Jina adalah seorang gadis sederhana dengan banyak mimpi yang ingin dia capai dalam hidupnya.
Sejak kecil dia diasuh oleh neneknya, paman dan juga bibinya.
Dia dibesarkan dengan cukup baik meski terkadang dibumbui dengan pukulan. Jina juga disekolahkan dengan baik sampai dia remaja.
Jina tidak pernah mengenal siapa bapaknya, karena sejak dia masih berumur 1 tahun, kedua orangtuanya harus berpisah karena pihak ke- 3 yang jahat bagaikan iblis berwujud manusia. Yang tak lain adalah keluarga dari pihak bapak, juga seluruh kerabatnya.
Sedangkan ibunya, dia pergi memuaskan keinginannya sendiri dan meninggalkan Jina di rumah neneknya.
Suatu hari saat liburan sekolah, bapak Jina datang berkunjung dari perantauannya ke rumah nenek Jina. Bapaknya ingin bertemu dengan putrinya yang sudah lama dia tinggalkan.
Saat itu Jina masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kelas 1 SD.
Maka dia bertanya dimana Jina sekarang. Neneknya bilang dia mungkin sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan.
Maka bapaknya pergi ke sana menemuinya. Dia memanggil-manggil Jina yang tengah asyik berkejar-kejaran dengan teman-temannya.
"Jina!
Jina!
Kemari nak! Ini bapakmu datang. Kita pulang yuk! Bapak bawa ole-ole buatmu."
"Dia siapa Jina? (Tanya teman-temannya)
"Nggak tau. Biarkan saja. Yuk kita main lagi! Sekarang kamu tangkap aku yah. Aku akan berlari kencang."
Meski dipanggil berulangkali, tapi Jina tetap tidak mau berhenti bermain, dan mengabaikan bapaknya karena tidak kenal. Akhirnya bapaknya pulang menemui nenek Jina dan meminta Jina pulang.
Maka neneknya pun menghampirinya di lapangan dan marah-marah serta mencubit wajahnya. Dia berkata,
"Dasar kau ini. Jadi anak nakalnya minta ampun. Sudah dipanggil-panggil tapi tidak mau pulang."
Jina pun kesal karena harus menghentikan permainannya. Dan pulang dengan wajah yang memerah karena cubitan. Lalu sambil berjalan dia berkata,
"Memangnya kenapa sih aku harus pulang? Aku kan masih ingin main nek."
"Bapakmu datang dari jauh. Kamu ini sudah dipanggil-panggil dari tadi nggak mau pulang. Dasar!" (Balas neneknya kesal)
"Apa? Bapakku? Bukannya bapakku sudah mati ditabrak mobil?
Ibu bilang kan bapakku sudah mati sejak dulu." (Balasnya dengan polos)
"Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar!" (Balas neneknya marah)
Akhirnya mereka sampai di rumah. Tapi Jina hanya diam saja memperhatikan bapaknya. Dia tidak mau didekati bahkan diajak bicara. Meski begitu bapaknya tak menyerah dan terus mengajaknya bicara.
"Jina, sini nak! Kenapa kamu takut-takut? Ini bapak."
"Agh, tidak. Bapakku sudah mati." (Balasnya lalu pergi meninggalkan bapak dan neneknya)
Bapaknya pun tak habis pikir dengan sikap Jina yang seperti itu. Akhirnya nenek Jina menceritakan mengapa Jina bersikap seperti itu dan mengatakan bahwa bapaknya sudah mati.
"Jadi begini, ibu Jina kesal dan benci sekali waktu itu, waktu kalian berpisah dan kau lebih memilih keluargamu dibanding istrimu sendiri. Karena itu, dia juga ingin agar kebenciannya padamu menular kepada anaknya. Makanya sejak kecil Jina diberi tahu bahwa bapaknya sudah mati. Ibunya sangat benci karena kamu sudah menelantarkan mereka berdua."
"Aku tahu aku salah. Karena itulah aku datang kemari untuk minta maaf. Aku sangat menyesal sudah mengabaikan istri dan anak ku. Dan aku ingin memperbaiki segalanya. Aku disini hanya 1 minggu saja."
"Yah, tapi mungkin itu sulit. Karena ibunya Jina juga sudah pergi mencari keinginannya sendiri. Mungkin nanti kalau dia kembali, saya akan beritahukan rencanamu."
**********
Waktu pun berlalu begitu cepat, bapak Jina pun kembali dan Jina sendiri juga tidak peduli. Selama bapaknya berada disana, dia tidak pernah mau berbicara dengannya.
Suatu hari ibu Jina pulang, setelah sekian lama memuaskan keinginannya di luar sana, dan dia berencana untuk membawa Jina pergi bersamanya. Tapi neneknya menolaknya dengan keras, paman dan bibinya juga tidak setuju.
Mereka berpikir bagaimana nanti dengan sekolahnya jika Jina pergi bersama ibunya. Sementara ibunya di sana juga tidak jelas.
Akhirnya timbullah pertengkaran yang hebat di rumah itu karena memperebutkan Jina. Sampai-sampai ibunya mengancam akan bunuh diri. Dia membawa golok agar mereka mengizinkan Jina pergi bersamanya.
Jina yang masih kecil itu hanya bisa menangis melihat keributan yang terjadi.
Maka demi mendamaikan kegaduhan itu, Nenek, Paman dan Bibi Jina pun terpaksa merelakan Jina pergi bersama ibunya.
Jina pun menghabiskan hari-harinya bersama ibunya di tempat lain dan melupakan sekolahnya selama beberapa minggu.
Hari-hari pun berlalu begitu cepat. Dan lama-lama Jina merasa kesepian dengan hidupnya. Dia sedih karena melihat anak-anak yang lain bersekolah, sementara dirinya hanya bisa diam di rumah.
Akhirnya dia mendesak ibunya agar kembali ke rumah neneknya. Usahanya pun tidak sia-sia. Mereka akhirnya kembali dan sekolahnya pun bisa dilanjutkan lagi.
Saat suasana di antara mereka mulai membaik, nenek Jina menceritakan bahwa bapak Jina waktu itu datang berkunjung, dan meminta agar rumah tangganya kembali utuh.
Awalnya ibu Jina menolak dengan keras. Tapi karena segala bujuk rayu neneknya, dia pun akhirnya menyetujui rencana itu.
Mereka akhirnya bersatu kembali dan tinggal bersama di sebuah rumah kecil yang mereka sewa, tak jauh dari rumah nenek Jina. Mereka memulai hidup baru lagi.
Hari demi hari mereka jalani dengan sangat sulit. Karena keadaan ekonomi keluarga Jina sangat buruk. Mereka hanya punya uang yang sangat pas-pasan untuk makan sebelum mereka mendapat hasil dari ladang yang mereka garap.
Suatu hari Jina meminta uang pada ibunya untuk membeli mainan. Jina yang masih kecil tidak terlalu paham dengan masalah ekonomi. Dia terus merengek dan memaksa ibunya agar memberi uang padanya untuk membeli mainan, yang harganya hanya seribu rupiah.
Tapi saat itu, bahkan uang sepeser pun ibunya tidak punya. Tapi karena dia terus merengek meminta mainan, ibunya pun habis kesabaran hingga akhirnya marah besar. Dia mengambil kayu yang cukup besar dan memukuli Jina hingga seluruh badannya berbiru dan hidungnya mengeluarkan darah.
Ibunya begitu emosi, karena Jina terus merengek-rengek meminta mainan.
Tak tahan terus dipukuli, dia pun mencoba lari menjauh dari hadapan ibunya. Tapi ibunya mengejarnya dan terus memukulinya.
Orang-orang saat itu tidak berani berbuat apa-apa. Hanya bisa terdiam melihat tontonan itu.
Karena begitu sulitnya kehidupan keluarga Jina, kedua orangtuanya pun terpaksa memutuskan untuk pindah ke tempat lain lagi dan mencari nafkah di sana. Mereka pergi dan terpaksa menitipkan Jina lagi di rumah neneknya.
Baru sebentar mereka berkumpul bersama, tapi harus terpisah lagi karena keadaan.
**********
Jina tinggal bersama neneknya hingga selesai SMP.
Beberapa tahun setelah keluarganya bersatu dan pergi meninggalkannya, Jina memiliki seorang adik perempuan.
Di sana kehidupan orangtua Jina juga masih jauh di bawah sederhana. Tapi karena bapaknya ingin keluarganya berkumpul bersama dengan anak-anaknya, maka bapak Jina pergi berkunjung ke rumah neneknya meminta agar Jina juga ikut bersama mereka.
Seperti biasa neneknya tidak setuju. Tapi karena Jina sangat ingin bersama dengan bapak dan ibunya seperti anak-anak lainnya, maka dia memohon agar neneknya mengizinkannya pergi. Meski dia tidak tahu akan seperti apa kehidupannya nanti. Tapi keputusan yang dia ambil sangatlah keliru.
Setelah memohon sedemikian rupa, Jina kini bisa pergi bersama bapaknya, dan melanjutkan sekolah di sana. Dia pun mendaftar ke bangku SMA. Dia berharap, dia bisa mendapatkan pendidikan yang dia inginkan. Meski dia harus berjalan kaki ke sekolah sejauh 3 jam perjalanan, tapi Jina tidak menyerah. Keadaan ekonomi keluarganya sangat buruk sehingga tidak bisa memberikan ongkos bis ke sekolah.
Dulu, ketika dia tinggal bersama dengan neneknya, kehidupannya tidak sekeras dan sesakit itu. Tapi karena begitu ingin bersama bapak, ibu, juga adik-adiknya, dia pun pergi.
Hari demi hari dia jalani dengan sabar, meski keadaan ekonomi semakin hari semakin buruk. Hasil tani mereka selalu gagal dan banyak hutang dimana-mana. Jina kini hanya bisa menjalaninya saja, dan berupaya untuk tetap kuat. Terkadang dia menyesali keputusan yang dia ambil dulu.
Karena keadaan ekonomi yang semakin parah, bapak Jina pun memutuskan untuk pergi merantau lagi agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga dan menyekolahkan Jina.
Beberapa tahun bapaknya rutin mengirimkan uang untuk biaya sekolahnya hingga dia bisa melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Kebutuhan keluarga juga bisa terpenuhi dengan baik.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Belakangan bapaknya mulai jarang mengirim uang. Sehingga tak hanya kebutuhan keluarga, bahkan pendidikan yang sebentar lagi akan selesai tidak bisa dilanjutkan.
Setiap kali ditanya, alasannya pekerjaannya tidak berjalan lancar.
Jina pun malu dengan keadaannya yang menyedihkan, khususnya setiap kali teman-temannya bertanya tentang pendidikannya. Akhirnya dia memutuskan pergi merantau ke ibukota, ke tempat yang belum pernah dia lihat. Berbekal pendidikan yang pas-pasan dan tanpa pengalaman, dia memberanikan diri pergi ke ibukota, yang kata orang-orang 'lebih kejam daripada ibu tiri.'
Ketika dia pergi, dia mendengar orang-orang sekampungnya mencibirnya. Mereka berkata,
"Mau kerja apa dia di kota? Sekolah hanya lulus SMA dan tak punya pengalaman."
"Iya benar. Mau kerja apa dia disana? Mereka yang lulus sarjana saja sulit mendapat pekerjaan. Apalagi yang hanya lulus SMA. Sayang kuliahnya tidak selesai. Dia tinggalkan kuliahnya dan pergi merantau. Ckckck... Kasihan sekali."
Tapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan omongan mereka. Dan fokus dengan tujuannya.
Jina bisa pergi bekerja ke ibukota dengan bantuan neneknya. Neneknya memberikan uang seadanya untuk ongkosnya pergi ke ibukota dan uang saku sampai dia menerima gaji pertamanya nanti. Dia menasehati Jina agar selalu berhemat dan menjaga diri dengan baik. Dia juga mengingatkannya untuk tidak melupakan tujuan dia merantau.
Berbekal keberanian, dan ketulusan, Jina menjalani hidup di kota yang sangat sibuk seolah tak pernah tidur. Terkadang dia merasa kecil hati karena orang-orang di sekitarnya sering menyindirnya karena logat bicaranya.
Saat malam tiba, sebelum dia memejamkan matanya di kamar kosnya yang sempit, dia sering mengingat masa lalunya saat di kampung.
Dulu waktu di kampung, Jina sering menatap ke puncak pegunungan dari jendela kayu rumahnya.
Lalu dia bertanya pada dirinya sendiri,
"Kira-kira seperti apa yah kehidupan di balik gunung itu? Mungkinkah suatu saat nanti aku bisa kesana?"
Untuk sesaat dia berpikir bahwa kehidupan yang sekarang dia jalani, adalah kehidupan di balik gunung yang dia lihat waktu itu dari jendela rumahnya. Kemudian dia berkata lagi,
"Bisakah aku bertahan hidup di tempat ini? Aku tidak punya satu keluarga pun disini. Semua orang disini sangat sibuk. Orang-orang di tempat kerja ku juga tidak bisa menerima ku dengan tulus hanya karena aku berasal dari kampung.
Tapi aku tidak boleh lemah dan menyerah. Aku harus bisa. Dan aku pasti bisa.
Malam itu dia tidak bisa tidur, maka dia duduk di luar sambil memandang lampu-lampu kota yang menyala menghiasi langit malam. Lalu tak berapa lama salah seorang yang tinggal di kos an itu bertanya padanya, bagaimana dia bisa sampai di kota.
Dia pun menceritakan bahwa seseorang yang dia kenal di kampung mengatakan bahwa temannya mencari seorang karyawan. Karena itu dia memutuskan pergi jauh meski tak tahu tempat seperti apa yang dia tuju. Itu terpaksa dia lakukan daripada harus menanggung malu di kampung karena sekolah yang tidak sampai. Itu juga rela dia lakukan demi memperbaiki ekonomi keluarga.
Kemudian orang itu melanjutkan,
"Dan kamu percaya begitu saja tawaran itu? Kamu harus hati-hati. Karena disini tidak seperti di kampung. Kamu bahkan tidak punya pengalaman kerja. Memangnya ada perusahaan yang akan terima karyawan begitu saja? Bahkan orang-orang yang berpendidikan dan berpengalaman saja susah mendapat pekerjaan di kota. Maaf bukannya aku bermaksud membuat mu kecil hati. Tapi aku hanya berbicara sesuai realita."
"Yah, aku tahu. Tapi aku yakin. Karena informasi ini diberikan oleh orang sekampungku."
"Yah mudah-mudahan saja. Semoga perjalanan mu tidak sia-sia."
********
Ke esokan harinya, Jina bangun pagi-pagi sekali agar bisa bersiap-siap dengan tenang. Sebelum beranjak dari tempat tidurnya yang hanya beralaskan selembar kain dan tanpa bantal, (Karena kamar kos yang disewanya tidak memberikan fasilitas tempat tidur tapi hanya kamar kosong)
Jina berdoa agar harinya bisa berjalan dengan baik dan lancar. Dan dia dilindungi dari hal-hal yang jahat.
Kemudian dia mandi, dan memilih baju terbaik yang dia punya yang dia bawa dari kampung.
Setelah itu dia berdandan menghiasi dirinya dengan rapi.
Sekarang dia siap pergi, tak lupa dia mengambil tasnya yang sudah berisi dokumen lamaran yang dia persiapkan saat masih di kampung.
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, dia bertanya pada orang-orang alamat lokasi yang dia mau tuju. Tapi beberapa orang menjawabnya dengan kasar. Tapi dia tetap sabar demi tujuan yang ingin dia raih.
Akhirnya dia pun tiba. Tapi dia tidak tahu harus berbuat apa, karena dia tidak kenal dengan orang-orang di lingkungan itu.
Ingin bertanya, tapi dia selalu menahan diri karena perasaan gugupnya yang begitu besar.
Maka setelah menunggu beberapa menit, akhirnya salah seorang pekerja disitu bertanya padanya.
"Kamu yang mau kerja disini yah? Kamu dari mana?"
"Yah pak."
"Tau tempat ini dari siapa? Dan siapa yang menawarimu kerja disini?"
"Saya tahu dari orang sekampung saya. Katanya dia punya kenalan disini yang sedang mencari karyawan."
Jina menyebut nama orang sekampung yang menawarinya pekerjaan itu.
"Oh begitu. Tunggu saja disana. Orangnya belum datang. (Sambil menunjuk ke arah kursi di ruang tunggu."
Dia menunggu cukup lama disana, sampai HRD datang. Tapi sementara dia menunggu, beberapa karyawan disana tampak sedang memperbincangkan dirinya. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali memandangnya. Jina pun menjadi semakin gugup dan melihat penampilannya sambil berkata dalam hati,
"Apa ada yang salah dengan pakaian ku? Kenapa mereka berbisik-bisik sambil menatap ku?"
Akhirnya HRD itu pun tiba. Dia sudah mendapat informasi sebelumnya tentang Jina yang akan bekerja disana. Lalu dia menyuruh Jina untuk naik ke lantai 2 untuk di interview.
Perasaannya semakin gugup dan berdebar seraya menaiki anak tangga dan melihat banyaknya pegawai yang bekerja disana di depan komputernya masing-masing. Dia bertanya dalam hati,
"Nanti aku akan kerja apa yah? Pengetahuan komputer ku sangat terbatas. Apakah aku bisa bekerja seperti mereka?"
Sesampainya di ruangannya, HRD itu, duduk dan menghela nafas lalu melipat kedua tangannya. Kemudian dia berkata sambil menatap Jina dengan tajam.
"Pak Sigit sudah cerita akan ada satu karyawan baru dari kampung. Tapi Beliau mau terima kamu karena menghargai temannya saja."
"Begitu yah pak." (Balasnya sambil menundukkan wajahnya )
"Yah sudah, kamu bawa surat lamaran, pas foto dan izasah kan?
"Yah pak. Ini. (Sambil menyerahkan amplop coklat berisi dokumen lamaran)
"Ok baiklah, nanti kamu akan di training selama 3 bulan. Pekerjaan kamu sebagai kasir disini, kamu akan dikasi peti cash dan aku akan memberi daftar tugas yang akan kamu kerjakan. Ingat! Bekerja dengan baik. Sekarang kamu bisa pergi, tempat mu disana, di sudut kiri yang menghadap ke pintu. Untuk sementara kamu baca-baca dulu berkas-berkas yang ada disana sampai saya siapkan daftarnya."
"Baik pak. Permisi."
Jina benar-benar bingung dengan tugas yang akan dia jalani. Dia tidak punya dasar akunting sedikit pun. Tapi dia berdoa dalam hati agar dia bisa melakukannya dengan baik.
Dia sangat bingung melihat dokumen-dokumen yang berisi istilah-istilah akuntasi dan perbankan. Semuanya sungguh baru dalam hidupnya. Sembari memperhatikan kertas-kertas itu, Jina berkata dalam hatinya,
"Dulu saya bekerja di ladang, terbiasa dengan cangkul dan sabit, kuku yang kotor karena tanah, dan kulit wajah yang hitam karena terpanggang panasnya mentari. Tapi sekarang saya akan bekerja dengan komputer, kertas dan pulpen, serta telepon. Di dalam ruangan yang ber AC.
Mmmm... Rasanya lucu sekali."
Tak lama kemudian HRD sekaligus menejer itu datang,
"Hei! Kenapa kamu tertawa sendirian? Bukannya belajar. Ini daftar tugas yang akan kamu kerjakan."
Menejer itu pun memberikannya tanpa menjelaskan seperti apa tugas itu. Dia hanya bisa melihat-lihat dokumen itu dan membacanya tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.
Suatu ketika Bos besar dari perusahaan itu datang ke kantor. Tiba-tiba dia marah besar kepadanya,
"Hei! (Teriaknya sambil membanting meja)
Kenapa kamu belum bayar tagihan ini? (Sambil melemparkan kertas itu ke wajahnya)
"Maaf pak, saya tidak tahu. Saya baru kerja dan saya tidak tahu. Bapak menejer juga tidak menjelaskannya." (Balasnya dengan suara gemetar sambil tertunduk)
"Saya nggak perduli! Kamu tanyalah! Nggak punya otak yah? Pokoknya saya mau itu dibereskan hari ini juga!" (Teriaknya lalu pergi masuk ke ruangannya)
Semua karyawan disana pun menatapnya dengan tatapan yang aneh ketika bosnya berteriak memakinya. Saat itu Jina sangat kaget, takut dan ingin menangis. Tapi tidak ada seorang pun dari karyawan di tempat itu yang menghiburnya. Akhirnya dia naik ke lantai 3 menemui menejer itu dan menanyakan hal itu.
"Pak, ini bagaimana yah pak? Tagihan ini harus dibayar kemana? Karena tidak ada nomor rekeningnya disini. Dan ini biaya apa yah pak?"
"Kamu ini bagaimana sih. Kan disitu ada nomor teleponnya, kamu telepon saja dan tanya sendiri biar kamu tahu! Atau kamu tanya Erik bagian shipping!" (Balasnya dengan nada suara tinggi)
"Erik pak? Boleh saya tahu pak orangnya seperti apa?" (Tanyanya gemetar)
"Pergi dan tanya sendiri supaya kamu kenal satu persatu orang disini!"
"Baiklah pak. Permisi.
Jina pun meninggalkan ruangan itu dan mencari-cari karyawan bernama Erik. Dia menanyai beberapa karyawan disitu, tapi semua tidak ada yang peduli dan mengolok-olok dirinya. Akhirnya ada salah seorang office girl yang membantunya mengenalkan Erik padanya.
Lalu dia bertanya pada Erik tentang biaya itu, tapi Erik malah menjawabnya dengan kasar.
Jina pun berkata dalam hati,
"Yah Tuhan, kenapa sampai segitunya orang-orang disini padaku. Salahku apa sehingga tidak ada seorang pun disini yang menyambutku. Semoga aku kuat dan betah bekerja disini."
Setelah dia mendapat penjelasan, dia pergi ke Bank dan segera membayar tagihan itu. Lalu melaporkannya pada bosnya.
Setelah itu dia mempelajari dengan teliti semua dokumen-dokumen yang diberikan sang manajer. Dia berusaha untuk mencari tahu sendiri dan tak berani bertanya.
"Semoga aku bisa cepat paham. Ayolah Jina buka mata mu lebar lebar, dan juga pikiranmu. Meski kau berasal dari kampung tapi kau jangan kampungan. Kau harus pintar."
Lalu pada sore harinya pada jam 5, waktu bekerja pun selesai. Maka dia merapikan meja kerjanya dan pulang ke kos nya.
Disana dia mengurung diri di kamarnya dan menangis atas kejadian yang dia alami di hari pertamanya bekerja. Dia menghubungi neneknya dan menceritakan perasaannya.
Neneknya hanya bisa menyemangatinya sambil terus mengingatkannya untuk tidak menyerah dan ingat kalau tujuan dia merantau untuk membantu perekonomian keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!