" Gimana nduk hubunganmu dengan Reza? Kelihatannya dia suka padamu. Kapan dia mau nemuin ibu?"
Wanita setengah baya yang masih tampak cantik itu membelai lembut rambut Sasi anaknya. Sasi mendesah.
" Bu...aku baru berteman dekat dengan Reza beberapa minggu ini. Masa iya aku harus mengenalkannya pada ibu. Apa nanti dia pikir? Dikiranya aku perempuan yang agresif ngajak-ngajak dia ketemu ibu padahal kita jadian aja belum..."
Sasi memberengut. Dia kesal sekali pada ibunya. Setiap ada lelaki yang dekat dengannya. Bahkan sekedar mengantarnya pulang bekerja. Pasti ibu langsung menodongnya dengan pertanyaan yang sama. Kapan dikenalin ke ibu? Kapan melamarmu..?
Tapi Sasi juga tak bisa menyalahkan ibunya. Sebagai ibu dari seorang gadis dewasa, ibu pasti ingin Sasi segera menikah. Apalagi sebagai anak pertama yang dua adiknya sudah menikah semua. Bisa dibayangkan kekhawatiran ibunya akan nasib Sasi yang sudah dilangkahi ( dalam adat jawa jika adik menikah lebih dulu daripada kakaknya ) Dua adiknya pula.
Sekar Sasi Nopember, Namanya berarti Bunga Bulan Nopember. Akrab dipanggil Sasi.
Gadis manis putri seorang Tuan tanah yang cukup punya nama di kota kecil itu. Sebuah kota di bagian selatan pulau jawa. Meskipun ayahnya sudah meninggal beberapa tahun lalu namun pengaruh keluarga itu tidak pudar karena ibu Sasi mampu meneruskan usaha suaminya dengan baik.
Sasi tidak pernah kekurangan. Namun sebagai anak pertama dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan, Sasi merasa punya tanggung jawab untuk menjaga kedua adiknya.
Otaknya yang encer membuatnya bersemangat menyelesaikan pendidikannya hingga jejang S2.
Terlalu sibuk belajar, Sasi melupakan urusan jodoh dan percintaan sehingga tidak terasa usianya sudah 26 tahun dan dia belum menikah.
Sementara kedua adiknya yang langsung menikah begitu lulus SMA masing-masing sudah memiliki dua orang anak.
Sebagai putri keluarga terpandang di kota kecil itu, suami kedua adiknya pun bukan orang sembarangan. Adiknya yang satu menikah dengan pemilik pabrik rokok. Sementara adik bungsunya menikah dengan wakil bupati di kota itu.
Sasi yang manis sebenarnya juga bukan gadis tak laku yang tidak pernah punya pacar atau kekasih. Seperti saat ini pun Sasi sedang diperebutkan dua lelaki tampan teman kerjanya. Reza dan Davin. Tapi apa mau dikata, Sasi merasa belum menemukan seseorang yang meyakinkannya untuk menerima cintanya. Belum ada seorang lelaki pun yang bisa menyentuh hatinya. Apalagi untuk menikah?
"Nduk, nanti pulang kerja ikut ibu ya? Kita ketemu mbah Ageng"
Sasi mendesah pelan. Ia tahu siapa mbah Ageng itu. Dia semacam paranormal kepercayaan keluarga ibunya turun temurun.
" Buu...tolonglah jangan paksa Sasi. Sasi nggak mau ke dukun-dukun seperti itu. Sasi nggak percaya begituan. Anakmu ini masih laku bu. Bahkan teman-temanku banyak yang usianya 30 dan belum menikah "
" Justru itu nduk, ibu ndak mau kamu sampai melajang terus seperti teman-temanmu itu. Kita harus usaha ya? Ikut ke mbah Ageng ya?"
"Bu anakmu ini cantik, banyak yang suka. Nggak usah pake dukun juga laku kalau aku mau bu. Akunya aja yang merasa belum dapat yang cocok bu.."
Sasi hampir menangis melihat ibunya begitu ngotot mengajaknya menemui mbah Ageng itu.
" Atau kamu mau ibu carikan jodoh saja seperti adik-adikmu?"
" Ibuuu...tolong ya...itu lebih ndak masuk akal lagi bu. Ini bukan jamannya lagi jodoh-jodohan bu. Oke deh..terserah ibu kalau mau ke mbah Ageng. Aku mau ikut tapi aku nggak mau masuk rumahnya. Nanti aku tunggu di mobil aja."
Akhirnya Sasi memilih jalan aman. Daripada dijodohkan lebih baik menuruti kata ibunya saja. Toh dia tak akan kehilangan apapun atau dirugikan jika pergi ke rumah dukun tua itu. Pokoknya dia tak percaya kan beres sudah.
Sang ibu tersenyum lega. Akhirnya anak kesayangannya yang pemberontak itu mau juga menuruti kata-katanya.
Dan sore itu sepulang kerja Sasi dan ibunya menemui mbah Ageng. Rumah tua berbentuk joglo segera menyambut kedua ibu anak itu. Entah mengapa hawa dingin menyeruak begitu saja ketika mobil Sasi memasuki pekarangan rumah yang luas itu. Mungkin karena pepohonan rimbun di halaman rumah itu? Entahlah. Sasi tak mau tahu.
Seperti Sasi katakan sejak awal, gadis itu tak sudi menjejakkan kakinya ke rumah mbah Ageng. Dia menunggu di mobil sementara ibunya masuk ke rumah mbah Ageng.
" Kamu ndak turun nduk?" tanya ibunya lagi.
"Emoh bu....sudah ibu saja" Sasi malah menyandarkan tubuh di jok mobil yang empuk.
" Ya sudahlah. Ibu saja yang masuk" Ibu mengalah.
Sepuluh menit, duapuluh menit, setengah jam kemudian Sasi melihat ibunya keluar dari rumah yang tampak angker itu bersama sesosok pria tua berambut putih. Itu pasti yang namanya mbah Ageng.
" Nduk...!" Sasi mendengar ibunya memanggilnya sedikit berteriak.
Gadis itu cuma melongokkan kepalanya dari jendela.mobil yang dibiarkannya terbuka.
" Turun sebentar sini" ibu melambaikan tangan ke arah Sasi.
Sasi mendengus kesal. Mau tak mau turun juga menghampiri ibunya. Sasi tak mau dianggap anak durhaka yang tidak menghargai ibunya.
" Iya bu.." Sasi berusaha bicara selembut mungkin meski hatinya sedang kesal.
" Mbah, ini Sasi. Bagaimana mbah?" ibu tersenyum sambil melihat ke arah pria tua itu.
Sasi merasakan hawa aneh melingkupi tubuhnya saat mbah Ageng menatapnya. Pria tua itu tidak bicara sama sekali tapi matanya yang tajam menghujam jantung Sasi seperti ada belati yang menusuknya. Tiba-tiba Sasi merasa mual.
" Maaf bu, mbah...Sasi nggak enak badan. Mau duduk di mobil saja" Sasi buru-buru melangkah ke arah mobilnya. Meninggalkan ibunya bersama mbah Ageng.
" Sasi!" terdengar ibu memanggilnya. Sasi tak bergeming tetap melangkah pergi ke mobil.
" Sudah biarkan saja.." terdengar suara mbah Ageng yang berat mencegah ibu Sasi menahan Sasi.
Mbah Ageng melangkah masuk lagi ke dalam rumahnya. Diikuti ibu Sasi yang mengekor di belakangnya.
" Jadi menurut penglihatan mbah Ageng; bagaimana nasib Sasi?" ibu merasa cemas.
" Anakmu itu disukai mahkluk lain yang derajatnya tinggi di dunia mereka. Laki-laki biasa tidak akan mampu menandingi pamor mahkluk itu. Itulah sebabnya anakmu tidak tertarik dengan lelaki yang mendekatinya. Hatinya sudah dipengaruhi mahkluk yang menyukainya. Jadi secara tak sadar anakmu punya kriteria tinggi tentang bakal jodohnya. Paling tidak harus setara dengan yang menyukainya itu."
" Jadi saya harus bagaimana mbah. Dia tidak mau dijodohkan juga. Bisa-bisa jadi perawan tua dia." Ibu merasa putus asa.
" Aku akan membantunya. Mengingat keluargamu sudah seperti saudaraku sendiri. Jangan khawatir. Kita akan berusaha. Aku akan membuat pria yang menyukai anakmu terlihat sempurna di mata anakmu. Jadi memenuhi kriterianya."
" Matur nuwun( terima kasih) mbah. Saya benar- benar minta tolong" Ibu membungkuk hormat sambil menangkupkan tangan di depan dada.
" Hemm...bantulah dengan doa agar semua berjalan lancar" Mbah Ageng menepuk bahu ibu.
Ibu keluar dari rumah mbah Ageng sendirian. Melihat itu Sasi membuang nafas lega. Sudah selesai rupanya.
"Lima menit lagi menunggu di sini, bisa stress aku" gerutu Sasi sendiri.
Sekar Sasi Nopember
Pagi-pagi sebuah pick up memasuki halaman rumah Sasi. Bak pick up itu penuh box karton air mineral botol.
" Apa-apaan itu bu? Ibu yang pesan air mineral satu pick up? Buat apa bu? Apa ibu mau punya hajatan?" Sasi memberondong ibunya denga pertanyaan ketika wanita paruh baya itu mengatur sopir dan kenek pick up untuk menata box-box itu ke gudang belakang.
" Sudah kamu diam saja. Kamu kan tiap hari bawa air mineral. Kebetulan pabrik kasih diskon besar kalau beli banyak." ibu tersenyum
Sasi menggelengkan kepalanya. Masih tak habis pikir. Tapi kemudian tak mau ambil pusing dan melangkah pergi. Kembali ke kamarnya dan meneruskan kegiatannya bersiap pergi ke kantornya.
" Bu...Sasi berangkat ya...?" Sasi mencium punggung tangan ibunya lalu mencium kedua pipi ibunya.
" Iya nduk. Nih air mineralnya bawa ini saja. Satu buat kamu. Satunya lagi buat Reza ya..biar makin lengket sama kamu. Kasih perhatian dikit kan nggak papa?" Ibu memasukkan dua botol air mineral ke tas bekal Sasi.
Sasi tertawa kecil. " Ibu aneh-aneh saja. Biasanya mereka yang berebut kasih air ke Sasi. Ngapin Sasi yang jadi repot?"
" Sasi tolong kali ini kamu nurut ibu ya nduk? Demi kebaikan kamu. Biar segera nyusul adikmu. Ibu nggak akan mati dengan tenang sebelum ibu lihat kamu menikah" mata ibu terlihat memohon.
" Ibu ngomong apa sih..iya..iya Sasi nurut sama ibu . Ibu jangan ngomong aneh-aneh lagi ya.." Sasi memeluk ibunya. Dia merasakan kekhawatiran ibunya. Tiba -tiba Sasi merasa bersalah karena selalu membantah ibunya. Padahal Sasi tahu niat ibu baik meskipun menurutnya caranya salah dan tak masuk akal.
" Ini air ajaib dari mbah Ageng ya.." Sasi tertawa kecil. Hatinya merasa geli tapi tak mau menyakiti hati ibunya.
" iya. Kamu bawa ya. Jangan lupa lakukan seperti yang ibu bilang tadi. Kasih ke Reza ya..?"
" Iya bu siap! Ibu juga siap-siap mantu ya..." Sasi masih tertawa-tawa menggoda ibunya, menganggap lucu dan tak masuk akal semua yang dikatakan dukun itu melalui ibunya.
Ibu cuma mengelus dada dan menggelengkan kepalanya melihat Sasi yang sangat kentara meremehkan dan tidak mempercayai mbah Ageng sama sekali.
Di kantor Sasi..
" Sasi hari ini kamu ikut saya keluar. Siapkan berkas proyek Rumah sakit Sumber Waras. Kita akan mengeceknya siang ini."
" Baik pak" Sasi menutup telponnya. Segera menyiapkan berkas yang dimaksud bosnya. Mengganti heelsnya dengan sneaker nyaman dan mengambil 2 safety helmet yang tergantung di dinding ruangannya. Untuknya dan untuk sang bos tentunya
Bos Sasi. Bastomi Putra Perdana. Biasa dipanggil Tommy. Ganteng seperti umumnya boss..hehe..pendiam tak banyak omong. Bikin sungkan yang ada disekitarnya karena bingung mau ngomong apa. Seperti Sasi sekretaris merangkap asistennya , yang selaly dibuat mati kutu karena tak tahu harus ngomong apa dengan bossnya.
Sasi sama sekali tak tertarik pada sang boss. Baginya bosnya terlalu membosankan. Nggak ada asik-asiknya. Kaku dan kurang gaul. Lebih asik ngobrol dengan Reza, manajer marketing yang flamboyan, atau Davin sang manajer personalia yang manis dan penuh perhatian.
Tak lama bosnya sudah berdiri di depan pintu ruangannya.
" Ayo!" seru sang Bos sambil berlalu.
Sasi mengikuti dibelakang bosnya. Membawa tablet berisi data-data penting, beberapa berkas dan tas jinjing berisi helmet dan air mineral.
Terik matahari dan debu beterbangan menyambut merka saat turun dari mobil. Sasi menyerahkan masker dan safety helmet pada bosnya.
" Terima kasih!" singkat sang bos menyambut masker dan helmet dari Sasi dan langsung mengenakannya. " Mana berkasnya? " sambung sang bos.
Sasi segera memberikan berkas yang dibawanya.
" Nanti kalau saya bilang foto, kamu foto pake hp kamu. Terus kirim ke email saya." perintah Tommy tanpa melihat Sasi.
" Siap pak!" sahut Sasi singkat.
Tanpa banyak kata Sasi mengikuti sang bos yang mulai berkeliling kompleks rumah sakit baru yang pembangunannya sudah mencapai 90 persen itu. Sesekali Tommy melihat berkas yang dibawanya sambil mencocokkan dengan kondisi real yang dilihatnya.
Hampir satu jam Sasi mengikuti langkah Tommy berkeliling area proyek. Tidak ada obrolan berarti. Dasar boss sepi. Sasi cuma mengeluh dalam hati Mulutnya serasa kaku ingin bicara tapi merasa malas memulai pembicaraan dengan bosnya yang pendiam itu.
Di beberapa tempat Sasi memotret bangunan dan akses jalan di sekitarnya sesuai arahan Tommy.
Tenggorokan Sasi serasa kering. Matanya pedih tersapu debu yang beterbangan di area proyek. Sasi menyesal lupa tak membawa kaca mata hitamnya. Karena tak tahan haus Sasi duduk di atas bangku kayu yang ditemuinya. Mengambil air mineral di tas yang dijinjingnya dan segera meneguk isinya dengan cepat.
Glek...glek....glek....Ahh...segarnya...Sasi menghela nafasnya.
" Keterlaluan kamu ya..? Minum sendiri. Mana minum saya?"
Sasi melotot terkejut mendengar suara bosnya. Hampir saja dia menyemburkan air yang diminumnya. Sasi meringis ke arah bosnya.
" Maaf haus banget pak. Bapak mau minum?" Buru-buru Sasi mengambil air mineral dari tas yang dibawanya dan menyerahkannya kepada Tommy.
Tanpa menunggu Tommy pun membuka botol air mineral dari Sasi dan meneguknya hingga tak bersisa.
Saat melihat Tommy meneguk minumannya, barulah Sasi sadar.
" Duh padahal itu air dari dukun kan harusnya aku kasih ke Reza atau Davin, kok jadi si boss yang minum...? "
Sasi bergumam dalam hati. Bodo amat lah...hahaha..lagian gak akan ngaruh juga. Mana mungkin air minum doang bisa bikin orang lengket seperti yang ibu bilang. Siapa juga yang bakalan percaya omong kosong seperti itu.
Sasi diam-diam juga bersyukur ibunya membawakan dua botol air mineral padanya. Padahal tadi Sasi sempat mau menolaknya. Kalau tadi dia cuma membawa satu botol, bagaimana dia menghadapi bossnya?
" Kenapa Sas, kok bengong gitu. Nyesel kamu airmu saya minum?"
What? Sasi tersentak. Rupanya tanpa sadar Sasi terpaku menatap bossnya yang sedang minum.
" Hehe...enggak pak. Panas banget nih, lihat bapak minum saya jadi pengen minum lagi...hehe.." Sasi tertawa malu.
" Ya sudah ayo balik ke kantor. Progresnya lumayan bagus kok. Sudah sesuai laporan" tukas Tommy sambil merapikan berkas yang dibawanya lalu menyerahkannya pada Sasi.
" Siap pak!" Sasi mengikuti langkah bosnya ke mobil untuk kembali ke kantor.
Sepi...sepi...tak ada pembicaraan di jalan. Benar-benar orang yang membosankan. Sasi menggerutu dalam hati. Saking bosannya Sasi pun ketiduran di samping bossnya .
" Kita makan siang dulu." Suara berat sang boss menyadarkan Sasi dari lelapnya.
" Eh..oh..baik pak" Haduh bisa-bisanya aku ketiduran . Sasi mengutuki dirinya sendiri.
" Mau minum kopi?" tawar Tommy.
Sasi meringis menyadari bosnya sedang menyindirnya yang ketiduran tadi.
" Hehe...maaf pak " Sasi tersenyum ke arah bossnya."Habis sepi banget kan jadi ngantuk..." Sasi setengah bergumam pelan.
" Kamu bilang apa?" tanya Tommy
" Hehe..enggak pak.." Sasi meringis lagi.
Sasi melihat sedikit senyum samar di ujung bibir bosnya. Eh kalau senyum dia manis juga. Sasi menepuk dahinya sendiri. Coba dia sering-sering senyum , kan nggak boring akunya...
" Lihat apa Sas?" suara dingin dan kakuTommy menyadarkan Sasi.
" Hehe...enggak pak.."
Sasi buru-buru menghabiskan makanannya. Duh Sasi, kamu mikir apa sih...rutuk hati Sasi.
Boss sepi..Bastomi Putra Perdana
" Sas..gimana sudah kamu kasih ke Reza minumannya?"
Ibu menyambut Sasi di depan pintu saat Sasi baru pulang dari kantor.
" Astaga bu? Segitu ngebetnya punya mantu ya?" Sasi tertawa geli melihat begitu antusiasnya ibu menanyakan air dari dukun itu.
Padahal Sasi sendiri yakin 100 persen air itu tidak akan membawa dampak apapun. Apalagi tadi airnya malah diminum boss Tommy. Hehehe...ini namanya salah sasaran kan? Gimana mau berhasil?
" Jadi udah dikasih belum nduk? " tanya ibu lagi. Merasa belum mendapatkan jawaban dari Sasi.
" Sudah bu..." jawab Sasi sambil senyum-senyum. Sudah dikasih boss...hahaha...dalam hati tertawa.
" Kok senyum-senyum gitu. Kamu buang ya airnya?" Ibu melihat menyelidik pada Sasi. Dia tahu anaknya ini anti hal-hal magic sepeeti ini.
" Enggak bu, bener kok udah dikasih" Sasi mengangkat dua jarinya tanda swear.
" Baguslah. Awas jangan bohongi ibu ya..dosa kamu. Mau jadi anak durhaka?" lembut ibu bertanya.
" Iya bu. Sasi nggak bohong kok" Sasi tersenyum kecil. Membayangkan bossnya yang sedang menenggak habis air mineral yang sudah dijampi-jampi mbah Ageng.
Duh Gusti , kok ya aku harus mengalami hal menggelikan seperti ini.Main dukun untuk mendapatkan suami? Sasi menyembunyikan senyum mirisnya. Takut dilihat ibu dan akan melukai hatinya. Padahal akal sehatnya benar-benar tak sudi menerima hal-hal aneh seperti ini.
Aku ini gadis modern. Aku hanya percaya hal-hal logis dan nyata. Bagaimana bisa harus mengikuti dan percaya hal-hal diluar akal seperti ini? Demi ibu...biarlah aku jalani saja. Anggaplah berbakti pada ibu. Dan menghargai usaha ibu. Bukan percaya tahyul macam itu.
Esoknya seperrti biasa Sasi berangkat ke kantor. Hari ini Sasi diantar sopir. Sasi sedang malas menyetir sendiri.
" Sasi berangkat bu..." cium tangan dan pipi ibu. Peluk sayang dan kembali mendapat bekal air mineral ajaib dari ibu. Astaga! Sasi tertawa dalam hati. Demi ibuku sayang...
Sampai di kantor masih sedikit sepi. Jam masuk masih 30 menit lagi. Tiba-tiba mata Sasi terpaku pada air mineral di tas bekalnya. Diambilnya air mineral yang iklannya ada manis-manisnya itu. Kalau ini mah ada mistis-mistisnya....hahaha..Sasi terkekeh sendiri. Ibu...ibu...aku bisa gila karena ibu...
" Sasi are u okay?" suara serak nan merdu itu menyadarkan Sasi.
" Eh..Za..sejak kapan kamu disitu?"
" Sejak kamu senyum-senyum sendiri tadi" Reza tertawa." Lagi jatuh cinta ya?"
" Apaan, boro-boro jatuh cinta. Jatuh gila iya...haha"Sasi tertawa sumir
" Kenapa?" Reza tersenyum manis lalu duduk di depan Sasi.
" Biasa ibu tuh nyuruh kawin melulu"sahut Sasi santai. Reza tertawa mendengarnya.
" Ya kawin aja sih susah amat"
" Boro-boro kawin. Pacar aja nggak ada.." Sasi tertawa.
" Kamu terlalu pilih-pilih sih. Sama aku aja mau nggak? " Reza menatap Sasi.
Mata Sasi membulat mendengar kata-kata Reza.
"Ngomong apa kamu Za. Kalau aku beneran mau gimana?"
" Ya bagus, nanti aku langsung lamar kamu ke ibu.." Reza masih dengan senyum manisnya nan menggoda.
Jantung Sasi berdegup kencang. Reza benar-benar pintar memainkan perasaannya.Tapi segera ditepisnya
" Ngaco kamu..sudah sana...nanti boss marah kita ngobrol di jam kerja!" Sasi mengibaskan tangannya mengusir Reza dari ruangannya.
" Ehmm...masih pagi sudah ngerumpi..!" suara dingin dan berat itu mengagetkan Sasi dan Reza.
" Eh..selamat pagi pak!" spontan Sasi dan Reza berdiri dan mengangguk hormat ke arah Tommy yang berdiri di depan pintu.
" Sasi bawa jadwal saya hari ini ke ruangan saya" seru Tommy sambil berlalu dari ruangan Sasi.
Sasi melotot pada Reza. " Kamu tuh pagi-pagi main nyelonong aja..kena tegur kan?"
Reza cuma tersenyum santai. " Ehm. Tolong pertimbangkan yang aku bilang tadi ya..?"
Sasi mendengus kesal.. "Shuhh...shuhh...sana..." Sasi bergegas ke ruangan bossnya meninggalkan Reza yang tertawa-tawa menggodanya.
" Dasar gila!"
Tok..tok...Sasi mengetuk pintu.
" Masuk!" Suara Tommy terdengar dari dalam ruangan.
Sasi segera menyerahkan tablet berisi jadwal sang bos hari ini. Dijelaskannya satu per satu dengan detail.
" Hem. Oke kamu boleh keluar!"
" Baik pak!"
" Sebentar..."
" Iya pak.?" Sasi membalikkan badannya lagi, menatap wajah bossnya.
" Tolong belikan air mineral yang kaya kamu kasih ke saya kemarin. Taruh di kulkas saya!"
"Hah? Oke Baik pak" Sasi bergegas keluar dari ruangan bossnya.
Sasi duduk di ruangannya. Aneh banget. Si boss minta air yang kaya kemaren. "What ever lah. Aku kasih air yang dari ibu saja. Daripada repot-repot beli. Nanti aku beli lagi di kantin saja."
" Ini air mineralnya pak.." Sasi meletakkan air yang dibawanya ke kulkas yang ada di ruangan bossnya.
" Hemm" si boss cuma berdehem tanpa menoleh sedikitpun ke arah Sasi.
" Dasar boss dingin" rutuk Sasi dalam hati.
Ketika Sasi hendak membuka pintu dan akan keluar dari ruangan, tiba-tiba Tommy memanggilnya.
" Hey..tunggu!"
" Ada apa pak?" Sasi membalikkan badannya
" Terima kasih" Tommy mengucapkannya dengan muka datar.
" Sama-sama pak.." Sasi tersenyum tipis lalu segera berlalu dari ruangan bossnya.
Anehnya sejak saat itu si boss pendiam itu minta Sasi menyediakan air mineral di kulkasnya setiap pagi. Sasi pun tak keberatan menyediakannya. Menurut Sasi tak apalah sekedar air mineral saja. Tidak menyusahkan dan mudah didapat. Lagipula gratis..hihihi...ibu membawakannya tiap pagi.
Sore itu Sasi baru sampai di kantor jam enam . Seharian dia mengikuti boss Tommy meninjau beberapa proyek yang dikerjakan kantor mereka.
" Saya boleh langsung pulang pak?" Sasi bertanya dengan sopan kepada bossnya saat akan turun dari mobil.
" Boleh. Silakan" jawab Tommy tenang.
" Terima kasih pak" Sasi tersenyum dan bergegas turun dari mobil. Tapi belum sempat menutup pintu mobil tiba-tiba Tommy memanggil Sasi lagi..
" Kamu bawa mobil Sas?"
" Enggak pak, tadi diantar sopir."
" Kamu pulang naik apa?" Tommy bertanya lagi.
" Naik taksi pak"
"Kalau begitu kamu ikut saya saja. Sekalian saya antar pulang!"
" Ehh..nggak usah pak!" Ish...ogah bareng boss lagi. Sudah seharian bareng si boss nggak bisa ngomong, nggak berani nyanyi-nyanyi. Sudah gatel mulutku pengen ngobrol...Sasi menggerutu dalam hati.
" Sudah ayo masuk" Tommy memaksa. Membuka pintu mobil lebar-lebar.
Sasi pun jadi sungkan menolaknya. Terpaksa masuk lagi ke dalam mobil bossnya. Yahh...mingkem lagi dah...
Padahal tadi Sasi pengen nelpon Reza atau Davin. Ngobrol-ngobrol santai demgan kedua teman kantornya itu sambil naik taksi pulang.
" Nggak usah sungkan. Kita kan searah.."
Sasi cuma mengangguk dan tersenyum mendengar kata-kata bossnya. Bukan masalah barengnya pak. Canggung dan sepinya itu lho..bikin mabok darat. Kepala jadi puyeng dan perut ikutan mual-mual...
Coba aja boss asik dan rame kaya Reza atau Davin...pasti dengan senang hati aku akan ikut mobil boss. Ngobrol asik, ketawa-ketawa..lha ini? Mulut rasanya kena lem..lengket nggak bisa buka..Kok ada ya orang pendiam kebangetan kaya si boss ini..lagi-lagi Sasi merutuk dalam hati.
Mata Sasi menatap ke luar jendela mobil. Menghitung jumlah motor matic dan motor bebek yang dilewati mobil. Ternyata sekarang lebih banyak orang memilih motor matic. Jumlahnya dua kali lipat daripada motor bebek. Sasi tertawa sendiri merutuki kekonyolannya menghitung motor.
" Kenapa kamu?"
Ehh..si boss sampai kepo..ikut bingung melihat Sasi tertawa sendiri.
" Hehe..enggak pak, ada yang lucu di luar.." Sasi mengulum senyumnya. Gara-gara bos tuh, aku jadi kaya orang gila..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!