said : Ti voglio bene, cara!
Alita said : Ti amo anch'io.
.
***
Love,
Xie Lu♡
Happy reading!
.
***
"Lele, bangun!"
Diego berteriak dari luar pintu yang bernuansa feminim itu. Tidak adanya sahutan membuat Diego menghela napas pasrah. Gadisnya pasti masih melek, dan ini sudah hampir terlambat masuk sekolah.
Dibukanya pintu yang tidak dikunci itu dan ternyata Alita masih tidur. Diego mengguncang kaki Alita, memaksa gadis cantik itu bangun.
"Bocah ingusan, bangun!"
Alita bergerak dan bergumam. "Kalau mau ngajak kawin lari, jangan, Shaun. Aku masih capek, kita sudah lari-larian semalam."
"Eh?" Diego mengerjap. "Kawin lari kepalamu," ucapnya yang tiba-tiba merasa kesal.
Diego menarik selimut yang membungkus tubuh Alita dan berteriak lagi.
"Pacarmu ada di depan pintu, Bocah ingusan!"
Mendengar kata pacar, mata Alita langsung terbuka lebar dan melupakan kantuknya. Dengan cengiran dan wajah kusut, dia menatap Diego.
"Pacar? Pacar yang mana? Kenapa kamu tidak mengatakannya sejak tadi?" tanya Alita penasaran dan menyalahkan Diego atas keterlambatan informasi.
"Yang bermuka tebal dan rambut seperti indomie," jawab Diego asal.
"Oh, itu pacar yang ke-27."
Diego terbelalak tidak percaya. "27?" ulangnya memastikan.
Alita tidak merespon, dia bangkit dari ranjang. "Pria tampan, aku datang! Inilah alasan kenapa aku ingin bangun pagi setiap hari!"
Alita berlari kecil ke kamar mandi, membiarkan ranjangnya berantakan. Tidak terurus. Diego menggeleng, terkadang Alita seperti anak kecil yang dia kenal belasan tahun yang lalu, dan kadang sangat berbeda dari biasanya.
"Bangun pagi apanya? Aku yang selalu pusing membangunkanmu setiap pagi." Diego menggerutu kesal.
"Eh, tunggu! Pacar ke-27? Apa-apaan? Dia sudah punya pacar sebanyak itu?"
Diego menendang ranjang yang masih utuh dengan segala kekacauan, dan ternyata kakinya yang terasa sakit.
"Sialan," umpatnya. Kemudian merapikan ranjang yang berantakan seperti sarang burung liar yang hendak bertelur.
"Pria tampan, huh? Spagetti masih lebih enak dimakan daripada melihat wajah jelek bajiingan itu." Diego masih terus mendumel, membandingkan spagetti yang sangat tidak disukainya dengan wajah pria yang kata Alita tampan.
"Baru sebulan saja dia sudah punya pacar sebanyak itu, dasar bocah," sungutnya lagi. Diego tidak henti mengomel hingga suara Alita dari kamar mandi menghentikan.
"Di mana sabun mandi milikku, Shaun?"
Diego terkekeh, gadis kecil itu pasti sedang kesal sekarang. "Aku memakainya!"
"Ambilkan!"
Diego yang masih kesal tidak beranjak. Dia malah merebahkan dirinya di ranjang dan menutup mata. Tidak menghiraukan ocehan Alita yang masih kesal karena sabun mandi miliknya tidak berada di tempat.
"Diego! Shaun! Anthony!"
Diego tertawa sendiri tatkala Alita memanggil semua namanya. Diego adalah identitas yang berbeda dengan Shaun, dan Alita sudah mengetahuinya.
"Diego Santino D'antonio!"
Teriakan itu diabaikan oleh Diego. Dia tertawa dalam diam, membayangkan wajah kesal Alita.
Dan dia terkejut saat Alita sudah berada di bibir ranjang. "Shaun Anthony sialan!"
"Apa?" Diego menyahut tanpa menoleh. Dia tahu Alita sudah pasti sedang memakai handuk saja dan Diego tidak menyukainya.
Bukan tidak suka dalam artian luas, tapi tidak suka dalam hal pribadi. Ada yang harus diabaikan dalam perasaan pribadinya.
"Kamu memakai sabun pemberian pacar aku yang ke-39," sungut Alita kesal.
Diego melotot tidak percaya. Dia buru-buru menutup mata yang sempat tidak tahu malu tadi dan mengintip Alita.
"Pacar yang ke berapa?"
"39."
Tanpa mengangkat wajah dari bantal, Diego bertanya lagi. "Apa kabar pacar kamu yang lain? Hanya perhatian sedikit saja sudah seperti itu. Sabun mandi apanya kalau dia belum bisa nafkahin lahir batin."
Alita mengerucut kesal, dia memukul kaki Diego yang melebihi ukuran kasurnya. "Karena pada akhirnya yang ngajak chatting akan kalah sama yang ngajak shopping," ucapnya dan melangkah keluar.
Diego mengangkat wajah dan mengusapnya kasar. "Bangsaatt, aku pikir yang berduit akan kalah sama yang berkomitmen," keluhnya sambil mengaca di kaca jendela.
Kota Los Angeles sudah bangun, banyak kuda beroda yang berlarian. Diego menatap pantulan wajahnya di kaca, tampan dan sangat imut. Dia tersenyum manis dan menahan kesal. "Aku lebih tampan dari pacar ke-27 itu dan juga lebih kaya darinya."
Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu mengerut kesal mengingat fakta bahwa Alita lebih demam pria tampan yang lain daripada dirinya.
***
Manik hijaunya menatap lurus ke depan. Dia masih kesal pada pemuda yang sedang mengemudi. Pacar ke-27 yang katanya ada di depan pintu sebenarnya hanya akal-akalan Diego dan yang lebih menyebalkan lagi, sepertinya Diego tidak merasa bersalah karena telah memakai sabun mandi miliknya.
"Bangkeee," umpat Alita kesal.
Hal itu mengundang tawa seseorang. "Apa kamu tidak akan melirik pria tampan di sampingmu? Ini bahkan lebih tampan dari Justin Bieber loh!"
Diego si tengil yang narsis, membandingkan dirinya dengan Justin Bieber, si penyanyi yang sangat diidolakan Alita karena memiliki hidung yang mancung dan otot atletis juga lengan bertato.
Alita mendengus kesal. "Tampan apanya, kamu hanya mengajak lari-larian sepanjang malam dan tidak pernah mengajak shopping. Membuat capek saja," keluh Alita.
"Capek apa? Kamu berlarian di pikiran aku setiap saat tidak merasa capek," ucap Diego tanpa henti menatap jalanan. Dia sibuk menyetir dan tidak melihat ekspresi Alita.
Gadis berseragam SMA itu mengerucut, memilih diam untuk menetralkan kerja jantung.
"Apa pacar kamu akan mengantarmu pulang nanti?" tanya Diego sesaat setelah kesunyian mengambil alih.
Alita menoleh cepat pada Diego. Dia merasa pemuda itu akan melakukan hal yang sama lagi. "Malaikat Maut akan membunuhmu kalau kamu bolos sekolah lagi, Diego."
Diego tertawa dan menepikan mobilnya di parkiran sekolah. "Tidur lebih berguna daripada belajar karena pada akhirnya yang rajin belajar akan kalah sama yang ngajak shopping 'kan?"
"Eh?" Alita kok merasa kesal. Sepertinya kalimat itu baru saja dikatakannya pada Diego tadi dan sekarang pemuda itu sedang membalasnya. "Kamu pandai sekali membalas dendam."
"Dendam apaan? Aku hanya mengulangi kalimat seseorang yang mengatakannya padaku tadi."
Alita berdecak malas, dia menatap lama wajah Diego dan mengecup pipi pemuda itu sekilas. "Moon bilang kita boleh bertengkar tapi tidak boleh menyimpan dendam. Karena cinta akan lebih sejati setelah melewati badai."
Diego tersenyum tipis. Tanpa menatap wajah Alita, dia membuka kaca mobil karena tiba-tiba saja hawa panas menerpa wajahnya.
"Apa Moon tidak bilang kalau ciuman yang lebih bagus itu di bibir?" Diego mengulum senyumnya.
"Eh, dasar cabul, kamu bukan pacarku! Lagipula kata Moon, ciuman bibir itu adalah iblis," ketus Alita.
"Kamu baru saja mengatakan cinta kita akan lebih sejati setelah melewati badai, berarti kita lebih dari sekadar pacar," ucap Diego dengan wajah tengilnya membuat Alita memalingkan wajah.
"Kamu bahkan tidak memberi kepastian, aku ajak kawin lari kamu tidak mau. Mana bisa disebut lebih dari sekadar pacar."
Lagi-lagi Diego tergelak. Kepolosan Alita masih terlihat jelas meski sudah tercampur dengan sedikit racikan tidak waras. "Masuk kelas sana, Mr. Michael akan memarahimu nanti," ucap Diego dan mendorong Alita agar cepat turun.
"Aku juga sangat ingin bolos sekolah sepertimu. Kenapa si Rubah Tua itu membuat hidupku berantakan begini?" keluh Alita merasa kesal. Dendam pribadi pada seseorang yang tega membiarkannya melarat di sini. "Apa Rubah Tua itu sudah menghubungimu?" tanya Alita yang belum beranjak keluar dari dalam mobil.
"Tidak," jawab Diego singkat.
Alita menghembuskan napas pasrah. Si Rubah Tua kesayangannya itu pasti sedang merencanakan sesuatu yang licik agar hidupnya tidak nyaman berada di Los Angeles.
"Apa dia benar-benar melupakan putrinya yang cantik jelita ini?" gumamnya yang mendapat kekehan mengejek dari Diego.
"Masuklah, Lele, Mr. Michael sudah menunggumu di gerbang."
"Apa?!" Alita berteriak kaget. "Kenapa kamu selalu terlambat memberi info, Sialan?!"
Meski buru-buru keluar dari mobil, Alita tidak lupa memberi salam pada pemuda yang dia anggap seperti kakak kandungnya. Dia mencium pipi Diego kemudian berlari masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Membuat Diego menggeleng pelan. "Cantik sih cantik, tapi kelakuannya benar-benar tidak biasa," gumamnya.
.
---
***
Love,
Xie Lu♡
Happy reading!
.
***
Loyale High School merupakan sekolah menengah untuk kalangan atas, tapi ayah kesayangan yang dijuluki Alita si Rubah Tua mendaftarkannya ke sini setelah dimiskinkan.
Meski terbilang miskin dengan fasilitas milik keluarga Dario, Alita tetap memerhatikan penampilannya. Cantik itu relatif, begitu katanya. Tapi kelestarian harus dijaga demi memikat para pria tampan.
Dijuluki Queen of Beauty oleh pria tampan, membuat Alita menyeringai. Mereka tidak tahu saja kalau dirinya sangat demam dengan pria tampan.
Dengan dagu terangkat tinggi, Alita berjalan bak ratu dengan ribuan pasang mata menatap ke arahnya. Meski masih kesal dengan Diego, moodnya berubah setelah melihat banyak pria tampan di kawasan sekolah.
Bibirnya tersenyum ramah, tapi dalam hati sedang menyombongkan kecantikannya yang berhasil memikat banyak pria. "Aku memang cantik, garis keturunan tampan dari Daddy meski dia sangat licik, juga Moon yang sangat cantik. Sebenarnya aku tidak ingin mengakuinya, tapi Moon memang lebih cantik dari aku."
Seorang siswa datang padanya dan menyodorkan setangkai bunga. Alita melirik penampilannya, tidak buruk, 20% bisa dijadikan pacar.
"Aku menyukaimu," ucap siswa itu. Alita tersenyum.
"Aku juga menyukaimu," jawab Alita secepat kilat dan mengambil bunga mawar merah yang digenggam erat oleh pemuda itu. "Apa kamu ingin menjadikan aku pacarmu?"
Pemuda itu mengangguk. "Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk itu?" tanyanya sedikit ragu.
Berdiri dengan gaya sok cool dengan hidung yang terus menghirup aroma bunga yang sangat disukainya, Alita terkekeh.
"Apa kamu sangat tidak percaya diri setelah mengatakan suka padaku? Ayolah, aku suka pria yang gentle, berani mengutarakan perasaan maka berani juga untuk menerima kenyataan jika harus ditolak." Alita mencondongkan badanya dan mendekat pada pemuda itu. "Kamu takut ditolak?"
Gelengan lemah dari pemuda itu membuat Alita tertawa lagi. "Maka jadilah pacar yang baik."
Senyuman lebar dari pemuda itu sesaat membuat Alita menelan ludah. "Dia lumayan tampan kalau tersenyum. Apa aku masih bisa menjaga hati untuk Diego setelah sekian banyak pria tampan yang datang menggoda?"
Lesung di pipi kanan pemuda itu menggoyahkan hati Alita. Siapa sih yang tidak goyah disenyumin pria tampan berlesung pipit?
"Siapa namamu?" tanya Alita yang sempat terpana oleh wajah tampan pemuda itu.
"Sky. Vincent Skylee," jawab pemuda yang menyebutkan namanya dan tersenyum lagi.
"Eh?" Alita mengerjap bingung. Rasanya familiar, tapi dia tidak ingat. Namun, daripada mengingat yang tidak pasti, Alita lebih memilih untuk menggoda pemuda itu.
"Nama yang bagus. Kamu memang langit yang aku butuhkan sekarang. Yang memberikan kehangatan disaat aku kedinginan dan yang memberi air saat aku kehausan, yang memberi cahaya disaat aku berada di dalam kegelapan."
Padahal di dalam hati, Alita sedang menertawakan nama pemuda yang hampir mirip nama perempuan, Skylee, dan Vincent, mengingatkannya pada pelukis ternama, Vincent Van Gogh.
Sungguh kelicikan yang sempurna, mulut dan hati berkata lain. Cocok menjadi pemain film yang terkenal.
"Aku ... aku hanya siswa biasa. Apa aku sudah menjadi pacarmu sekarang?" Sky bertanya ragu, masih memandang Alita dengan tatapan memuja.
"Tentu saja kamu sangat tampan untuk bisa bersanding dengan aku yang cantik ini. Apa kamu akan mengajakku kencan setelah pulang sekolah?" Alita dengan tidak tahu malunya langsung to the point. Toh pacaran sama artinya dengan menghabisi isi dompet sang pacar. Karena di pikiran Alita hanya ada uang dan pria tampan.
Tanpa ragu, pemuda yang baru beberapa detik yang lalu resmi menjadi pacar Alita itu mengangguk. "Aku akan menunggumu sepulang sekolah, kamu bisa menentukan ke mana kita harus pergi," ucap Sky.
Bibir gadis yang baru berusia tujuh belas tahun sebulan yang lalu melengkung sempurna. Kencan yang sempurna, begitu pikirnya.
***
Suasana di sebuah kelas tingkat sebelas tampak ramai. Para siswa sedang membicarakan sesuatu yang tiba-tiba membuat kantuk Alita sirna. Lari-larian semalam sungguh melelahkan dan juga tidur pagi yang diganggu Diego.
"Seorang dosen tampan?" gumamnya.
Senyuman misterius tercetak di bibir tipis Alita. "Dalam rangka apa seorang dosen mengajar di sekolah menengah?"
Dia mencolek seorang siswa yang duduk di bangku depannya. "Hei, apa berita itu benar?"
Siswa yang tidak dikenalinya dari belakang segera menoleh dan Alita terkejut melihatnya. "Kamu?! Vincent Van Gogh?"
Alita sungguh tidak menyangka pemuda yang dia goda pagi tadi ternyata satu kelas dengannya. Mungkin ini alasan dia merasa familiar dengan nama Sky.
Alita memang tidak peduli dengan manusia penghuni kelasnya, yang dia pedulikan hanya pria tampan yang berbeda kelas dengannya, itu lebih menantang dan tidak membosankan.
"Aku satu kelas denganmu, Princess," ujar Sky.
"Oh, aku tidak tahu kalau ternyata kita sudah berjodoh, Sky. Mungkin ini takdir Tuhan. Kamu dan aku bersama-sama bahkan dalam kelaspun kita sudah ditakdirkan." Alita menyengir tanpa dosa.
Dan di dalam hati, dia mengutuk pemuda pemuda yang duduk di hadapannya itu. Panggilan princess itu sungguh merisihkan, hanya kekasih satu-satunya yang boleh mengatakan itu. Sialan, Alita juga tidak bisa menggoda dosen tampan itu nanti.
"Aku harus bersikap baik agar ikan yang baru saja ditangkap ini tidak lari," gumamnya dalam hati.
Namun sesaat kemudian dia menyeringai. Mungkin setelah kelas selesai, Alita bisa memulai rayuannya untuk sang dosen yang belum dia lihat wajah, tapi sudah membuatnya demam. Pria tampan.
Sky tampak tersenyum di hadapan Alita dan itu selalu membuat Alita tidak fokus karena wajah manis sang pacar selangkah.
"Kamu tampan, Sky. Aku menyesal tidak mengenalmu sebelumnya, mungkin kita bisa bersama jauh lebih lama."
Sky tampak tersenyum merona dan Alita menyeringai puas. "Sebelum menguras isi dompetnya, aku harus menjadi kucing manis," bisiknya dalam hati.
Rayuan gombal Alita seketika terhenti tatkala segerombolan guru memasuki kelas. Manik hijaunya menangkap sosok yang tidak asing dari postur tubuhnya, tapi wajahnya sangat-sangat asing.
Dia terus menatap orang yang datang dengan gerombolan guru yang banyak itu, asing namun terkesan familiar.Orang baru yang mungkin disebut sebagai dosen tampan itu.
"Katanya tampan tapi kok masih lebih bagus mukanya Thanos," gumam Alita mengejek.
Pupus sudah harapan Alita yang hendak merayu dosen itu karena ternyata wajah sang dosen jauh lebih buruk dari yang dibayangkan.
Hatinya seketika gundah setelah mendengar pengenalan diri singkat dari dosen itu.
"Saya Santiago Kim."
Hanya itu yang disebutkan, Alita mencemooh dalam hati. "Kok dia bisa jadi dosen dengan wajah sejelek itu? Dan perkenalan singkat yang lebih jelek dari gonggongan anjiing tetangga."
Karena kesal, Alita mengambil ponsel dan mengetik sebuah kalimat untuk seseorang.
"Diego, ada satu dosen yang datang di kelas kita. Dia sangat jelek, bahkan lebih jelek dari wajahnya si Hound komando autobots di Transformers. Tapi sejelek-jeleknya dosen jelek itu, kamu yang paling jelek."
Alita terkikik sendiri membayangkan senyuman iblis Diego. Pemuda tampan yang dia katai jelek demi melindungi hati dan jiwanya agar tidak dirasuki iblis.
"Nona Dario, apa Anda mendengarkan penjelasan saya?"
Suara dosen yang jelek itu membuat Alita mengangkat pandangan dari ponsel, semua pandangan tertuju padanya dan itu membuat Alita sedikit kikuk. Namun, Alita bisa mengatasinya dengan baik.
Dia tersenyum mansi sebelum menatap mata dosen jelek itu. Alita sedikit menunduk untuk meminta maaf. "Maaf, saya melakukan kesalahan, Mr. Kim."
Sang dosen tampak datar, ekspresinya tidak menyenangkan untuk dilihat. Alita menilainya sangat buruk, bahkan sekarang lebih jelek dari wajah Thanos dan Hound. Mirip dengan Arsus di The Guardians.
"Bukan masalah besar, Nona Dario." Dosen Kim memperbaiki letak kacamatanya, kemudian mengalihkan pandangan dari Alita.
"Saya hanya ingin mengatakan sesuatu pada kalian semua. Ada yang mengatakan pada saya, kalau yang ngajak chatting akan kalah sama yang ngajak shopping, tapi yang mau saya tekankan, yang ngajak shopping akan kalah oleh yang otaknya berisi."
Alita merasa déjà vu, kalimat seperti itu pernah diucapkannya pada Diego. Apa jangan-jangan?
Sialan, dosen jelek itu pasti kenalannya Diego. Alita menerka dalam hati.
.
---
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!