...“Lembaran baru itu, kini telah dimulai.”...
...****...
Seorang cowok berjalan menyusuri lorong rumah sakit sendirian. Setiap hari setelah pulang sekolah dia selalu berkunjung ke sini.
Langkahnya terhenti saat sudah berada di depan pintu ruangan bertuliskan VIP 5. Dengan pelan dia membuka pintu untuk masuk. Senyum hangat seorang perempuan paruh baya yang masih tampak segar diumurnya yang sudah menginjak kepala empat membuatnya ikut tersenyum.
"Baru pulang?" tanya perempuan paruh baya itu. Septian mendekat, menyalami perempuan tersebut. "Iya, Mah."
"Mamah pulang aja, biar Septian yang ganti jaga. Bentar lagi papah juga pulang, kan?" bujuk Septian tersenyum sambil memandangi perempuan di depannya yang sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri.
"Kamu serius? Nggak capek? Bukannya hari ini masuk buat prepare besok Senin? Ada MOS, kan?" Septian mengangguk. "Nggak apa-apa, Mah. Nanti bunda juga ke sini sama ayah. Mending Mamah pulang terus istirahat." Perempuan tersebut hanya bisa mengikuti kemauan menantunya itu, sangat susah jika sudah berurusan dengan Septian.
"Ya sudah, Mamah pulang dulu." Septian mengangguk sambil tersenyum.
Setelah memastikan mamah mertuanya sudah meninggalkan ruangan, kaki Septian melangkah mendekat kearah ranjang rumah sakit. Septian melihat seorang cewek yang masih belum juga bangun dengan perban melingkari kepalanya. Kondisinya masih sama sejak satu bulan yang lalu, tapi mau sampai kapan? Septian tidak tahu. Dia mengkhawatirkannya selama ini. Tangannya mengusap pelan perban tersebut. Setelah itu dia mengecup puncak kepalanya dengan sayang.
"Kamu kapan bangun?"
"Udah sebulan masih sama juga."
"Kamu nggak kangen sama aku?"
"Padahal aku kangen banget sama kamu."
Hanya kalimat itu yang selalu diucapkan oleh Septian saat melihat tidak ada perkembangan sama sekali. "I love you and i miss you, Clau," ucap Septian sambil mencium tangan tersebut.
Pintu ruangan terdengar dibuka, kemudian muncul seorang cowok memakai seragam SMP. "Kak Clau belum bangun juga?" tanyanya sambil berjalan mendekat kearah Septian, Septian menggeleng sebagai jawaban.
Septian bisa melihat raut sedih dari wajah Farell, adiknya. Bagaimanapun juga, dari sebelum menikah sampai Septian memutuskan menikah dengan Claudia, Farell begitu menyayangi Claudia sebagai kakak perempuan.
Suara pintu kembali terdengar dibuka, muncul seorang cowok dengan kaos santai yang dipakai menatap marah kearah Farell yang berdiri di samping Septian.
"Heh curut! Gue udah nunggu di depan gerbang sekolah, kenapa justru pulang sama temen lo?! Lo pikir nggak capek apa nungguin sendiri!" omel orang tersebut sambil menatap Farell sebal.
"Siapa suruh Kak Juna jemput telat, mending Farell pulang sama temen. Mangkannya cari pacar biar nggak sendiri mulu," ledek Farell sambil menjulurkan lidahnya.
"Harusnya lo kasih kabar biar gue nggak perlu nunggu lama!" Setelah mengatakan itu, Arjuna memilih duduk di sofa ruangan tersebut tanpa menatap Farell.
"Gitu aja marah," goda Farell dengan cengiran khasnya, namun Arjuna tidak menanggapi.
"Kak, jangan marah dong," bujuk Farell dengan tatapan melasnya kali ini.
"Bodo, Rell bodo!" Farell menatap sok sedih kearah Arjuna, kakaknya benar-benar marah yang berujung tetap diabaikan oleh Arjuna.
Septian yang melihat tingkah kakak dan adiknya itu memilih tidak ikut-ikut, nanti juga pasti baikan sendiri.
Pandangannya menatap nanar gadis yang tidur di depannya. Septian ingin gadisnya segera bangun, Septian tidak suka dengan keadaan ini, Septian membenci situasi ini. Situasi di mana dia tidak dapat melakukan apapun selain menunggu gadis yang amat dicintainya itu membuka mata kembali.
...****...
..."Aku memilihmu bukan untuk sekedar singgah, tapi aku menjadikanmu sebagai rumah."...
......****......
Hari pertama MOS beberapa menit lagi akan segera dimulai. Septian terlihat mondar-mandir dengan kesibukannya, sedangkan murid baru yang akan mengikuti MOS sudah berbaris rapi di lapangan. Seperti biasa banyak junior yang selalu mencuri pandangan kearah Septian, para senior juga tak mau kalah. Siapa yang tidak kenal dengan Septian Ardiansyah Mahardika? Tentu semua murid SMA Gemilang pasti tahu. Seorang ketua OSIS yang memenangkan debat PILKETOS semester lalu dengan perolehan skor terbaik dari periode sebelum-sebelumnya dan tentunya menggantikan posisi Arjuna Bagaskara Mahardika, sang kakak.
"Septian." Septian menghentikan langkahnya sambil menengok saat merasa terpanggil, dia melihat seorang berjalan menghampirinya, tak lupa dengan beberapa tumpuk kertas di tangannya.
"Lo kasih sambutan gih, berkasnya udah ada di gue," ucapnya sambil menunjukkan tumpukan kertas yang sedang dicari Septian sejak tadi.
"Thanks, Lun," kata Septian sambil menepuk pundak Luna sekilas, kemudian berjalan menuju podium, beberapa dari mereka yang awalnya ramai kini tampak berbisik.
"Selamat pagi, sebelumnya perkenalkan nama kakak Septian. Di sini kakak menjabat sebagai ketua OSIS. Selamat untuk kalian yang berhasil lolos seleksi sekolah di sini, kalian merupakan murid terpilih dan murid yang beruntung. Untuk beberapa hal lainnya akan dilanjutkan oleh rekan kerja saya. Terima kasih." Sambutan yang terkesan singkat membuat semuanya menatap cengo. Luna yang berada di samping podium langsung menggantikan posisi Septian untuk menyampaikan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan SMA Gemilang.
Septian berjalan meninggalkan lapangan dan menuju Ruang OSIS. Masih banyak tugas yang harus dia kerjakan, mengingat MOS dilaksanakan selama 3 hari dan laporan kegiatan semester lalu menumpuk karena Septian yang harus bolak-balik untuk ke rumah sakit.
Beberapa jam sibuk dengan pekerjaannya, seseorang muncul dari balik pintu membuat Septian menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Sibuk?" tanya Arjuna yang berdiri di ambang pintu.
"Lumayan, masuk aja," suruh Septian sambil melanjutkan kegiatannya. "Luna mana?" tanyanya sambil duduk di depan Septian.
"Gue suruh bagi kelas, bentar lagi ke sini." Arjuna yang mendengar hanya mengangguk pelan.
"Sep." Septian mendongak melihat siapa yang memanggilnya. "Tadi Pak Burhan bilang kalau semua laporan semester lalu, harus selesai secepatnya," kata Luna memberi informasi yang tadi disampaikan oleh Pak Burhan.
Septian hanya mengangguk. Laporan yang seharusnya sudah selesai sejak liburan minggu lalu harus tertunda karena kegiatannya bergantian jaga di rumah sakit, jadi dia harus menerima resikonya. Arjuna yang berada di samping Septian sangat mengerti dengan kondisi itu. Bertumpuk-tumpuk kertas sudah menunggu untuk revisi.
"Lo istirahat dulu gih, biar gue lanjutin," kata Luna mengambil alih laptop beserta laporan yang sudah dicetak.
Septian berjalan kearah sofa dan menyenderkan punggungnya, sudah berapa jam dirinya berada di sini dengan tumpukan laporan yang harus diselesaikan. Perlahan matanya tertutup, berharap akan sedikit meringankan bebannya. Arjuna yang tadi ikut membantu mengurusi laporan kini melihat Septian yang terlihat jelas butuh waktu istirahat. Adiknya sudah besar sekarang, seingatnya dulu mereka masih bermain bola di taman perumahan yang berakhir dimarahi bunda mereka karena tidak ingat jam pulang.
"Kak, Septian biar pulang dulu aja nggak apa-apa. Bentar lagi juga bel pulang, urusan OSIS biar gue sama Daren yang ganti sementara. Gue tau dia capek, dia butuh Claudia sekarang. Karena cuma Claudia yang bisa bikin Septian baikan," ujar Luna yang tahu jika Septian menanggung beban lebih dari seumuran dirinya.
Bagaimana tidak? Sebelum menjabat ketua OSIS, Septian membuka usaha kuliner yang berada di Singapore dan membantu ayahnya untuk mengurus perusahaan yang berada di Singapore juga. Apakah Arjuna juga ikut turun tangan? Jawabannya tidak, karena Arjuna masih ingin fokus dengan pendidikannya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas ternama di Indonesia. Berbeda dengan Septian yang setelah lulus SMA langsung bekerja karena tuntutan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Bagaimana Luna bisa tahu? Sewaktu pernikahan Septian dan Claudia yang diadakan setengah tahun yang lalu dengan konsep tertutup. Septian hanya mengundang dirinya, Daren dan Pak Burhan. Diwaktu bersamaan, Septian mengumumkan jika dia akan memulai berbisnis dan melanjutkan salah satu perusahaan milik ayahnya tanpa melanjutkan kuliah.
Awalnya Septian sempat takut jika kabar pernikahannya akan diketahui pihak sekolah. Pak Burhan yang juga teman bisnis ayahnya memberi masukan untuk membantu menyembunyikan status pernikahannya dengan syarat Claudia tidak boleh hamil terlebih dahulu sebelum lulus sekolah untuk mengurangi tingkat kecurigaan di wilayah sekolah maupun wilayah luar. Dengan senang hati Septian mengiyakan hal tersebut.
Arjuna berjalan menghampiri Septian. "Sep," panggilnya sambil menyentuh pundak Septian. Septian membuka matanya perlahan dan melihat Arjuna. "Lo balik dulu gih, istirahat. Claudia mungkin udah nungguin lo." Septian tersenyum mendengar nama tersebut. Dia beranjak dari tempatnya.
"Lo nggak ikut, Lun?" ajak Septian sambil menatap Luna yang sedang mengerjakan laporannya.
"Nggak, lo aja yang ke sana. Gue nitip salam, bangku gue sepi nggak ada dia," ucap Luna dengan senyum sedih.
Septian dengan segera melangkahkan kakinya keluar Ruang OSIS. Dia melihat banyak murid yang berlalu lalang, mengingat jam sebentar lagi pulang. Saat melewati lapangan banyak yang sedang berada di sana, entah mengapa dia merindukan masa seperti itu. Langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi.
"Hallo."
"Kenapa?" Septian kembali melanjutkan langkahnya.
"Bisa jemput gue sekarang? Bentar lagi pulang. Lagi males nelfon Kak Juna, dimarahin lagi entar gue."
Septian terkekeh mendengar ucapan Farell, memang selalu seperti itu jika Farell disandingkan dengan Arjuna. Sudah seperti kucing dan tikus, tidak ada yang mau mengalah, di rumah maupun di tempat lain sekaligus. Berbeda dengan dirinya yang justru menjadi penengah.
Tanpa Septian sadari, beberapa cewek yang berada di dekat Septian berteriak histeris saat melihat Septian terkekeh, walau hal tersebut bukan ditujukan kepada mereka. Pesona Septian benar-benar mampu membuat yang melihat layaknya mendapat undian berhadiah.
"Iya, bentar lagi gue ke sana," kata Septian mengabaikan orang-orang di sekelilingnya.
"Lo nggak sibuk, kan?"
"Nggak, gue sekalian ke tempat Claudia."
"Serius?"
"Iya, see you." Septian memutus panggilan itu saat dia sudah berada di samping mobilnya, tanpa menunggu lama Septian masuk mobil dan menjalankan mobilnya menuju sekolah Farell yang letakknya tidak jauh dari SMA Gemilang.
Ramai, itu yang menggambarkan kondisi depan gerbang SMA Samudra. Mungkin memang jam pulang, seperti yang dikatakan Farell tadi. Septian keluar dari mobil untuk mencari Farell, biar lebih cepat pikirnya daripada diam menunggu di dalam mobil. Baru saja menutup pintu mobil, terdengar suara ocehan histeris dari berbagai penjuru.
"Astaga ganteng banget."
"Wohhh keren."
"Anak Gemilang itu."
"Gue pindah sekolah boleh kali ya."
"Wait-wait, itu bukannya ketos Gemilang?"
"Serius lo?"
"Iya, wajahnya familiar. Tapi ngapain ke sini?"
"Pangeran gue."
Septian hanya memasang wajah datarnya dan memilih duduk di kap mobil tanpa merespon apapun yang dia dengar saat ini.
Sampai beberapa menit Farell tak kunjung datang, lebih baik dia menanyakan keberadaan Farell.
"Permisi," sapa Septian sopan kepada beberapa cowok yang menggunakan atribut anak MOS. Hal itu membuat Septian menjadi pusat perhatian.
"Iya?" jawab salah satu anak tersebut dengan tatapan bingung.
"Farell Aditya kelas 10 udah keluar belum?"
Tampak beberapa dari mereka berpikir. "Oh Farell A. Bentar, kakak ketos sekolah sebelah bukan?" tanya salah satu dari mereka membuat yang lain diam menunggu jawaban. Septian hanya mengangguk polos sebagai jawaban.
"Bener kan tebakan gue." Anak tersebut menengok ke belakang, seolah mencari sesuatu. Hingga beberapa saat. "Farell!!" teriaknya. Sedangkan yang dipanggil menatap seolah ada apa. "Dicari sama ketos sekolah tetangga." Teriakan anak itu membuat semuanya memperhatikan.
Farell yang mengerti langsung berlari menuju gerbang. "Udah nunggu lama, Kak?" tanya Farell merasa bersalah.
"Nggak juga. Makasih ya," ucap Septian kepada beberapa anak tadi dan mereka mengangguk membuat Septian masuk mobil tanpa menunggu lama.
"Siapa, Rell?"
Farell mengamati sekeliling, dirinya masih menjadi pusat perhatian, dia mendekat dan membisikkan sesuatu. "Kakak gue, tapi jangan bilang siapa-siapa," bisikan Farell membuat yang mendengar terkejut kemudian mengangguk. "gue cabut dulu, mau nyamperin kakak ipar gue."
"Dari siapa? Kakak yang mana? Perasaan kakak lo banyak banget."
"Dari yang ini," ucap Farell sambil menunjuk orang yang ada di dalam mobil dengan dagu.
"Serius? Becanda lo nggak lucu, Rell."
"Hahahaha, gue cabut dulu. Jangan lupa main ke rumah," pamit Farell yang diangguki oleh teman-temannya dan Farell langsung masuk ke mobil.
Septian langsung membawa mobilnya menuju rumah sakit. "Nanti langsung istirahat waktu sampai rumah." Farell mengangguk. Kemudian berujar, "Ketos di sekolah gue cantik banget."
Septian menatap Farell sebentar. "Terus? Lo suka sama dia?"
"Ya nggak lah! Emangnya lo nggak kenal, Kak?" Farell menatap Septian dengan penasaran.
"Nggak, baru sertijab, kan?" Farell mengangguk sambil berkata, "Lo nggak ada niatan buat cari tau? Biar makin akrab gitu."
"Buat apa? Gue udah punya tanggung jawab. Kalaupun kenal sama dia, itu juga karena tugas bukan karena hal lain."
"Gue kira lo masih sempat cari cewek buat temen main selama Kak Clau masih kayak gini terus keadaannya. Nggak akan ada yang tau kak apa yang terjadi setelah ini." Bukan maksud Farell meminta Septian untuk mencari pengganti, namun Farell takut Septian tidak akan siap dengan kenyataan yang terjadi selanjutnya. Farell hanya berjaga-jaga saja. Sejujurnya dia juga takut jika Tuhan mengambil kakak iparnya.
Septian sempat menghela nafasnya. "Pernikahan bukan hal yang main-main, Far. terlebih ini semua juga bukan karena perjodohan, ini kemauan kita berdua. Pernikahan hanya sekali seumur hidup. Siap nggak siap ya harus siap, tapi gue juga nggak akan nyerah gitu aja. Besok kalau lo bener-bener yakin udah siap, udah punya cukup uang buat menafkahi, lo juga harus siap buat tangung jawab dalam hal apapun, siap punya komitmen, dan satu hal yang perlu lo ketahui, seberat dan serumit apapun hubungan rumah tangga lo nanti, jangan sampai cerai, selesaikan secara baik-baik, pasti ada jalan keluarnya."
Farell diam mencerna semua ucapan Septian, otaknya saja belum berfikir sampai ke sana, namun kakaknya justru sudah mampu menjalaninya, perlukah Farell belajar banyak tentang arti sebuah hubungan pada Septian?
...****...
...“Pada akhirnya, kamu memilih untuk pergi di saat aku sedang membutuhkanmu.”...
...****...
Dua orang cowok menggunakan seragam SMA sedang berjalan di lorong rumah sakit. Beberapa kali menyapa atau menjawab sapaan yang keluar dari keluarga pasien yang ada di sana maupun dari perawat.
"Kak Clau, Farel...." Ucapan Farell terhenti setelah membuka pintu ruang rawat yang di tempati Claudia sebulan ini.
"Kenapa Far...." Ucapan Septian juga sama terhenti saat dia berdiri di dekat Farell. Septian masuk dengan tergesa-gesa saat mengetahui apa yang dia lihat.
Kosong, itu yang menjadi definisi ruangan tersebut saat ini. Di mana istrinya? Kenapa kosong? Dan kenapa tempatnya sudah rapi?
"Claudia!! Kamu di mana!" Septian memanggil dengan panik.
Farell justru mencari diberbagai ruang. Beberapa menit mereka mencari tidak menemukan Claudia sama sekali. "Kak Clau!! Kakak di...." Perkataan Farell terhenti saat melihat kakaknya berdiri di dekat ranjang. Terlihat Septian sedang membawa sebuah surat.
"Surat?" batin Septian sambil membuka surat tersebut lalu membacanya.
"Saat kamu baca surat ini, berarti aku udah pergi. Sebelumnya aku minta maaf karena nggak kasih tau kamu. Semalam aku udah sadar, waktu lihat kamu tidur pules banget aku nggak tega buat bangunin. Waktu koma beberapa minggu ini, aku denger kok kamu cerita apa aja, aku seneng kamu setiap hari ke sini, tidur di sini buat nemenin aku. Secapek-capeknya kamu, kamu pasti datang walaupun kamu juga ngerasain sakit harus terus-terusan tidur di kursi setiap hari. Maaf sekali lagi, beberapa waktu ke depan aku harus pergi untuk melanjutkan hidup. Kamu mau aku sembuh, kan? Ini jalan satu-satunya. Kamu nggak perlu khawatir, aku di sana baik-baik aja, setelah semuanya selesai aku pasti pulang. Aku sengaja nggak kasih tau kamu, karena ini hari pertama MOS, kan? Dan untuk 3 hari ke depan kamu pasti sibuk ngurus semuanya. Aku nggak mau kamu jadi banyak pikiran, aku juga tau banyak laporan yang belum sempat kamu selesaikan, aku minta jangan ditunda lagi, kamu udah jadi ketos itu impian kamu dan sekarang udah terwujud. Jadi contoh yang baik buat anak Gemilang, bilang juga sama Kak Arjuna sama Farell, aku juga kangen sama mereka dan selebihnya aku juga kangen sama kamu. Jaga kesehatan selama aku tinggal, jangan lupa atur pola makan dan jangan macem-macem. I love you more Septian Ardiansyah Mahardika. I miss you so much."
'Claudia Ardiani Maurer'
Mata Septian memanas membaca surat tersebut. Dengan tergesa-gesa Septian keluar dari ruangan tersebut untuk menuju meja resepsionis.
"Sus, pasien VIP 5 dipindah rawat di mana?" tanya Septian cepat dengan nafas yang memburu.
"Kak pelan-pelan," pinta Farell yang juga ikut mengatur nafasnya, efek berlari mengejar Septian.
"Masnya tenang, saya cek dulu." Petugas resepsionis tersebut langsung mencari data sesuai dengan permintaan Septian.
"Maaf, Mas. Pasien meminta kami untuk tidak memberitahu siapa pun tentang perpindahan rawat inap, ta..."
Septian langsung menyela ucapan petugas tersebut. "Bagaimana bisa?! Saya keluarganya! Saya minta data Claudia sekarang juga!!" bentak Septian emosi, bagaimana mungkin Claudia melakukan ini semua. Ini pasti settingan yang sudah dibuat, entah siapa yang membuat.
"Kak sabar, suster belum selesai ngomong. Kalau lo kayak gini justru memperlama pencarian." Septian diam, ada benarnya juga. "Maaf sus, silahkan dilanjutkan," ucap Farell tak enak hati.
"Saya hanya bisa memberitahu jika pasien dipindah rawatkan sekitar 5 jam yang lalu, itu pun juga karena pasien tidak meninggalakan pesan sama sekali." Dengan senyum yang tidak sedikit pun hilang, suster tersebut memberikan informasi dengan tenang.
"Kita pulang dulu ya, Kak. Makasih sus infonya." Farell berlalu dengan Septian yang masih saja diam.
Sesampainya di rumah, tanpa sepatah kata pun Septian langsung berlari menuju kamarnya. Farell hanya bisa diam melihat kakaknya saat ini, hingga suara dari belakang tubuhnya membuat Farell tersentak.
"Kamu kenapa berdiri di sini?" tanya Manda dari arah luar, sepertinya baru saja pergi ke rumah tetangga. Lihat, tangannya membawa bungkusan.
"Eh Bunda, habis dari mana, Bun?" Tangan Farell bergerak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Dari rumah sebelah." Tuhkan benar dugaan Farell. "Di luar ada mobil Septian, ke mana dia?" tanya Manda penasaran. "Udah di kamar, Farell ke kamar dulu, Bun." Tanpa menunggu jawaban dari Manda, Farell langsung berlari menuju kamarnya.
"Farell Farell," gumam Manda sembari berjalan menuju sofa ruang keluarga.
...****...
Dilain tempat, seorang gadis baru saja bangun dari tidurnya. Yang dilihat pertama kali adalah ruangan yang berbeda, namun dengan fungsi yang sama. Setidaknya, kondisinya jauh lebih membaik daripada minggu-minggu sebelumnya.
Suara pintu terbuka dari ruangan yang di tempatinya membuat dirinya menoleh dan menemukan seorang pria paruh baya yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Kamu udah bangun? Gimana? Perlu sesuatu?" tanyanya dengan satu tangan mengusap kepala gadis yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
Gadis itu menggeleng pelan."Mamah ke mana, Pah?"
"Masih cari makan, sebentar lagi juga ke sini," jawab Candra sambil menarik kursi untuk duduk.
"Pah, sekolah Claudia gimana? Udah sebulan nggak masuk."
"Kenapa tiba-tiba tanya sekolah? Bukannya kamu senang nggak sekolah lama?"
"Ih Papah, Claudia serius. Claudia pengen tau junior-junior Claudia, kalau mereka rebutan Septian gimana?" ungkapnya sebal, sedangkan Candra tertawa renyah.
"Mana mungkin mereka bisa dapetin Septian, sedangkan masa depannya ada di sini." Candra masih saja tertawa yang membuat Claudia menatap sebal.
"Papah," geram Claudia.
"Iya, kondisi Claudia udah sangat membaik dari pada minggu sebelumnya."
"..."
"Cuma sebentar, kemungkinan besar minggu depan sudah ke Jakarta."
"..."
"See you to."
Claudia yang mendengar percakapan dari balik pintu ruangan tersebut langsung membuka suaranya, "Mamah," panggil Claudia.
Dania yang merasa terpanggil langsung membuka pintu ruangan dan melihat anaknya sedang menatap dirinya. "Eh, sayang udah bangun." Kakinya melangkah mendekat ke arah brankar, senyumnya begitu lebar. Anak satu-satunya sudah sadar dari koma, betapa senangnya dia saat ini.
"Mamah telfon siapa?" Claudia sangat penasaran, dia sudah meminta kedua orang tuanya untuk tidak memberitahu siapa pun tentang keberadaannya.
"Bunda kamu."
Claudia terkejut. "Kenapa mamah kasih tau, sih. Nanti kalau Septian juga ikut tau gimana?"
"Kamu tenang aja, bunda nggak akan kasih tau siapa-siapa, emang kamu tega biarin bunda mikirin kamu setiap hari?" Claudia diam, dia juga mana tega melihat bundanya mencari-cari keberadaannya.
Suara dering ponsel membuat ketiganya mencari tahu dari mana suara ponsel tersebut. Ternyata ponsel milik Claudia, Candra mengambilnya dari nakas dan tertera nama Septian.
"Angkat aja, Pah. Bilang kalau Claudia baik-baik aja," kata Claudia meminta pada Candra.
Candra mengikuti kemauan anaknya untuk mengangkat panggilan tersebut dan tak lupa melaudspeaker supaya mereka semua bisa mendengar.
"Hallo sayang, kamu di mana sekarang? Jangan bikin aku khawatir karena kamu pergi gitu aja dari rumah sakit. Kenapa kamu nggak bilang sama aku? Bilang sekarang kamu di mana?"
Claudia tidak menyangka jika Septian akan seperti ini, suaranya terdengar terburu-buru dan sangat jelas seperti putus asa. Claudia ingin menjawab semua pertanyaan Septian saat ini juga, namun dia juga harus ingat jika Septian sedang bertugas untuk beberapa waktu ini, dia tidak ingin Septian melupakan kewajibannya hanya karena tahu dia dirawat di Singapore. Karena dia tahu watak Septian seperti apa, bilangnya mungkin tidak akan menyusul tapi beberapa jam setelahnya pasti sudah ada bersamanya.
Dania dan Candra menatap Claudia meminta persetujuan, tapi pandangan mereka tertuju pada air mata Claudia yang tanpa diminta meluncur begitu saja, bahkan Claudia sampai menutup mulutnya supaya suara isakannya tidak terdengar. Claudia rindu dengan Septian, sangat rindu.
"Sayang? Kamu baik-baik aja, kan? Bicara sama aku, kamu di mana sekarang? Aku butuh kamu sayang, jangan kayak gini."
Claudia menggelengkan kepalanya, dia tidak boleh luluh dengan Septian untuk kali ini saja, ingatkan untuk kali ini saja.
"Hallo menantu Papah, maaf tadi masih di jalan," ucap Candra, dia sebisa mungkin tidak akan mengatakan jika sedang bersama Claudia. "Claudia baik-baik saja, kamu nggak perlu khawatir sekarang, yang perlu kamu tau kondisi Claudia justru lebih baik dari sebelumnya. Biarkan Claudia menjalani masa pemulihan, tugas kamu hanya menunggu Claudia pulang, kalau perlu kamu catat Claudia pulang dalam waktu secepatnya, percaya sama Papah."
Terdengar sangat jelas jika Septian menghembuskan nafas kekecewaannya. "Pah, tolong kasih tau Septian di mana Claudia sekarang, Septian janji nggak akan ninggalin tugas gitu aja buat nyusul ke sana."
"Maaf, Papah nggak bisa kasih tau di mana Claudia sekarang, yang terpenting kesembuhan Claudia. Kamu baik-baik di rumah, jangan buat Claudia semakin cemas karena kelakuan kamu."
"Ta..."
Pyarrrr
"Akhhh."
Septian mendengar jelas suara pecahan itu, suara yang selama ini dirindukannya, suara yang mampu membuatnya tenang, tetapi apa yang didengarnya barusan?
"Claudia!! Pah itu suara Claudia!! Bilang sama Septian kalau Claudia nggak kenapa-kenapa! Sayang! Kamu baik-baik aja, kan?!! Sa...." Sambungan diputus sepihak oleh Claudia karena Candra sibuk membersihkan pecahan gelas yang tidak sengaja dia senggol tadi.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Dania khawatir yang melihat tangan anaknya bergetar.
Claudia mengangguk tanda baik-baik saja. "Kalau kamu nggak kuat, biarkan Septian tau. Dia berhak tau kamu di mana. Dia suami kamu."
"Nggak, Mah, Septian nggak boleh tau." Claudia menggelengkan kepalanya, keputusanya sudah bulat kali ini.
"Kamu istirahat lagi aja," suruh Candra yang baru saja selesai membersihkan pecahan gelas.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!