Pengenalan tokoh.
Elinda Farhanna, tinggal di panti asuhan sejak kecil. Menjadi anak asuh dari Karina sang pengelola panti asuhan, Elinda Farhanna yang di panggil Hanna tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Pendidikan nya hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, tapi ia tetap bersyukur masih bisa merasakan indahnya sekolah. Tubuh nya langsing dengan tinggi badan 160 cm, berat badan 50kg. Tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, kulit sauh matang, mata sedikit sipit, dengan bola mata hitam pekat. Hidung mancung dan bibir yang terlihat mempesona. Berkerudung, dan menjaga baik kehormatan nya. Sopan santun, penyayang dan selalu ramah. Bibirnya selalu tersenyum bahagia.
Devan Agatha Sanjaya, tinggi 175 cm, badan tegap dan gagah. Kulitnya hitam kecoklatan dengan jambang tipis pada rahang nya membuatnya terlihat gagah dan berkarisma, berpendidikan tinggi, berprestasi hingga ia berhasil menyelesaikan pendidikan S3 nya di Amerika serikat, tidak terlalu baik karena watak Devan Agatha Sanjaya atau yang kerap di panggil Devan itu sangat dingin. Devan adalah seorang Chief Executive Officer, di perusahaan Sanjaya group. Hidupnya selalu di kelilingi wanita cantik, namun sayang sulit sekali meluluhkan hati seorang Devan Agatha Sanjaya.
Diana Andriana, cantik, ****, tinggi 155cm dengan berat badan 45 kg. Ia adalah seorang sarjana, memiliki banyak teman dan memiliki pergaulan yang luas. Menjaga kecantikan tubuh adalah prioritas utama bagi Diana. Sebab ia ingin selalu tampil sempurna, di hadapan siapa saja yang melihatnya. Kulit putih, mata kecoklatan membuatnya semakin menarik. Dipenuhi dengan kemewahan karena suaminya seorang CEO. Barang branded adalah salah satu ciri khasnya, karena itu bukan masalah bagi suaminya. Angkuh dan sombong sangat melekat pada wanita berusia 25 tahun itu.
*
"Bagai mana para saksi" tanya penghulu.
SAHHHH.
Jawab mereka yang menyaksikan pernikahan ku.
Aku Elinda Farhana, hari ini aku sangat bahagia karena menikah dengan orang yang aku cintai.
Manusia yang mana yang tak bahagia bila bisa bersanding duduk di pelaminan dengan orang yang di cintai nya begitupun aku.
Senyum bahagia tidak pernah lepas dari bibir manis ku.
Ku pandangi ciptaan Tuhan yang sangat sempurna berdiri di hadapanku, bibir ku terus saja memuji sang pencipta karena sudah mempertemukan kami bahkan sekarang, merestui kami dalam ikatan pernikahan.
"Hanna" ucap nya pada ku yang sekarang sudah berbaring di samping ku.
"Ya Mas Devan, kenapa em??" tanyaku pada suamiku itu.
Ya nama suamiku adalah Devan Agatha Sanjaya, kami tidak berpacaran karena Mas Devan langsung melamar ku. Aku menerimanya begitu saja tanpa syarat, karena aku memang sudah jatuh hati pada pertama kali kami bertemu.
Bahkan cara kami bertemu juga sangat aneh menurutku bagai mana tidak aneh, waktu itu secara kebetulan aku berlari, karena di kejar oleh preman, yang mau mencopet ku, lalu aku berlari dan kaki ku masuk ke dalam got.
Aku terjatuh, tapi aku bersyukur karena aku terjatuh para preman itu tidak melihat ku.
Selama aku terdiam di dalam got, karena menunggu para preman itu pergi, baju ku sudah di basahi oleh air got itu.
Aku merasa jijik, ingin muntah. Bagai mana tidak, got itu sangat bau, tapi setelah ku pastikan para preman itu pergi aku memutuskan untuk keluar dari dalam got itu.
Tapi berkali-kali aku berusaha naik, berkali-kali pula aku jatuh, oh sungguh malang nasib ku.
Aku terus berusaha agar bisa naik keluar dari got tersebut, lalu tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan tangannya pada ku aku terkejut, lalu melihat siapa orang tersebut.
Dia tersenyum pada ku, sambil menganggukkan kepalanya yang memberi isyarat aku menerima uluran tangannya. Lalu tanpa ku pikir lagi aku menerima uluran tangannya.
Niat baik seseorang tidak baik jika di tolak itu namanya tidak sopan.
Dan akhirnya aku berhasil keluar dari got yang berbau busuk itu, aku memang anti jorok, tapi kalau sudah begini mau bagai mana lagi.
Tapi bau busuk yang di akibatkan air lumpur itu seperti hilang, ketika aku menatap mahakarya Tuhan, memang manusia tidak ada yang sempurna. Tapi bagi ku pria di hadapan ku ini sudah lebih dari sempurna.
Aku tersenyum menatapnya seolah tidak ada yang lebih indah dari yang lain. Matanya, hidung nya, bibirnya oh tidak. Bisa-bisa aku keracunan kalau terus menatapnya begini.
Aduh Mas senyumnya udah dong bisa diabetes adek bang, entahlah sepertinya aku sudah mulai tidak waras jika menyangkut soal dia.
Aku lupa baju ku yang bau busuk, aduh mungkin aku sudah terserang virus, virus cinta wah aku parah, mana dokter mana aku harus memperbaiki hati ini, sepertinya ada yang salah dengan ku.
Aku merasa dada ku bergetar hebat, jantungku di dalam sana aduh tidak bisa lagi di kondisikan entahlah, semoga dia juga merasa apa yang aku rasakan.
Cinta memang gila, cinta membuat ku lupa dunia, semoga aku dan dia bisa hidup bersama membangun rumah tangga yang bahagia.
"Sayang," suara itu menyadarkan aku dari lamunan manis ku, lihat lah cara nya memandangku manis sekali.
Perlahan aku menutup mata saat ia mulai mendekati ku, aku merasa deru nafasnya yang begitu hangat menyentuh tengkuk ku hingga aku merasa tenang bahkan aku merasa terbang ke awan.
"Mas...." lirih ku saat ia mulai memasuki diri ku, aku merasa dunia seakan milik kami berdua. Tidak di pungkiri rasa ini sungguh nikmat hingga aku tidak ingin melupakannya sampai nanti.
"Aku mencintai mu...." bisik nya dengan suara parau di telinga ku, aku semakin menggebu merancau tidak karuan.
Tiada yang dapat menggambarkan hati ku saat ini, namun bisakah aku mengatakan untuk tetap sehangat ini.
Rasanya tidak mungkin tapi inilah yang aku rasakan, aku menginginkannya lagi dan lagi.
Lama ku pandangi wajah pria berstatus suami yang terlelap di sampingku, bibir ku kembali tertarik ke masing-masing sudutnya membayangkan hal manis yang baru saja terjadi. Dia menyentuh ku, tangan kasarnya seakan membuat ku melayang, angan-angan ku seakan terbawa oleh sejuta khayalan yang begitu indah.
Perlahan tangan ku mengarah pada wajahnya, dan tanpa aku duga mata pria itu terbuka. Mungkin lebih tepatnya suami ku, aku geli sendiri mengucap kata suami. Aku benar-benar gila. Gila karena cintanya.
Lihatlah mata elangnya lagi-lagi memandang kerah ku, manis sekali. Tapi aku juga merasa malu karena tertangkap basah sudah memandangi dirinya, Emmmm.....jantung ayolah tetap tenang. Mengapa kau terus berdetak tanpa berhenti, dia suami mu.
"Apa kau menginginkan nya lagi?" bisik nya pada ku, oh....aku mengerti maksudnya, tapi apa yang harus ku katakan. Bibir ku berkata tidak tapi diriku? Sungguh aneh sekali bukan? Bibir tidak sejalan dengan apa yang di rasakan.
"Mas," panggil ku padanya.
"Apa?!" jawabnya menatap ku, tangannya bahkan menyisir anak rambut yang menyentuh wajah ku. Katakanlah saat ini aku tengah jatuh cinta, ya....jatuh cinta pada kekasih halal ku. Bisakah dunia sejenak berhenti berputar, bisakah waktu sejenak saja tidak berputar. Aku ingin memandanginya tanpa jeda, tanpa henti, karena dia sungguh mengalihkan duniaku. Aku tidak perduli siapa dia, karena yang aku tahu dia milik ku dan aku miliknya.
"Apa kau benar-benar mencintai ku?" entah mengapa aku bertanya demikian, padahal ia sudah menikahi ku. Tapi tetap saja dengan bodohnya aku masih bertanya.
"Kenapa?!"
Lihatlah dia, pria tampan dan gagah itu seakan tahu bertapa tampannya dirinya. Hingga ia sedang tebar pesona saat ini pada ku, tapi ada juga pertanyaan lainnya. Dia yang tebar pesona atau aku yang sudah gila, sepertinya aku yang gila....lebih tepatnya gila karena cintanya.
"Bukan begitu maksud ku...." belum selesai aku berbicara ia sudah menindih ku, aku tidak lagi memikirkan pertanyaan ku sebab diri ku tengah menginginkan sesuatu yang ia tawarkan saat ini.
Malam berlalu dengan begitu indah, bisikan cinta seakan menjadi nada tersendiri bagi kami yang tengah dimabuk asmara. Aku Erlinda Farhanna istrinya namun terus saja merasa di mabuk asmara saat ia berbisik cinta pada ku. Adakah kalian merasa seperti yang aku rasakan? Sepertinya tidak. Karena bagiku akulah manusia yang paling bahagia.
Pagi hari ini aku Elinda Farhanna tengah bahagia, ku pandangi wajah pria berstatus suami yang tengah terbaring di samping ku. Matanya, bibirnya, sungguh membuat aku menggila. Perlahan tanganku mengarah pada wajahnya, hingga tiba-tiba mata elangnya terbuka lebar. Tatapan kami bertemu, aku terkejut karena ternyata dia sudah terbangun.
"Sejak kapan?" pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir ku. Bibir manis ku ini rasanya tidak pernah kehilangan kata bila berbicara dengan nya. Dia Devan seorang pria yang aku cintai, aku mencintainya lebih dari mencintai diri ku sendiri. Mungkin aku gila. Tidak apa asal bersama dia.
Hari-hari berlalu terus aku jalani, hingga pernikahan kami kini sudah menginjak satu tahun dan kami di karuniai seorang anak. Lengkap sudah kebahagian ini dengan adanya buah cinta kami, ku pandangi wajah putra ku dengan penuh kasih sayang sungguh aku sangat bahagia sekali.
"Namanya Derren Agatha Sanjaya, aku sangat menyukai itu," ujar suami ku Devan.
Aku tersenyum, aku tersenyum bahagia. Bagiku nama yang di berikan oleh suamiku sangat indah dan aku sangat menyukai nya.
"Iya Mas, nama yang bagus," ujar ku tersenyum.
Aku kini tengah duduk di ranjang rumah sakit, dengan memeluk putra ku dan suami ku yang duduk di sisi ranjang. Kami sama-sama memandang kagum akan buah cinta kami, hingga kemudian pintu terbuka dan menampakan dua orang wanita di sana. Aku tidak tahu siapa wanita itu, dan aku menatap nya dengan bingung.
"Mama," ujar suami ku.
"Mama?" aku bingung saat suami ku menyebut nya Mama, bukankah ia mengatakan jika ia anak yang di besarkan di panti asuhan
Lalu apa? Sekarang ia memanggil Mama pada seorang wanita yang masuk keruang ku.
"Bagaimana Devan?"
Wanita wanita itu menatap pada bayi yang ku peluk, aku bingung dan terus bertanya-tanya siapa wanita ini.
Suami ku menatap ku kemudian pada bayi ku, aku merasa ada yang tidak beres, perlahan wanita dengan tubuh tinggi dengan usia sebaya ku mulai mendekat. Seketika ia mengambil bayi ku, aku bingung dan bertanya-tanya. Sejenak ku tenangkan pikiran ku bahwa dia hanya ingin memegang bayi ku mungkin mereka keluarga angkat suami ku.
"Mas mereka siapa?" tidak ingin lagi hanyut dalam rasa penasaran ku, hingga aku seketika bertanya agar aku bisa lebih lega.
Mas Devan turun dari ranjang ku yang ia duduki, ia menjauh namun tetap menatap ku. Ia seperti berubah asing seketika bagi ku, bahkan aku seperti tidak mengenalnya lagi.
"Aku Diana, istri sah dari Devan," ujar wanita yang tengah memeluk bayi ku.
Deg.
Tahukah kalian seperti apa perasaan ku, sakit. Aku bagaikan kehilangan nyawa ku seketika bersamaan dengan kata yang di ucapkan wanita itu. Namun aku masih berusaha tenang, aku masih mencoba untuk menguasai diriku. Aku yakin dia sedang bercanda, cepat-cepat ku usap air mata ku dan aku mencoba tersenyum. Walaupun aku masih merasa was-was.
"Maksudnya apa ya Mbak," ujar ku dengan sedikit terkekeh, "Apa Mbak kerabat nya Mas Devan?" tanya ku lagi.
Semua orang di sana diam, mereka menatap ku dengan serius. Hingga seorang wanita paruh baya mulai bersuara.
"Sudah cukup Devan, semua sudah selesai dan aku ingin kau menghentikan sandiwara ini," ucapnya pada suami ku.
"Sandiwara," aku semakin bingung. Maksud kata dari sandiwara itu apa, aku masih di selimuti kebingungan.
Mas Devan seketika menatap ku, aku tidak tahu apa yang akan ia katakan. Hanya saja aku seperti tidak mengenali suami ku lagi, tidak ada lagi kehangatan dan senyum manisnya yang dulu menatap ku.
"Hanna," dia menatap ku dan kemudian menatap wanita yang tengah menggendong bayi ku, "Dia Diana, dan Diana ini adalah istri sah ku.... atau pun istri yang aku nikahi empat tahun yang lalu."
Deg.
Kali ini batin ku hancur, langit seakan runtuh seiring dunia yang seakan berputar begitu cepat. Aku Elinda Farhana yang dulu berucap bahagia kini berubah menderita. Lihatlah dengan tenang nya dia mengatakan nya pada ku, wanita di hadapan ku adalah madu ku. Bukan lebih tepatnya aku yang menjadi madunya, sakit sekali. Aku kira di duakan sangat sakit, tapi ternyata menjadi yang kedua juga sangat menyakitkan. Aku tersenyum dengan air mata yang berlinang.
"Jangan bercanda Mas, ini tidak lucu!!!" tutur ku penuh luka.
"Ini tidak bercanda, ini pula bukan main-main....aku meminta suami ku menikah lagi karena kami tidak memiliki anak, sedangkan kami butuh pewaris untuk kekayaan suami ku," jelas wanita itu pada ku.
"Pewaris?" air mata ku tidak pernah hentinya jatuh di pipi, rasanya deras nya hujan mengalahkan derasnya air mata ku. Kerasnya suara gemuruh yang menyala di langit mengalahkan sakit yang di utarakan oleh suami ku, aku terluka. Tidak kah dia memikirkan aku.
"Tidak perlu aku jelaskan dengan panjang, karena tidak penting, sekarang bayi ini adalah bayi ku," ucap Diana lagi.
Aku menggeleng, "Aku Bundanya, aku yang melahirkannya, aku yang mengandungnya selama sembilan bulan...."
"Tapi dia sekarang miliki, kau hanya alat untuk melahirkan bayi pewaris dari keluarga kami dan kau tidak memiliki hak apa-apa!" kata Diana lagi, lalu ia pergi begitu saja bersama dengan seorang wanita yang tadi ikut masuk dengan nya barusan.
"Kembalikan bayi ku...!!!!" aku menangis. Dada ku sangat sesak, luka jahit saat melahirkan putra ku beberapa jam lalu belum kering dan kini anak ku di rampas begitu saja.
"Maaf Hanna, tapi semuanya memang harus begini," kata Devan.
"Maaf?!" lihatlah pria dihadapan ku ini mengatakan kata maaf, maaf setelah luka yang dia berikan pada ku, "Kembalikan anak, kau tidak punya hati dan aku benci pada mu!" seru ku.
"Sudahlah Hanna, kalau kau mau bertemu anak mu....maka bersikap baiklah, berhenti meneriaki aku!"
Lihat lah dia, dengan tidak merasa dosanya mengancam diri ku.
"Itu anak ku, dan aku yang berhak atas anak itu!!!" seru ku lagi.
"Aku juga ayahnya, dan aku berhak atas bayi ku...."
"Enggak......itu anak ku....hiks....hiks.....hiks...." baru saja, aku memeluknya. Baru saja aku menyusuinya kini bayi ku sudah di ambil begitu saja. Aku tidak rela, aku sungguh sangat tidak rela dengan semua yang terjadi.
"Diam! Tidak usah menangis!"
Setelah membentak ku Mas Devan langsung keluar dari kamar rawat ku, aku sungguh tidak mengenalinya lagi. Dia kini bukan suami ku lagi, dia iblis yang berwujud suami ku. Kembalikan suami ku, suami yang sangat mencintai aku dulu, yang tidak rela melihat aku terluka. Apa lagi sampai meneteskan air mata.
Dua hari ini Hanna terus menangis, air matanya tidak pernah henti meluncur membasahi pipinya. Rasanya sangat sakit sekali saat sakit yang di torehkan Devan padanya, tidak pernah terlintas di benaknya ini semua akan terjadi. Bayangan-bayangan indah saat bersama sang suami musnah seketika berubah duka, hanyalan indah akan menjadi istri dan ibu bagi keluarga kecilnya seketika sirna.
Hanna bukan hanya kehilangan Devan, tapi juga kehilangan bayi yang ia kandung selama sembilan bulan. Entah mengapa dengan teganya Devan merampas begitu saja dari nya, ia tahu Devan adalah ayah dari bayi itu. Tapi ia adalah wanita yang melahirkannya dengan bermandikan keringat, bercucuran air mata, bersimbahan darah. Tidak kah Devan merasa iba sedikit saja padanya, tidak kah Devan ingat saat-saat ia bertaruh nyawa demi melahirkan bayi laki-laki nya. Bukankah Devan menyaksikan sendiri saat-saat ia melahirkan anak itu.
Kamar yang dulu mereka tempati kini hanya menjadi saksi bisu indahnya kenangan mereka, bahkan rumah itu pun kini terasa asing bagi dirinya. Karena semua pekerja di sana mendadak sudah tidak seperti dulu lagi, sepertinya semua memang sudah direncanakan dengan cukup baik. Hingga semua pandai memainkan masing-masing perannya. Di dalam rumah yang cukup mewah itu kini terasa sangat sunyi. Bahkan saat dua hari yang lalu seorang pria dengan tubuh tegap yang menjemput dirinya dari rumah sakit, semua benar-benar sudah berbeda sekali.
Tap tap tap.
Terdengar suara langkah kaki seseorang yang mulai mendekat, namun Hanna masih larut dalam khayalan yang penuh dengan kekecewaan. Ia bahkan hanya menunduk sambil terus meneteskan air mata.
"Ehem."
Suara berat dan tertahan itu seakan membuyarkan lamunan Hanna, ia sangat mengenali suara itu. Itu suara suaminya Devan, bukan, lelaki yang di hadapannya itu bukan suaminya tapi iblis yang tidak punya hati dan perasaan.
Hanna menatap Devan dengan mata yang berkaca-kaca, ia masih terlalu terluka dengan apa yang di lakukan Devan, "Kembalikan anak ku....." lirih Hanna dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki.
Lama Devan terdiam, hingga Hanna turun dari ranjang mendekati pria yang tidak punya hati itu, "Dimana anak ku!"
"Dia anak ku! Dan sekarang anak itu sudah menjadi anak ku dan Diana!" tegas Devan.
"Ahahahhaha....." Hanna menangis, akan tetapi air mata nya terus meluncur dengan bebasnya, "Kalian sudah gila, aku yang melahirkannya tapi kalian mengaku sebagai pemiliknya," ujar Hanna penuh luka, "Kalian benar-benar tidak waras!" seru Hanna.
Hingga tiba-tiba masuk seorang wanita lagi, Hanna melihat wanita itu berjalan kearahnya. Wanita itu terlihat angkuh dengan pakaian mahal yang melekat di tubuhnya, dia Diana istri sah secara agama maupun hukum. Sementara Hanna hanya menjadi istri siri, dan ternyata inilah alasannya hingga Devan tidak menikahinya secara resmi. Hanna benar-benar sadar ia sudah diperdaya oleh cintanya habis-habisan.
"Anak ku sudah dua hari ini terus menangis, dia tidak mau minum susu formula...." Diana melemparkan banyak botol susu kosong, dan juga alat untuk mengompres asi pada ranjang, kemudian ia melihat Hanna dengan pandangan tajam, "Cepat isi botol-botol itu dengan asi mu!" titah Diana.
"Anak mu?" Hanna tersenyum getir, wanita itu menyebutkan jika Derren adalah anaknya, "Dasar tidak tahu malu, dia itu putra ku aku ibunya!" seru Hanna berteriak di wajah Diana.
Plak.
Tangan Diana seketika melayang dan mendarat dengan tepat di wajah Hanna, mata nya memerah saat Hanna berbicara tidak sopan pada dirinya.
"Jaga bicaramu bila berhadapan dengan aku!" telunjuk Diana kali ini yang mengarah pada wajah Hanna.
Hanna hanya memegang pipinya yang terbawa kesamping, rasa sakit itu mungkin tidak seberapa. Sakit yang di berikan Devan sudah sangat dalam melebihi tamparan yang di berikan Diana padanya. Perlahan Hanna kembali menatap Diana.
"Dia itu putra ku, sampai kapanpun akan tetap begitu!" kata Hanna lagi.
"Diam!" bentak Diana, "Dia memang putra mu, tapi tidak sekarang dan kedepannya karena kini aku yang sudah menjadi Ibu dari bayi itu."
"Iblis!" kata Hanna.
"Diam!" bentak Diana lagi, kemudian tangannya menunjuk botol susu formula yang masih kosong di atas ranjang, "Anak ku tidak mau minum susu formula, dan aku butuh asi mu....cepat isi botol-botol itu karena Derren sekarang kelaparan dan kehausan!" titah Diana.
Mendengar kata kehausan dan kelaparan hati Hanna semakin merasa sakit, ia kini tidak lagi berdebat dengan Diana. Karena anaknya jauh lebih penting. Sungguh Hanna takut terjadi hal buruk pada anaknya, dengan cepat Hanna mengisi botol-botol itu.
Diana mengambilnya setelah botol-botol susu formula itu terisi penuh, ia tersenyum miring pada Hanna, "Setiap pagi akan ada yang mengambil asi ke sini, jadi kau harus menyediakan nya!" setelah mengatakan itu Diana pergi begitu saja, tanpa peduli lagi pada Hanna wanita yang menjadi korban nya.
"Tega kamu Mas, aku kira kamu adalah laki-laki yang mencintai aku dengan tulus," ujar Hanna.
Hanna masih duduk di atas ranjang, ia hanya menangis dengan sejuta luka yang di berikan oleh Devan. suami yang sangat ia cintai.
"Awalnya aku ingin membebaskan mu, karena setelah kau melahirkan putra ku tugas mu sudah selesai....tapi apa mau dikata ternyata Derren masih butuh asi mu, hingga dengan terpaksa kau tetap berada di sini," jelas Devan dengan santai. Bahkan ia memunggungi Hanna, mungkin saja ia sudah tidak ingin melihat wajah Hanna lagi.
Hanna menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi. Tapi tidak, semua begitu nyata suaminya sendiri yang membuatnya terluka, apa yang bisa ia lakukan saat ini? Tidak ada hidup sebatang kara dan di besarkan di panti asuhan membuatnya tidak memiliki seseorang yang bisa membebaskan dirinya. Bahkan Hanna tidak pernah tahu tentang siapa orang tuanya.
"Kau masih akan tetap di sini, di rumah ini sampai Derren tidak lagi membutuhkan mu!" ujar Devan.
Hanna memang kini bagai berada di dalam sangkar emas, terkurung di dalam sangkar tanpa bisa bergerak bebas. Bahkan kini pintu kamar nya saja di kunci, semua seakan semakin terasa sakit. Yang membuatnya kuat dan bertahan hanya demi putra nya, ia harus bisa mendapatkan Derren dengan cara apapun dan ia akan membawa anaknya pergi sejauh mungkin.
"Semua kata cinta yang kau ucapkan hanya angin lalu Mas, semua kebahagiaan yang kau berikan ternyata hanya sebuah bayangan semu.....semoga kau mendapatkan balasan yang setimpal atas sakit yang kau berikan ini" lirih Hanna dengan sisa-sisa tangisan nya.
Devan tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Hanna, ia memilih pergi dari pada terus berada di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!